REVIEW - HANYA NAMAMU DALAM DOAKU
Karya penyutradaraan teranyar Reka Wijaya (Bolehkah Sekali Saja Kumenangis) ini berpusat pada suami sekaligus ayah dengan segala ketidakmampuannya berpikir jernih, yang berujung pada serangkaian kesalahan. Protagonisnya mungkin kurang simpatik, tapi membuat film mengenai orang bodoh bukanlah kesalahan. Hanya Namamu dalam Doaku memperlihatkan laki-laki dengan prinsipnya yang menolak goyah, sebodoh apa pun itu.
Arga (Vino G. Bastian) awalnya menjalani rumah tangga harmonis bersama Hanggini (Nirina Zubir). Keberadaan putri mereka, Nala (Anantya Kirana), makin melengkapi kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Lalu terjadilah guncangan tak terduga. Arga divonis menderita ALS (Amyotrophic lateral sclerosis), penyakit langka yang akan membuatnya kehilangan kemampuan motorik, sebelum akhirnya meninggal.
Manusia normal bakal memberitahukan kondisi itu pada keluarganya, mungkin membuat mereka terpukul sementara waktu, kemudian bangkit lalu berjalan beriringan hingga akhir hayat. Tapi didasari keenganan membebani Hanggini dan Nala, Arga memilih menyembunyikan penyakitnya. Hanya dua orang yang mengetahui kondisi Arga: Rio (Ge Pamungkas), sepupu sekaligus rekan kerjanya, kemudian Marisa (Naysila Mirdad), mantan pacarnya semasa SMA yang kini menjadi dokter. Sungguh jahat, egois, dan tentunya, bodoh.
Lambat laun Hanggini justru curiga bahwa Arga berselingkuh dengan Marisa. Nala yang cerdas pun segera memahami konflik orang tuanya. Arga enggan keluarganya terbebani, namun tanpa ia sadari, kebohongan itu malah memberi beban yang tidak kalah (atau bahkan lebih) berat. Begitulah laki-laki beserta kekakuan pikirnya yang sukar memandang permasalahan dari sudut pandang orang lain, juga tendensi mereka merahasiakan perihal yang sebaiknya tak dirahasiakan.
Santy Diliana dan Elin Yuma selaku penulis naskah paham betul sisi problematik dari laki-laki di atas. Apalagi bila telah berstatus kepala keluarga, yang membuat mereka membebani diri sendiri dengan beragam tanggung jawab, biarpun sang istri dan anak mengharapkan sebaliknya. Salah bila menganggap perempuan lebih keras kepala.
Hanya Namamu dalam Doaku mengambil risiko dengan bermain di garis batas antara "meromantisasi" dan "menyentil" fenomena tersebut. Bagi saya kuncinya terletak pada momen saat Rio dan Marissa, yang dipaksa oleh Arga menyembunyikan penyakitnya, nekat memberitahukan fakta itu pada Hanggini. Secara tidak langsung naskahnya membantah perspektif si protagonis, sehingga membuat filmnya masuk ke golongan kedua.
Akting jajaran pemainnya sungguh menawan, dari Vino yang mampu menghindari kesan karikatur kala di paruh kedua ALS telah merenggut banyak kapasitas motorik Arga, Nirina Zubir dengan ledakan emosinya yang terasa menusuk, hingga Anantya Kirana yang kembali menunjukkan kecerdasan akting layaknya pelakon dewasa. Ge Pamungkas pun cukup baik, hanya saja performanya di sebuah adegan pertengkaran dengan Nirina lebih efektif memancing tawa ketimbang pilu. Tapi metode pengarahan Reka Wijaya, terutama pilihan tata kameranya, turut bertanggung jawab atas kekonyolan tak disengaja itu.
Bagaimana membuat penonton terkoneksi dengan laki-laki seperti Arga? Ada alasan mengapa sinema arus utama cenderung menghindari tuturan yang memamerkan ketidaksempurnaan protagonisnya. Butuh kreativitas lebih untuk membuat penonton bersedia menaruh simpati, yang sayangnya belum film ini miliki. Bagaimana pengarahan Reka Wijaya menjauhi keklisean melodrama, dengan tak asal menggenjot kadar emosi hingga titik maksimal di tiap adegan memang patut diapresiasi, tapi di mayoritas kesempatan, Hanya Namamu dalam Doaku masih mengandalkan trik lama yang tak kuasa melandasi kompleksitasnya sendiri.
Di sepanjang kredit penutup kita melihat kondisi para penderita ALS di dunia nyata. Sembari berkaca-kaca, salah satu dokter yang menangani mereka menyamakan kematian pasiennya dengan "chapter buku yang sudah selesai ditulis oleh Tuhan". Momen tersebut jauh lebih indah, menyentuh, sekaligus kreatif dibanding yang filmnya tawarkan selama hampir dua jam.
Setidaknya, sebagaimana karya-karya Sinemaku lain, Hanya Namamu dalam Doaku menawarkan kesungguhan. Segala aspeknya dipastikan berjalan sesuai kaidah, mulai dari elemen medis mengenai ALS, pengingat untuk mencari opini kedua kala memeriksakan keluhan kesehatan, hingga perihal talak dan detail masa idah, yang oleh kebanyakan film bertema keluarga cenderung lalai diperhatikan.
REVIEW - PRETTY CRAZY
Pretty Crazy punya premis eksentrik tentang perempuan yang memiliki dua kepribadian akibat kutukan iblis, diisi para pemain dengan kapasitas komedik yang telah teruji, presentasinya pun dipenuhi kekonyolan. Tapi kalau kita lihat lebih dekat, film ini sesungguhnya cukup menyedihkan, karena menampilkan barisan karakter yang merasa tak pantas dicintai, atau mencintai hidup mereka sendiri.
Gil-gu (Ahn Bo-hyun) misalnya. Setelah keluar dari pekerjaan yang terlalu membebani mentalnya, ia menjadi pengangguran yang mengandalkan kemampuan bermain mesin capit untuk memenuhi kebutuhannya. Gil-gu kesepian, namun beranggapan bahwa kehidupan macam ini cocok untuknya. Setidaknya sampai kedatangan tetangga baru yang tinggal tepat di bawah apartemennya.
Si tetangga baru bernama Jang-su (Sung Dong-il). Dibantu putri tunggalnya, Sun-ji (Lim Yoon-a), serta keponakannya, Ara (Joo Hyun-young), ia membuka toko roti. Tapi bukan roti yang paling menyita perhatian Gil-gu, melainkan Sun-ji, perempuan tercantik yang pernah ia lihat.
Masalahnya satu: Sun-ji yang tutur katanya menyejukkan saat siang, mendadak berubah menjadi liar kala malam menjelang. Konon, semua akibat kutukan turun-temurun yang membuatnya kerasukan sesosok iblis. Alhasil, Jang-su mesti terjaga hingga fajar setiap harinya. Pikiran menikmati hidup pun ia buang jauh-jauh demi sang putri. Kelak terungkap bahwa si iblis bahkan punya kisah hidup yang lebih memilukan.
Tapi tak satu pun dari karakternya tenggelam dalam ratapan. Mereka menjadikan tawa sebagai cara mengakali luka, dan tawa itulah yang coba ditularkan oleh Lee Sang-geun (Exit), selaku sutradara sekaligus penulis naskah, kepada penonton. Materi yang ia sediakan, termasuk perihal humor, sebenarnya tidaklah istimewa. Ada banyak jalur bisa ditempuh oleh premis uniknya, namun penulisannya masih berkutat di rangkaian situasi familiar. Butuh waktu bagi Pretty Crazy untuk bisa tampil mencengkeram.
Situasinya berbalik selepas Gil-gu berani lepas dari segala kekhawatiran dan berniat membahagiakan iblis yang merasuki Sun-ji. Daya bunuh humornya menguat berkat kehandalan dua pelakonnya. Ahn Bo-hyun dengan gelagat canggung serta ekspresi komikalnya, dan Yoon-a yang piawai dalam hal berlaku gila ("dua wajah bertolak belakang" memang jadi pesonanya sejak awal berkarir sebagai idol), membangun dinamika jenaka antar karakternya.
Tentu sebagai produk sinema arus utama Korea Selatan, tidak peduli sekonyol apa pun presentasinya, Pretty Crazy takkan berpuas diri sebelum berhasil menguras tangis penonton. Lee Sang-geun justru menawarkan ide yang lebih segar di sini, baik selaku penulis maupun sutradara. Adegan "punggung ayah" yang efektif menyulut rasa haru tanpa terkesan murahan, hingga konklusi manis berlatar taburan kelopak bunga bagi kisah Gil-gu dan Sun-ji, akhirnya membawa tiap karakternya merasakan cinta lagi, dalam beragam bentuk, setelah sekian lama.
REVIEW - MATERIALISTS
Acap kali film romantis hadir layaknya dongeng dilengkapi pesan moral untuk tidak memandang sesuatu berdasarkan nilai komersial belaka. Tapi kita hidup di era yang cenderung mengedepankan sudut pandang sebaliknya, dan sebagai komedi romantis yang lahir pada era modern semacam itu, Materialists sadar betul akan fenomena tersebut, lalu alih-alih mengerdilkan satu sisi, memilih untuk menyeimbangkannya. Materi dan cinta tidak bisa eksis seorang diri.
"Apakah film yang diputar keliru?", begitu pikir saya sewaktu melihat adegan sepasang manusia purba dimabuk asmara. Tapi memang itulah cara Celine Song membuka filmnya. Diciptakannya komparasi, betapa dahulu jatuh cinta sungguh sederhana. Lompat ke ratusan tahun berselang, rangkaian bunga cantik saja tak cukup untuk meluluhkan hati pasangan. Ada banyak pertimbangan kompleks yang mesti dipikirkan.
Tata kamera arahan Shabier Kirchner menangkap kesibukan kota New York yang segera mengingatkan ke judul-judul romcom klasik, seiring perkenalan kita dengan Lucy (Dakota Johnson), karyawan perusahaan pencarian jodoh yang dikenal sebagai makcomblang terbaik. Sudah sembilan pasangan berujung mengucap janji suci setelah dipersatukan oleh Lucy. Di matanya, kecocokan dua manusia hanyalah penerapan rumus matematika.
Lucy sendiri tidak buru-buru mencari pasangan. Jika kelak harus menikah, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan laki-laki yang bukan cuma punya fisik rupawan (wajah ganteng, tubuh tinggi), pula kaya raya. Semakin banyak perempuan masa kini yang memasang standar serupa sehingga mendapat cap "matre" atau "terlalu pilih-pilih", seolah para laki-laki tidak memasang banyak standar dan sekadar mementingkan kemurnian hati.
Tapi toh deretan permintaan beberapa klien Lucy menunjukkan fakta sebaliknya. Laki-laki dengan obsesinya terhadap gadis muda beserta segala tetek bengek tampilan fisik lainnya juga tidak kalah ruwet. Materialists berhasil menyentil paham seksis yang sudah mengakar terlalu kuat di masyarakat tersebut.
Sampai di pesta pernikahan salah satu kliennya, Lucy berkenalan dengan Harry (Pedro Pascal), kakak dari pengantin laki-laki. Seorang pebisnis kaya raya dengan paras tampan, perawakan tanpa cela, selera mode kelas tinggi, penuh sopan santun pula. Sesosok laki-laki sempurna, yang saking langkanya, diberi status "unicorn" oleh perusahaan tempat Lucy bekerja. Di pesta yang sama, Lucy bertemu lagi dengan mantan kekasihnya, John (Chris Evans), yang bekerja sebagai pelayan katering di sela-sela upayanya mewujudkan mimpi menjadi aktor.
Song tidak menunggu lama sampai menumbuhkan api cinta segitiga di antara protagonisnya. Kali pertama tiga individu tersebut berada dalam satu frame, sang sutradara dengan jeli menciptakan momen canggung yang amat menggelitik. Begitulah bentuk elemen komedi Materialists. Bukan kekonyolan luar biasa, melainkan satir untuk menertawakan dinamika percintaan modern, yang presentasinya berpijak pada realisme.
Di kebanyakan film romantis, John bakal otomatis jadi figur jagoan. Seorang "people's champion" dari kalangan akar rumput, yang tak bergelimang harta dan berjuang keras mewujudkan cita-cita, baik dalam hal profesi maupun percintaan. Sudah selayaknya penonton dibuat berharap agar Lucy memilih John dalam romcom semacam ini bukan?
Menariknya, lewat sebuah kilas balik, Materialists membuat penonton bisa memahami alasan Lucy menjadi seorang materialistis, dan mengapa John bukanlah tipikal jagoan dalam film romantis. Song tidak mau menenggelamkan Lucy dalam kenaifan cinta, tapi juga enggan menjadikannya mesin penakar nilai komersial tanpa hati. Dakota Johnson dengan tatapan yang senantiasa menawarkan afeksi terhadap lawan bicaranya, mampu membentuk karakter Lucy sesuai visi sang sutradara tersebut.
Mana yang lebih baik? Harry dengan kekayaan serta keeleganan tutur katanya, atau John yang setelah sekian tahun masih mengingat minuman favorit Lucy? Pada akhirnya Materialists bukanlah soal pihak mana yang akhirnya dipilih, melainkan pengingat supaya kita bersedia meluangkan waktu untuk menimbang kedua sisi secara matang-matang. Bukan pula tentang pencarian atas kesempurnaan (Harry dan John memiliki "cacatnya" masing-masing), sebab mungkin benar adanya, bahwa "true perfection has to be imperfect".
REVIEW - CROSSING
"I hardly think it was a choice", ucap salah satu karakter dalam Crossing pada rekan seperjalanannya, yang mempertanyakan mengapa transpuan di Istanbul memilih hidup sebagai PSK. Kelak kita pun melihat bagaimana transpuan lain, yang ingin meniti karir sebagai pengacara, dipersulit kala membuat kartu identitas baru selepas beralih gender. Menjadi diri sendiri nyatanya bukan perkara gampang.
Lia (Mzia Arabuli), pensiunan guru sejarah asal Georgia, hendak melakukan perjalanan ke Istanbul guna mencari keponakannya, Tekla, dalam rangka menjalankan wasiat terakhir mendiang adiknya. Achi (Lucas Kankava), si pemuda berandalan yang konon mengetahui alamat Tekla di Istanbul pun turut serta.
Dua rekan seperjalanan ini amat bertolak belakang. Lia punya tujuan jelas dan nampak selalu tenang, sementara Achi lebih meledak-ledak dan bak menjalani hari semaunya. Ketika Lia dengan paham konservatifnya menganggap gaya berpakaian dan tingkah perempuan modern melucuti harga diri mereka, Achi yang lebih muda berpikiran sebaliknya. Tapi seiring waktu, naskah buatan sang sutradara, Levan Akin, mengungkap bahwa realita hakiki lebih kompleks dari kulit luarnya.
Lalu ada kisah mengenai Evrim (Deniz Dumanli), pengacara yang kerap jadi pembela kaum marginal. Evrim membuktikan bahwa tak semua transpuan merupakan PSK, tapi toh orang-orang tetap memandangnya remeh. Pada satu kesempatan, dua polisi menertawakan gelarnya sebagai pengacara, yang menurut mereka didapat dari rombongan sirkus alih-alih universitas.
Barisan karakter di atas akan saling bersinggungan jalan. Seperti judulnya, film ini berkisah tentang para individu yang "menyeberang", baik secara literal (melintasi negara dan/atau pulau) maupun figuratif (mengubah kepercayaan, memahami budaya serta perspektif baru, dll.). Akin memastikan cabang-cabang narasinya bertransisi dengan mulus, melahirkan perjalanan 106 menit yang begitu nyaman diikuti.
Crossing punya segalanya guna menciptakan melodrama penuh haru. Tiap karakternya memiliki alasan untuk terus berurai air mata. Tapi Akin memilih bentuk pengarahan yang mengedepankan sensitivitas elegan, di mana dampak emosi berasal dari deretan momen kecil sarat makna. Misal saat selepas berhubungan seks, Evrim dan sopir taksi bernama Ömer (Ziya Sudancikmaz), membahas soal alibi apa yang bakal dipakai bila polisi menilang mereka.
Melalui momen-momen kecil tersebut, Akin seolah memberi pelukan hangat pada para trans. Pada akhirnya perjalanan Lia bukan lagi (cuma) tentang menemukan keponakannya secara fisik, tapi juga spiritual. Lia melalui proses belajar untuk memahami jati diri Tekla beserta segala pilihan hidupnya, sebelum ditutup oleh konklusi yang luar biasa emosional, berkat kelihaian Akin menata momen emosional secara indah, sekaligus akting Mzia Arabuli yang efektif menusuk batin penontonnya.
(Klik Film)
REVIEW - TOGETHER
Together mempertanyakan natur dari hubungan romansa. Kebersamaan memang pondasi sebuah hubungan, di mana dua hati berdetak bak kesatuan. Tapi sejauh mana suatu kebersamaan masih bisa disebut sehat? Film ini membawa penontonnya menelusuri pertanyaan di atas, dalam perjalanan penuh pemandangan yang menyulut kegelisahan.
Millie (Alison Brie) adalah seorang guru, sedangkan Tim (Dave Franco) merupakan musisi dengan karir stagnan. Keduanya sudah berpacaran sekitar 10 tahun, namun tengah mengalami kerenggangan selepas kematian tragis orang tua Tim, yang amat mengguncang psikisnya. Di satu malam, Tim bermimpi melihat wajah menyeramkan ibunya, dalam adegan yang membuktikan kapasitas sang sutradara, Michael Shanks, mengemas kengerian yang menjauh dari pakem klise horor.
Karena Millie memperoleh pekerjaan di area pedesaan, Tim pun terpaksa meninggalkan karirnya untuk mengikuti si partner. Apakah ia laki-laki hebat yang bersedia berkorban demi kekasihnya? Justru sebaliknya, Millie merasa harus menyokong kehidupan Tim yang tak kunjung sukses dari musik, terutama setelah nekat keluar dari label.
Sederhananya, Tim menarik Millie untuk ikut terjatuh ke dalam lubang kegelapan. Bukan cuma hanya secara figuratif, juga literal, yang terjadi kala keduanya berjalan-jalan ke tengah hutan. Akibat sikap sok tahu Tim, mereka tersesat lalu terperangkap dalam gua bawah tanah aneh, yang jadi awal rangkaian peristiwa aneh.
Selama berada di gua, Tim menceritakan pengalaman masa kecil, saat tidak menyadari keberadaan bangkai tikus di kamarnya, akibat sudah terbiasa tidur menghirup bau busuknya. Cerita itu memberi pondasi bagi persoalan toxic relationship yang disentil oleh naskah buatan Michael Shanks. Karena sudah membiasakan diri selama kurang lebih satu dekade, Millie tak menyadari seberapa busuk bangkai bernama "Tim" dalam hubungan yang ia jalani.
Fenomena misterius mulai menimpa Millie dan Tim pasca keluar dari gua: tubuh mereka saling tarik-menarik bagai dua kutub magnet yang berusaha menyatu. Jika mengacu pada prinsip bahwa "semakin menyatu sebuah pasangan, semakin kuat hubungan mereka", bukankah kondisi itu terkesan positif?
Dari situlah Together mengawali diskursusnya. Masihkah kebersamaan patut diperjuangkan bila didasari ketergantungan berlebih? Apakah rasa "terbiasa" bersinonim dengan cinta? Pantaskah hubungan diteruskan jika membuat orang yang terlibat kehilangan jati diri individualnya? Atau malah kondisi tersebut merupakan bentuk pengorbanan?
Di tengah perenungan yang terkadang memamerkan situasi disturbing khas body horror tersebut, naskahnya masih sempat sesekali melempar humor, yang efektivitasnya disokong oleh chemistry Alison Brie dan Dave Franco selaku pasutri dunia nyata. Mereka berlaku layaknya dua protagonis dari komedi romantis, dan memang itulah keunikan utama Together. Hilangkan adegan-adegan menyakitkan seperti tangan yang digergaji, dua alat kelamin yang tiba-tiba merekat kuat, atau bola mata yang saling terikat, maka film ini bakal berubah jadi komedi romantis mengenai hubungan yang pelan-pelan mengalami keruntuhan.
Beberapa waktu belakangan kerap disebut sebagai "era keemasan baru" untuk film horor. Saya rasa salah satu faktornya berasal dari sifat irasional dalam horor, yang memfasilitasi para sineas untuk berpikir bebas, sehingga mampu secara terus-menerus mengembangkan konsep usang ke arah yang lebih segar. Together termasuk salah satu agen dari revolusi tersebut.
REVIEW - TINGGAL MENINGGAL
Saya tidak ingat kapan terakhir kali sutradara Indonesia, terutama dari area arus utama, muncul lewat debut seberani dan sekreatif ini. Melalui Tinggal Meninggal, Kristo Immanuel bukan cuma melenggang memasuki industri. Dia mendobrak pintunya hingga hancur, lalu memperkenalkan diri dengan suara begitu lantang bersenjatakan kepercayaan diri yang mampu mengguncang seisi ruangan.
Menariknya, protagonis film ini yang konon dibuat berdasarkan sosok Kristo sendiri, punya citra berlawanan. Namanya Gema (Omara Esteghlal), dan rasa percaya diri bukan sesuatu yang ia kenal baik akibat tumbuh di keluarga disfungsional. Ayahnya (Gilbert Pattiruhu) gemar menipu orang lewat bisnis MLM sebelum akhirnya kabur dan menikah lagi, sedangkan sang ibu (Nirina Zubir) lebih sibuk berpacaran ketimbang menemani Gema.
Karakter kucing dari kartun televisi yang kerap bicara ke penonton pun jadi panutannya, sehingga Gema juga sering melakukan hal serupa. Breaking the fourth wall jadi salah satu ciri karakternya. Naskah buatan Kristo dan Jessica Tiju memberi alasan di balik tendensi protagonisnya mendobrak dinding keempat. Bukan semata gaya-gayaan, melainkan pertanda betapa sepinya hidup Gema, sampai mengajak bicara kita yang tak kasatmata baginya.
Sungguh luar biasa performa Omara selama menghidupkan Gema. Bukan semata berpura-pura, tapi sepenuhnya "menjadi", bertransformasi sebagai figur canggung hingga ke detail-detail gestur kecil. Sewaktu latarnya beralih ke kantor Gema, Tinggal Meninggal pun berubah dari pertunjukan tunggal Omara Esteghlal, menjadi kombinasi ensambel yang saling menguatkan.
Semua berawal dari kabar kematian sang ayah. Gema yang tadinya terasing, mendadak memperoleh perhatian dari teman-temannya: Adriana (Shindy Huang) lewat topik pembicaraan acaknya, Naya (Nada Novia) si maniak media sosial, Danu (Mario Caesar) dengan beragam cerita liburannya, Pak Cokro (Muhadkly Acho) selaku bos yang ingin dianggap muda, Ilham (Ardit Erwandha) dan segala pertanyaan nihil sensitivitasnya, hingga Kerin (Mawar Eva) yang jadi representasi (atau parodi?) generasi masa kini beserta kesadaran sosial mereka. Nama-nama di atas punya porsi bersinar masing-masing.
Tapi bagaimana bila fase berkabung telah usai? Apakah perhatian mereka bakal turut lenyap? Kalau demikian, siapa lagi yang mesti meninggal supaya Gema tetap mendapatkan atensi? Problematika tersebut bakal menggiring Gema mengambil beragam keputusan, yang semakin lama semakin gila hingga mencapai point of no return, sembari kisahnya turut menyentil soal dinamika sosial era modern, yang seolah menyulitkan individu bersikap apa adanya supaya dapat merasa diterima.
Gema mungkin melakukan banyak tindakan ekstrim, tapi penonton akan selalu menemukan sisi relatable dari sang protagonis. Misalnya saya, yang seperti Gema, sering kebingungan harus berkata apa kala menghampiri sekumpulan teman yang sudah asyik dalam pembicaraan mereka. Mungkin di luar sana banyak juga yang merasakan kedekatan dengan Gema, entah terkait perilaku, dinamika sosial, atau kondisi keluarganya.
Sebagai sutradara, Kristo membawa visi kuat. Entah berapa banyak sutradara debutan bisa membanggakan hal tersebut. Tengok pilihan musiknya, entah penggunaan lagu Setengah Lima milik Sore di sebuah "adegan meninggal", maupun komposisi jazz chaotic gubahan Nic Edwin yang dipakai untuk mewakili kecemasan si protagonis, tak ada yang sebatas mengikuti formula.
Begitu pula mengenai pengadeganan sang sutradara. Pengarahan komedik dengan presisi timing tingkat tinggi, pula momen emosional yang mengutamakan keindahan untuk menolak pakem "asal banjir air mata" khas melodrama, keduanya berkelindan, melahirkan dampak yang janggal (secara positif), tatkala kejenakaan dan kegetiran mampu eksis di saat bersamaan. Saya tertawa, sambil merasakan pilu bak tengah ditusuk-tusuk dalam hati.
Pilihan konklusinya mungkin bakal memecah opini penonton. Saya sendiri beranggapan bahwa di titik itu, Kristo semestinya tidak perlu lagi memaksakan filmnya tampil beda, atau terlalu takut menjamah area melodrama. Tapi harus diakui kalau ending tersebut konsisten dengan gaya yang sudah dibangun selama dua jam durasinya. Karena Tinggal Meninggal bukan bertujuan memenuhi ekspektasi masyarakat luas, melainkan representasi bagi individu yang kerap dicap "aneh", bahkan dianggap minim kepedulian, meski sejatinya mereka diam-diam menaruh perhatian besar, biarpun sambil berdiam diri di sudutnya sendiri.