FIKSI. (2008)

7 komentar
Semua film yang ditulis oleh Joko Anwar walaupun ia tidak menjadi sutradara memang selalu menarik dan menjadi suguhan yang berbeda. Tengok saja Quickie Express yang tidak hanya lucu tapi juga penuh ide-ide brilian dan juga sindiran-sindiran sosial. Ada juga Jakarta Undercover yang saya sendiri belum menonton film itu tapi katanya cukup baik dalam menyoroti kehidupan "bawah tanah" Jakarta lewat pendekatan yang unik. Untuk film karya Mouly Surya ini saya memang sangat terlambat menontonnya. Fiksi. (Ingat, judulnya memakai tanda titik (.) diakhir kata) adalah film yang berhasil menyabet empat penghargaan pada FFI 2008 yakni untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik dan Musik Terbaik. Ladya Cheryl sendiri mendapat nominasi Aktris Terbaik juga Donny Alamsyah yang dinominasikan sebagai Aktor Terbaik. Jadi akan dibawa kedunia macam apakah kita oleh Joko Anwar kali ini? Akankah masih berupa dunia yang absurd dan diisi oleh karakter-karakter yang tidak kalah unik?

Kita sedari awal akan diperlihatkan pada sosok Alsya (Ladya Cheryl) yang merupakan anak orang kaya namun tidak merasa bahagia dan hidup dalam kesepian. Hubungannya dengan sang ayah amat buruk dan Alisya terlihat jelas sangat membenci sang ayah. Kebencian itu sendiri tercipta akibat perlakuan sang ayah yang terlalu mengekang Alisya dan membuat Alisya seolah kehilangan kebebasannya. Selain itu sebuah kejadian di masa lalu jugalah yang memancing kebencian Alisya terhadap ayahnya. Kekangan itu juga yang membuat Alisya tumbuh menjadi gadis yang kaku dan pemurung. Hidupnya hanya ditemani oleh koleksi boneka dan cello yang rajin ia mainkan. Sampai suatu hari datanglah Bari (Donny Alamsyah) kedalam hidupnya. Bari datang kerumah Alisya untuk bekerja sementara waktu membersihkan kolam renang. Sampai saat akhirnya Bari tidak datang lagi, Alisya mulai mencari tempat tinggal Bari. Setelah menemukan tempat tinggal Bari yang terletak di sebuah rumah susun, Alisya memilih kabur dari rumah dan tinggal tepat di sebelah kamar Bari dan memperkenalkan dirinya sebagai Mia. Tapi ternyata Bari sudah memiliki gadis idaman yang tinggal bersamanya, yaitu Renta (Kinaryoih).

Bukannya menyingkir, Alisya justru terus masuk dalam kehidupan Bari dan rasa suka yang ia rasakan berubah menjadi obsesi yang makin besar. Disamping itu dia makin dekat dengan Bari yang ternyata adalah seorang penulis yang hingga sekarang belum berhasil menyelesaikan karyanya. Hubungan keduanya pun makin lama makin kompleks, sama kompleksnya dengan keadaan rumah susun sembilan tingkat yang masing-masing tingkatnya diisi oleh kelompok orang yang punya ciri masing-masing. Set lokasi dirumah susun yang tiap lantainya punya problema masing-masing ini memang sudah sangat menarik. Itulah sebabnya saat Alisya mulai pindah kerumah susun film ini mulai berjalan semakin menarik. Pada awalnya film berjalan dengan lambat dan terkesan kaku. Kaku disini saya rasakan muncul dari dialog dan interaksi antar pemainnya khususnya dari dialog-dialog Alisya. Tapi itu bisa dimaklumi karena Alisya digambarkan adalah tokoh yang kaku dan terkekang. Meski mengganggu masih bisa dimaklumi.
Suasana yang ditampilkan dalam Fiksi. akan terasa unik jika kita menyandingkannya dengan film-film Indonesia lainnya. Minim dialog, suasana yang suram dan diiringi musik sederhana namun mengena, begitulah film ini. Dengan minimnya dialog, Fiksi. cukup sering "berbicara" gambar diam namun begitu terasa indah dengan kesuramannya. Fiksi. adalah sebuah film yang mampu bercerita kepada penontonnya dengan begitu baik tanpa perlu menghadirkan banyak dialog. Dialog yang ada berkesan seperlunya tapi efektif, dan percayalah dengan hanya bicara melalui gambar, Fiksi. menjadi salah satu film Indonesia paling menarik yang pernah saya tonton, khususnya setelah film ini berfokus pada kehidupan dirumah susun. Penonton akan dengan mudah merasa betah dalam kisahnya dan tanpa sadar kisahnya sudah berakhir. Tentu saja kisah yang menarik, aspek artistik seperti musik, gambar dan musik yang menarik akan terasa hambar tanpa akting yang baik. Dalam film ini semua pemain utamanya tampil baik, tapi tetap saja Ladya Cheryl adalah yang paling menonjol. Diluar dialognya yang terkesan terlalu kaku bahasanya, gerak tubuh dan tatapan mata yang ia tampilkan begitu meyakinkan sebagai seorang gadis yang psikologisnya terganggu. Semakin lama perubahan dalam dirinya makin terlihat dan bertransformasi dari gadis kesepian menjadi gadis yang punya obsesi tidak sehat. Menjelang akhir lihatlah tatapan matanya, maka akan terpancar kengerian disana.

Kisahnya bisa dengan begitu cerdas menggabungkan antara fiksi dan relita. Bagaimana sebuah cerita fiksi mampu mempengaruhi keadaan dalam realitas kehidupan adalah apa yang terpampang dalam film ini. Fiksi dan realita memang dua hal yang bertolak belakang namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya seringkali berjalan seiringan. Realita akan membentuk fiksi dalam imajinasi manusia, dan fiksi adalah sebuah hal yang berawal dari realita yang dialami manusia. Kedua hal tersebut sama pentingnya untuk ada dalam kehidupan. Namun disaat fiksi mulai mengambil alih dan terlalu jauh mempengaruhi realita hidup seseorang, saat itulah keadaan menjadi tidak baik. Keduanya tetap harus ada namun dalam takaran yang seimbang. Kurang lebih itulah yang dipaparkan oleh film ini menurut saya. Mouly Surya sendiri mampu mengarahkan kisah tersebut dengan baik tanpa terlihat keteteran. Tanpa banyak dialog ceritanya mampu mengalir dengan baik walaupun punya kompleksitas yang lumayan. Dari satu karyanya ini saya justru melihat kemampuan Mouly dalam bercerita masih sedikit lebih baik daripada Joko Anwar yang kadang terasa kurang dalam hal tersebut. Yang jelas kolaborasi keduanya akan sanggup menghasilkan sebuah tontonan berkelas dan hebat.

NOTE: Menyaksikan film ini saya makin yakin akan kualitas dan potensi yang dimilik perfilman nasional dan membuat saya gatal untuk sedikit menuliskan curhatan pendek saya disini. Banyak dari penonton film Indonesia yang selalu mencibir kualitas film lokal kita yang katanya hanya dipenuhi horror esek-esek lah, komedi tidak jelaslah, drama melankolis lebay dan sebagainya. Tapi anehnya justru film-film kacrut macam itulah yang laku dipasaran. Lihat film macam Nenek Gayung, Santet Kuntilanak dan Rumah Bekas Kuburan yang dengan gagah bertengger di 10 besar film Indonesia dengan penonton terbanyak tahun ini. Tapi kemanakah film-film berkualitas macam Modus Anomali atau Lovely Man? Saya sempat melihat Modus Anomali di daftar tersebut beberapa hari sebelum kembali tergeser. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya kualitas film lokal kita yang buruk lebih dikarenakan penontonnya juga yang lebih memilih menonton film sampah daripada yang berkualitas. Sebenarnya ada banyak film lokal kita yang berkualitas hanya saja justru kita sendiri yang menutup mata akan film-film tersebut. Jadi mari kita dukung perfilman Indonesia dengan tidak ragu menonton film lokal berkualitas di bioskop. Masak hanya antrian untuk film Hollywood saja yang panjang tapi saat film lokal berkualitas justru sangat sepi penonton?

7 komentar :

Comment Page:

TOMBOY (2011)

Tidak ada komentar
Sebuah film bertema LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) memang sangat menarik dan seringkali menghadirkan sebuah perenungan yang dalam. Tapi akan menjadi lebih unik lagi saat tema tersebut dihadirkan dalam sebuah film yang tokohnya anak-anak dengan usia 10 tahunan. Begitulah Tomboy, sebuah film Prancis yang disutradarai oleh Céline Sciamma yang berhasil meraih Teddy Awards pada Berlin Film Festival 2011 sebagai film bertema LGBT terbaik. Selayaknya sinema Eropa yang pernah saya tonton termasuk Prancis, saya berharap akan mendapatkan suguhan yang sederhana nan realistis dalam film ini seperti yang pernah saya jumpai dalam film macam The Kid With A Bike yang begitu jujur, realistis dan sederhana dalam penuturannya. Pada akhirnya nuansa seperti itulah yang memang ditampilkan dalam Tomboy yang berkisah tentang bocah perempuan berumur 10 tahun bernama Laure (Zoe Heran) yang berpenampilan seperti laki-laki bahkan memperkenalkan dirinya sebagai laki-laki didepan teman-temannya.

Laure selama ini sudah seringkali berpindah rumah bersama keluarganya yang terdiri dari kedua orang tuanya dan seorang adik perempuannya yang masih berumur lima tahun bernama Jeanne (Malonn Levana). Keluarga Laure adalah keluarga yang harmonis bahkan tidak berlebihan jika dikatakan nyaris sempurna. Kedua orang tua Laure amat menyayangi kedua puterinya, namun tetap tidak digambarkan dengan kebaikan yang kelewatan, terbukti dari adanya adegan yang memperlihatkan sang ibu yang tengah hamil memarahi Laure dan adiknya beberapa kali. Tapi dari situ kita bisa melihat bahwa keluarga itu adalah gambaran keluarga harmonis yang benar-benar nyata dan realistis. Tapi dibalik keharmonisan tersebut, Laure menyimpan sebuah keresahan dalam dirinya. Laure yang selama ini memang dandanannya lebih terlihat sebagai bocah laki-laki dengan rambut pendek dan kaos oblong serta celana pendeknya itu didalam hatinya sedang mengalami sebuah krisis identitas. Hal itulah yang akhirnya mendorong dia untuk berpura-pura menjadi laki-laki didepan teman-temannya dan mengaku bernama Mikael. Laure sebagai Mikael dengan mudah berbaur, bermain dan bahkan bertingkah layaknya laki-laki. Tapi keadaan bertambah kompleks saat salah satu teman perempuannya yang bernama Lisa (Jeanne Disson) mulai jatuh cinta pada Laure/Mikael, begitu juga sebaliknya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

3-IRON (2004)

3 komentar
Saya sekarang telah benar-benar jatuh cinta dengan karya Kim Ki-duk walaupun sebelum ini hanya pernah menonton dua filmnya, yaitu Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring dan Samaritan Girl tapi kedua film tersebut benar-benar mampu membuat saya terkagum-kagum akan karya sutradara 42 tahun ini. Alur cerita dalam filmnya sama sekali tidaklah rumit bahkan sangat sederhana dan termasuk film-film sepi yang minim dialog. Namun Kim Ki-duk selalu berhasil membuat saya mendapatkan pelajaran dan perenungan baru setelah selesai menonton film-filmnya yang berbalut kesederhanaan tersebut. 3-Iron sendiri rilis hanya berselang tujuh bulan setelah rilisnya Samaritan Girl. Bukti kehebatan Kim Ki-duk terlihat disini. Dalam setahun merilis dua film dan keduanya punya kualitas luar biasa yang juga berjaya di festival-festival film. Jika Samaritan Girl meraih piala di Berlin Film Festival, maka 3-Iron berjaya di Venice Film Festival. Film ini sendiri dikenal lewat minimnya dialog antara kedua tokoh utamanya, yang memang sama sekali tidak ada dialog dua arah antara keduanya.

Ceritanya adalah mengenai seorang pemuda bernama Tae-suk (Jae Hee) yang punya kebiasaan masuk kedalam rumah orang lain. Teknik yang dia pakai adalah dengan menempelkan brosur ke beberapa rumah yang ada, lalu setelah beberapa lama ia akan kembali dan mengecek brosur tersebut dan jika ada rumah yang brosurnya masih menempel ditempat yang sama berarti rumah tersebut kosong dan Tae-suk mulai melancarkan aksinya. Tapi ia tidak masuk kerumah itu untuk mencuri. Dia hanya melakukan kegiatan sehari-hari disana seperti makan, mandi, menonton tv bahkan melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci dan merawat tanaman. Sampai suatu hari ia masuk ke sebuah rumah yang ternyata didalamnya ada seorang gadis muda bernama Sun-hwa (Lee Seung-yeon) yang selalu dikasari oleh suaminya. Merasa saling jatuh cinta, Sun-hwa memutuskan meninggalkan rumah tersebut dan pergi meninggalkan suaminya yang sudah sempat "dihajar" oleh Tae-suk dan mengikuti sang pemuda melakukan kebiasaannya memasuki satu persatu rumah. Begitulah hubungan mereka terus berlangsung sampai suatu hari ada kejutan yang menanti mereka dalam salah satu rumah yang mereka masuki. Kejutan yang nantinya akan menguji kekuatan cinta keduanya.

3 komentar :

Comment Page:

JACKIE BROWN (1997)

Tidak ada komentar
Tarantino dan tema kriminalitas sekaligus gangster jelas tidak bisa dipisahkan. Setelah kesuksesan luar biasa dari Pulp Fiction tiga tahun sebelumnya, Tarantino merilis film ketiganya ini yang merupakan adaptasi sebuah novel berjudul Rum Punch yang ditulis Elmore Leonard. Selain mengadaptasi ceritanya dari sebuah novel, Tarantino juga memberikan homage kepada film-film blaxploitation era 70-an. Sekedar info, blaxploitation adalah sebuah sub-genre bagi film-film eksploitasi. Pada blaxploitation, unsur-unsur yang ada didalamnya sangat kental dengan nuansa dan kultur bangsa kulit hitam Amerika seperti para pemainnya yang semua adalah orang kulit hitam, penggunaan bahasa dan ungkapan khas orang kulit hitam, hingga pemasukkan kultur dan musik-musik khas mereka didalam film. Tarantino memang dikenal suka memasukkan homage dalam film-filmnya dimana selain Jackie Brown, Tarantino pernah memberikan homage untuk film-film silat lewat Kill Bill dan untuk film-film eksploitasi lewat Death Proof. Bahkan dalam Pulp Fiction juga terdapat banyak homage untuk film-film kesukaan Tarantino lainnya.

Tidak seperti dalam Pulp Fiction yang terdiri dari berbagai plot yang sebenarnya saling berhubungan dan disuguhkan dengan alur yang non-linier, Jackie Brown jauh lebih sederhana penyajiannya tapi kisahnya sendiri pada dasarnya sudah cukup rumit. Berkisah tentang seorang pramugari bernama Jackie Brown (Pam Grier) yang baru tiba dari Meksiko yang ditangkap oleh LAPD setelah kedapatan menyimpan uang dalam jumlah besar dan narkoba didalam tasnya. Ditempat lain seorang pedagang senjata bernama Ordell (Samuel L. Jackson) yang baru saja membunuh anak buahnya yang kedapatan menyimpan senjata ternyata tengah meminta bantuan pada seorang "penjamin" bernama Max Cherry (Robert Forster) untuk membantu mengeluarkan Jackie dari penjara. Belakangan diketahui bahwa sesungguhnya Jackie adalah seorang kurir uang milik Ordell. Lalu berbagai konflik lanjutan akan dimulai seperti interogasi pihak kepolisian pada Jackie dan Ordell, konflik antar karakternya yang jika dilihat sebenarnya mereka saling "menusuk" dari belakang. Kurang lebih begitu kisah yang bisa saya tuliskan untuk film ini tanpa harus banyak memberikan spoiler. Memang menuliskan sinopsis untuk film Tarantino sama sulitnya dengan menulis sinopsis film-film Nolan. Untuk menggambarkannya tanpa sedikitpun spoiler bukanlah hal yang mudah.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REMAKE, REUSE DAN REPLAY DALAM PSYCHART

Tidak ada komentar
Keluarga Rapat Sebuah Teater kembali mencoba mengadakan sebuah even yang berbeda dan unik. Setelah sebelumnya mengadakan acara Panggung Bebas untuk pertama kalinya, kali ini KRST kembali membuat sebuah acara yang sebelumnya belum pernah kami adakan yakni Psychart. Pada dasarnya Psychart adalah sebuah acara musik. Namun apa keunikan dari acara ini adalah mengenai konsepnya yang mengusung recycle atau daur ulang. Pemikiran dasar acara ini adalah didasari dari obrolan santai kami tentang begitu banyaknya sampah-sampah tak terurus yang ada disekitar kami. Jika hanya menggalakkan "buanglah sampah pada tempatnya" mungkin kami rasa hal itu masih belum cukup kuat untuk bisa mengurangi jumlah sampah. Harus ada suatu hal yang membuat orang-orang tergerak atau kalau bisa tertarik untuk tidak asal membuang sampah tersebut. Dari situ tercetuslah ide untuk membuat sebuah acara yang bertemakan recycle.

Dalam acara ini akan ada dua jenis perlombaan. Perlombaan yang pertama adalah sebuah lomba band namun yang memberikan perbedaan adalah dalam satu grup harus ada alat musik yang dibuat dari barang bekas apapun itu bentuknya. Kemudian masing-masing grup yang maksimal terdiri dari 8 orang harus menampilkan sebuah aransemen musik yang maksimal berdurasi 10 menit dengan catatan dalam aransemen tersebut penggunaan alat musik yang dibuat dari barang bekas harus lebih dominan dibandingkan alat musik lainnya. Untuk perlombaan ini biaya pendaftarannya adalah Rp. 35.000,-/grup. Pemenang akan ditentukan oleh pilihan juri. Sedangkan untuk lomba yang kedua adalah lomba untuk me-recycle barang bekas untuk menjadi sebuah alat musik tanpa harus mereka mainkan. Untuk lomba ini peserta tiap kelompok maksimal 2 orang dan mereka akan memamerkan barang yang mereka buat tanpa memainkannya. Untuk perlombaan yang kedua ini biaya pendaftaraan adalah Rp. 10.000,-/kelompok dan pemenangnya akan ditentukan oleh voting yang dilakukan para penonton. Kemudian adalah mengenai hadiah yang akan diberikan pada pemenang. Untuk lomba pertama (perform musik) Juara pertama akan mendapat hadiah Rp. 500.000,- kemudian juara kedua Rp. 300.000,- dan juara ketiga mendapat Rp. 200.000,-. Sedangkan untuk lomba kedua (pameran alat musik) hadiah akan diberikan kepada SATU kelompok yang mendapat voting terbanyak alias favorit penonton dan akan mendapat hadiah Rp. 100.000,-.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MEN IN BLACK 3 (2012)

5 komentar
Film ini tidak hanya menandai kembalinya franchise MIB ke layar lebar setelah film terakhirnya rilis 10 tahun yang lalu tapi juga kembalinya seorang Will Smith yang terakhir kali berakting empat tahun lalu dalam Seven Pounds. Saya tidak mempermasalahkan walaupun film keduanya dianggap buruk dan kalah jauh dari film pertamanya yang dianggap sebagai salah satu adaptasi komik terbaik yang pernah dibuat. Hal itu karena saat film keduanya rilis saya baru berusia 10 tahun jadi seingat saya dulu saya senang-senang saja menonton filmnya. Toh film aksi-komedi yang menampilkan alien-alien aneh plus gadget yang ikonik macam Neuralyzer masih punya potensi menjadi film yang menyenangkan dan juga diprediksi sebagai film pertama yang mampu menggeser kedigdayaan The Avengers di puncak Box Office yang saat tulisan ini dibuat sudah tiga minggu berturut-turut bertahan disana. Satu hal yang sangat menarik dijanjikan oleh para pembuat film ini adalah mereka tidak akan berlebihan dalam penggunaan CGI untuk tampilan aliennya dan lebih banyak menampilkan model alien retro dengan kepala besar, penuh warna dan kostum.

Kisahnya dibuka dengan kaburnya Boris the Animal (Jermaine Clement) yang merupakan alien jahat yang telah membunuh banyak sekali orang dan makhluk alien lainnya. Setelah akbur tujuan Boris hanya satu, yaitu membalas dendam kepada Agent K (Tommy Lee Jones) yang pada tahun 1969 dulu memenjarakannya di Bulan sekaligus membuat Boris kehilangan tangan kirinya. Boris berniat kembali ke masa lalu tepat sebelum ia ditangkap dan berniat membunuh K. Hal itu akan berakibat hilangnya eksistensi K dimasa sekarang. Agent J (Will Smith) yang mengetahui hal itu nekat menyusul Boris melakukan time travel ke tahun 1969 untuk membunuh Boris terlebih dahulu sebelum ia membunuh K. Rencananya adalah J akan diam-diam mencari Boris dan membunuhnya tanpa harus bertemu dengan K versi muda (Josh Brolin). Tapi kenyataan tidak berjalan sesuai rencana. Pada akhirnya malah J dan K muda bersama-sama memburu dua Boris (masa lalu dan masa kini)

5 komentar :

Comment Page:

DARK SHADOWS (2012)

3 komentar
Kolaborasi kedelapan Tim Burton-Johnny Depp ini adalah sebuah adaptasi dari serial televisi berjudul sama yang tayang pada tahun 1966-1971. Namanya juga film yang disutradarai Tim Burton dan dibintangi Johnny Depp, Dark Shadows pastilah menawarkan suasana yang unik dan aneh juga disertai oleh karakter yang tidak kalah aneh juga yang diperankan oleh Depp. Tapi toh tidak semua film kolaborasi keduanya memuaskan. Edward Scissorhands, Ed Wood dan Sweeney Todd adalah kolaborasi mereka yang bagus dan sangat saya sukai dimana tidak hanya visualisasi unik dan gila dari Burton saja yang berhasil tapi juga akting Depp yang bagus dan fresh dalam film-film tersebut. Sayangnya kolaborasi terakhir mereka lewat Alice in Wonderland begitu buruk dan bagi saya film itu adalah salah satu film terburuk di 2010 lalu. Untuk Dark Shadows sendiri saya sempat berharap mendapat suguhan gothic dan horror yang kental, namun melihat trailer-nya yang begitu komedik saya menjadi pesimis apalagi melihat perolehan box office film ini yang kurang memuaskan dan tanggapan kritikus yang bahkan beberapa menganggapnya lebih buruk dari Alice in Wonderland. Tapi toh saya masih berharap kolaborasi unik Burton-Depp yang kali ini juga ditunjang banyak bintang lainnya akan mampu setidaknya menghibur saya.

Pada tahun 1760 pasangan suami istri Collins dan puteranya Barnabas berlayar dari Liverpool menuju ke Amerika. Disana mereka memulai usaha jual beli ikan yang akhirnya berujung kesuksesan luar biasa. Kesuksesan itu bahkan mampu membuat keluarga Collins membangun sebuah kastil untuk mereka tinggal yang dinamai Collinwood. Barnabas dewasa (Johnny Depp) tumbuh menjadi seorang playboy yang kerap memeprmainkan hati wanita dan salah satunya adalah Angelique (Eva Green) yang merupakan pelayannya sendiri. Angelique yang ternyata adalah seorang penyihir menyimpan sakit hati yang dalam pada Barnabas dan akhirnya memberikan kutukan pada keluarga Collins berupa kesialan demi kesialan yang bahkan merenggut nyawa orang tua Barnabas. Barnabas sendiri dikutuk menjadi seorang vampir dan semua wanita yang jatuh cinta padanya akan mati. Belum cukup sampai disitu, Angelique juga berhasil membuat warga kota menangkap Barnabas dan menguburnya hidup-hidup dalam sebuah peti mati. 

3 komentar :

Comment Page:

MEMORIES OF MURDER (2003)

31 komentar
Makin banyak saja film Korea dengan genre crime-misteri yang saya tonton beberapa waktu belakangan. Dari semua film itu saya tidak pernah dikecewakan sekalipun. Meski begitu setelah beberapa banyak film yang saya tonton, saya mulai ragu bisa mendapatkan perasaan terpuaskan luar biasa seperti saat menonton I Saw the Devil maupun Oldboy. Bukan berarti film lainnya jelek, tapi saya rasa akan sangat susah bahkan saya sempat merasa tidak mungkin lagi bisa begitu terpuaskan dalam menonton film misteri dari Korea apabila dalam pikiran saya selalu membandingkan dengan kedua film luar biasa tersebut. Karena itulah saya sempat beralih menonton film-film Kim Ki-duk yang lebih kearah arthouse drama. Tapi ternyata ada salah satu kepingan kisah misteri Korea yang saya lewatkan, yaitu karya dari sutradara Bong Joon-ho (The Host, Mother) ini. Hanya dirilis beberapa bulan sebelum Oldboy ternyata Memories of Murder juga punya kualitas yang tidak berada dibawah film tersebut. Fakta yang membuktikan bahwa 2003 adalah tahun yang luar biasa bagi perfilman Korea Selatan.

Pada tahun 1986 di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan terjadi kasus pembunuhan disertai pemerkosaan secara berantai. Penyelidikan menunjukkan ada beberapa kesamaan dalam korban yang ditemukan, yaitu sama-sama wanita muda, memakai baju merah dan selalu dibunuh pada saat malam hujan. Untuk menyelesaikan kasus tersebut ditunjuklah seorang detektif lokal bernama Park Doo-man (Song Kang-ho) dan seorang detektif dari Seoul bernama Seo Tae-Yoon (Kim Sang-kyung). Keduanya adalah detektif yang sangat bertolak belakang baik dari sifat maupun teknik investigasi. Park Doo-man adalah orang yang sangat emosional, sok tahu dan tidak pernah patuh pada prosedur. Daripada mencari bukti ia lebih memilih menghajar tersangkan supaya ia mau mengaku. Sedangkan Seo Tae-yoon adalah detektif yang lebih kalem, mengutamakan penyelidikan dan sangat percaya pada dokumen dan sesuai prosedur. Dengan cara masing-masing mereka berusaha menangkap pembunuh sebenarnya, tapi selalu berujung pada kegagalan meski banyak tersangka yang dicurigai. Petunjuk yang minim, muncul banyak msiteri baru dan berbagai halangan lain membuat penyelidikan makin rumit dan korban terus saja berjatuhan.

31 komentar :

Comment Page:

SHAME (2011)

3 komentar
Bagi saya nasib Michael Fassbender saat ini mirip dengan Ryan Gosling. Mereka berdua sama-sama main di banyak film pada 2011 lalu. Tapi tidak hanya soal kuantitas mereka unggul, karena kualitas dari film-film tersebut juga termasuk bagus. Saya sendiri sangat mengidolakan seorang Ryan Gosling, tapi sekarang mari kesampingkan dulu aktor yang benar-benar saya tunggu hasil kolaborasinya dengan sutradara Terrence Malick tersebut. Dalam Shame, Michael Fassbender benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah aktor serba bisa yang sanggup bermain baik dalam berbagai macam peran dan tipe film. Dia sukses memunculkan sosok Magneto yang penuh wibawa dan keren dalam film blockbuster X-Men: First Class. Tidak hanya di film besar saja Fassbender sukses, dalam film period kecil macam Jane Eyre juga Fassbender mampu bermain dengan baik memainkan karakter yang berbeda. Kemudian ada juga sebuah biopic karya David Cronenberg dimana Fassbender memainkan Carl Jung di A Dangerous Method
Tapi penampilan Fassbender yang paling mengundang pujian adalah lewat film Shame ini dimana ia berhasil meraih beberapa penghargaan termasuk Best Actor di Venice Film Festival hingga nominasi Best Actor-Drama di Golden Globe. Sayang nominasi Oscar gagal dia raih dimana hal itu banyak dikritisi karena menurut banyak orang performa Fassbender sebagai seorang sex addict luar biasa dan layak mendapat setidaknya nominasi Oscar. Dalam film arahan sutradara Steve McQueen ini Fassbender berperan sebagai Brandon, seorang pria berumur 30an yang secara finansial adalah orang yang sukses dan punya apartemen yang cukup mewah. Tapi Brandon adalah pria yang kesepian, sendiri dan tidak percaya akan cinta sejati yang berujung pernikahan. Menurutnya menghabiskan seumur hidup hanya untuk satu wanita adalah hal yang konyol. Dibalik itu dalam kesehariannya Brandon juga merupakan seorang sex addict yang menghabiskan hari-harinya dengan berhubungan seks dengan berbagai wanita berbeda. Jika tidak berhubungan seks, maka Brandon akan bermasturbasi dimanapun itu mulai dari saat dia mandi bahkan di toilet kantornya saat jam kerja. Film-film porno juga tidak pernah lepas dari kesehariannya. Sampai suatu hari datanglah adiknya, Sissy (Carey Mulligan) yang entah kenapa keberadaannya tidak terlalu disukai oleh Brandon. Kedatangan sang adik itu akhirnya mau tidak mau mempengaruhi keseharian Brandon.

3 komentar :

Comment Page:

APOCALYPSE NOW (1979)

1 komentar
Pasca kesuksesan The Godfather baik dari segi finansial maupun kualitas, Francis Ford Coppola tidak hanya mendapatkan pengakuan dan nama besar, tapi dia juga mulai mendapatkan kesempatan untuk membuat berbagai film yang telah lama ia rencanakan namun terkendala masalah dana. Yang pertama ia wujudkan adalah The Conversation yang rilis dua tahun setelah kesuksesan The Godfather dan dirilis pada tahun yang sama dengan The Godfather Part II. Kesuksesan beruntung tersebut dimanfaatkan oleh Coppola untuk membuat Apocalypse Now yang bisa dibilang merupakan proyek ambisius miliknya. Dengan bujet yang cukup tinggi untuk saat itu yaitu sekitar $31 Juta, proses produksi yang makan waktu bertahun-tahun dan amat berat karena banyaknya halangan yang datang khususnya halangan berupa medan (syuting berada di hutan) sekaligus cuaca yang tidak bersahabat, akhirnya terciptalah sebuah film yang bertemakan perang Vietnam dan sampai saat ini sering dianggap tidak hanya sebagai film perang terbaik yang pernah dibuat namun juga salah satu film terbaik sepanjang masa.

Ber-setting pada masa perang Vietnam, kisahnya adalah mengenai Captain Willard (Michael Sheen) adalah seorang veteran di kesatuan U.S. Army. Willard yang sedang tidak berada dalam misi justru tidak merasakan kebahagiaan layaknya tentara yang sedang berada di rumah dan jauh bagi peperangan. Bagi Willard justru medan perang yang kejam dan brutal sudah terasa seperti rumah baginya. Karena itulah saat secara tiba-tiba dia mendapat panggilan untuk kembali terjun ke medan perang, Willard tidak menolaknya. Misinya saat itu adalah untuk melacak keberadaan Kolonel Kurtz (Marlon Brando) lalu membunuhnya. Awalnya Kolonel Kurtz adalah salah seorang prajurit yang punya masa depan cerah karena kecerdasan dan visinya yang luar biasa. Karirnya bisa dibilang sempurna. Tapi nampaknya peperangan telah membuatnya gila dan sekarang Kurtz justru memimpin pasukan bentukannya sendiri yang bermarkas di Kamboja. Dalam misinya tersebut, Willard harus melewati berbagai kondisi peperangan yang memang terlihat bagaikan neraka dunia, penuh dengan ledakan, kegilaan, mayat dan tentunya hal-hal memilukan lainnya. 

Apocalypse Now benar-benar mampu merangkum segala hal yang tersaji di medang perang dengan baik. Bagaimana dalam perang moralitas seringkali menjadi ambigu hingga bagaimana perang mampu merubah seseorang siapapun itu menjadi pribadi yang jauh berbeda karena keras dan kejamnya peperangan tersebut. Saya sendiri bukanlah orang yang pernah berada di tengah medan peperangan, namun lewat film ini setidaknya saya bisa melihat bagaimana perang yang memang bagaikan seperti neraka dunia tersebut. Meski banyak sekali hal memilukan yang bisa terjadi dalam perang dan ditampilkan disini, namun yang paling terasa ingin ditampilkan Coppola dalam Apocalypse Now adalah mengenai "kegilaan" dalam perang. Sedari adegan pembuka yang diiringi lagu "The End" milik The Doors, kegilaan sudah begitu terasa dalam diri Willard yang berada sendirian dalam kondisi acak-acakan dalam kamarnya. Kegilaan-kegilaan berikutnya terus dihadirkan melalui berbagai adegan dan tokoh-tokoh yang memorable.
"Orang gila" pertama yang ditemui Willard adalah Letkol Kilgore (Robert Duvall) yang kebiasaannya adalah memutar lagu Ride of the Valkyries saat akan melakukan serangan udara dengan helikopter. Adegan pembantaian desa yang diiringi lagu tersebut adalah sebuahn adegan yang begitu epic namun juga penuh kebrutalan. Tidak ada sedikitpun rasa ragu saat pembantaian terjadi, yang ada hanya rasa puas setelah berhasil membunuh banyak orang  termasuk anak-anak dengan sadis dan meledakkan banyak bangunan termasuk rumah dan sekolah. kegilaan Kilgore masih berlanjut saat memerintahkan anak buahnya untuk surfing ditengah hujan ledakan. Tentu saja masih ada adegan gila lain yang tidak akan dilupakan penontonnya seperti saat suguhan gadis-gadis dari Playboy berlanjut pada kerusuhan, pembantaian diatas sampan yang begitu intens suasanany, sampai momen saat Willard dan sisa pasukannya tiba pertama kali di lokasi tempat Kurtz dan pengikutnya tinggal yang dipenuhi mayat tergantung dan kepala terpenggal. Sungguh gila!

Tapi kegilaan tidak hanya pada adegannya tapi juga muncul pada karakter-karakternya yang jadi "gila" akibat peperangan. Yang sudah saya sebutkan diatas tadi adalah kegilaan Letkol Kilgore yang diperankan Robert Duvall yang aktingnya dalam film ini paling bagus diantara pemain lainnya. Kegilaan Willard yang terlihat diawal film juga hanya terkadang saja sedikit meletup di tengah hingga akhir, sisanya tidak terlalu terasa. Hal itu juga yang membuat Michael Sheen terasa tidak terlalu menonjol disini meski sudah bisa dibilang bagus. Dennis Hopper sebagai jurnalis anak buah Kurtz bisa dibilang adalah yang paling gila diantara kesemuanya. Saya suka Denis Hopper tapi bagi saya Robert Duvall masih yang terbaik. Sedangkan untuk Marlon Brando yang tentunya mendapat bayaran paling mahal justru (seperti biasa) porsinya amat sedikit. Dari sekitar 147 menit durasi film dia hanya muncul setelah film melewati 120 menit. Jika ditotal, screen time Brando disini maksimal mungkin hanya 20 menit. Aktingnya jelas bagus tapi tidak istimewa. Bagian Brando disini saya rasa bisa ia mainkan saat tidur sekalipun. Tapi meski porsinya sedikit saya suka bagaimana penggambaran karakter Kurtz sepanjang film. Penonton diajak menduga-duga sebenarnya segila dan sekejam apakah Kurtz ini. Hal itulah yang membuat momen saat Willard pertama kali tiba ditempat persembunyian Kurtz, tensinya benar-benar menegangkan.

Selain kegilaan tentu saja ada ambiguitas moral yang kental. Tidak ada tokoh yang benar-benar putih ataupun hitam disini. Bahkan Kurtz yang sedari awal digambarkan gila itupun jika kita telusuri lebih dalam setelah kemunculannya, terlihat bahwa ia bukanlah murni jahat. Hampir dua setengah jam penuh kegilaan, Apocalypse Now jelas layak menjadi film perang terbaik yang pernah dibuat. Saya sering mendengar omongan teman saya yang memuja Pearl Harbor (dan mendeklarasikan dirinya sebagai pecinta film perang) karena adegan aksinya begitu spektakuler dan durasinya yang lama sehingga memuaskannya. Saya ingin berkata "Hei! tonton Apocalypse Now! Itu baru film perang dahsyat, durasi lama dan ceritanya berbobot nggak pake kisah cinta segitiga super murahan!" Pada kenyataannya memang menyandingkan kedua film tersebut bagaikan menyandingkan Harimau dengan kucing. Tipenya sama tapi kehebatannya jauh beda.

1 komentar :

Comment Page:

REPULSION (1965)

Tidak ada komentar
Film ini adalah film pertama yang dibuat oleh Roman Polanski dalam Bahasa Inggris setelah tiga tahun sebelumnya membuat debut filmnya dalam Bahasa Polandia dengan judul Knife in the Water. Selain menandai dimulainya karir Polanski di luar negeri, Repulsion juga adalah awal dari "Apartment Trilogy" yang dibuat oleh Polanski. Sebelum ini saya sudah terlebih dulu menonton Rosemary's Baby yang merupakan bagian kedua dari trilogi tersebut dan rilis tiga tahun sesudah Repulsion. Saya sendiri masih teringat bagaimana keseraman yang ditebar oleh Rosemary's Baby pada saat saya menontonnya sekitar setahun yang lalu. Perpaduan dari set yang punya nuansa creepy, penempatan scary moment yang sangat efektif, hingga iringan musik yang tidak kalah seram (lagu lullabyi itu luar biasa seramnya) membuat film tersebut jadi salah satu film horor terbaik bagi saya. Untuk Repulsion pendekatannya kurang lebih sama yaitu masih memakai tokoh utama wanita dan tentunya mayoritas adegan berada didalam apartemen.

Carol (Catherine Deneuve) adalah seorang gadis yang bekerja di tempat perawatan kecantikan di London. Carol sendiri tinggal bersama kakaknya, Helen (Yvonne Furneaux) yang sering membawa pacarnya yang sudah beristri menginap di apartemen mereka. Carol sendiri adalah seorang perawan yang menyimpan ketertarikan terhadap sex namun secara bersamaan juga merasa jijik akan seks. Hal itu juga yang membuatnya bertingkah awkward didepan pria termasuk Colin (John Fraser) yang begitu memuja Carol dan tidak pernah menyerah mendapatkan perhatiannya walaupun Carol terus menolak dan mengacuhkannya. Rasa jijik Carol terhadap seks juga terlihat dimana dia begitu terganggu dengan kedatangan pacar sang kakak dimana tiap malam Carol merasa amat terganggu saat kakaknya berhubungan seks. Carol yang selama ini juga sudah terlihat agak aneh dan sering melamun suatu hari ditinggal berlibur oleh kakaknya. Dalam kesendiriannya di apartemen itu, Carol makin kacau dan halusinasi yang dia alami makin sering terjadi dan makin nyata. Kondisi mentalnya makin terganggu dan mendorongnya melakukan berbagai perbuatan tak terduga.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LOVELY MAN (2012)

7 komentar
Pada gelaran 6th Asian Film Awards lalu, nama Indonesia cukup terangkat dengan terdapatnya dua wakil di ajang tersebut. Yang pertama adalah The Mirror Never Lies yang mendapat dua nominasi yaitu Best Newcomer untuk sutradara Gita Novalista dan nominasi Best Cinematography dimana film tersebut memang punya sinematografi yang hebat dan menampilkan gambar-gambar indah. Sedangkan satu film lagi adalah Lovely Man ini yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Film garapan Teddy Soeriaatmadja ini lebih hebat lagi dengan berhasil mengantongi tiga nominasi yaitu untuk Best Director, dan dua nominasi sisanya didapat Donny Damara untuk kategori Best Actor dan Favorite Actor. Hebatnya, Donny Damara berhasil memenangkan kategori Best Actor walaupun untuk kategori aktor favorit harus kalah dari Andy Lau. Tapi tentunya hal ini merupakan kebanggaan yang luar biasa dan membuat saya jadi penasaran sebagus apakah filmnya? Sekeren apakah akting Donny Damara yang di film ini memerankan banci?

Kisahnya adalah tentang Cahaya (Raihaanun) seorang gadis berjilbab berusia 19 tahun yang nekat pergi ke Jakarta tanpa berpamitan pada ibunya untuk mencari ayahnya yang telah 15 tahun pergi meninggalkan rumah. Meski tiap bulan sang ayah selalu rutin mengirimkan uang, namun tentunya Cahaya ingin untuk bertemu langsung dengan ayahnya itu. Betapa kagetnya Cahaya saat mengetahui sang ayah ternyata bekerja tiap malam sebagai banci yang dikenal dengan nama Ipuy (Donny Damara). Pada awalnya mereka berdua sama-sama saling kesulitan menerima satu sama lain. Tapi obrolan demi obrolan yang terjadi diantara mereka makin lama makin membuat mereka saling memahami satu sama lain dan sedikit demi sedikit hubungan ayah dan anak yang telah 15 tahun tidak bertemu itu mulai hangat. Tapi ternyata masih ada beberapa kejutan yang muncul dari masalah mereka masing-masing. Ya, tidak disangka Lovely Man menyimpan beberapa kejutan tak terduga yang tidak asal mengejutkan tapi menyisakan renungan-renungan tersendiri bagi para penontonnya.

7 komentar :

Comment Page:

THE VOW (2012)

Tidak ada komentar
Mendengar premise film yang berkisah tentang perjuangan seorang pria untuk mendapatkan kembali cinta istrinya yang hilang ingatan tentu membuat saya sempat berpikir bahwa ini adalah satu lagi adaptasi dari novel Nicholas Sparks. Hal itu membuat saya sempat malas menonton film ini karena film-film yang berbasis novel Nicholas Sparks itu selalu saja menampilkan kisah percintaan yang terlalu didramatisir dan momen-momen yang keterlaluan lebaynya untuk membuat penontonnya banjir air mata. Kalu saya perumpamakan, maka film-film adaptasi novel Nicholas Sparks merupakan versi drama dari film-filmnya Michael Bay. Tapi ternyata The Vow bukanlah adaptasi dari novel Sparks, bahkan Sparks sama sekali tidak terlibat dalam film ini. Kisahnya sendiri terinspirasi oleh kisah nyata dari pasangan Kim dan Krickitt Carpenter. Film ini sendiri dibintangi oleh Channing Tatum dan Rachel McAdams. Menarik melihat bahwa keduanya sama-sama pernah bermain di film yang diangkat dari novel Sparks dan hasilnya sukses dimana Tatum lewat Dear John berhasil menggeser posisi Avatar di Box Office sedangkan McAdams lewat The Notebook sukses menjadi film adaptasi novel Sparks dengan kualitas terbaik.

Sepulang dari menonton film, Leo (Channing Tatum) dan istrinya, Paige (Rachel McAdams) sedang dalam perjalanan pulang. Terlihat kemesraan mereka didalam mobil membuat suasana menjadi hangat walaupun diluar salju sedang turun dan suasana kota begitu dingin. Tiba-tiba saat sedang berhenti dijalan sebuah truk menabrak mobil mereka dari belakang yang menyebabkan keduanya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Leo tidak terluka parah dan segera terbangun. Tapi sungguh terkejut dirinya saat mengetahui fakta bahwa sang istri tidak ingat lagi siapa dirinya. Paige menderita amnesia dan lupa jika ia telah menikah dan sama sekali tidak mengenali Leo. Yang ia ingat justru kehidupannya sebelum pindah ke kota dan bertemu Leo dimana dia masih bersekolah di sekolah hukum, tinggal bersama kedua orang tuanya, dan masih bertunangan dengan pria lain! Usaha yang tidak mudah bagi Leo untuk bisa mengembalikan cinta Paige karena halangan tidak hanya datang dari memori Paige yang hilang tapi juga dari orang tua Paige yang berusaha membawa sang anak kembali ke kehidupan lamanya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE LAST HOUSE ON THE LEFT (1972)

Tidak ada komentar
Wes Craven itu bisa dibilang adalah salah satu ikon film horor yang tidak ragu menerobos batas-batas dalam genre tersebut. Hal itu dalam artian Wes Craven sering menampilkan ide-ide yang unik dalam membuat film-filmnya. Lihat saja franchise macam A Nightmare on Elm Street atau Scream yang merupakan sebuah pengembangan dari genre slasher. Ditangan Wes Craven film tentang bunuh membunuh yang biasanya standar tersebut bisa menjadi menarik dengan berbagai konsep segar yang ia miliki. Dan perjalanan Wes Craven yang penuh keunikan tersebut juga diawali dengan sebuah kontroversi. Film ini adalah film pertamanya. Dibuat delapan tahun sebelum Freddy Krueger meneror penonton, The Last House on the Left sempat menuai kontroversi pada masa perilisannya karena berbagai konten kekerasan dan seksual yang ditampilkan cukup vulgar. Bahkan film ini sempat dilarang beredar di beberapa negara. Pertanyaan saya seberapa brutalkah film ini hingga mendapat tanggapan keras seperti itu dan menjadi sebuah cult?
Kisahnya adalah tentang Mari (Sandra Cassel) yang akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas dengan menonton konser rock bersama temannya Phylis (Lucy Grantham). Sedangkan dirumah kedua orang tuanya juga tengah menyiapkan sebuah surprise party. Sebelum konser dimulai Mari dan Phylis memilih menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di pinggiran kota untuk mencari mariyuana. Malang mereka justru terperangkap di sebuah apartemen yang berisi empat orang buronan yang kabur dari penjara. Dari situlah peristiwa tragis dimulai. Keempat orang penjahat "sakit" itu mulai melakukan tindak kekerasan bahkan pelecehan seksual pada kedua gadis tersebut. Disisi lain kedua orang tua Mari mulai khawatir karena anaknya tidak kunjung pulang. Ternyata penyiksaan tersebut tidak berhenti di sebuah apartemen. Keempat penjahat itu membawa Mari dan Phylis kedalam mobil mereka dan saat ditengah jalan mobil tersebut mogok, mereka membawa kedua gadis itu ketengah hutan untuk penyiksaan yang lebih brutal lagi. Ironisnya hutan tersebut berada di seberang rumah milik Mari.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE THING (1982 & 2011)

15 komentar
Pada tahun 1982 John Carpenter membuat sebuah remake bagi film The Thing From Another World yang dirilis pada tahun 1951. Alasan Carpenter membuat remake adalah karena dia amat menyukai film tersebut dan menurutnya amat disayangkan film sekeren itu jarang orang yang tahu. Hal itulah yang membuat Carpenter membuat remake-nya yang meskipun juga jeblok dipasaran karena kalah bersaing dengan E.T. tetapi telah berhasil mendapat status cult dan dianggap sebagai masterpiece dari Carpenter. Selang 29 tahun giliran sutradara Matthijs van Heijningen Jr. yang mengangkat The Thing ke layar lebar. Tapi kali ini bukanlah remake dari film Carpenter melainkan sebuah prekuel, setidaknya itu yang dia katakan. Jadi versi mana yang lebih bagus?

THE THING (1982)
Versi Carpenter dibuka dengan adegan seekor anjing yang tengah dikejar-kejar oleh seorang Norwegia yang menaiki helikopter sambil menembaki anjing tersebut. Pengejaran tersebut akhirnya sampai di sebuah camp milik American Antartic Research. Tidak jelas apa maksud dari orang tersebut mengejar dna mencoba membunuh anjing itu. Tapi meski tidak mengerti apa yang diucapkan oleh si orang Norwegia yang akhirnya tewas tertembak itu, para peneliti Amerika yang ada disana tau bahwa ada yang tidak beres. Mereka lalu memutuskan mendatangi tempat yang diduga adalah camp milik orang Norwegia tersebut dan menemukan pemandangan yang mengerikan berupa mayat dan sebuah bangkai yang hangus terbakar. Meski mereka makin menyadari ada keanehan tapi belum ada yang tahu pasti bahwa semua itu adalah akibat dari teror alien ganas yang mampu bertansformasi dan menduplikasi sel makhluk hidup dan menirunya dengan sempurna.

The Thing versi Carpenter ini adalah sebuah horor yang memuaskan bahkan saya tidak ragu menyebutnya sebagai film yang bagus. Memang beberapa bagian plot-nya terasa tidak masuk akal tapi sekali lagi sebuah film horor bisa dianggap berhasil apabila mampu membuat penontonnya merasakan takut, setidaknya itu pendapat saya pribadi. Film ini mampu memberikan ketegangan-ketegangan dalam berbagai momennya baik itu disaat si alien muncul ataupun disaat momen yang tidak memunculkan alien tersebut. Sebuah adegan tes darah di tengah film juga menegangkan. Tapi yang paling keren tentunya adalah desain aliennya yang creepy meski di jaman itu belum ada CGI. Kemunculan aliennya benar-benar efektif, momen gore yang ada juga mampu menambah kesan seram. Misteri tentang who's who cukup menarik meski bukan misteri yang pintar juga. Sayang hubungan antar tokoh kurang digali, padahal setidaknya jika hubungan antara MacReady (Kurt Russell) dan Childs (Keith David) lebih diperdalam lagi maka akan sangat menarik meliha keduanya melakukan teamwork. Tapi overall versi Carpenter adalah horor yang baik dan layak menjadi klasik.



THE THING (2011)
Pembuatan film ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah prekuel yang akan menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam versi Carpenter. Saya justru tidak mengerti pertanyaan apakah yang coba dijawab karena saya rasa tidak ada pertanyaan yang tertinggal dalam versi Carpenter. Menyatakan film ini sebagai prekuel memang tidak salah karena film ini mempunyai setting tepat sebelum film versi 1982-nya dimulai. Ahli paleontologist, Kate Lloyd (Mary Elizabeth Winstead) dimintai tolong untuk meneliti sesosok makhluk yang membeku di Antartika selama 100.000 tahun. Selanjutnya seperti yang kita tahu makhluk itu adalah alien yang muncul di film sebelumnya dan mulai membunuhi para kru sekaligus meniru wujud mereka. Tidak ada yang berbeda dalam cerita versi 2011 ini. Setting-nya memang prekuel tapi jalan ceritanya berasa remake dari versi Carpenter. Hanya saja bagian opening-nya beda dan ending-nya adalah kisah tepat sebelum opening versi Carpenter, yaitu seekor anjing yang dikejar oleh helikopter.

Kekurangan film ini bukan hanya pada pengulangan cerita saja tapi nuansa kengeriannya juga sangat kurang. Tidak ada momen menegangkan layaknya versi tahun 1982. Jika film Carpenter punya adegan tes darah yang menegangkan, versi 2011 ini malah punya tes "tambalan gigi" yang konyol dan tidak menegangkan sama sekali. Jika pada versi 1982 saya menganggap karakternya kurang tergali, versi 2011 ini jauh lebih buruk lagi. Sosok monster CGI-nya memang lebih modern tapi tidak ada kesan seram sedikitpun. Begitu pula momen saat alien tersebut membunuh mangsanya yang begitu cupu, tidak seram dan nyaris tanpa gore. Beberapa elemen yang mengaitkan film ini dengan versi aslinya mungkin jadi nilai lebih dengan syarat anda sudah menonton versi 1982-nya lebih dulu. Kelebihan ada pada diri Mary Elizabeth Winstead dengan wajah cantiknya yang dengan begitu keren memegang flamethrower. Ya, satu-satunya kelebihan versi 2011 ini hanya pada Mary Elizabeth Winstead dimana pada versi Carpenter tidak ada satupun karakter wanita. Hanya wajah cantiknya yang mampu membuat saya bertahan menyaksikan horor yang tidak seram ini. Aspek lainnya? Membosankan dan mengecewakan meski bukan film yang amat buru. 

15 komentar :

Comment Page:

BAD TASTE (1987)

Tidak ada komentar
Enam belas tahun sebelum Peter Jackson merampungkan Trilogi Lord of the Rings dan menjadi sutradara papan atas Hollywood dan terkenal lewat film-filmnya yang punya bujet fantastis dan spesial efek megah, dia membuat film pertamanya yang hanya bermodal $255,000. Bad Taste dibuat oleh Peter Jackson selama empat tahun kalau tidak salah dimana para pemainnya adalah teman-teman Peter Jackson sendiri yang bersedia main tanpa dibayar. Bahkan awalnya film ini hanya punya bujet $1000 yang itupun berasal dari kantong Peter Jackson sendiri sebelum pada akhirnya mendapat bantuan dari New Zealand Film Comission. Waktu syutingnya juga terbatas pada weekend saja dimana hal itu jugalah yang membuat filmnya sampai butuh waktu empat tahun untuk selesai. Dan dengan segala keterbatasan tersebut Peter Jackson memilih untuk membuat film tentang invasi alien! Sebuah keberanian yang luar biasa dan juga didasari oleh kecintaan luar biasa akan sebuah film. Tapi tentu saja film alien disini bukanlah film dengan spesial efek yang megah.

Ceritanya sendiri termasuk unik dan kalau boleh dibilang konyol (Kalau tidak salah syutingnya berjalan dengan menggunakan improvisasi dan tidak terpatok pada naskah) yaitu tentang AIDS (The Astro Investigation and Defence Service) yang sedang menyelidiki misteri hilangnya para penduduk di kota Kaihoro. Dalam misi tersebut diutus empat orang anggota dimana dua anggotanya, Barry (Pete O'Herne) dan Derek (Peter Jackson) telah sampai lebih dulu dan berhasil mengungkap keberadaan alien yang menginvasi kota tersebut. Bahkan mereka berhasil menangkap satu alien bernama Robert (diperankan Peter Jackson juga). Tapi Robert berhasil kabur dan membuat Derek jatuh dari atas tebing. Disinilah kegilaan dan kekonyolan Bad Taste dimulai. Derek tidak mati dan "hanya" bagian belakang kepalanya terbuka sehingga beberapa potongan otaknya keluar yang menyebabkan Derek jadi lebih idiot lagi. Untuk mengakali itu. Derek memasukkan beberapa serpihan otaknya dan sepanjang film berusaha menjaga supaya kepalanya tidak terbuka lagi seperti dengan memakai topi atau mengikatnya dengan ikat pinggang. AWESOME! Sementara itu teman-teman Derek mencoba menyelidiki keberadaan para alien tersebut dan menemukan fakta bahwa mereka datang ke Bumi untuk mengambil sampel daging manusia yang akan dibakai sebagai bahan baku fast-food. Lagi-lagi AWESOME!
Apalagi yang harus saya katakan mengenai film ini selain klasik? Bad Taste adalah termasuk film yang hampir tidak mungkin saya katakan buruk. Bukan karena kualitasnya yang sempurna tapi karena semangat yang terkandung didalamnya. Banyak film yang untuk mengakali keterbatasan dana ataupun malas mengarang cerita berbobot akhirnya memilih jalan mengumbar kesadisan ataupun gore sebanyak mungkin, tapi meski banyak adegan gore, film perdana Peter Jackson ini berbeda. Dari proses yang saya baca terlihat jelas kecintaan Peter Jackson akan sebuah film. Tapi dari hasilnya yang saya lihat ternyata juga terpampang jelas bagaimana dia amat menikmati membuat film ini. Semangat dan kecintaan yang luar biasa dan nuansa bersenang-senang jelas terlihat disini. Dari jalan ceritanya, Bad Taste memang konyol tapi bukan berarti sampah. Kreatifitas Peter Jackson cukup terlihat dimana latar belakang para alien menginvasi Bumi sangatlah unik dan bisa dibilang "nakal". 
Tentu saja jangan berharap ada visual efek megah seperti saat Peter Jackson memproduseri District 9 ataupun saat ia mewujudkan King Kong, karena sekali lagi disini karena keterbatasan dana semuanya terlihat begitu murahan. Tapi justru disinilah kejeniusan Peter Jackson terlihat. Keterbatasan tidak menghalangi kejeniusannya. Keterampilannya dalam membangun adegan gore yang banjir darah dan banyak organ tubuh bertebaran juga hebat. Memang murah, tapi tidak sampai terkesan murahan dan hanya ingin mengumbar kesadisan. Lagi-lagi semua itu muncul atas dasar senang-senang.  Lalu kita lihat ke tampang aliennya yang dengan cerdas Peter Jackson membuat konsep bahwa alien menyamar dalam tubuh manusia untuk membatasi pengeluaran. Tapi tunggu saat mereka menampakkan wujud aslinya dalam ksotum karet yang mukanya lebih terlihat seperti kerutan pantat dan pantat mereka sendiri terlihat. Tapi kehebatan Peter Jackson dalam film ini tidak berhenti sampai pada penyutradaran, kisah unik tanpa naskah, efek sinting, make-up edan tapi juga pada kemunculannya sebagai dua orang tokoh berbeda. Okelah sebagai Robert saya masih mengenalinya, tapi sebagai Derek yang gila, benar-benar WTF! Peter Jackson sebagai orang "gila" yang beraksi layaknya Ash Williams dengan gergaji mesin sambil sesekali menjaga supaya otaknya tidak berhamburan. lagi-lagi kata AWESOME harus saya tuliskan. 

Tentu saja ada banyak adegan komedi konyol dalam film ini meski tidak sedikit juga yang meleset tapi bisa dimaklumi mengingat naskahnya juga adalah improvisasi, mungkin saja berbagai koemdi tersebut muncul tiba-tiba disaat Peter Jackson tengah bersantai sambil mabok saat jeda syuting? Bisa jadi tapi tetap saja mengetahui proses pembuatannya saya tidak bisa menahan untuk berkata AWESOME! Jika ditonton sendiri mungkin film ini tidak akan terlalu berkesan, tapi cobalah tonton film ini beramai-ramai dan dengan begitu kegilaan dan ke-AWESOME-an yang disajikan Peter Jackson akan makin membekas. Saya jadi tertarik utnuk mencari Braindead yang rilis lima tahun setelah film ini yang katanya lebih rapi tapi jauh lebih gila dan lebih berdarah-darah. Setelah menonton Bad Taste saya jadi berpikir bagaimana bisa Peter Jackson yang pernah segila ini kemudian membuat King Kong yang sama sekali tidak "nakal" itu, bahkan sampai ada The Lovely Bones yang (maunya) puitis dan indah. Saya harap Peter Jackson sudi untuk setidaknya sekali lagi memamerkan kegilaan miliknya. Bad Taste juga meningatkan saya pada banyak film eksploitasi Jepang yang sinting hanya saja film ini minus sindiran sosial.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE FALL (2006)

3 komentar
Pengalaman saya terhadap film-film dari Tarsem Singh mungkin berbeda dari banyak orang. Jika mayoritas orang menonton The Fall terlebih dahulu sebagai perkenalan terhadap karya Tarsem dan akhirnya dikecewakan oleh Immortals karena ekspektasi tinggi yang ada setelah dipuaskan oleh The Fall, maka saya justru kebalikannya. Saya lebih dulu dikecewakan oleh Immortals setelah kemudian penasaran pada film ini setelah banyak membaca review yang amat positif untuk The Fall. Bahkan seorang Roger Ebert memasukkan film ini kedalam daftar 20 film terbaiknya untuk tahun 2008. Sebenarnya film ini sudah diputar di TIFF pada tahun 2006, tapi baru diputar di bioskop dua tahun kemudian. Saya sendiri meski telah dikecewakan oleh Immortals tetap memasang ekspektasi tinggi setelah membaca begitu banyak puja puji terhadap film iniyang katanya begitu indah. Tapi masalahnya dari segi visualpun Immortals termasuk bagus tapi hancur di ceritanya. Bagaimana dengan The Fall?

Film ini berkisah tentang gadis cilik berusia lima tahun bernama Alexandria (Catinca Untaru) yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit setelah tangannya patah disaat dia sedang memetik jeruk di kebun tempat ia dan ibunya bekerja. Alexandria yang begitu lugu dan dikenal oleh semua orang di rumah sakit ini suatu hari bertemu dengan seorang stuntman bernama Roy (Lee Pace) yang mengalami kelumpuhan di kakinya setelah jatuh saat sedang melakukan sebuah adegan berbahaya. Pertemuan pertama mereka ternyata langsung membuat Alexandria betah berada bersama Roy yang memberinya cerita-cerita penuh imajinasi termasuk sebuah cerita tentang lima orang pahlawan yang bersatu untuk membunuh seorang gubernur yang kejam. Alexandria mulai mengembangkan imajinasinya untuk memvisualisasikan kisah dari Roy tersebut. Lama kelamaan Roy mulai makin banyak memasukkan unsur-unsur kehidupan pribadinya dalam cerita itu. Roy memang tengah dilanda depresi setelah kekasihnya meninggalkannya demi seorang aktor ternama. Tapi ada satu hal yang tidak disadari Alexandria bahwa kepolosan dan kebaikan hatinya sebenarnya sedang dimanfaatkan.

3 komentar :

Comment Page:

SAMARITAN GIRL (2004)

3 komentar
Lewat Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring saya untuk pertama kalinya berkenalan dengan film drama arthouse dari Korea. Film itu jugalah yang membuat saya mengetahui ada satu lagi sineas jenius yang punya visi luar biasa dari Korea bernama Kim Ki-duk. Sama seperti Spring, Summer, Fall, Winter and Spring (SSFWaS) dalam Samaritan Girl Kim Ki-duk masih menyajikan sebuah drama yang dikemas dalam tempo yang lambat dan memilik banyak kandungan cerita didalamnya. Yang saya suka dari SSFWaS adalah film tersebut bisa membuat penontonnya bebas menafsirkan makna dari film tersebut terlepas dari adanya unsur ajaran Buddha yang kental didalamnya. Saya sendiri lebih senang memandang film tersebut sebagai gambaran mengenai fase kehidupan seorang pria. Setelah menyoroti para pria di SSFWaS, di Samaritan Girl sesuai judulnya Kim Ki-duk giliran memfokuskan ceritanya pada kehidupan tokoh wanitanya meskipun ada juga tokoh pria yang cukup berperan besar.

Dua gadis remaja yang saling bersahabat, Jae-yeong (Min-jeong Seo) dan Yeo-jin (Ji-min Kwak) mempunyai mimpi untuk pergi ke Eropa. Tapi tentunya untuk memenuhi mimpi mereka tersebut diperlukan uang yang tidak sedikit. Untuk itulah mereka mengumpulkan uang dengan cara bisnis prostitusi dimana Jae-yeong yang menjadi pelacurnya dan Yeo-jin menjadi mucikari dan ikut membantu mengawasi jika ada polisi yang melakukan razia. Ayah dari Yeo-jin sendiri adalah seorang polisi yang amat menyayangi puterinya dan sama sekali tidak tahu menahu tentang yang sedang Yeo-jin lakukan. Sampai suatu hari sebuah peristiwa tragis terjadi dan akhirnya mengubah jalan hidup Yeo-jin dan ayahnya. Cara dan tujuan hidup mereka kini berubah setelah dipengaruhi oleh berbagai perasaan yang berkecamuk khususnya perasaan bersalah.

3 komentar :

Comment Page:

THE AVENGERS (2012)

5 komentar
Penantian sekitar empat tahun tersebut akhirnya usai. Tentu semua orang mulai dari para pecinta komik hingga penyuka film biasa seperti saya ini begitu terkejut saat di credit-scene film Iron Man muncul Nick Fury yang berkata mengenai Avengers Initiative. Saat itulah proyek super ambisius dari Marvel untuk menggabungkan apra superhero dalam satu film dimulai. Saya sendiri cukup antusias menantikan The Avengers meskipun rasa pesimistis cukup menghantui pada awalnya. Menggabungkan banyak superhero artinya akan ada banyak tokoh yang muncul dan mereka harus mendapat porsi yang seimbang, dan itu jelas bukan hal yang mudah. Saat kursi sutradara jatuh kepada Joss Whedon saya masih tidak terlalu optimis walaupun dia adalah kreator Buffy: The Vampire Slayer sekaligus pecinta komik dan sempat menjadi penulis beberapa jilid komik X-Men. Okelah saya yakin dia akan bisa memuaskan pecinta komik yang menonton filmnya tapi apa dia mampu memuaskan penonton yang bukan para pecinta komik? Tapi optimisme saya mulai membumbung saat film yang naskahnya ditulis oleh Whedon, Cabin in the Woods mendapat pujian luar biasa. Okelah itu film horror tapi setidaknya itu cukup membuktikan kapasitas Whedon sebagai penulis naskah yang handal. Apalagi saat review bagi The Avengers mayoritas positif dimana untuk Rotten Tomatoes film ini mencapai angka 93%. Jadi apakah penantian panjang tersebut akan terbayar?

Dasar ceritanya biasa saja dan tidaklah rumit, yaitu mengenai usaha Loki (Tom Hiddlestone) yang masih menyimpan ambisi sebagai raja untuk menebar kekacauan di Bumi dan membuat umat manusia tunduk padanya. Untuk itulah dia berusaha menguasai kekuatan tanpa batas yang terdapat di Tesseract yang sebelumnya kita sebagai senjata yang dipakai oleh Hydra di Captain America: The First Avenger. Benda itu sendiri sekarang dimiliki oleh S.H.I.E.L.D dan sedang diteliti oleh Erik Selvig (Stellan Skarsgard) dibawah pengawasan Nick Fury (Samuel L. Jackson). Setelah Loki berhasil merebut Tesseract, Bumi terancam kehancuran karena Loki ternyata berniat mendatangkan "pasukan" untuk menyerang Bumi. Saat kekuatan yang ada dirasa sudah tidak mampu menandingi Loki, maka proyek Avengers yang sempat terhenti kembali dilakukan dimana para superhero yang rasanya tidak perlu lagi saya sebut satu persatu mulai dikumpulkan. Tapi ternyata yang harus mereka hadapi bukan hanya niat jahat dari Loki dan ribuan pasukannya namun juga benturan ego dari masing-masing superhero tersebut.

5 komentar :

Comment Page:

YOUNG ADULT (2011)

9 komentar
Film Up in the Air milik Jason Reitman adalah salah satu film paling berpengaruh dalam hidup saya. Saya yang dulu menghindari film-film drama  khususnya yang memenangi Oscar karena saya sudah takut duluan filmnya akan terasa berat dan membosankan menjadi berubah pikiran setelah menonton film ketiga dari Reitman tersebut. Kesederhanaan yang ditampilkan membuat saya benar-benar jatuh cinta pada film tersebut walaupun alurnya lambat. Saya yang sebelumnya adalah penyuka film-film aksi yang penuh ledakan dan menonton film hanya sebagai hiburan saja seolah merasakan jatuh cinta dengan film setelah menonton Up in the Air. Dua tahun kemudian Jason Reitman kembali merilis film barunya dimana ia kembali berduet dengan penulis naskah Diablo Cody dimana duet mereka sebelumnya sukses menghasilkan Juno di tahun 2007 yang berhasil memenangkan Oscar untuk Best Original Screenplay.

Young Adult berkisah tentang seorang wanita berusia 37 tahun bernama Mavis Gary (Charlize Theron) yang tinggal di Minneapolis dan bekerja sebagai seorang ghost writer untuk sebuah buku serial remaja yang sayangnya akan segera dihentikan pembuatannya karena tidak terlalu laku. Mavis sendiri sudah bercerai dari suaminya dan tinggal sendirian menjalani kehidupannya yang monoton dan diisi dengan rasa malas. Tapi kemudian saat dia mendengar bahwa Buddy Slade (Patrick Wilson) yang notabene adalah mantan pacarnya saat masih SMA baru saja memiliki anak, Mavis memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Mercury dengan tujuan untuk mendapatkan kembali sang mantan pacar yang menurutnya adalah pria yang paling tepat dan ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Ya, begitulah Mavis Gary yang dulunya merupakan gadis paling populer semasa SMA yang hingga kini masih belum lepas dari masa lalunya dan masih merasa sebagai seorang gadis yang paling dipuja.

9 komentar :

Comment Page:

AN AFFAIR TO REMEMBER (1957)

4 komentar
Film ini adalah remake yang memakai teknik scene-to-scene alias membuat ulang sama persis tiap adegan dari film tahun 1939 berjudul Love Affair. Versi 1939 tersebut adalah film yang mendapat lima nominasi Oscar termasuk Best Picture. Sedangkan versi 1957-nya mendapat empat nominasi Oscar, tapi mayoritas berasal dari nominasi minor seperti Best Costume serta ada nominasi untuk Best Original Song dan Best Original Score dimana film ini memang terbantu oleh lagu "An Affair to Remember (Our Love Affair)" yang mantap itu. Sedangkan sisa satu nominasi lagi adalah untuk Best Cinematography. Apakah ini berarti An Affair to Remember kalah kualitas dari pendahulunya dan hanya menang untuk aspek teknisnya? Film ini sering juga disebut-sebut sebagai salah satu film paling romantis sepanjang masa. Tapi ada satu masalah mendasar bagi saya untuk film-film romansa klasik. Kisah cinta memang selalu abadi dan tak pernah lekang oleh waktu, tapi bagaimana kisah cinta itu dituturkan sangat rawan untuk terasa ketinggalan jaman. Apakah film ini sama?

Kisahnya adalah mengenai pertemuan Nickie Ferrante (Cary Grant), seorang pelukis amatiran sekaligus seorang playboy dengan Terry McKay (Deborah kerr) yang merupakan mantan penyanyi klub. Mereka berdua bertemu diatas sebuah kapal yang menuju New York dan mulai makin dekat satu sama lain setelah sering secara tidak sengaja bertemu dan makin intens berinteraksi. Jelas saja perasaan cinta diantara keduanya mulai tumbuh. Sekilas tidak ada yang salah dengan perasaan itu, tapi menjadi sebuah dilema dikarenakan mereka berdua sama-sama sudah bertunangan dan akan sama-sama bertemu dengan calon pengantin mereka sesampainya di New York nanti. Bagaimanakah mereka menanggapi perasaan tersebut? Apakah mereka akan memilih meninggalkan pasangan masing-masing atau melupakan cinta antara mereka dan hanya menganggapnya sebagai kenangan beberapa hari yang manis?

4 komentar :

Comment Page:

TOWER HEIST (2011)

2 komentar
Tower Heist menampilkan ensemble cast dalam peran mereka sebagai sekumpulan orang yang berusaha mencuri dari seorang milyuner dalam rangka usaha balas dendam terhadap sang target pencurian tersebut. Tapi para pencuri disini bukanlah Georce Clooney, Brad Pitt dan Matt Damon yang merampok dengan penuh style dan begitu cerdas dalam Ocean's Eleven. Memang disini juga ada Casey Affleck yang juga turut bermain dalam film arahan Soderbergh tersebut, tapi anggota tim pencuri lainnya diisi oleh komedian macam Ben Stiller, Eddie Murphy dan aktris peraih nominasi Oscar, Gabourey Sidibe. Yak, kisah pencurian arahan Brett Ratner ini memang bukanlah tentang pencurian yang mengandalkan trik-trik cerdas nan keren namun sebuah pencurian yang didalamnya terdapat berbagai kekonyolan dan timnya bukan diisi para pencuri handal ataupun para ahli dalam bidangnya namun para amatiran yang punya kesamaan nasib. Apakah film ini bisa menyeimbangkan kerennya pencurian dengan kekonyolan dengan baik?

Kehidupan Josh Kovacs (Ben Stiller) sebagai seorang manajer di sebuah apartemen mewah bernama The Tower awalnya baik-baik saja, sampai sang pemilik gedung, Arthur Shaw (Alen Alda) yang selama ini telah begitu setia ia layani tersangkut kasus penipuan. Uang yang lenyap tersebut juga termasuk uang-uang milik Josh dan karyawan-karyawan lainnya bahkan termasuk dana pensiun mereka. Josh yang merasa ditipu berniat melancarkan balas dendam kepada mantan bosnya tersebut. Untuk itulah dia berniat merampok uang $20 juta dari brankas milik Shaw. Untuk itulah ia merekrut teman-temannya sesama pegawai seperti Enrique Dev’reaux (Michael Peña) yang merupakan operator lift, Charlie Gibbs (Casey Affleck) sang resepsionis yang juga adik iparnya dan Odessa Montero (Gabourey Sidibe) sang pelayan yang juga ahli membuka kunci. Selain mereka, Josh juga mengajak mantan broker Wall Street yang tengah dilanda kesulitan ekonomi Fitzhugh (Matthew Broderick) dan seorang pencuri yang juga tetangganya, Slide (Eddie Murphy). Dengan kemampuan dibawah rata-rata dan persiapan seadanya mereka harus menyusup kedalam Tower yang dijaga ketat oleh FBI.

2 komentar :

Comment Page: