REVIEW - TANDUK SETAN

Ulama masih berlainan pendapat terkait pemaknaan soal dua tanduk setan yang mengiringi terbit dan tenggelamnya matahari sebagaimana disebut dalam hadis. Film Tanduk Setan punya interpretasinya sendiri, dengan menyamakan matahari dengan kehidupan manusia, sedangkan siklus terbit dan tenggelam ibarat kelahiran dan kematian. 

Tanduk Setan adalah antologi berisi dua cerita. Entah kenapa materi promosinya seolah malu-malu untuk membeberkan informasi itu. Cerita pertama yang bertajuk Kelahiran dibesut oleh Amriy R. Suwardi, sedangkan cerita kedua, Kematian, lahir dari kepala Bobby Prasetyo. Keduanya menyoroti dosa-dosa yang menyulitkan terjadinya dua siklus tersebut. 

Di Kelahiran ada Jaya (Boy Muhammad) yang tengah menanti proses persalinan istrinya, Sumirah (Nur Mayati). Tapi kelahiran si jabang bayi tidak terjadi dengan mudah. Hari telah berganti hari, dan Sumirah tak kunjung melahirkan. Di saat bersamaan, Jaya nampak sulit diandalkan dan serba kebingungan dalam segala situasi. 

Sewaktu dua kawannya datang menjenguk, mereka membahas bagaimana Jaya enggan mendaftar bekerja di pabrik, semata karena ia pesimis bakal diterima. Akibatnya, kini Jaya cuma kerja serabutan, sehingga bingung mesti bagaimana membiayai akikah calon anaknya. Hari itu, Jaya dengan santai bermain gim dengan teman-temannya sampai subuh, bak tanda sedikit pun kekhawatiran atas kondisi Sumirah. Jelas bahwa Jaya belum siap memiliki momongan. 

Amriy R. Suwardi tak menggerakkan filmnya sesuai pakem konvensional, setidaknya di paruh awal yang mengesampingkan formula parade penampakan setan khas horor arus utama. Temponya merayap perlahan membungkus obrolan kasual yang bertujuan membangun penokohan sang protagonis, sambil sesekali mengingatkan bahwa kita sedang menonton film horor lewat beberapa fenomena misterius yang mengiringi persalinan Sumirah. 

Kemudian di Kematian kita melihat bagaimana Nur (Taskya Namya) bingung menangani sang ibu yang kesulitan menyambut ajal akibat susuk yang ia tanam semasa muda guna mencari nafkah. Di sini pun terdapat sosok ayah (Rukman Rosadi) yang tak bisa diandalkan, dan sekadar duduk mengamati dari sudut ruangan sembari mengisap rokok. Apakah Tanduk Setan memang ingin menyentil dinamika gender? Entahlah. Naskahnya tak pernah melakukan eksplorasi secara signifikan.

Ketika kisah pertama punya durasi sekitar 55 menit, maka kisah kedua cuma bergulir selama 20 menit. Entah apa alasan di balik perbandingan jomplang tersebut, tapi dampaknya, Kematian terasa jauh lebih padat. Diiringi musik gubahan Fajar Ahadi yang dibuat untuk membangun urgensi alih-alih asal berisik, pacing-nya tersaji solid. Lalu seiring kemunculan twist yang cukup efektif, filmnya berakhir sebelum ia berlangsung terlampau lama. 

Keunggulan itu tak dipunyai Kelahiran yang babak ketiganya penuh adegan berlarut-larut yang berjalan jauh lebih lama dari kebutuhan. Alhasil intensitas yang dimiliki babak pertama pun luntur. Amriy sempat membawa ide menarik kala membuat para hantu menampakkan diri dalam wujud yang terdistorsi di tengah hutan. Mungkin sang sutradara ingin meniru kondisi mata manusia ketika melihat hantu di dunia nyata, yang mana merupakan gagasan unik, namun sekali lagi, tempo yang draggy, ditambah terlalu gelapnya pengadeganan, membuat ide itu kehilangan kengeriannya. 

Tanduk Setan memang menampilkan kualitas terbaiknya sewaktu tidak sedang berkutat di penampakan hantu. Sebab pada dasarnya ia didesain sebagai cerita mistis alih-alih horor konvensional. Kumpulan cerita di mana umat manusia menuai dosa yang dahulu mereka tanam. 

REVIEW - AMERICAN FICTION

American Fiction adalah fiksi tentang cara menceritakan realita, dan bagaimana realita dibawa ke medium fiksi. Sebuah proses menuangkan hal nyata ke dalam karya tak nyata, yang masing-masing dibedakan oleh pengalaman tiap pembuatnya serta tujuan di balik pembuatan karya tersebut. Adanya perbedaan-perbedaan itu membuat penghakiman atas karya semestinya tidak terjadi dengan mudah dan asal. 

Thelonious "Monk" Ellison (Jeffrey Wright) adalah pria kulit hitam kelas menengah ke atas. Selain menjadi profesor di Los Angeles, ia pun menulis beberapa novel, yang meski gagal di pasaran namun mendapat pujian akademik. Monk pernah berujar bahwa ia "tidak percaya pada konsep ras", serta menganggap karya literatur yang hanya menjual penderitaan kulit hitam sebagai upaya memenuhi hasrat kulit putih semata. 

Di salah satu kelasnya, seorang mahasiswi kulit putih mengutarakan ketidaknyamanan membahas literatur yang mengandung "N" word di judulnya. Monk menampik penolakan si mahasiswi yang akhirnya memilih keluar dari kelas. Bahkan saat orang kulit putih berpikir memakai perspektif "woke", mereka tetap membungkam minoritas. Ironis. 

Mungkin itu pula alasan karya Monk tidak laku. Berlawanan dengan keinginan Monk, novelnya yang membahas kultur Yunani kuno dipajang di seksi black literature, di saat para pembaca mengharapkan kisah pilu minim kebahagiaan dari "buku kulit hitam". 

Masalah dengan mahasiswi tadi memaksa Monk cuti sementara waktu dan pulang ke Boston, di mana ia: mengunjungi ibunya, Agnes (Leslie Uggams), yang menunjukkan tanda-tanda alzheimer; menemui adiknya, Lisa (Tracee Ellis Ross), yang merasa ditinggal seorang diri untuk merawat sang ibu; bertemu lagi dengan si adik bungsu, Cliff (Sterling K. Brown) yang seorang gay; pula berkenalan dengan pengacara bernama Coraline (Erika Alexander) yang menarik hati Monk. 

Mengadaptasi novel Erasure karya Percival Everett, naskah buatan sang sutradara, Cord Jefferson, begitu cerdik menyusun penokohan. Berbagai informasi yang melandasi karakter mereka (Masalah seluruh anggota keluarga Monk, nasib ayah mereka, dll.) dengan jeli diungkap lewat obrolan kasual yang tak pernah terkesan seperti eksposisi. Alhasil penonton akan benar-benar mengenal karakternya secara organik ketimbang merasa "dipaksa berkenalan". 

Di departemen musik, Laura Karpman merangkai nomor-nomor jazz yang indah, punya rasa, walau tidak jarang bergerak liar. Sama seperti dinamika antar karakternya, juga bagaimana para cast-nya memerankan mereka. Tatkala Jeffrey Wright tampil bak musik jazz bertempo rendah yang meski terkesan tenang bukan berarti tanpa hentakan, Sterling K. Brown ibarat sesi improvisasi yang bergulir liar tanpa kehilangan kepekaan rasa. 

Nantinya, Monk iseng menulis novel yang memenuhi dahaga para pembaca akan kisah pilu orang kulit hitam sebagai bentuk ejekan, yang justru membawanya melewati titik balik kehidupan yang tak terduga. Di situlah American Fiction makin gencar melempar sindiran menggelitik, yang meskipun tajam, tak pernah dipenuhi kebencian. 

Di sudut berlawanan dengan sang protagonis ada Sintara Golden (Issa Rae), penulis novel We's Lives in Da Ghetto yang Monk benci karena dianggapnya cuma memenuhi stereotip kulit hitam di mata kulit putih. Jefferson menghadirkan adegan menarik saat mempertemukan dua penulis tersebut, memberi mereka ruang diskusi yang membantu kita memahami sudut pandang masing-masing. 

American Fiction adalah curahan keresahan yang pantang begitu saja menyalahkan. Monk si kelas menengah ke atas dengan segala privilege yang memfasilitasinya berpikir kritis, Sintara yang ingin mengentaskan diri dari penderitaan yang sudah kenyang ia konsumsi, tak satu pun disalahkan maupun direndahkan. Satu-satunya yang film ini gambarkan bak karikatur adalah orang kulit putih yang mengeksploitasi luka para minoritas atas nama komoditas.

(Prime Video) 

REVIEW - KUYANG: SEKUTU IBLIS YANG SELALU MENGINTAI

Masalah banyak horor Indonesia terletak pada ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) pembuatnya untuk secara serius mengolah mitologi mistis tanah air, yang seperti kita tahu, amat beragam. Alhasil, sajian dangkal yang hanya diisi penampakan ala kadarnya dari para hantu mendominasi layar bioskop. Untunglah Kuyang: Sekutu Iblis yang Selalu Mengintai cenderung hadir sebagai solusi alih-alih bagian dari masalah. 

Alim Sudio bertugas menulis naskahnya yang mengadaptasi novel berjudul sama buatan Achmad Benbela, dan selama 97 menit durasi, ragam budaya klenik Kalimantan benar-benar ia jadikan pondasi penceritaan. 

Bimo (Dimas Aditya) bersama istrinya yang tengah hamil, Sriatun (Alyssa Abidin), baru pindah ke sebuah desa terpencil di Kalimantan. Bimo baru mendapat pekerjaan baru sebagai guru di SD yang hanya memiliki tujuh murid. 

Tapi bahkan sebelum mereka tiba di desa, berbagai fenomena aneh telah menghampiri. Selain kuyang, muncul pula gangguan dari peti mati yang bergerak sendiri yang disebut "raung". Di desa tersebut, peti mati tidak dikubur melainkan digantung di pepohonan, dan raung sendiri berasal dari peti orang yang semasa hidupnya memiliki ilmu hitam. Melempar telur adalah cara untuk mengalihkan perhatian raung. 

Begitulah cara film ini membuka alurnya. Menarik. Sekali lagi, kultur mistis (yang masih jarang diangkat ke layar lebar oleh sinema arus utama) bukan pernak-pernik numpang lewat semata. 

Kemudian, pasca lepas dari teror-teror tadi, Bimo dan Sriatun mulai berkenalan dengan para warga lokal: Kasno (Totos Rasiti) si kepala sekolah yang juga pendatang; Tingen (Andri Mashadi), guru dengan pemahaman tinggi soal klenik; hingga Tambi Nyai (Elly D. Luthan) dan Bue Alang (Egy Fedly), pasutri uzur yang dikucilkan warga karena ilmu hitam mereka ditengarai jadi penyebab banjir bandang yang menewaskan banyak nyawa beberapa tahun lalu. 

Tidak butuh waktu lama sampai Bimo dan Sriatun kembali mendapat gangguan mistis. Setelah menyaksikan sedemikian banyak peristiwa di luar nalar, tatkala Sriatun bercerita mengenai penampakan yang baru ia lihat, Bimo malah menganggap sang istri cuma kelelahan. Antara naskahnya kurang cermat, atau sebaliknya, sebuah kesengajaan selaku bentuk sentilan terhadap tendensi suami mengerdilkan perkataan istri. Jika yang kedua, maka naskahnya perlu tambahan eksplorasi untuk menjadikannya kritik yang kuat. 

Menurut Mina Uwe (Putri Ayudya), dukun setempat yang berjanji bakal memberi perlindungan, Tambi Nyai dan Bue Alang adalah biang segala teror tadi. Twist-nya sudah tercium sejak konflik mulai diperkenalkan, tapi bukan masalah, sebab naskahnya mampu menjalin penceritaan slow burn yang mengalir rapi, tidak buru-buru mengumbar penampakan, dan dipenuhi elemen kultural menarik. 

Deretan gagasan mengenai teror yang dikreasi oleh Alim Sudio terdengar menyeramkan di atas kertas, sayangnya penyutradaraan Yongki Ongestu, biarpun merupakan peningkatan dibanding Tarian Lengger Maut (2021) selaku debutnya, masih kurang maksimal mengolah kengerian. 

Beberapa set piece penampakan hantu terlihat canggung, tapi visinya dalam mengolah intensitas dalam adegan bertempo tinggi patut diapresiasi. Lihat bagaimana Yongki, yang turut menduduki posisi sinematografer, menggerakkan kamera secara dinamis guna mengikuti Bimo yang tengah berlarian mencari Sriatun. 

Satu hal yang kerap didengungkan selaku materi promosi adalah penggunaan CGI untuk menghidupkan sosok kuyang. Produk akhirnya memang memuaskan. Tidak ada efek yang nampak memalukan, termasuk saat dengan percaya diri, sang sutradara secara gamblang memperlihatkan kepala kuyang terlepas dari tubuhnya.

Di jajaran pemain, Dimas Aditya tampil total dalam menyampaikan rasa takut serta keputusasaan yang Bimo alami kepada penonton, sementara Putri Ayudya menyulap kalimat klise "Lihat apa kau?" menjadi situasi yang mencekam. 

Satu penampilan yang agak mendistraksi berasal dari Totos Rasiti, tatkala perangainya yang jenaka bahkan ketika sedang berusaha serius, tidak jarang berlawanan dengan suasana yang hendak dibangun. Apakah sampai merusak filmnya? Untungnya tidak. Kuyang: Sekutu Iblis yang Selalu Mengintai tetap sebuah kejutan menyenangkan di awal tahun, yang memberi secercah harapan bahwa 2024 bakal menandai peningkatan kualitas horor Indonesia.

REVIEW - KUNG FU PANDA 4

Kung Fu Panda 4 menandai kali pertama installment di seri Kung Fu Panda dibuat dengan biaya di bawah 100 juta dollar. Tanpa kehadiran jajaran pengisi suara Furious Five (Angelina Jolie, Jackie Chan, Seth Rogen, David Cross, Lucy Liu) ia memang bagaikan paket hemat. Tidak semua paket hemat punya kualitas inferior, tapi film garapan Mike Mitchell (Shrek Forever After, Trolls, The Lego Movie 2: The Second Part) ini memang yang terlemah dalam franchise-nya, biarpun masih memiliki daya hibur.

Senada dengan tren industri masa kini, filmnya mengusung tema "melempar tongkat estafet". Terlalu dini? Mungkin, mengingat film pertamanya baru berusia 16 tahun. Tapi masalahnya bukan di situ, melainkan bagaimana trio Jonathan Aibel, Glenn Berger, dan Darren Lemke selaku penulis naskah, tidak pernah melakukan eksplorasi memadai untuk tema tersebut.

Masalah apa yang bisa menyulitkan Po (Jack Black) di puncak kejayaannya sebagai Pendekar Naga? Jawabannya bukan lawan pemilik jurus-jurus sakti, tapi keharusan meninggalkan kejayaan tersebut, saat Master Shifu (Dustin Hoffman) mengarahkan Po mengisi posisi pemimpin spiritual. Artinya, Po mesti menanggalkan status Pendekar Naga yang amat berharga baginya, sekaligus menunjuk penerusnya. 

Di saat bersamaan, muncul ancaman baru dari penyihir bernama The Chameleon (Viola Davis) yang punya kemampuan berubah wujud. Satu-satunya yang dapat membantu Po mencari keberadaan sang penyihir adalah Zhen (Awkwafina) si pencuri licik. 

Kita tahu nantinya Zhen bakal menjadi Pendekar Naga yang baru. Kita tahu Po yang awalnya tak menyukai kelicikan Zhen akan melihat "sesuatu" dalam diri si rubah korsak. Po menuruti petuah Master Shifu untuk mengikuti kata hati, tatkala logika pikir tak membantunya menemukan jawaban. 

Wajar Po berpikir demikian, namun para penulis naskah tak semestinya memakai prinsip serupa. Mereka tidak bisa menuntut penonton begitu saja memercayai sesuatu yang sukar dipercaya, atau dalam konteks film ini, meyakini bahwa Zhen pantas meneruskan jejak Po. Alurnya tak pernah memberikan eksplorasi memadai untuk karakternya, sewaktu 94 menit durasi sebatas diisi petualangan generik yang pesonanya cepat memudar (baca: seiring waktu semakin membosankan), juga deretan humor yang hanya memproduksi senyum simpul alih-alih tawa lepas.

Penceritaannya seperti kebingungan menentukan arah akibat banyaknya distraksi. Selain dituntut mengenalkan karakter baru sepenting Zhen dalam waktu singkat, ia masih harus mengolah proses Po berdamai dengan egonya. Belum lagi subplot yang sejatinya tak perlu mengenai dua ayah Po, Mr. Ping (James Hong) dan Li Shan (Bryan Cranston), yang turut terlibat petualangan karena mengkhawatirkan keselamatan putera mereka. 

Untunglah visualnya masih tampil solid (walau tetap penurunan dibanding film-film sebelumnya) sehingga cerita medioker tak membuat perjalanan Po sepenuhnya hambar. Warna-warni langit magis yang menjauh dari keklisean gaya animasi arus utama Hollywood, hingga tekstur ala lukisan yang membungkus kilas balik kehidupan Zhen, semuanya menyenangkan untuk dipandang.

Mike Mitchell pun sanggup mengarahkan deretan aksi dengan gerak dinamis, termasuk klimaks yang jadi parade visual memikat. Kemampuan seri Kung Fu Panda menghibur penontonnya mampu film ini pertahankan, biarpun bagi franchise yang memiliki slogan se-exciting "Skadoosh!", Kung Fu Panda 4 kekurangan energi yang membuat tiga judul pertama amat dicintai. 

REVIEW - THE ZONE OF INTEREST

Layar hitam membuka The Zone of Interest, dan selama dua menit ke depan hanya itulah yang mata kita lihat, sementara musik atmosferik garapan Mica Levi terdengar menghantui. Mungkin ini semacam latihan sensoris bagi penonton, supaya terbiasa untuk membuka telinga lebar-lebar sepanjang 105 menit durasi filmnya. 

Adaptasi novel berjudul sama karya Martin Amis ini memang proses latihan, baik bagi Jonathan Glazer selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang ingin mengasah teknik bertuturnya, maupun penonton yang disuguhi cara berbeda dalam menikmati sinema.

Alkisah hiduplah Rudolf Höss (Christian Friedel) bersama sang istri, Hedwig (Sandra Hüller), beserta kelima anak mereka. Kebun yang terawat indah menghiasi sekeliling rumah Keluarga Höss. Di pagi hari sang ayah berangkat kerja, sang ibu mengurus rumah dibantu beberapa asisten, sedangkan para bocah berlarian di alam sekitar. Sewaktu sang ayah berulang tahun, anak dan istrinya memberi kejutan berupa kano. 

"Sungguh hidup yang sempurna" adalah reaksi yang bakal hadir jika kita cuma berfokus pada indera penglihatan. Tapi The Zone of Interest adalah suguhan yang "menipu". Kisah sesungguhnya justru tidak pernah penonton saksikan langsung. Semua terjadi di belakang sebagai latar, dan kita hanya mendengarnya. 

Rudolf Höss adalah komandan di kamp konsentrasi Auschwitz. Bukan cuma itu, rumahnya terletak tepat di samping kamp. Segala tawa menunjukkan kebahagiaan Höss sekeluarga terjadi bersamaan dengan teriakan penderitaan orang-orang Yahudi yang disiksa lalu dibakar hidup-hidup. Kita mendengar teriakan-teriakan tersebut. Sesekali lesatan peluru senapan turut terdengar. Entah apa (atau siapa) yang menjadi target, tapi besar kemungkinan satu nyawa melayang saat itu. 

Tata suara garapan Tarn Willers dan Johnnie Burn diganjar nominasi Oscar, yang mana pantas mereka dapatkan. Suara-suara dari kamp konsentrasi terdengar menghantui, namun tetap dalam kapasitasnya sebagai "latar". Karena memang itulah poin utama dari suara teriakan tersebut. Sesuatu yang acap kali cuma sayup-sayup terdengar, tetapi mustahil dilewatkan oleh telinga. 

Tentu Keluarga Höss mampu mendengarnya. Mereka hanya tidak peduli. Rudolph membahas desain krematorium baru bagi para tahanan seolah itu tak lebih dari obrolan bisnis biasa, sementara Hedwig dengan santai menjajal baju milik korban yang telah tewas. 

Di satu titik, ibu Hedwig, Linna (Imogen Kogge), datang berkunjung. Berulang kali diucapkannya rasa syukur melihat kediaman sang puteri yang bagaikan taman surga. Di malam hari, Linna melihat asap keluar dari cerobong krematorium. Pemandangan itu amat mengguncang Linna yang buru-buru pergi sebelum pagi menjelang. Jika bersedia membuka mata, telinga, dan tentunya hati, mudah untuk menyadari betapa tidak manusiawinya Rudolf dan Hedwig. 

Christian Friedel dan Sandra Hüller tampil meyakinkan sebagai manusia yang kehilangan kemanusiaan. Keserakahan dan ego menguasai keduanya, sampai luput menyadari lingkungan yang tak ideal itu pelan-pelan menggerogoti psikis anak-anak mereka. Si anak sulung sempat mengurung adiknya di rumah kaca. Dia  tersenyum, menikmati rasa takut "si korban", sebagaimana ayahnya menikmati pembantaian yang ia lakukan. 

Gaya bercerita Glazer yang menjauhi pakem standar bernarasi menjadikan The Zone of Interest sebuah presentasi yang tidak gampang dinikmati. Letupan emosi khas kisah holocaust dihapuskan, pun poin utama filmnya telah tersampaikan hanya dalam beberapa menit (format film pendek rasanya bakal jauh lebih efektif). Tapi selaku seniman yang sedang bereksperimen, Glazer sukses mencapai tujuannya. 

The Zone of Interest berhasil membungkus cerita yang sejak pertama dikupas oleh Night Train to Munich (1940) entah sudah berapa ribu kali diangkat secara unik. Sewaktu formula visualnya mendadak berbalik 180 derajat dalam sekuen mengenai gadis cilik yang menyelundupkan buah ke kamp yang ditangkap memakai kamera thermal, Glazer membuktikan keliaran eksplorasinya. 

Di paruh kedua, konflik internal keluarga meruncing ketika Rudolf naik pangkat dan mesti pindah ke Oranienburg. Hedwig menolak pergi meninggalkan rumah mereka di Auschwitz, sembari secara emosional membicarakan soal cita-cita dan impian. Hedwig memikirkan perihal kehidupan tatkala di dekatnya jutaan manusia mengakrabi kematian. Biarpun mengambil latar 80 tahun lalu, The Zone of Interest ternyata lebih relevan dari kelihatannya.  

REVIEW - MENDUNG TANPO UDAN

Mendung Tanpo Udan ibarat amalgam dari hidup para mahasiswa Jogja. Entah sudah berapa kali saya menjadi saksi mata, baik dalam perjalanan orang-orang di sekitar maupun diri sendiri. Keunggulannya bukan soal kesegaran atau kebaruan, melainkan akurasinya menggambarkan realita mahasiswa di "Kota Pelajar", khususnya mereka yang lebih banyak belajar langsung dari kehidupan.

Protagonisnya adalah Udan (Erick Estrada), yang jatuh cinta pada Mendung (Yunita Siregar), dan memiliki sahabat bernama Awan (Kery Astina). Penamaan karakter memang bukan kelebihan film ini, namun naskah buatan sutradara Kris Budiman bersama Agit Hemon, Gian Luigi, dan Tony C. Sihombing unggul dalam hal mengolah karakter-karakter itu.

Udah bukan tipikal jagoan film romansa pada umumnya. Bukan pria "kebule-bulean"atau  "kearab-araban" yang banyak dielu-elukan ketampanannya. Dia adalah mahasiswa (tua) Jogja kebanyakan, yang punya pemikiran "berbeda" dengan membenci perayaan ulang tahun, pun sering lalai menegakkan kedisiplinan terkait waktu, yang tidak jarang memancing respon "Niat ora?!" dari teman-temannya. 

Udan tengah berada di persimpangan jalan. Skripsinya sudah lama mangkrak, tapi ia ngotot mengejar idealisme sebagai musisi. Idealisme berkesenian yang berbenturan dengan kepentingan akademis memang pemandangan wajar di kota ini. Tapi idealisme Udan agak kelewatan. Tatkala lagu buatannya mendapat tawaran tinggi, Udan menolak saat tahu karyanya bakal diaransemen ulang menjadi koplo. 

Padahal di titik itu ia sudah benar-benar terhimpit. Kuliah stagnan, kondisi ekonomi menipis, sedangkan kesabaran sang kekasih, Mendung, tak banyak tersisa. Pengorbanan Mendung tidaklah kecil. Ditundanya cita-cita bekerja di perusahaan impian di Jakarta hanya untuk menemani sang kekasih yang tak kunjung berubah. Bahkan Udan menanggap Mendung yang kekanak-kanakan. 

Kengototan serta egoisme Udan menjadikannya sosok menyebalkan, dan itu merupakan wujud karakterisasi yang disengaja. Mendung Tanpo Udan tidak menghantarkan proses persatuan dua insan, melainkan perpisahan, dengan pendekatan yang mengingatkan pada (500) Days of Summer (2009) dan On Your Wedding Day (2018). 

Jangan menganggap komparasi di atas sebagai spoiler yang akan mengacaukan pengalaman menonton, sebab Mendung Tanpo Udan lebih menyoroti proses ketimbang hasil. Sama seperti Jogja. Sebuah kota yang mempersiapkan individu untuk tampil di atas panggung pertunjukan bernama "realita", dan orang-orang "keras" seperti Udan harus terlebih dahulu "diantemi urip" sebelum dinyatakan siap. 

Erick Estrada tidak menyia-nyiakan peluang, dengan menambahkan bobot yang makin menjauhkan Udan dari tipikal protagonis cerita romansa. Letupan rasanya kuat, dan terpenting, organik. Tidak dibuat-buat. Erick berjasa membantu Kris Budiman memproduksi beberapa adegan emosional. 

Misal saat Awan berpamitan ke Udan sebelum pindah ke Bandung untuk bekerja (ditinggal sahabat kental yang siap "melangkah" adalah realita yang mesti dihadapi banyak mahasiswa tua Jogja), atau sewaktu Udan mengunjungi sang ibu di Kulon Progo. Pada akhirnya, saat tamparan hidup sedemikian keras dan kita tiba di jalan buntu, orang tua memang selalu jadi tempat mengadu. 

Di sela-sela kesehariannya, Udan rutin mampir ke bengkel milik Mas Joss (Bima Trea Setiawan). Uangnya tak cukup untuk menyesap secangkir kopi kafe. Di bengkel, Udan hanya nongkrong, bersantai, berkeluh kesah, sambil sesekali mengobati pilu dengan saling melempar "gojek kere" bersama teman-teman, yang mungkin tidak selalu lucu. Sederhana. Begitulah Yogyakarta dengan segala keistimewaannya. 

REVIEW - EXHUMA

Hanya segelintir horor mampu membangkitkan kengerian sekuat Exhuma, yang berbekal "sense of impending doom" miliknya, sukses menghadirkan teror mencekam tanpa harus mengumbar banyak penampakan. Bahkan ketika tidak sedang terjadi peristiwa signifikan di layar, kesan angker tersebar di tiap sudut film buatan Jang Jae-hyun (sutradara + penulis naskah) ini. 

"Angker" memang kata yang tepat untuk mendeskripsikan Exhuma. Sewaktu karakternya membawa kita mengunjungi area gunung selaku lokasi sebuah makam, saya sepenuhnya meyakini keangkeran tempat tersebut, walau tiada satu pun hantu menampakkan wujudnya. 

Lee Mo-gae bertugas menata kamera. Kebetulan ia melakoni debut di horor legendaris A Tale of Two Sisters (2003), sehingga memproduksi kengerian lewat gambar bukan lagi perkara baru. Di sini, gambar-gambar dari kamera Lee Mo-gae seperti menangkap banyak hal tak kasat mata. Rasanya semakin tidak nyaman ketika musik atmosferik buatan Kim Tae-seong turut melengkapi adegan. 

Sepanjang 134 menit durasi Exhuma, sukar menampik perasaan bahwa ada hal buruk bakal terjadi. Bisa jadi para karakternya pun merasakan itu, mengingat mereka bukan orang sembarangan. Hwa-rim (Kim Go-eun) dan Bong-gil (Lee Do-hyun) adalah dua dukun muda yang dimintai bantuan oleh keluarga Korea kaya yang tinggal di Los Angeles, guna membereskan fenomena aneh yang menimpa mereka. 

Meski sekilas sederhana, nyatanya kasus tersebut lebih rumit dari perkiraan. Pertolongan dari ahli feng shui bernama Sang-deok (Choi Min-sik), serta Yeong-geun (Yoo Hae-jin) si pengurus pemakaman pun dibutuhkan. Apa yang menyusul berikutnya sebaiknya tidak saya bocorkan. Semakin sedikit kalian tahu mengenai paruh kedua Exhuma, semakin maksimal pula pengalaman menonton yang didapatkan.

Misteri merupakan salah satu kekuatan utama film ini. Pertanyaan sarat kejanggalan rutin ia sebar di hadapan penonton. Selain memancing rasa penasaran, setumpuk tanda tanya tersebut juga efektif memupuk rasa takut. Exhuma mengingatkan betapa ketidaktahuan adalah sumber ketakutan terbesar. 

Kim Go-eun dalam peran yang menjauhi citra "gadis baik nan polos" miliknya, juga Choi Min-sik yang seperti biasa membuat "akting" terlihat begitu mudah, mampu mengarahkan emosi filmnya tepat ke penonton. Semakin besar ketakutan dan kekhawatiran keduanya, semakin menegangkan pula Exhuma. Sekali lagi, perasaan tak nyaman berupa firasat buruk akan terjadinya peristiwa mengerikan tidak henti-hentinya menggelayut.

Titik balik Exhuma ditandai oleh sebuah momen yang bisa dideskripsikan sebagai "mencengangkan" dan "menyeramkan". Di situlah terjadi perubahan dari suguhan atmosferik menjadi sesuatu yang lebih brutal. Mungkin paruh akhirnya terkesan kepanjangan hingga filmnya seolah memiliki dua third act, namun di sisi lain, itu memberinya ruang bercerita untuk menyertakan subteks yang membuat Exhuma tampil semakin kaya. 

Di balik persoalan mistis dan dunia perdukunan, Jang Jae-hyun menyelipkan kisah mengenai kolonialisme. Bukan selipan asal, sebab jika diperhatikan, Exhuma mempunyai seluruh fase dari proses penjajahan dalam alurnya: Si penjajah datang; terjadilah invasi yang melukai bahkan membunuh banyak warga pribumi; dikuasai rasa takut dan insting bertahan hidup, beberapa warga pun memilih tunduk; sebelum akhirnya rasa takut berubah jadi amarah yang mengobarkan api perlawanan. 

Apakah penjajah yang telah enyah merupakan akhir masalah? Sayangnya bukan. Selanjutnya giliran trauma bangsa yang menancapkan kukunya. Entah kapan trauma itu lenyap, tapi Exhuma dengan konklusinya yang secara mengejutkan terasa hangat dan penuh harap, beranggapan bahwa yang terpenting adalah melanjutkan hidup sebaik mungkin sebagai manusia yang merdeka. 

REVIEW - DUNE: PART TWO

Dune: Part Two menurunkan kadar intrik politik film pertama untuk memberi ruang lebih bagi ledakan-ledakan. Tapi bukan berarti Denis Villeneuve mendadak beralih rupa menjadi Michael Bay. Kalau Dune pertama (2021) ibarat arthouse berkedok blockbuster, maka sekuelnya ini adalah pembuktian bahwa blockbuster bombastis pun bisa dipresentasikan sebagai sebuah "karya nyeni". 

Simak set piece aksi di awal, saat Paul Atreides (Timothée Chalamet) dan ibunya, Jessica (Rebecca Ferguson), yang tengah melakukan perjalanan bersama para Fremen, disergap oleh anak buah Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård). Momen itu tersaji intens, tapi di sisi lain, ketika pasukan Harkonnen melayang di antara bebatuan padang pasir, pengadeganan sang sutradara membuatnya nampak puitis. Memori akan karya-karya Zhang Yimou pun seketika muncul.

Dune: Part Two bukan lagi soal fraksi-fraksi yang saling tusuk dari belakang. Di bawah arahan Stilgar (Javier Bardem), secara perlahan Paul mulai mendapatkan kepercayaan orang-orang Fremen, sedangkan hubungannya dengan Chani (Zendaya) telah berkembang ke arah romansa. Menyandang nama barunya, "Muad'Dib", Paul terang-terangan memimpin perlawanan kaum Fremen terhadap Harkonnen. 

Hasilnya adalah 167 menit yang lebih kaya aksi dibanding pendahulunya. Tentu Villeneuve tidak asal meluncurkan hulu ledak. Dibantu Greig Fraser selaku sinematografer, bentangan lanskap berhiaskan objek-objek berukuran masif yang mendapat polesan CGI mumpuni, berjasa memberi sentuhan megah pada seluruh sekuen aksi. 

Tapi pemegang kunci dalam terbangunnya atmosfer film ini adalah departemen suara. Kita hafal betul bagaimana musik gubahan Hans Zimmer efektif menggedor jantung, tapi tata suara Dune: Part Two membuatnya jauh lebih menggelegar. Tidak perlulah membahas ledakan atau battle cry para prajurit di medan perang. Suara tubuh yang jatuh ke tanah pun memperdengarkan kesan bombastis.

Dune: Part Two membuktikan bahwa Villeneuve telah berprogres dalam hal mengarahkan aksi, termasuk baku hantam berskala kecil yang di film pertama terkesan tak bertenaga. Segala keunggulannya mencapai puncak di klimaks berisikan pertempuran yang kadar presentasinya mementingkan kualitas ketimbang kuantitas. Singkat namun memikat.

Jangan salah mengira babak kedua dari trilogi ini (naskah adaptasi dari novel Dune Messiah milik Frank Herbert telah ditulis sejak tahun lalu) sebatas menjual aksi. Dune: Part Two masih memberi sorotan kuat pada religiusitas, khususnya kritikan bagi fanatisme yang sukar dipisahkan dalam penerapannya. 

Apakah kehadiran Muad'Dib selaku mesias merupakan ramalan yang terpenuhi secara alami atau sebatas masa depan yang telah diatur lewat perhitungan terstruktur? Menyaksikan bagaimana Puteri Irulan (Florence Pugh), anak dari Kaisar Shaddam IV (Christopher Walken) berperan dalam konklusi, muncul pertanyaan berikutnya: Mungkinkah agama dan politik tidak terpisah sejauh yang kita kira? 

REVIEW - THE HOLDOVERS

Film tidak harus tampil "mengguncang" untuk bisa menyentuh hati. Terkadang, seperti pelukan lembut penuh kasih sayang, suatu karya mampu menghangatkan perasaan penonton justru berkat kesederhanaan miliknya. Alexander Payne termasuk satu dari beberapa sineas yang konsisten mengusung gaya bercerita itu, termasuk di film terbarunya, The Holdovers. 

Sadar atau tidak, para karakter di The Holdovers sebenarnya juga membutuhkan pelukan lembut penuh kasih sayang. Mengambil latar tahun 1970 di sebuah sekolah asrama yang hendak memasuki masa libur Natal dan tahun baru, sosok pertama yang kita temui adalah Paul Hunham (Paul Giamatti), seorang guru yang dibenci baik oleh murid maupun sesama guru akibat sikap kakunya. 

Paul ditugaskan menjaga lima murid yang tinggal di asrama selama liburan. Mary (Da'Vine Joy Randolph) si manajer kafetaria yang masih berduka selepas kematian putera tunggalnya di Perang Vietnam pun turut serta. Singkat cerita, dari kelima murid itu, hanya Angus (Dominic Sessa) yang tersiksa, dan terpaksa menghabiskan sekitar dua minggu tinggal bersama guru yang ia benci. Meski kerap jadi biang masalah, Angus sejatinya adalah murid yang pintar (hanya dia yang mendapat nilai B+ di kelas Paul). 

Semua orang menyimpan cerita yang di dalamnya mengandung luka. Begitulah yang akan kita dan tiga tokoh utamanya pelajari selama 133 menit durasi filmnya. Sewaktu Paul mengutarakan sentimen negatif terkait para murid kaya yang dianggapnya cuma mengenal kebahagiaan berkat privilege mereka, Mary yang sebagai perempuan kulit hitam merasakan privilege terkecil di antara ketiganya, dengan tegas menjawab, "You don't know that!". 

Mengedepankan semangat natal, naskah garapan David Hemingson menyampaikan pentingnya berbagi kasih dalam kebersamaan keluarga. Tentu "keluarga" di sini tidak melulu diisi orang-orang dengan hubungan darah. Trio protagonisnya mewakili gagasan chosen family. Paul seperti ayah yang keras dan kebingungan bagaimana cara membangun koneksi dengan sang anak, Angus adalah anak di fase remaja yang gemar memberontak dan penuh amarah, sedangkan Mary bak ibu yang meneduhkan. 

Ketiganya memiliki kesamaan. Pertama, mereka sama-sama mengaku menyukai kesendirian. Paul enggan menikah karena merasa bahagia tiap menjalani waktu personalnya, Mary menikmati tinggal seorang diri, sementara Angus pernah berkata, "friends are overrated". Kesamaan kedua? Di luar pernyataan-pernyataan di atas, sesungguhnya mereka memerlukan kebersamaan. 

Seiring kebersamaan ketiganya terjalin, kehangatan makin terasa berkat penampilan jajaran pemainnya. Ketika Giamatti menyampaikan "luka yang terpendam" melalui kekakuan yang tak jarang menghasilkan kecanggungan, Randolph menyalurkannya lewat ketenangan yang acap kali memilukan. Di sisi lain Dominic Sessa membawa interpretasi lebih dalam yang menjauhi keklisean teenage angst. 

Diiringi perpaduan lagu natal dan folk yang mendamaikan, Payne mampu menyulut dampak emosi tanpa terkesan memaksa penonton. Sekali lagi, sederhana. Sebuah kesederhanaan memikat, yang selain memotret hangatnya kebersamaan juga mengingatkan akan pentingnya masa lalu. Sebab masa kini yang kerap kita utamakan pun kelak bakal menjadi masa lalu, menyisakan cerita untuk dikenang, juga ilmu yang membuat kita berkembang. 

REVIEW - BOB MARLEY: ONE LOVE

Ditemani lagu-lagu klasik seperti Exodus, Redemption Song, hingga No Woman, No Cry, perasaan yang hinggap selepas menonton Bob Marley: One Love kemungkinan bersifat positif. "Puas" mungkin jadi kata yang banyak muncul. Tapi filmnya sendiri bukan biopic yang spesial. Didasari gagasan bercerita yang menarik, seiring waktu ia justru tampil semakin generik dan tak selalu berhasil memainkan nada yang tepat. 

Sejatinya naskah buatan sang sutradara, Reinaldo Marcus Green, bersama Terence Winter, Frank E. Flowers, dan Zach Baylin, punya niat untuk membawa warna berbeda. Ketimbang secara runtut menyoroti perjalanan karakternya sejak kecil, Bob Marley: One Love memilih satu fase penting hidup sang legenda reggae, kemudian membangun narasi yang berpusat padanya. 

Titik yang dimaksud adalah akhir 70-an, tatkala konflik beraroma politis yang memecah-belah Jamaika mendorong Bob Marley (Kingsley Ben-Adir) untuk menggelar konser perdamaian. Di tengah persiapan konser, terjadilah upaya pembunuhan terhadap Marley. Dia dan beberapa anggota band The Wailers tertembak, termasuk Rita (Lashana Lynch), istri Marley yang sempat koma akibat luka di kepala. 

Langsung menyoroti Bob Marley di puncak karirnya merupakan pilihan yang lumayan menarik, namun Green dan tim tak pernah benar-benar berani mengolah bentuk narasi tersebut dan malah kembali beralih ke gaya konvensional, saat sesekali menyelipkan kilas balik ke masa kecil Marley yang seringkali kemunculannya terkesan acak. 

Pasca penembakan tadi, latarnya berpindah ke London, tempat Marley mengasingkan diri sembari menyiapkan album terbarunya (Exodus, 1977). Satu hal yang patut diapresiasi dari naskahnya adalah bagaimana ia menolak menggambarkan Bob Marley sebagai figur sakral nan sempurna, meski citra sang musisi yang cinta damai sebenarnya amat memungkinkan hal itu dilakukan. 

Bob Marley di London bukanlah sosok suci. Rasa sakit hati mendapati sesama warga Jamaika mencoba membunuhnya membuat Marley meninggalkan kampung halaman. Lalu ketika album Exodus meledak, Marley yang mulai dikelilingi banyak figur penting mulai melupakan jati diri serta tujuan awalnya bermusik. Pun nantinya terungkap bahwa di luar cinta yang teramat sangat pada satu sama lain, Marley dan Rita nyatanya saling menyelingkuhi.    

Berpijak dari masalah-masalah di atas, ditambah diagnosis yang Marley terima mengenai penyakit kanker kulit langka yang ia derita, Bob Marley: One Love menjabarkan proses yang senada dengan prinsip rastafari, yaitu perjalanan mencari kedamaian. Bob Marley bermimpi bisa menciptakan kedamaian dunia melalui musiknya, karena itulah ia merasa perlu memperoleh kedamaian hati terlebih dahulu.

Bicara soal musik, adegan saat Marley dan The Wailers merumuskan lagu Exodus jadi salah satu momen terbaik filmnya. Esensi dari penciptaan karya yang mengawinkan aliran perasaan dan luapan kreativitas berhasil diwakili oleh adegan tersebut. Sedangkan ketika musik dibawakan di panggung, tibalah giliran bagi Kingsley Ben-Adir memancarkan sinarnya. 

Jika di bawah panggung Lashana Lynch lewat letupan emosinya yang menusuk jadi pencuri perhatian, maka di atas panggung, Ben-Adir adalah bintang. Serupa Bob Marley, sang aktor bergerak liar bak orang kesurupan di tengah ritual sakral. Mungkin memang itu yang ada di benak Bob Marley kala beraksi di panggung. Musik adalah agama, dengan pertunjukan sebagai wujud ibadahnya. 

Sayang, pertunjukan puncak yang dinanti-nanti dan berpotensi jadi klimaks epik nan emosional, yakni konser OLPC (One Love Peace Concert), di mana Marley berhasil menyatukan dua rival politik, Michael Manley dan Edward Seaga, justru dilewati (film usai saat konser hendak dimulai). Mungkin Green ingin Bob Marley: One Love lebih berfokus pada proses ketimbang hasil, tapi dalam konteks biopic konvensional, keputusan itu rasanya kurang tepat.