REVIEW - THE SMASHING MACHINE

The Smashing Machine adalah kendaraan bagi Dwayne "The Rock" Johnson untuk membuktikan bahwa sebagai aktor berpendapatan tertinggi tahun lalu berdasarkan data Forbes (juga di 2016, 2019, 2020, 2021), dia bisa lebih dari sekadar mengangkat alis dan melompat dari gedung tinggi sambil mengenakan kemeja safari atau kaus oblong. Johnson memakai riasan prostetik, beralih dari figur jagoan yang bisa menyelamatkan semua orang, menjadi manusia biasa yang butuh diselamatkan. 

Namanya Mark Kerr, atlet MMA dua kali juara UFC yang sejak tahun 1998 beralih ke kompetisi Pride FC di Jepang. Performanya trengginas, dengan empat gelaran berhasil dimenangkan. Kemampuan mengendalikan emosi jadi kunci. Setidaknya demikian penjelasan dari Mark, yang menyamakan dirinya dengan laser yang sinarnya terfokus, alih-alih sorotan senter yang berayun-ayun tanpa kejelasan. 

Ironisnya, kelak karir Mark bakal mengalami penurunan akibat kegagalan mengontrol emosi. Bukti bahwa ia manusia biasa yang tidak sempurna. Hanya saja, Mark punya pemikiran berbeda. Euforia kemenangan di atas ring membuatnya merasa bak dewa yang dipuja para pemirsa. Perasaan tersebut jadi pelecut motivasi terbesarnya. Puja-puji itu merupakan adiksinya yang pertama. 

Lalu kita menyaksikan hubungan romansanya yang volatil dengan Dawn Staples (Emily Blunt). Pertengkaran jadi pemandangan biasa, salah satunya akibat tingginya ego mereka, yang bisa membuat Burj Khalifa sekalipun nampak kerdil. Pertengkaran pun sempat pecah tepat sebelum Mark menaiki ring guna melawan Igor Vovchanchyn (Oleksandr Usyk), yang berujung pada kekalahan perdananya. 

Mark, yang di sebuah wawancara mengaku tidak tahu rasanya kalah, amat terpukul. Naskah buatan sang sutradara, Benny Safdie, pun memulai perjalanannya mengeksplorasi proses individu menerima fakta kalau dirinya bukanlah dewa. Mark belajar menerima kekalahan, belajar mengakrabi kerapuhan, dan tentunya, belajar menjadi manusia. 

Proses belajar tersebut jauh dari gampang. Apalagi, selain puja-puji penonton kala ia meraih kemenangan, Mark masih menyimpan satu adiksi lain, yakni terhadap obat penghilang rasa sakit. Obat itu terus ia suntikkan, namun rasa sakit terbesar yang menusuk-nusuk hatinya menolak hilang. Belum lagi konflik dengan Dawn yang senantiasa singgah. Ketika dua manusia self-destructive, timbul tendensi untuk saling merusak. 

Penyutradaraan Safdie, yang menyabet penghargaan Silver Lion di Venice Film Festival 2025, mengutamakan keintiman yang dibangun lewat gaya visual ala home video. Gambar grainy, gerak-gerik liar bak kamera handheld, semua diterapkan demi menghilangkan sekat antara narasi dan penonton. 

Babak keduanya sempat kehilangan pijakan, kala naskahnya seperti memasuki mode autopilot, menggerakkan pesawat bernama "cerita" di tengah jalur berupa formula klise kisah biografi kelam. Hasilnya membosankan. Untunglah The Smashing Machine disokong oleh jajaran pelakon dalam performa puncak mereka. 

Departemen tata rias memang memegang peranan penting lewat keberhasilannya menghadirkan perubahan natural di wajah sang aktor utama. Bukan berarti Johnson bermain seadanya. Akting The Rock mungkin tak se-transformatif tata rias tersebut (beberapa kali gerak-gerik serta suara khasnya masih nampak), namun berbekal pengalamannya di atas ring yang tentu familiar dengan manisnya kemenangan sekaligus pahitnya kekalahan, kerapuhan dari sesosok laki-laki berotot raksasa pun sanggup diperlihatkan. 

Saya justru lebih terpukau dengan kepiawaian Emily Blunt mengolah beragam metode untuk meluapkan emosi. Ada kalanya ia meletup-letup, tapi momen paling memikat hadir saat Blunt meredam kepiluan si karakter, lalu menumpahkannya sedikit demi sedikit, sebagaimana setetes air mata yang membasahi wajahnya, di sebuah adegan yang jadi contoh pemanfaatan efektif dari teknik close-up. 

Menarik pula mengamati cara Safdie mengeksekusi pertarungan di atas ring. Ketimbang rock menggelegar atau dentuman perkusi pemacu adrenalin, komposisi bernuansa jazz gubahan Nala Sinephro (debutnya mengisi scoring) justru dijadikan pengiring. Mungkin Safdie memandang musik jazz senada dengan MMA. Sama-sama eksploratif, liar, tak mengenal kotak pengekang, sarat improvisasi, pula penuh kejutan. Begitu pula prinsip penyutradaraannya. 

REVIEW - YAKIN NIKAH

Yakin Nikah adalah film yang sangat ringan. Pernyataan tersebut saya maksudkan sebagai pujian. Adaptasi serial web berjudul sama ini bak mengajak penontonnya kembali ke era kejayaan komedi romantis, di mana hal-hal sederhana seperti jatuh cinta dan patah hati, mampu mendatangkan pengalaman sinematik menyenangkan. 

Ringan tidak berarti asal-asalan. Tengok cara kreatif filmnya dalam mengemas kredit pembuka, yang memajang nama para kru serta pemain di aneka properti. Bukan film Indonesia pertama yang menerapkan itu, tapi sudah cukup jadi bukti keseriusan pembuatnya, biarpun karya mereka "hanya" tontonan ringan. 

Individu yang dipusingkan oleh pernikahan bernama Niken (Enzy Storia). Ibunya, Ratna (Ersa Mayori), mendorong Niken agar segera menikah, supaya tidak dilangkahi oleh sang adik, Anggy (Amanda Rigby), yang baru saja menerima lamaran pacarnya (Arya Vasco). Berkaca pada pengalaman pribadinya, Ratna percaya akan tercipta konflik bila seorang adik mendahului kakaknya membina rumah tangga. 

Anggapan "melangkahi" sebagai pamali merupakan isu yang meresahkan di keluarga Indonesia. Banyak keluarga pecah, pula pernikahan diadakan secara buru-buru akibat kepercayaan tersebut. Yakin Nikah yang ingin memposisikan diri sebagai romcom ringan yang tak membebani diri dengan problematika kompleks, enggan memperdalam fenomena tersebut, dan bukan masalah. Eksistensinya sudah cukup memberi motivasi atas tindakan-tindakan karakternya. 

Sebenarnya Niken sudah menjalin hubungan bersama Arya (Maxime Bouttier), hanya saja ia terlampau sibuk bekerja hingga kerap lalai meluangkan waktu. Lalu datanglah Gerry (Jourdy Pranata), mantan pacar Niken. Mereka bahkan sempat bertunangan, sebelum Gerry tiba-tiba menghilang. 

Siapa yang Niken pilih? Yakin Nikah sekilas cuma membangun narasi berdasarkan pertanyaan klise nan dangkal tersebut, tapi naskah buatan Bene Dion Rajagukguk, Sigit Sulistyo, dan Erwin Wu, sesungguhnya tampil lebih cerdik dari perkiraan. Arya dan Gerry tidak diberi cap "first/second lead" sebagaimana drama Korea yang jadi salah satu inspirasinya. Keduanya diberi kesempatan berimbang memamerkan pesona sembari menampakkan kelemahan masing-masing. 

Keputusan itu sempat membuat alurnya terkesan repetitif, kala Niken dibuat berkali-kali berpindah hati, namun di sisi lain, pengulangan tersebut cukup efektif mewakili kondisi sang protagonis yang terombang-ambing dalam pilihan dilematis. Paparan kisah cintanya pun menyesuaikan dinamika kehidupan usia dewasa tokoh-tokohnya, di mana romantisme bukan didasari aksi saling tukar puisi yang cuma terdengar manis di mulut, pula memperhatikan hal-hal seperti kemampuan membahagiakan orang tua pasangan, hingga menciptakan work-life balance demi stabilitas hubungan. 

Di kursi sutradara, Pritagita Arianegara konsisten menggerakkan filmnya secara cepat supaya daya hiburnya terjaga, biarpun kadang pendekatan itu berdampak pada progresi narasi yang melompat-lompat secara kasar. Tapi sekali lagi, hasilnya menyenangkan. Apalagi Enzy tampil dengan pesona khas leading lady sebuah komedi romantis, meski agak disayangkan, departemen naskah kurang memfasilitasi talenta komedinya. 

Selaku figur protagonis komedi romantis, karakter Niken tidak diberi banyak peluang menyambangi area komikal filmnya. Peran itu diemban oleh para pelakon pendukung, terutama Agens Naomi yang mencuri perhatian sebagai Prita, sahabat Niken yang setia mewarnai hari-harinya di kantor. 

Sedangkan di tatanan lebih serius, Tora Sudiro jadi poros kehangatan kisahnya, sebagai Hendar, ayah Niken yang sarat kebijaksanaan dengan segudang petuah dan kasih sayang. Tangisan Ersa Mayori pun berjasa mengeskalasi dampak emosi di fase konklusi filmnya, yang menolak mengikuti pakem akhir bahagia ala cerita arus utama. Karena ada kalanya tuntutan-tuntutan sosial tidak perlu diacuhkan, dan opsi terbaik yang semestinya dipilih adalah diri kita sendiri. 

REVIEW - GOOD BOY

Satu hal yang membuat sinema horor Asia menonjol dibanding rekan sejawatnya dari barat adalah perspektifnya terhadap fenomena mistis, yang tidak melulu dipandang selaku kekuatan jahat untuk dibasmi, melainkan bagian siklus kehidupan. Good Boy karya Ben Leonberg merupakan produk Hollywood langka yang mampu memberi cerminan bagi sudut pandang tersebut. 

"Horor yang dipresentasikan lewat sudut pandang anjing." Begitulah konsep "seksi" film ini. Leonberg mengambil gambar secara langsung di lokasi selama 400 hari, menjadikan anjingnya sendiri, seekor golden retriever cerdas bernama Indy sebagai pelakon utama, memerankan sahabat setia manusia yang menolak gentar meski harus berhadapan dengan entitas misterius.

Pemilik Indy bernama Todd (Shane Jensen), yang mengajak si anjing pindah ke rumah kakeknya di area terpencil, pasca divonis mengalami penyakit paru-paru kronis. Todd berharap tinggal dan beraktivitas di alam dapat memperbaiki kondisinya, tanpa menyadari kehadiran sosok hitam yang senantiasa mengintainya. 

Tapi Indy sadar. Dia sering menatap dan menggonggong ke arah sesuatu yang tak bisa Todd lihat. Di sinilah letak kecerdikan konsepnya. Ketika horor konvensional kerap menyulut kekesalan penonton dengan polah bodoh karakter manusianya yang secara ceroboh menyatroni area gelap nan berbahaya, Good Boy berbeda. Indy melakukan hal serupa, tapi didasari kemurnian hati dan keinginannya melindungi Todd. Bukannya kesal, justru kehangatan yang terasa. 

Dibantu tata kamera arahan Wade Grebnoel, Leonberg membangun nuansa atmosferik berbekal pendekatan visualnya yang berfokus pada membatasi jarak pandang, baik berbekal gambar grainy ala home video, atau pemakaian lingkungan berkabut selaku latar. Keterbatasan itu melucuti rasa aman, pula mencuatkan kecemasan karena kepedulian penonton terhadap Indy. 

Ada kalanya kecemasan tersebut memanipulasi pikiran. Kameranya yang sering berdiam diri menangkap sisi gelap ruangan selama beberapa waktu, mendorong saya untuk percaya bahwa di sana ada sesosok wujud yang perlahan terbentuk. Sebagaimana yang dilakukan Kyle Edward Ball dalam Skinamarink (2022), Grebnoel menginvasi psikis penontonnya, membuat kita melahirkan teror itu sendiri. 

Sayangnya keterbatasan Good Boy segera menampakkan diri. Film ini tak kuasa menyembunyikan ketipisan alurnya, biarpun memiliki durasi yang tergolong pendek (73 menit). Pasalnya, naskah buatan Grebnoel bersama Alex Cannon sebatas mengulangi rutinitas Indy memperhatikan kekosongan, mengejar ketiadaan, kemudian sesekali memperoleh penglihatan sureal bak mimpi. Seiring waktu, amunisi tersebut mulai kehilangan daya bunuhnya. Rasanya Good Boy akan lebih efektif sebagai film pendek berdurasi 30-45 menit. 

Ada sebuah pilihan menarik yang Grebnoel terapkan, yakni tidak menampakkan wajah karakter manusia. Salah satunya karena pemakaian low-angle guna memposisikan penonton di perspektif yang sama dengan Indy, sehingga wajah Todd kerap tersamarkan oleh efek backlight. 

Gaya tersebut bukan mengeskalasi kesan misterius sekaligus menekankan ketajaman indra anjing, yang tak bergantung secara berlebih pada penglihatan layaknya manusia. Selain mewakili kemampuan anjing mendeteksi ancaman tak kasat mata, Grebnoel juga ingin menegaskan kemurnian hatinya. Anjing menyayangi manusia tanpa memedulikan seperti apa rupa kita. 

Hangat. Menyentuh. Apalagi saat kisahnya tiba di fase konklusi, yang bak versi mistis dari kisah legendaris Hachiko, di mana identitas serta intensi sang entitas kegelapan akhirnya terungkap. Sekali lagi, Good Boy bukanlah tipikal horor mengenai pertarungan membasmi iblis. Si antagonis eksis bukan untuk dilawan, namun selaku medium eksplorasi soal "sahabat terbaik manusia", yang setia menemani seraya memberi perlindungan, selama si manusia mengarungi perjalanan bernama "lingkaran kehidupan." 

REVIEW - TRON: ARES

Terdapat satu sekuen aksi di Tron: Ares yang sangat saya sukai, yakni saat Julian Dillinger (Evan Peters) berupaya meretas server perusahaan saingannya, ENCOM. Sebagai visualisasi peretasan, di bawah pimpinan Ares (Jared Leto), sekelompok pasukan yang merepresentasikan program, menyerbu benteng pertahanan ENCOM. Terjadilah pertarungan dua pihak, layaknya konfrontasi antara virus dengan perangkat lunak yang melakukan pembasmian. 

Walaupun estetika game video klasik digantikan oleh pemandangan digital yang lebih mutakhir (mungkin karena game sekarang sudah tak jauh beda dengan realita), sekuen di atas jadi bukti pemahaman film ini akan jiwa dari Tron. Sebuah cerita yang mengubah tetek bengek teknologi nerdy menjadi spektakel layar lebar keren. 

Ceritanya pun mengandung relevansi. Alkisah, teknologi yang sudah sedemikian maju memungkinkan manusia memindahkan benda atau entitas digital ke dunia nyata, menggunakan laser pencetak (versi canggih dari printer 3D). Julian melalui Dillinger Systems miliknya, serta ENCOM yang dikepalai Eve Kim (Greta Lee), bersaing menyempurnakan teknologi tersebut. Julian membuat tank guna dijual ke pihak militer, sedangkan Eve menciptakan pohon guna mensejahterakan umat manusia. 

Naskah buatan Jesse Wigutow menyampaikan perspektifnya mengenai isu AI yang terus memancing kontroversi di dunia nyata. Di mana kita mesti meletakkan garis batas terkait penggunaan AI? Kapan pastinya "membantu manusia" berubah jadi "menghancurkan manusia"? Di situlah Ares mengambil peran penting. 

Sejatinya Ares merupakan program yang memegang kendali di dunia Grid kepunyaan Dillinger Systems. Misinya adalah merebut kode yang memungkinkan benda digital berpindah ke dunia nyata secara permanen (tanpa kode tersebut, mereka, termasuk Ares, hanya punya waktu 29 menit sebelum melebur, lalu kembali ke Grid). Sampai seperti sosok monster dalam kisah Frankenstein, Ares mulai tertarik pada hal-hal bersifat manusiawi seperti emosi dan mortalitas.

Jared Leto cukup cerdik mengakali performanya, dengan membedakan pendekatan antara karakter Ares sebelum memahami kemanusiaan (dingin, kaku, robotik) dan sesudah (lebih ekspresif, punya empati). Ares si program terkuat, yang kalau mau bisa saja membelot untuk menguasai dunia nyata, lebih tertarik menyelami rasa dari air hujan yang membasahi kulit. 

Pernyataan dari naskahnya jelas: Mortalitas manusia tetap superior dibanding kecanggihan abadi entitas artifisial. Ekspresi kekagumannya bukan lagi terhadap teknologi, melainkan kemanusiaan. Klimaksnya turut menegaskan poin tersebut, dengan menolak membuat karakter manusia bisa berdiri sendiri tanpa harus terlampau bergantung pada AI. Justru sebaliknya, AI yang membutuhkan manusia. 

Tron: Ares membawa franchise-nya berevolusi, sembari menjaga supaya tak kehilangan identitas. Salah satunya lewat penghormatan indah yang diberikan ke film orisinalnya, dalam bentuk kunjungan ke dunia Grid versi klasik. Ada kesegaran menyaksikan estetika lawas dihidupkan memakai teknologi mutakhir. 

Visualnya kelas satu. Baik warna-warni neon dari light cycle yang kini dipacu melintasi kota pada malam hari, sampai visualisasi alat-alat canggih yang Ares dan timnya bawa ke dunia nyata. Semua berjasa menyulap tuturan teknologi nerdy jadi parade estetika keren, yang makin diperkuat oleh iringan musik gubahan Nine Inch Nails, yang membuat pengalaman menonton Tron: Ares bak kunjungan ke surga industrial kelam.

Sayangnya ada satu lubang menganga, yakni pengarahan aksi dari Joachim Rønning yang seperti kehabisan tenaga. Pengadeganannya serba canggung. Tengok deretan shot menggelikan yang menyusun kegagalan Athena (Jodie Turner-Smith) menangkap Eve di sebuah adegan kejar-kejaran. 

Di tengah nyala neon dan gempuran nada-nada elektronik Nine Inch Nails, pengadeganan Rønning bak anomali yang melemahkan dampak tiap momen aksi. Miskin gaya, tanpa tenaga, layaknya mengendarai light cycle dengan kecepatan 20 km/jam sembari menaati segala aturan lalu lintas. 

REVIEW - TUKAR TAKDIR

Mengadaptasi novel berjudul sama karya Valiant Budi, Tukar Takdir bicara soal duka yang dilahirkan oleh tragedi. Banyak sineas tanah air yang niscaya bakal mengeksploitasi kondisi tersebut guna menjadikan tiap adegan sebagai alat penguras air mata, Mouly Surya selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menolak pendekatan nirempati dengan menaruh fokus pada keintiman humanis untuk mengajak penonton memahami duka tersebut.

Tragedi yang dimaksud adalah sebuah kecelakaan pesawat. Sebanyak 126 orang termasuk para kru tewas, menyisakan seorang saja penyintas. Rawa (Nicholas Saputra) namanya, yang juga mesti bergulat dengan PTSD. Adegan kecelakaan itu divisualisasikan dengan CGI seadanya (bisa dipahami), pula berlangsung singkat, sebab detailnya baru akan kita saksikan seiring investigasi KNKT yang turut melibatkan kesaksian Rawa.

Sekali lagi, Mouly enggan menitikberatkan alurnya pada hal-hal sensasional seperti penyelidikan kasus penuh kejutan. Subplot tersebut bukanlah menu utama, melainkan bumbu penyedap bagi studi karakter miliknya, termasuk cara yang ditempuh para keluarga korban untuk menangani duka masing-masing. 

Misalnya Dita (Marsha Timothy), yang menyalahkan Rawa atas kematian sang suami, Raldi (Teddy Syah). "Kenapa yang selamat Mas Rawa dan bukan suami saya?", tegasnya. Ada juga Pak Mukhsin (Ayez Kassar) yang kehilangan istri, tiga anak, menantu, serta cucunya yang masih bayi meninggal dalam tragedi tersebut. Sulit menyangkal ketidakadilan takdir.

Di sisi lain, Tukar Takdir turut menunjukkan sisi-sisi lain di sekeliling sebuah tragedi. Buruknya pengelolaan armada maskapai penerbangan, praktik suap-menyuap, hingga tendensi aji mumpung para pembuat konten. Salah satu YouTuber (Violla Georgie) melempar teori yang menuduh Rawa sebagai teroris pembawa bom, meski di awal video ia berkata bahwa dirinya bukan pilot atau ahli ilmu penerbangan. Tragedi memang acapkali menelanjangi wajah kelam (dan bodoh) negeri ini. 

Tapi sentilan di atas tak pernah mencuri fokus. Penelusuran terhadap kompleksitas emosi manusia, pula ragam cara yang ditempuh untuk mengendalikannya, selalu jadi sorotan utama. Rawa berupaya membantu mengungkap kebenaran sembari bergulat dengan survivor guilt, Dita mengajak keluarga korban lain untuk melayangkan gugatan terhadap maskapai, sedangkan Zahra (Adhisty Zara), putri Kapten Dirga (Tora Sudiro) yang merupakan pilot kecelakaan nahas itu, memilih seks sebagai alat peredam pilu. 

Tiada cara yang patut disalahkan, maupun emosi yang boleh dikerdilkan. Naskahnya membantu penonton memahami dinamika masing-masing karakter, begitu pun departemen akting. Nicholas Saputra tampil dengan salah satu range akting terluas di sepanjang karirnya, sementara Marsha Timothy berkali-kali menusuk hati dengan dinamikanya dalam mengekspresikan duka. Satu saja keluhan saya: jajaran figurannya berbicara sekaku AI. 

Mouly menolak buru-buru dalam menggerakkan alurnya, membiarkan penonton perlahan meresapi kepiluan tiap individu yang tidak melulu harus diletupkan. Pengarahannya sarat sensitivitas, menciptakan momen-momen emosional tanpa terkesan mengemis tangis. Khususnya momen kala Rawa akhirnya mengerti alasan mengapa takdir semesta membiarkannya hidup. "Untung saya selamat", ucapnya emosional, sebagaimana saya tenggelam dalam keharuan yang sama. 

REVIEW - RANGGA & CINTA

Rangga & Cinta menyebut dirinya sebagai "rebirth" dari Ada Apa dengan Cinta? dengan jajaran pemain baru, tetapi mengusung formula cerita lama dalam latar waktu period. Bentuk musikal dipilih sebagai bukti dedikasi untuk membawa perbedaan, namun pembuatnya tak pernah secara total menyelami kolam tersebut. Timbul pertanyaan besar: Film ini dibuat untuk siapa?

Nostalgia seketika menyeruak seiring terdengarnya kocokan gitar dari intro lagu Ku Bahagia, sementara sekelompok anak SMA berjungkir balik, melompat, bernyanyi sambil menari dengan penuh tenaga. Cara mengawali penceritaan yang efektif memupuk antusiasme penonton. Begitu nomor musikal usai, barulah kita berkenalan dengan sang protagonis dan geng siswi-siswi gaulnya.

Cinta (Leya Princy) si "jagoan puisi" menjalin persahabatan dengan Alya (Jasmine Nadya) yang punya masalah keluarga, Maura (Kyandra Sembel) yang populer di kalangan murid laki-laki, Karmen (Daniella Tumiwa) si tomboi yang emosional, dan Milly (Katyana Mawira) yang paling telmi. Kekalahan Cinta dari kakak kelasnya yang misterius, Rangga (El Putra Sarira), di lomba puisi sekolah jadi gerbang perkenalan keduanya. 

Naskah buatan Mira Lesmana dan Titien Wattimena masih mengangkat pondasi cerita serupa versi orisinal, termasuk perihal latar 2000-an awal yang minim signifikasi, walau sekadar pernak-pernik kultural populer yang mengundang nostalgi. Jika jajaran pelakon generasi sekarang telah didapat, mengapa tak sekalian menerapkan modernisasi? 

Setidaknya para anak muda yang jadi motor penggerak film ini bermain baik. "Geng Cinta" selalu menyenangkan disimak, sedangkan El Putra Sarira dan Leya Princy membawa romantisme menggemaskan di tengah aksi saling sindir serta adu argumen khas Rangga-Cinta, sambil sesekali melontarkan kalimat ikonik ("Pecahkan saja gelasnya biar ramai", "Salah gue? Salah temen-temen gue?", dll.) yang saya harap bisa mengakar di hati generasi muda, sebagaimana dialami oleh para milenial dahulu. 

Tapi pada akhirnya, baik generasi tua maupun muda rasanya takkan sanggup film ini wakili secara total. Termasuk saat ciuman legendaris di klimaksnya dihilangkan. Gestur yang Rangga berikan ke Cinta sejatinya manis, tapi penggemar lama akan kehilangan momen favorit mereka, sementara penonton baru yang cenderung lebih menormalisasi kemesraan semacam itu bakal merasakan kejanggalan serba tanggung. Rangga & Cinta bukan nostalgia sarat romantisme akan masa lalu, bukan pula pembaruan progresif. 

Pengarahan Riri Riza di nomor musikalnya pun bernasib serupa. Saya menyebut Rangga & Cinta sebagai "musikal malu-malu". Banyak momen potensial dibiarkan berlalu tanpa disenandungkan, kemudian saat musikal itu datang, terkadang ia bergulir terlampau singkat, bahkan beberapa di antaranya tampil seperti montase ala kadarnya. Untunglah lagu-lagu klasik gubahan Melly Goeslaw belum kehilangan daya bunuhnya.

Musikal berkualitas tidak harus terlihat grande. Kesederhanaan milik nomor Tentang Seseorang yang menduetkan dua pemeran utamanya justru jadi titik terbaik filmnya, membuat saya berandai-andai apa jadinya bila Rangga & Cinta menempuh jalur musikal realis ala karya-karya John Carney. 

Sayangnya di kesempatan lain, pengadeganan sang sutradara kembali mengulangi kelemahan yang ia nampakkan di Petualangan Sherina 2 (2023), yakni sebatas merekam sekelompok individu yang bernyanyi dan menari. Waralaba sebesar AADC? layak mempunyai musikal dengan sentuhan estetika lebih mumpuni, alih-alih sekadar mengubah warna lampu seperti pertunjukan teater sederhana atau menggelindingkan bola-bola basket seadanya.