REVIEW - JUDHEG
Logat ngapak, gerombolan pemuda memamerkan motor warna-warni hasil modifikasi sambil nongkrong di atas jembatan, lereng terjal yang mesti dilalui untuk mencapai rumah seseorang, hingga suami yang menyerahkan segala urusan rumah tangga pada istri tanpa mau peduli. Banyak hal di Judheg (jengah) karya Misya Latief yang mengingatkan akan tempat, situasi, serta jenis manusia yang kerap saya jumpai semasa kecil dahulu.
Filmnya berlatar di sebuah desa di area Purbalingga. Saya tumbuh di kota yang bisa dibilang masih serumpun, sehingga bisa mengonfirmasi bahwa konflik utamanya, yakni gejolak rumah tangga akibat masih asingnya konsep kesetaraan gender, merupakan pemandangan sehari-hari yang dianggap normal. Judheg hadir untuk mencegahnya dinormalisasi lebih jauh di era modern.
Warti (Darti Yatimah) mengemban beban terlampau berat. Dia menikah siri dengan Supri (Sigit Blewuk) karena hamil, dan dituntut menjadi ibu dalam usia yang bahkan belum memungkinkannya memiliki KTP. Ketika Warti pontang-panting menghidupi keluarga, bahkan terpaksa berutang ke warung tetangga hanya demi segelintir bumbu dapur, Supri terlalu malas mencari kerja, bahkan berperilaku bak bujangan dengan rutin nongkrong bersama teman-teman hingga dini hari.
Perspektif Judheg mungkin tak lagi dipandang sebagai konsep yang "kekinian" dalam konteks sinema bertema pemberdayaan masa kini, yang mulai enggan sebatas memotret penderitaan perempuan. Belum lagi saat kesengsaraan Warti bertambah karena Supri kerap melakukan tindak KDRT. Ditilik sekilas, Judheg bak opera sabun perihal kemalangan tanpa ujung milik sosok istri yang terus mencoba sabar. Apalagi musik melankolis serba dramatis gubahan Kris Sjarif nyaris tak pernah absen mengiringi momen emosional filmnya.
Tapi di sinilah konteks kultural dalam naskah buatan Misya Latief dan Yuda Kurniawan memegang peranan penting. Darinya, timbul relevansi. Bukan bermaksud merendahkan, tapi bagi masyarakat kelas bawah di area pedesaan yang bahkan mengharuskan warganya naik-turun bukit untuk menyatroni kediaman tetangga, termasuk di Purbalingga dan sekitarnya, mengedukasi kalau KDRT bukan suatu kewajaran, pun istri tak semestinya diperlakukan layaknya pembantu, masih harus jadi fokus utama.
Fenomena nikah muda tidak ketinggalan disentil. Warti dan Supri belum berada di usia yang cukup matang, baik secara fisik maupun psikis, untuk membina rumah tangga, sehingga tak mengherankan kala cuma rasa sakit yang saling keduanya berikan.
Darti Yatimah piawai merebut simpati penonton, sedangkan Sigit Blewuk memudahkan kita menaruh kebencian terhadap Supri. Kedua pelakon utama jeli memainkan dinamika, membuat Judheg tak pernah membuat penontonnya...well, merasa judheg, biarpun kisahnya bergulir terlalu panjang (durasi mencapai 117 menit) akibat disertakannya beberapa peristiwa minim esensi.
Di satu titik, Warti yang air susunya sukar keluar dan tak punya cukup uang untuk membeli susu formula, pula sudah lelah terus disalahkan oleh Supri, memilih meminumkan susu kental manis bagi bayinya. Terdengar protes dari beberapa penonton. "Gula semua itu!", ucap salah satunya. Kekhawatiran tersebut tidak keliru. Bahkan Warti sendiri menyadari kesalahannya. Tapi saat semesta menyuguhinya buah simalakama, Warti bisa apa?
(JAFF 2025)
REVIEW - IKATAN DARAH
Saya teringat pertemuan dengan Iko Uwais pasca pemutaran perdana The Raid di JAFF 2011. Masih seorang pemuda pemalu yang belum mengecap status "bintang laga dunia". Selang 14 tahun, ia kembali ke festival tersebut, bukan sebagai pelakon, melainkan pemilik rumah produksi yang mempresentasikan karya perdananya (Timur, yang juga debutnya selaku sutradara, lebih dulu rilis di bioskop komersil akhir tahun ini). Judulnya Ikatan Darah, film laga yang bak sebuah produk "sekolah pembuatan film aksi Gareth Evans".
Serupa The Raid, kisahnya menjadi ikatan persaudaraan sebagai motor penggerak. Bedanya, si jagoan utama bukan lagi-lagi anggota pasukan khusus, tapi perempuan mantan atlet bela diri. Namanya Mega (Livi Ciananta), yang terpaksa pensiun dini akibat cedera bahu, dan mendapati nyawa kakaknya, Bilal (Derby Romero), diincar sekelompok organisasi kriminal akibat membunuh salah satu pentolan mereka, yang dia utangi sejumlah uang.
Ditulis oleh Rifki Ardisha bersama sang sutradara, Sidharta Tata, jalinan cerita kuat bukan menu utama Ikatan Darah, tapi naskahnya tahu bagaimana cara memperkenalkan barisan antagonis "larger than life" berdaya tarik tinggi. "Parade para kriminal", begitu sebutan yang Sidharta sematkan.
Teuku Rifnu memerankan Primbon, pendeta haus darah yang gemar mengucap firman Tuhan sebelum merenggut nyawa. Tapi tiada yang lebih ikonik dibanding Macan (Rama Ramadhan), anak buah Primbon yang paling ditakuti. Tulisan "aing macan" dirajah di punggungnya. Dia melakukan pembantaian dengan santai sembari mengunyah gorengan dan melontarkan celetukan-celetukan Bahasa Sunda. Konon Macan dapat mendengar hujan sebelum rintiknya turun, pun daya penciumannya memiliki radius 10 kilometer.
Alur tipisnya memang kurang memadai guna menyokong durasi hampir dua jam hingga kadang terasa melelahkan, namun jajaran tokoh unik tadi mampu menjaga nilai hiburannya. Belum lagi didukung fakta kalau banyak pemerannya adalah praktisi beladiri. Livi Ciananta sudah siap menjadi "the next big action star" Indonesia, begitu pula Ismi Melinda yang memerankan Dini, sahabat Mega yang ikatannya bagai saudara kandung (bayangkan dinamika Iko Uwais-Donny Alamsyah dalam The Raid). Tiba waktunya sinema aksi kita diisi para perempuan tangguh.
Terkait eksekusi aksinya, Ikatan Darah ibarat ruang bagi Sidharta Tata mencurahkan segala eksplorasi teknis yang selama ini mencirikannya. Segala bentuk trik Sidharta aplikasikan, dari keliaran gerak tata kamera arahan Ferry Rusli, koreografi beraroma silat andalan Uwais Team, sampai penerapan sadisme tepat guna yang beberapa di antaranya sukses menyulut keriuhan tepuk tangan penonton. Sesekali, selipan "humor bodoh" khas sang sutradara dikerahkan demi menghapus kemonotonan.
Pada salah satu set piece, para protagonis menghadapi musuh yang mempersenjatai diri dengan mesin pemotong rumput. Di situ Sidharta begitu jeli mengeksekusi setumpuk momen "nyaris" yang efektif mengobrak-abrik kecemasan penonton.
Jika The Raid yang menjadikan lorong-lorong sempit apartemen selaku taman bermain, maka Ikatan Darah menantang dirinya dengan memilih gang-gang tikus area perkampungan yang bagaikan labirin sebagai panggung baku hantam. Andai film ini bersedia meminjam satu lagi ilmu esensial yang dipunyai pendahulunya itu terkait pengaturan dinamika.
Pasca pertarungan brutal melawan Macan (layak dijadikan pertarungan pamungkas) yang bertempat sebelum transisi menuju babak ketiga, intensitasnya cenderung menurun. Presentasi aksinya tetap solid, namun Sidharta dan tim seolah ragu-ragu untuk terus menggenjot tingkat keekstreman, lalu memaksa paradenya terus berlangsung kendati sudah kekurangan amunisi. Itu saja keluhan substansial di Ikatan Darah. Sisanya adalah pembuktian bahwa Uwais Pictures sudah meletakkan pondasi solid bagi perjalanan mereka ke depan.
(JAFF 2025)
REVIEW - SUNSHINE
Kerap terjadi kesalahpahaman, bahwa pro-choice semata soal merenggut nyawa, yang pada akhirnya mendatangkan stagnasi dalam diskursus, terutama saat cap "dosa" sudah dibawa-bawa. Padahal serupa namanya, gerakan tersebut menitikberatkan pada hak perempuan untuk memilih (apa pun pilihannya). Apalagi, seperti yang dipaparkan oleh Sunshine, di banyak negara konservatif, pilihan yang dapat perempuan ambil amatlah terbatas.
Sunshine (Maris Racal) adalah atlet gimnastik berusia 19 tahun, yang berambisi mewakili Filipina di ajang Olimpiade. Bakatnya luar biasa. Sampai suatu ketika Sunshine mendapati dirinya hamil. Jangankan berpartisipasi di Olimpiade, keberlangsungan karir Sunshine terancam, sebagaimana kakaknya, Geleen (Jennica Garcia), yang pensiun dini untuk menjadi ibu tunggal. Sunshine pun mulai mempertimbangkan opsi aborsi.
Naskah buatan sang sutradara, Antoinette Jadaone, memang lebih menaruh fokus pada kehamilan Sunshine. Elemen olahraga tidak banyak nampak di permukaan namun keberadaannya selalu terasa, mengingat gimnastik jadi pertimbangan utama dalam segala keputusan protagonis. Pun tiap tiba waktunya gimnastik mengisi sorotan utama, Jadaone menanganinya secara menawan. Menyaksikan Sunshine menari-nari mengayunkan pita dengan indah, jelas lah betapa bakat si remaja terlampau sayang untuk dibuang.
Di satu titik, Sunshine bertemu Mary Grace (Rhed Bustamante), bocah 13 tahun yang hamil akibat diperkosa oleh sang paman. Pilihan apa yang dipunyai para perempuan muda ini? Aborsi masih berstatus ilegal di Filipina. Tiada program penyedia solusi dalam bentuk apa pun dari pemerintah.
Sekadar berbagi keluh kesah saja mereka tak mampu, sebab masyarakat yang terlalu gampang menghakimi lewat perspektif nirempati berkedok agama atau moralitas cenderung hanya tertarik melempar cacian atau memberi cap "pendosa". Tidak hanya warga sipil, di sini kita juga bakal bertemu figur dokter yang gemar menghakimi. Salah satu momen paling memuaskan hadir ketika Geleen melontarkan sindiran menohok kepada sang dokter.
Cara Sunshine menangani perihal kehamilan remaja sejatinya tidak baru, dengan metode bercerita yang juga cenderung konvensional, tapi teknik pengadeganan Jadaone memberi warna spesial. Biarpun materinya amat memfasilitasi, sang sineas enggan menyematkan gaya melodrama ke karyanya. Bukan air mata yang coba dihasilkan dari penonton, melainkan pemahaman terkait isunya.
Itulah mengapa filmnya masih memberi ruang bagi tawa untuk hadir, termasuk yang bersumber dari sebuah pilihan berisiko naskahnya, kala menciptakan karakter gadis cilik misterius (Annika Co) yang kerap tiba-tiba muncul di samping Sunshine sembari melontarkan kata-kata kasar nan menggelitik guna mengkritisi niatnya menjalani aborsi.
Tidak sulit menebak identitas si gadis cilik, yang bila eksistensinya gagal ditangani secara bijak, berpotensi membuat presentasi ceritanya tampil banal dan murahan. Untungnya risiko besar itu terbayar lunas di fase konklusi yang secara mengharukan, menegaskan kalau Sunshine bukan tentang justifikasi amoralitas, melainkan ajakan untuk memahami sebuah pilihan.
"Apa pun keputusanmu, aku akan selalu ada di sampingmu dan mencintaimu", ucap Geleen sambil berbaring di sebelah Sunshine. Saat itulah si tokoh utama menemukan kemantapan hati. Saat tidak lagi merasa mesti seorang diri melawan dunia. Tatkala matahari seolah enggan bersinar lagi, nyatanya semesta masih berbaik hati membubuhkan warna-warni pelangi di balik awan baginya.
(JAFF 2025)
REVIEW - ALL THAT'S LEFT OF YOU
Selepas sekuen pembuka All That's Left of You, perempuan bernama Hanan (diperankan Cherien Dabis yang juga bertindak selaku sutradara sekaligus penulis naskah) menatap kamera kemudian berujar, "Mungkin kamu tak terlalu peduli, tapi aku akan bercerita tentang anakku". Sebuah kalimat tajam yang bak dialamatkan pada penonton, yang menyaksikan tahun demi tahun penderitaan rakyat Palestina hasil tangkapan film ini dari kursi bioskop yang nyaman. Sudah selayaknya kita peduli.
Putra Hanan bernama Noor (Muhammad Abed Elrahman), remaja energik yang pada tahun 1988, tanpa ragu maju ke garis depan demonstrasi guna mengutuk penjajahan Israel. Tapi untuk memahami motivasi Noor, kita terlebih dahulu diajak mundur ke tengah memanasnya perang tahun 1948 guna menemui kakeknya, Sharif (Adam Bakri), ayah mertua Hanan yang tinggal bersama keluarganya di Jaffa sembari mengelola kebun jeruk warisan turun-temurun.
Ada rasa pilu menyandingkan indah nan makmurnya Palestina sekitar tujuh dekade lalu, dengan potret hari ini pasca zionis meluluhlantakkan segalanya. Para protagonisnya pun masih hidup nyaman di bawah naungan rumah yang layak disebut mewah. Sharif sendiri terlibat aktif melawan invasi Israel, bahkan memilih tinggal mempertahankan rumahnya setelah mengirim keluarganya mengungsi ke area West Bank. Kisah pun bergerak menuju tahun-tahun berikutnya.
Memasuki tahun 1978, Sharif di usia tua (diperankan Mohammad Bakri, ayah Adam Bakri) mulai menampakkan tanda-tanda alzheimer, sementara putranya yang berprofesi sebagai guru, Salim (Saleh Bakri, kakak Adam Bakri), memilih sikap yang berlawanan dengan ayahnya, dengan bermain aman menyikapi penindasan Israel. Sesuatu yang mendatangkan kekecewaan bagi Noor kecil (Sanad Alkabareti).
Keputusan Cherien Dabis membentangkan ceritanya sampai puluhan tahun punya satu tujuan, yakni memberi penegas tentang keserakahan Israel. Ibarat individu yang "dikasih hati malah minta sekujur tubuh", Israel terus mencuri, dari beberapa teritori, hingga akhirnya seluruh negeri. Tuntutannya terus berganti termasuk dalam keseharian. Misal terkait jam malam di West Bank yang senantiasa berubah, hingga alih-alih merupakan aturan, hal itu lebih seperti metode mempermainkan hidup rakyat Palestina.
Cerita lintas masa milik All That's Left of You juga berguna memaparkan poin berikut: Apa yang suatu generasi alami, bukan cuma membentuk perspektif generasi tersebut, pula generasi di bawahnya. Adakah posibilitas perbaikan nasib bagi tokoh-tokohnya andai generasi tua mengambil keputusan berbeda? Jawabannya "tidak", selama zionis dengan segala keculasan dan tipu daya mereka masih menancapkan cakar mematikan.
Efektivitas penceritaannya mungkin bakal meningkat bila durasi 145 menit sedikit dipangkas, tapi kinerja seluruh departemennya, termasuk jajaran pelakon dengan kemampuan mengembuskan jiwa ke tokoh peranan masing-masing, membuat All That's Left of You tak pernah kehilangan nyawanya. Sang sutradara melantunkan momen-momennya secara syahdu, mencuatkan melankoli tak murahan yang senada dengan baris demi baris kalimat puitis milik naskahnya.
"Hati Palestina ini sekarang berdetak dalam tubuh Israel", ucap seorang karakter yang takkan saya ungkap identitasnya dengan nada angkuh, melengkapi alegori filmnya mengenai kondisi Palestina saat ini. Tapi All That's Left of You menolak kehilangan harapan. Selama masih ada yang tersisa, biarpun sebatas kenangan tak kasat mata, api kebebasan manusia Palestina bakal senantiasa menyala.
(JAFF 2025)
REVIEW - MAGELLAN
Selama 160 menit, yang notabene singkat untuk ukuran karya Lav Diaz, sang auteur Filipina tak memakai musik konvensional guna menciptakan keheningan menghantui, yang bersumber dari lingkaran kekerasan tanpa akhir sebagai akibat keserakahan berkedok agama oleh para manusia pendamba kejayaan.
Ferdinand Magellan (Gael García Bernal) adalah nama yang sering kita temui di buku pelajaran semasa SD. Begitu pula komandannya, Afonso de Albuquerque (Roger Alan Koza), yang memimpin penyerangan Portugis terhadap Malaka pada 1511. Warga lokal dibantai, pernak-pernik ritual keagamaan mereka pun diberangus. Semua dilakukan atas nama Raja Manuel I serta proselitisasi.
Selepas peperangan, Albuquerque berorasi di hadapan pasukannya, menyuarakan ambisi menyebarkan kekuasaan ke seluruh dunia, termasuk menghapus ajaran Islam. Tidak lama berselang, ia rubuh akibat terlalu mabuk. Sebuah pemandangan yang oleh bawahannya jadi tertawaan. Diaz pun ingin penonton bersikap serupa. Menertawakan kekonyolan manusia yang dimabuk oleh ambisi.
Diaz menerapkan rasio 1.33:1, seolah mengurung tokoh-tokohnya dalam kotak sempit bernama kesempitan pikir, yang di saat bersamaan nampak indah, menghipnotis, bahkan mencekam, misal pada sekuen pembuka yang mengambil latar beberapa tahun sebelum kedatangan pasukan Portugal, di mana sekelompok suku lokal mengadakan upacara adat.
Sebelum kembali ke kampung halaman, Magellan yang mengalami cedera di kaki akibat peperangan, ia membeli budak Cebuano yang diberi nama Enrique (Amado Arjay Babon). Di tengah perjalanan pulang, hujan deras mendadak menghajar hamparan sungai yang Magellan lewati. Satu lagi pemandangan bernuansa mistis, sewaktu langit seolah menangis menyaksikan nurani manusia yang makin menipis.
Berikutnya, Diaz menuturkan kisah berskala besar, mengajak kita mengarungi tahun-tahun dalam hidup sang protagonis yang penuh penolakan dan ilusi terhadap kebesaran diri. Ketimbang merawat Beatriz (Ângela Azeved), istrinya yang sedang hamil tua, Magellan justru membelot ke pihak Spanyol yang bersedia mendanai ekspedisinya mencari rute pelayaran baru sembari menyebarkan agama Kristen, menuruti hasratnya bersolek dengan kematian demi kejayaan semu.
Siklus kekerasan pun terus terulang akibat kolonialisme kulit putih, yang menganggap diri mereka, dengan segala teknologi mutakhir, ilmu pengetahuan terkini, perspektif atas Tuhan, juga sandang berkain mewah, lebih beradab daripada suku-suku Asia Tenggara yang bertelanjang bulat dan menyembah arwah leluhur. Tapi toh, sebagaimana Diaz suarakan secara lantang, "para pembawa modernisasi" ini justru jauh lebih barbar.
Di antara prinsip penceritaan slow cinema sang sutradara yang acap kali terasa menantang untuk disimak, Gael García Bernal memamerkan performa subtil yang menghadirkan personifikasi ambisi manusia, yang perlahan beralih menjadi keputusasaan menyedihkan. Aksi manusia menjual nama Tuhan hanya mendatangkan tragedi dengan semerbak aroma kematian, yang sayangnya masih berlanjut hingga lebih dari 500 tahun setelah era Magellan berlalu.
REVIEW - ZOOTOPIA 2
Serupa film pertama, Zootopia 2 punya bangunan dunia kokoh, di mana seluruh elemennya terasa hidup dan berjalan dengan aturan-aturan jelas. Keserakahan antagonisnya bukan sebatas kejahatan tanpa arti, tapi sebagai hewan teritorial, ia memang punya tendensi memperluas wilayah kekuasaan. Kulit luar filmnya memang dibuat over-the-top atas nama hiburan semua umur, namun jiwanya bergerak sebagaimana realita.
Jeda antar kedua film hampir satu dekade (sebuah anomali mengingat Zootopia mengeruk untung besar), tapi alur sekuelnya hanya berjarak seminggu dari konklusi pendahulunya. Judy Hopps (Ginnifer Goodwin) dan Nick Wilde (Jason Bateman) yang dielu-elukan bak pahlawan kini secara resmi berpartner di ZPD (Zootopia Police Department). Seekor kelinci dan rubah merah pun bersatu.
Nyatanya bukan perkara mudah menjalin relasi lintas spesies. Judy yang terlalu positif dan Nick yang cenderung negatif terus mengalami gesekan, berujung setumpuk kekacauan yang membuat posisi keduanya di kepolisian terancam. Ketimbang menyiasati konflik lewat obrolan hati ke hati, dua jagoan kita memilih menampik adanya masalah, memupuk disfungsi yang patut jadi bahan observasi setiap pasangan.
Naskah buatan Jared Bush (turut menyutradarai bersama Byron Howard) menjaga hubungan dua protagonisnya tetap di ranah platonik. Penonton anak bakal memandangnya sebagai persahabatan biasa, tapi di mata penonton dewasa lah keintiman yang urung berkembang ke arah percintaan ini akan terlihat unik. Isian suara Ginnifer Goodwin dan Jason Bateman yang sarat chemistry makin menguatkan pesona dua karakter utama. Mereka adalah individu yang benar-benar hidup, di tengah dunia yang tak kalah hidup.
Di balik peliknya friksi interpersonal tersebut, Judy dan Nick mesti mengusut kemunculan ular viper bernama Gary (Ke Huy Quan) yang ditengarai mengancam stabilitas kota. Sudah bertahun-tahun sejak ular (atau reptil secara general) yang ditakuti dan dipandang selaku ancaman, menginjak tanah Zootopia, yang seiring waktu akan kita telusuri sejarah kelamnya.
Komponen misteri berlandaskan subgenre komedi buddy cop yang cukup efektif menggamit atensi pun digelar, digerakkan oleh duo sutradaranya dengan tempo tinggi yang terbukti menjaga sisi hiburan filmnya. Humor yang enggan asal konyol, tapi secara cerdik terus merujuk pada mekanisme ekosistem yang telah dibangun pun tampil segar, sementara para pecinta sinema bakal kembali dipuaskan oleh sederet referensi, termasuk penghormatan terhadap salah satu karya Stanley Kubrick di babak ketiganya.
Progresi ceritanya tak pernah keluar dari pakem familiar khas animasi semua umur dalam lingkup arus utama Hollywood, pula tanpa dampak emosi yang manjur mengobrak-abrik perasaan penonton, namun Zootopia 2 adalah spektakel dengan daya pikat yang sukar ditolak. Shakira kembali memerankan Gazelle si diva, lalu membawakan lagu berjudul Zoo yang mudah menempel di kepala sekaligus memancing hentakan kaki. Keseluruhan film ini pun kurang lebih berlangsung demikian.
Sebuah twist telah menanti jelang babak akhir, yang bukan cuma mengejutkan, juga mendukung subteks kisahnya. Zootopia 2 memberi ruang bagi mereka yang merasa tidak pernah diterima, serta dikucilkan baik karena perbedaan fisik maupun perangai. Relevan, biarpun tidak seberapa menyentuh perasaan.

%20(1).png)

%20(1).png)





.png)

%20(1).png)