SILENT HOUSE (2011)

3 komentar
Film ini adalah sebuah remake  dari film Uruguay rilisan tahun 2010 yang berjudul La casa muda (The Silent House). Remake ini sendiri sebenarnya sudah diputar perdana pada Sundance Film Festival 2011 tapi baru diputar di bioskop mulai Maret 2012. Dibintangi oleh Elizabeth Olsen yang namanya melambung berkat aktingnya di Martha Marcy May Marlene, film ini punya keunikan pada penyajiannya dimana seolah-olah filmnya berjalan secara real time dan diambil hanya dengan satu kali take yang mana mengingatkan saya pada film Rope milik Alfred Hitchcock yang juga memakai teknik serupa. Tentu saja sebenarnya film ini tidak di-shoot langsung selama 88 menit, hanya saja menggunakan berbagai trik kamera dan editing seolah-olah filmnya seperti itu. Film ini sendiri sebenarnya tidak terlalu sukses dengan hanya mendapat $13 Juta walaupun bujetnya sendiri memang minim, hanya $2 juta. Dimata kritikus film ini juga tidak mendapat review yang baik meski tidak busuk juga. Tapi saya tetap penasaran dengan eksekusi single take-nya dan juga dengan penampilan Elizabeth Olsen disini.

Sarah (Elizabeth Olsen) bersama John, ayahnya (Adam Trese) dan Peter, pamannya (Eric Sheffer Stevens) sedang memperbaiki rumah lama yang mereka miliki namun sudah lama tidak mereka tempati untuk kemudian akan dijual. Sebuah pertengkaran antara John dan Peter membuat Peter pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan Sarah berdua dengan ayahnya. Awalnya tidak terjadi hal yang aneh disana sampai Sarah mulai mendengar beberapa suara misterius yang ternyata hanyalah awal dari sebuah teror mengerikan yang akan dialami olehnya. Membaca judulnya saya berasumsi kalau ini adalah film tentang rumah tua yang berhantu. Sebuah kisah yang jelas bukan barang baru. Tapi kemudian melihat trailer-nya, film ini justru agak terasa seperti sebuah film slasher dengan memperlihatkan Sarah yang bersembunyi dari sosok misterius yang lebih terlihat seperti manusia daripada hantu ala film Hollywood. Butuh waktu untuk mengetahui kepastiannya karena hal itu adalah bagian terbesar dari twist yang dimiliki oleh film ini.

Selain teknik continous shot yang harus diakui terlihat baik dan diedit dengan sangat rapih (benar-benar terlihat seperti sebuah single shot selama 88 menit), Silent House juga menyimpan sebuah misteri yang sebenarnya cukup menarik. Kita diajak menebak-nebak tentang fakta sebenarnya. Tapi sayangnya film ini terlalu berbaik hati dengan memberikan kita beberapa hint yang mau tidak mau membuat penontonnya mengira-ngira tentang twist-nya. Saya sendiri tidak terlalu terkejut dengan twist tersebut karena selain sudah ada petunjuk yang tersebar, kejutan macam itu juga sudah sering dipakai dalam banyak film. Bahkan bisa dibilang kejutan tersebut juga punya banyak lubang yang tersebar. Sulit rasanya menjelaskan hal ini tanpa memberikan major spoiler tapi kurang lebih penjelasannya seperti ini. Kejutan atau twist sebuah film memang bertujuan untuk mengejutkan penonton, tapi ada kalanya kejutan itu akan terasa tidak sinkron dengan plot-nya dan terasa aneh jika kita meninjau ulang filmnya dari awal dan mengaitkannya dengan twist ending tersebut. Dalam Silent House memang saya tidak sampai terasa dibohongi namun tetap ada pertanyaan besar mengenai "kapan" dan "bagaimana". Karena kontinuitas dalam dunia yang dibangun dalam film ini akan terasa aneh jika kita menerapkan twist tersebut didalamnya.
Dalam sebuah wawancara, duo sutradara Chris Kentis dan Laura Lau mengatakan mereka mencoba memakai beberapa simbol dan metafora. Bagi saya mereka juga terlihat menerapkan teori ala Mulholland Drive meski hanya secuil dan aplikasinya berbeda karena Silent House jelas punya twist yang jauh berbeda. Tapi hal itu sangat terasa jika kita membahas tentang siapa sosok gadis kecil tersebut? Siapa sosok pria misterius itu? Siapa sebenarnya Sophia? Saya merasa teringat pada teori yang dipakai Lynch di filmnya. Hal itu diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada duo sutradara film ini. Harus diakui itu usaha yang cukup kreatif, namun pada eksekusinya menjadi tidak tepat sasaran. Selain sosok gadis kecil, saya rasa penonton tidak akan berasumsi seperti apa yang diharapkan oleh kedua sutradaranya. Benar-benar terasa dipaksakan apa yang coba disimbolkan oleh mereka dalam film ini.

Tidak hanya lemah dalam ending, film inipun lemah dalam hal menakut-nakuti penontonnya. Sedari awal penonton diajak masuk dalam rumah yang katanya seram itu saya tidak merasakan aura yang menyeramkan. Yang ada hanyalah rumah yang gelap namun terasa begitu ramah tanpa sedikitpun nuansa creepy didalamnya. Padahal membangun tensi lewat nuansa dan situasi sekitar adalah hal yang sangat penting dan efektif untuk membuat penonton tegang dan takut. Tapi lingkungan dalam film ini terasa nyaman-nyaman saja. Begitu pula saat film ini mencoba mengaget-ngageti penontonnya. Momen yang harusnya membuat jantung serasa mau copot itu terasa terlalu lembut dan pelan. Tidak sedikitpun terasa mengagetkan. Pembangungan suasana, pergerakan kamera dan penerapan musik saat adegan yang niatnya mengagetkan tersebut terasa terlalu lamban dan tidak pas. Padahal mengageti penonton adalah cara termudah bagi sebuah horor untuk meningkatkan tensi, dan bila sebuah film gagal melakukan hal mudah itu berarti memang ada yang salah dengan film tersebut. Saya tidak peduli dengan teknik continous shot-nya yang memang bagus karena tidak ada artinya sebuah horror dengan segi teknis yang bagus tapi tidak seram sama sekali. Saya lebih suka horor yang punya cerita bodoh, akting jelek, teknis menggelikan tapi mampu membuat saya ketakutan.

Tapi tidak semua yang ada dalam film ini buruk. Selain continous shot yang tampil meyakinkan, masih ada satu lagi kelebihan yang membuat saya betah menonton film ini, yaitu Elizabeth Olsen. Saat menyebut Olsen sebagai kelebihan film ini, maksud saya adalah dalam semua aspek. Dari segi akting jelas Olsen berakting baik. Ketakutannya terasa nyata, saat dia kaget seolah dia memang kaget, saat dia menangis takut memang terasa Olsen seperti sedang diteror sungguhan, dan saat memasuki ending dia juga mampu membuatnya terlihat meyakinkan. Kemudian ditinjau dari aspek fisinya, Olsen juga mampu membuat saya betah dengan melihat wajah cantiknya dan sebuah "tonjolan" lain yang mampu ikut menonjol disamping aktingnya. Sebuah "tonjolan" yang mencuri perhatian jauh lebih banyak dari cerita filmya yang membosankan. Yang jelas, berakting dalam film yang punya banyak take panjang adalah tidak mudah, dan Elizabeth Olsen mampu melakukannya dengan baik. Coba ganti Olsen dengan aktris remaja amatiran lain ala film-film horror Hollywood, maka Silent House benar-benar menjadi film yang buruk.

3 komentar :

Comment Page:

BEDEVILLED (2010)

6 komentar
Kim Ki-duk tidak hanya seorang sutradara handal yang jago membuat film-film arthouse, namun juga ahli dalam menelurkan sineas-sineas muda berbakat. Beberapa orang yang pernah menajdi astrada dalam film-film Kim Ki-duk juga telah berhasil membuat film mereka sendiri, sebut saja Juhn Jai-hong (Beautiful, Poongsan), Jang Hun (Rough Cut) sampai Jang Chul-soo yang menyutradarai Bedevilled ini. Tapi berbeda dengan kedua rekannya tersebut, Jang Chul-soo tidak membuat filmnya berdasarkan naskah yang ditulis oleh Kim Ki-duk. Jadi bisa dibilang Jang Chul-soo benar-benar telah lepas dari Ki-duk dalam debut penyutradaraan yang naskahnya ditulis oleh Choi Kwang-young ini. Bedevilled sendiri mempunyai tema yang sudah berulang kali dipakai dalam film horror/thriller Korea, yakni mengenai balas dendam. Balas dendam memang menjadi sebuah tema yang sangat populer akhir-akhir ini dalam dunia perfilman Korea. Membahas tema balas dendam di film Korea akan mirip dengan membahas tema hantu di perfilman Indonesia. bedanya meski punya jumlah yang banyak dengan tema balas dendam, namun dalam eksekusinya film-film tersebut selalu punya perbedaan yang menjadikan masing-masingnya punya keunikan tersendiri dan digarap dengan maksimal.

Jika mayoritas film bertema balas dendam ala Korea akan lebih mengetengahkan kisahnya dalam dunia kriminal atau investigasi, maka Bedevilled memakai pendekatan yang berbeda. Kisahnya berawal dari perkenalan kita dengan Hae-won (Ji Seong-won) seorang wanita yang bekerja di sebuah bank di kota Seoul. Hae-won sepertinya adalah penggambaran dari sosok yang sering kita sebut sebagai "wanita karir". Wajah cantik, tinggal di kota besar, punya pekerjaan yang menghasilkan uang lebih dari cukup, seakan sebuah kehidupan sempurna untuk dibayangkan. Tapi berbagai kesibukan dan kepenatan yang ia alami ternyata cukup berpengaruh baginya. Hae-won menjadi tipe orang yang tidak peduli dengan nasib orang lain. Yang ia pentingkan hanya mengurusi kepentingannya sendiri. Bahkan suatu hari di kantor ia pernah sampai membentak seorang wanita tua yang tengah mengalami kesulitan. Merasa perlu mengambil jeda dari berbagai kesibukkan tersebut, Hae-won memilih berlibur ke sebuah desa yang terletak di pulau terpencil. Tempat tersebut tidak asing baginya karena saat kecil dulu Hae-won sering kesana untuk mengunjungi rumah sang kakek. Tapi yang ia temui disana bukanlah ketenangan karena ia harus menyaksikan kehidupan teman kecilnya, Bok-nam (Seo Yeong-hie) yang selalu mendapat perlakuan kejam dan tidak adil dari penduduk desa tersebut termasuk suaminya sendiri. Tentu saja Hae-won memilih untuk tidak ikut campur dalam masalah tersebut. Tapi tanpa ia duga akan terjadi sebuah hal mengerikan disana.

6 komentar :

Comment Page:

THE SIMPSONS MOVIE (2007)

1 komentar
Sejak serial televisinya dimulai pertama kali tahun 1989 dan terus bertahan hingga kini dengan jumlah season mencapai 24 jelas The Simpsons bukanlah sebuah serial kartun biasa saja. Serial yang dibuat oleh Matt Groening tersebut sudah menjadi sebuah kultur dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat bahkan mungkin di seluruh dunia. Kisahnya yang begitu menggambarkan kehidupan keluarga di Amerika dan seringkali memberikan berbagai sindiran terhadap masalah-masalah sosial dengan metafora ataupun simbol yang lucu sekaligus cerdas adalah kekuatan utama yang selalu digemari oleh para penggemar serial ini. Walaupun begitu butuh waktu hingga 18 tahun sampai serial tersebut diangkat ke layar lebar. Sebenarnya proses pra-produksi sudah dimulai sejak tahun 2001, namun karena banyak faktor termasuk naskahnya yang hingga ratusan kali mengalami revisi akhirnya baru enam tahun kemudian film ini selesai dibuat. Naskahnya sendiri bukan ditulis hanya oleh satu atau dua orang melainkan 11 orang sekaligus! Jadi naskah macam apa yang dihasilkan dengan super keroyokan tersebut?

Filmnya berkisah tentang danau di kota Springfield yang benar-benar telah tercemar akibat banyaknya pembuangan limbah oleh warga setempat. Orang-orang yang peduli lingkungan seperti Lisa tidak dipedulikan "suaranya" oleh warga yang terus saja membuang sampah. Bahkan sampai Green Day sekalipun tewas gara-gara mengkampanyekan peduli lingkungan. Usaha sebenarnya telah dilakukan untuk menghalangi warga membuang sampah di danau seperti membuat tembok dan pagar pembatas. Tapi semua larangan tersebut tidak dipedulikan oleh seorang warga yang nekat membuang tumpukan kotoran babi yang sudah bercampur dengan kotorannya sendiri kedalam danau tersebut hanya agar ia tidak kehabisan waktu untuk mendapat donat gratis. Ya, siapa lagi dia kalau bukan Homer. Kotoran tersebut membuat danau Springfield kembali tercemar dan mencapai batas maksimum dan membuat beberapa hewan terkontaminasi. Hal tersebut diketahui oleh Russ Cargill, pimpinan EPA (Environmental Protection Agency) yang kemudian melapor pada Presiden Schwarzenegger yang mengambil "keputusan" untuk mengurung Springfield dalam sebuah kubah kaca raksasa.

1 komentar :

Comment Page:

THE THREE STOOGES (2012)

Tidak ada komentar
Saya pada dasarnya tidak terlalu menyukai film komedi slapstick, namun saya bukan orang yang anti terhadap komedi macam itu dan bukan pula termasuk orang yang menggolongkan slapstick sebagai "komedi yang tidak cerdas". Banyak yang mengatakan slapstick adalah sebuah komedi dengan humor yang kurang cerdas karena dianggap hanya mengandalkan lelucon fisik termasuk adegan yang menjurus kearah kekerasan. Saya tidak beranggapan seperti itu, bahkan saya menganggap slapstick itu lucu jika terlibat langsung misal saat menjahili teman. Tapi saya hampir tidak pernah merasakan kelucuan tersebut saat menonton slapstick di film. Dari berbagai macam komedian slapstick, satu yang paling terkenal adalah The Three Stooges yang sempat begitu terkenal selama sekitar 40 tahun karir mereka mulai dari tahun 1930an sampai awal 70an. Trio ini terkenal dengan berbagai adegan yang memiliki tingkat kekerasan yang tidak main-main. Saya teringat pernah menonton salah satu film The Three Stooges dan bukan tertawa malah meringis ngilu saat melihat ada adegan Moe menggerus kepala Curly dengan serutan kayu. Saya sendiri tidak pernah menjadi fans mereka, tapi orang yang pernah menonton film mereka pasti setuju bahwa The Three Stooges punya aksi dan kekompakan luar biasa dalam menghantarkan komedi fisik mereka.

Proyek yang disutradarai oleh Farrelly brothers (Hall Pass, There's Something About Marry) ini begitu menggiurkan saat pada awalnya meng-cast tiga bintang untuk bermain didalamnya. Benicio del Toro sempat ditawari menjadi Moe sebelum akhirnya batal. Sean Penn sudah diplot menjadi Larry tapi juga batal karena ia ingin lebih konsen terhadap penanganan korban bencana di Haiti. Yang terakhir adalah Jim Carrey yang akan memerankan Curly. Carrey bahkan sudah menambah berat badannya sebanyak 20 kg, tapi batal saat diharuskan menambahnya 15 kg lagi. Pada akhirnya ensemble trio  tersebut batal dan digantikan oleh tiga aktor yang tidak setenar mereka. The Three Stooges sendiri berkisah tentang Moe (Chris Diamantopoulos), Larry (Sean Hayes) dan Curly (Will Sasso) yang merupakan tiga sahabat yang sedari bayi sudah dibuang dan dirawat di sebuah panti asuhan yang dikelola oleh para suster. Sedari kecil trio Moe, Larry dan Curly sudah sering membuat kekacauan dipanti tersebut dan sampai membuat semua suster kelabakan. Kenakalan mereka itu jugalah yang membuat tidak ada orang yang berminat mengadopsi mereka. Akhirnya sampai mereka berusia 35 tahun mereka masih terus tinggal disana. Sampai suatu hari panti asuhan tersebut terancam ditutup akibat hutang dan mereka bertiga memutuskan pergi untuk mencari uang untuk menambal hutang tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MISS BALA (2011)

2 komentar
Pada 22 Desember 2008 lalu publik Meksiko dikejutkan dengan ditangkapnya Laura Zúñiga atas tuduhan terlibat dalam penyelundupan narkoba dan senjata bersama sebuah gangster. Laura Zúñiga sendiri adalah Miss Meksiko tahun 2008 dimana hal tersebut jelas menjadi sebuah skandal dan kejadian yang memalukan sekaligus mengejutkan bagi rakyat Meksiko, dimana sang ratu kecantikan yang seharusnya menjadi perlambang dan wanita kebanggaan negara tersebut justru terlibat dalam kegiatan kriminal. Kejadian tersebut pada akhirnya menginspirasi Gerardo Naranjo untuk membuat sebuah film yang berbasis kejadian tersebut. Hal itulah yang akhirnya melahirkan Miss Bala (Miss Bullet) yang diputar perdana di Cannes Film Festival 2011 yang lalu dan mendapatkan tanggapan positif dari penonton dan para kritikus. Bahkan film ini juga menjadi perwakilan Meksiko unik Oscar 2012 lalu untuk kategori Best Foreign Language Film meski pada akhirnya gagal menjadi nominasi. 

Miss Bala adalah kisah tentang Laura Guerrerro (Stephanie Sigman) gadis berusia 23 tahun yang punya mimpi menjadi ratu kecantikan Meksiko. Untuk itulah ia mengikuti pemilihan Miss Baja California sebagai langkah awal dengan dibantu sahabatnya, Suzu (Lakshmi Picazo). Suzu meyakinkan Laura bahwa ia memiliki koneksi yang bisa membantu Laura memenangkan kompetisi tersebut. Koneksi yang dimaksud oleh Suzu ternyata adalah beberapa polisi korup yang kemudian ia temui di sebuah bar bersama Laura. Tanpa diduga bar tersebut diserbu oleh gangster pimpinan Lino (Noe Hernandez dan membuat bar itu menjadi ladang pembantian berdarah. Laura yang selamat dari kejadian tersebut kehilangan kontak dengan Suzu. Merasa kebingungan dengan kelanjutan nasibnya dalam kompetisi tanpa Suzu, Laura meminta bantuan polisi untuk mencari sang sahabat. Diluar dugaan justru Laura dijebak dan diserahkan pada gangster tersebut. Kini Lino memaksa Laura yang merupakan saksi mata untuk membantu mereka menjalankan aksinya.

2 komentar :

Comment Page:

THE MAN FROM EARTH (2007)

7 komentar
Anda pasti pernah berkunjung ke sebuah museum, candi-candi, tempat terdapatnya artefak dan peninggalan kuno lainnya dimana anda akan penasaran sebenarnya bagaimanakah tempat atau barang-barang tersebut dulunya. Anda akan penasaran bagaimanakah kondisi pada masa dimana barang atau lokasi tersebut diciptakan dan anda akan berharap bisa kembali ke masa itu atau berandai-andai jika saja ada orang dari masa itu yang masih hidup dan bisa anda tanyai tentang kebenaran di masa itu. Ide dasar film ini kurang lebih sama seperti poin kedua tersebut, yaitu "Bagaimana jika ada individu yang berasal dari 14.000 tahun yang lalu dan masih hidup hingga sekarang bahkan tinggal dan berbaur selayaknya manusia biasa?" Begitulah premise dari naskah yang ditulis oleh Jerome Bixby, sosok yang terkenal sebagai penulis-penulis kisah sci-fi dimana dia pernah menulis untuk beberapa episode Star Trek dan Twilight Zone. Cerita film ini sebenarnya sudah mulai ditulis sejak tahun 60an, tapi baru selesai pada tahun 1998, tahun dimana Bixby meninggal dan menjadikan The Man From Earth sebagai karya terakhirnya.

John Oldman (David Lee Smith) adalah seorang dosen yang sedang bersiap untuk pindah rumah. Saat itu rekan-rekannya sesama pengajar datang berkunjung untuk sebuah pesta perpisahan untuk John yang memang sudah sangat dekat dengan mereka semua. Para pengajar yang saat itu berkumpul antara lain Dan (Tony Todd) seorang antropolog, Harry (John Billingsley) seorang biologis, Edith (Ellen Crawford) pakar sejarah seni sekaligus penganut Kristen yang sangat taat, Sandy (Annika Peterson) ahli sejarah yang juga jatuh cinta pada John, Art (William Katt) seorang arkeolog yang datang bersama muridnya, Linda (Alexis Thorpe). Kemudian ditengah-tengah menyusul seorang psikolog bernama Will Gruber (Richard Riehle). Awalnya mereka ngobrol dengan santai sampai John mengaku bahwa dirinya adalah manusia yang sudah berumur lebih dari 14.000 tahun dan termasuk manusia gua Cro-Magnon. Hal itulah yang membuatnya harus terus berpindah selama 10 tahun sekali supaya orang-orang tidak menyadari bahwa John tidak bisa bertambah tua. Tentu saja omongan John tersebut awalnya hanya dianggap sebagai bahan candaan oleh teman-temannya. Tapi setelah perbincangan makin dalam dan serius, perdebatan mulai terjadi diantara mereka mengenai kebenaran cerita John. Pembicaraan pun mulai makin dalam dan mengeksplorasi cerita tersebut dari berbagai sudut pandang keilmuwan., dan kejutan-kejutan pun mulai muncul.

Sesungguhnya The Man From Earth bukan sekedar kisah tentang benar atau tidaknya cerita John saja. Dengan hanya menjabarkan kisahnya lewat perdebatan yang ber-setting hanya diruang tamu saja, film ini sebenarnya punya banyak bahan perenungan didalamnya. Hal itu tergantung bagaimana cara anda dalam memandang film ini. Jika anda hanya memandangnya hanya sebagai film sci-fi biasa, sebenarnya anda sudah akan cukup terhibur dengan misteri yang ditebarkan oleh cerita dari John dan berbagai twist yang muncul dalam kisahnya. Tapi tentunya kisahnya yang hanya terdiri dari obrolan-obrolan di satu lokasi akan menjadi tantangan tersendiri bagi beberapa orang, dan jelas ini bukanlah film untuk mereka yang hanya menyukai film-film hiburan semata. Saya rasa siapapun yang "nekat" menonton film ini pada akhirnya tidak akan memandang kisahnya sebagai kisah sci-fi penuh misteri dan kejutan belaka, karena ada beberapa kandungan menarik didalamnya.
Mengulik misterinya dari berbagai sudut pandang keilmuwan, The Man From Earth jelas punya kualitas naskah yang mumpuni dan penuh referensi ilmu yang kuat. Untuk membuat sebuah teori dalam kasus yang terjadi pada John butuh sebuah referensi yang tidak main-main. Apalagi film ini mampu meyakinkan penontonnya dengan mengambil teori-teori dari berbagai ilmu yang membuat cerita John bisa dipertanggung jawabkan. Dari sini akan muncul berbagai perenungan dalam diri saya. Yang pertama adalah mengenai sejarah itu sendiri. Lewat cerita John kita mendapati fakta bahwa ada beberapa kisah baik itu dari buku pengetahuan sampai Alkitab yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini mencuatkan sebuah pernyataan yang mungkin sudah sering didengar oleh orang mengenai fakta kebenaran sejarah. Apakah sejarah memang ditulis berdasarkan pengetahuan manusia pada hal yang telah terjadi ataukah sejarah ditulis berdasarkan apa yang ingin didengar dan diketahui oleh manusia atas apa yang telah terjadi? Tentu saja pertanyan tersebut menjadi bisa semakin dalam lagi jika sudah bersinggungan kepada hal berbau religius, seperti "Apakah semua yang ditulis dalam kitab suci itu betul?" 

Selain itu ada satu pertanyaan yang sebenarnya sudah sejak lama saya pikirkan dan kembali dimunculkan oleh film ini. Disini John mengaku sebagai seorang manusia gua dan banyak yang tidak percaya, bahkan menyebutnya gila. Manusia menanggapi kebenaran atas sesuatu adalah berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, dan terkadang saat ada seseorang dengan pengetahuan yang jauh diatasnya, dan orang tersebut mengungkapkan hal yang tidak umum, maka orang tersebut akan dicaci dan sebagainya. Lalu bagaimana jika orang tersebut berkata yang sesungguhnya? Lalu bagaimana dengan pada era Nabi dan Rasul dahulu? Saya sering berpikir bahwa orang-orang yang dahulu tidak mempercayai kebenaran dari para Rasul sebenarnya tidak sepenuhnya keliru. Bukankah mereka menghadapi hal yang diluar pengetahuan mereka, diluar nalar mereka? Jadi bukankah wajar saja mereka tidak percaya? Seperti orang-orang tersebut, para tokoh dalam film ini juga sudah mempunyai kepercayaan baik itu religius maupun sains yang mereka pegang dan tiba-tiba datang orang yang seolan mendobrak segala kepercayaan yang sudah mereka pegang sedari lama tersebut. Tentu tidak semudah itu seseorang membuka pikiran mereka terhadap sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Tapi nampaknya semua pertanyaan tersebut akan dijawab banyak orang dengan kalimat God Moves in a Mysterious Way.

Namun sayangnya The Man From Earth yang begitu baik dalam konsep dan kandungan cerita terasa tidak maksimal dalam eksekusinya. Sedari awal hingga akhir nyaris kisahnya berjalan datar-datar saja meski terdapat berbagai konflik dan perbedatan. Saya tidak merasakan adanya sebuah klimaks yang mencapai puncaknya disini. Beberapa twist memang cukup menarik tapi sebenarnya sudah cukup tertebak, kecuali twist di akhir filmnya. Seolah-olah film ini berjalan datar dan hanya akan meningkat tiap kali ada kejutan yang terlontar. Padahal sebuah film yang baik adalah film yang tetap bisa mempertahankan tensinya walaupun tidak ada shocking moment dan tetap terasa menarik. Ambil contoh dalam 12 Angry Men yang juga hanya tentang orang-orang berdebat dalam sebuah ruangan saja, tapi setiap momennya selalu terasa menarik dan memiliki klimaks yang intensitasnya tinggi. Pada akhirnya meski menyisakan beberapa renungan tapi The Man From Earth tidak sampai membuat saya begitu antusias dan terkagum akan kisahnya, dan seolah "hanya" seperti baru saja menonton salah satu episode terbaik dari serial Twilight Zone


7 komentar :

Comment Page:

THE DARK KNIGHT RISES (2012)

8 komentar
Sudah tujuh tahun berlalu sejak Nolan berhasil mengembalikan sosok Batman dari figur superhero norak dengan puting di kostumnya menjadi sosok superhero yang kelam, keren dan punya latar belakang kisah yang mendalam. Dengan berani Batman Begins me-reboot kisah Bruce Wayne, menyorotinya secara lebih detail dan mendalam, memberikan sentuhan realistis yang gelap dalam kisahnya, dan tentunya memberikan standar baru dalam film superhero. Sebuah origins yang layak didapatkan olehnya. Sampai tiga tahun kemudian Nolan kembali dengan The Dark Knight yang memperluas kisahnya, membuat sebuah film superhero yang makin gelap dan kompleks, dan tentunya performa dari Heath Ledger yang tidak akan terlupakan. Ya, saat itu Nolan mampu meningkatkan standar yang pernah ia tanamkan dalam Batman Begins. Jika diibaratkan kompetisi sepakbola maka The Dark Knight adalah juara bertahan yang selalu coba dikalahkan oleh film-film superhero berikutnya, dan masih terus gagal...hingga empat tahun kemudian Nolan kembali lewat kisah yang akan menjadi penutup trilogi Batman, akhir dari legenda sang kelelawar yang tentunya diiringi oleh jutaan harapan akan sebuah akhir yang epic dan akan menutup trilogi luar biasa ini, dan sekali lagi Nolan berhasil.

Banyak yang penasaran, bagaimana Nolan menutup trilogi ini tanpa sosok Joker yang begitu luar biasa dalam film keduanya. Siapakah sosok yang bisa memberikan teror setara dengan sang agent of chaos dan mampu membuat film ketiganya ini menjadi suguhan yang tidak kalah dari pendahulunya. Sosok tersebut akhirnya jatuh pada Bane (Tom Hardy). Bagi yang tidak mengikuti komiknya dan berpegangan pada film sebelumnya, pasti sosok Bane yang muncul adalah sosok penjahat konyol tak berotak yang muncul di Batman & Robin. Tapi Bane lebih dari itu. Ia adalah sosok yang tidak hanya punya kekuatan otot diatas Batman tapi juga punya kepintaran yang tidak kalah dari sang manusia kelelawar. Dalam komiknya sendiri Bane menjadi satu-satunya musuh yang bisa membuat Bruce Wayne pensiun sementarra sebagai Batman setelah punggungnya dipatahkan dalam sebuah pertarungan seru. Dalam filmnya, Bane muncul delapan tahun setelah even di TDK, dimana Gotham sudah menjadi kota yang aman berkat adanya hukum Harvey Dent. Masyarakat hidup tentram tanpa tahu fakta sebenarnya. Di sisi lain Bruce Wayne (Christian Bale) kini mengasingkan diri di Wayne Manor dengan kondisi fisik yang sudah melemah. Bruce masih belum berniat kembali memakai jubahnya, dan merasa Gotham masih belum butuh sosok Batman walaupun muncul seorang pencuri wanita bernama Selina Kyle (Anne Hathaway). Tapi pada akhirnya kemunculan seorang teroris yang dianggap layaknya setan bernama Bane membuat Batman kembali beraksi, dan kali ini akhirnya ia menemukan lawan yang seimbang, bahkan mengunggulinya.

8 komentar :

Comment Page:

CARRIE (1976)

6 komentar
Sudah begitu banyak novel dari Stephen King yang diadaptasi dalam media film, dan banyak juga dari adaptasi tersebut yang menuai sukses besar baik dari komersil maupun kualitas. Beberapa diantaranya malah menjadi cult classic. Rangkaian adaptasi yang sukses tersebut diawali oleh film garapan Brian De Palma ini. Ya, Carrie adalah film pertama yang merupakan adaptasi dari cerita yang ditulis Stephen King, dimana saat dirilis 36 tahun lalu film ini sukses besar baik dari pendapatannya yang berhasil meraih keuntungan diatas 30 kali lipat dari bujetnya, sampai kualitasnya yang dianggap sebagai salah satu horror terbaik sampai saat ini. Bahkan dua aktrisnya, Sissy Spacek dan Piper Laurie mendapat nominasi Oscar untuk Best Actress dan Best Supporting Actress, dimana hal tersebut cukup jarang diterima oleh aktor dan aktris yang bermain di film horror. Bagi yang belum menonton filmnya juga pasti sudah pernah melihat gambar seoang gadis yang bermandikan darah segar dengan tatapn mata yang mengerikan yang merupakan salah satu adegan paling memorable dalam film ini. Jadi semengerikan apakah Carrie?

Carrie (Sissy Spacek) adalah gadis yang selalu jadi korban bully di sekolahnya. Hal itu disebabkan karena sifatnya yang pemalu dan polos. Bahkan saking polosnya, Carrie begitu ketakutan saat untuk pertama kalinya dia mengeluarkan darah saat haid pertamanya di sekolah yang tentunya membuat Carrie jadi bahan olok-olok teman-teman lainnya yang bisa dibilang tergabung dalam "geng gaul" di sekolah tersebut. Tapi kehidupan Carrie tidak hanya berat di sekolah, karena dirumah dia juga menjalani hidup yang tidak mudah dengan tinggal bersama ibunya (Piper Laurie) yang merupakan seorang ekstrimis agama yang selalu menjejali Carrie dengan ajaran-ajaran agama yang seringkali kelewat batas. Tapi dibalik penderitaannya tersebut tidak ada yang tahu bahwa Carrie punya sebuah kelebihan atau tepatnya kekuatan yang ada diluar batas manusia pada umumnya. Kehidupan Carrie yang menyedihkan dan penuh kesendirian terus berlanjut sampai Tommy Ross (William Katt) yang merupakan salah satu cowok populer mengajak Carrie sebagai teman kencannya di prom. Sebuah prom yang tidak akan berjalan "luar biasa"

6 komentar :

Comment Page:

TIME (2006)

8 komentar
Sebagai sutradara yang dalam filmnya sering terdapat unsur mengenai alam, budaya hingga hal-hal religius, tidak mengherankan jika seorang Kim Ki-duk menjadikan kisah tentang operasi plastik yang notabene telah marak dilakukan bahkan seolah menjadi kultur disana sebagai bagian dari filmnya. Dalam Time atau yang mempunyai judul lokal Shi gan, Kim Ki-duk kembali menyajikan sebuah perenungan yang dibalut dalam kisah cinta dan operasi plastik sebagai tema besarnya. Tapi apakah hanya itu yang coba ditampilkan Kim Ki-duk? Saya rasa tidak. Mengartikan Time sebagai hanya film tentang operasi plastik rasanya akan sama saja dengan mengartikan Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring sebagai sebuah kisah kehidupan seorang biksu biasa saja. Seperti biasa ekspektasi super tinggi saya letakkan sebelum menonton film dari sutradara favorit saya ini. Tapi baru pada Time inilah saya merasakan sedikit kekecewaan pada karya Kim Ki-duk.

Ji-woo (Jung-woo Ha) dan See-hee (Hyeon-a Syeong) adalah sepasang kekasih yang sudah dua tahun berpacaran. Hubungan mereka mulai retak saat See-hee merasa Ji-woo sudah bosan dengan penampilan khususnya mukanya yang selalu sama dan membosankan. Bahkan saat sedang berhubungan seks, See-hee meminta Ji-woo untuk membayangkan wanita lain yang lebih cantik supaya bisa kembai bergairah. Perasaan cinta dan kecemasan See-hee yang makin bercampur mendorongnya untuk melakukan sebuah tindakan yang mengejutkan, yakni merombak wajahnya lewat operasi plastik dan kemudian pergi dari kehidupan Ji-woo, dengan harapan enam bulan kemudian saat wajahnya yang baru sudah sempurna mereka bisa me-refresh hubungan tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi lebih rumit dari itu. Dari sinopsis diatas memang masih terlihat beberapa ciri khas Kim Ki-duk, seperti karakternya yang melakukan hal yang bisa dibilang mengejutkan atau mungkin ekstrim. Ki-duk juga masih menjadikan hubungan antara manusia sebagai perantara kisah yang coba ia sampaikan.

8 komentar :

Comment Page:

THE INNKEEPERS (2011)

1 komentar
Gedung tua yang berhantu jelas sudah sangat sering dipakai sebagai lokasi dalam film horror. Tapi itu tidak menghalangi Ti West untuk menjadikan sebuah hotel tua berhantu sebagai lokasi untuk film terbarunya ini. Ti West yang dikenal sebagai sutradara muda yang menjadi harapan bagi masa depan genre horror memilih Yankee Pedlar Inn yang terletak di Torrington, Connecticut. Ti West sendiri mendapatkan ide untuk membuat film yang berlokasi di Yankee Pedlar setelah pada saat melakukan shooting untuk film House of the Devil ia sempat menginap di tempat tersebut. Memang jika dilihat struktur dan suasana yang dimiliki oleh Yankee Pedlar sangat cocok untuk dijadikan set film horror. Lorong-lorong kamarnya, lobi, dan berbagai bagian di tempat tersebut terlihat cukup menyeramkan dan mengingatkan pada hotel di film The Shinning. Seperti judulnya, The Innkeepers bukannya menceritakan tentang pengunjung hotel yang mendapat teror tapi justru pengurus hotelnya yang mengalami teror tersebut.

Yankee Pedlar yang sudah berusia ratusan tahun akan segera dirobohkan, dan dalam minggu terakhir penginapan ini buka, hanya ada dua karyawan saja yang bekerja yaitu Luke (Pat Healy) dan Claire (Sara Paxton). Sedikitnya tamu yang menginap disana membuat Luke dan Claire mencoba mencari hal lain yang menarik untuk dilakukan. Akhirnya mereka justru melakukan sebuah penelusuran terhadap hal-hal supranatural yang dipercaya ada di Yankee Pedlar. Hal tersebut berawal dari website yang dibuat Luke tentang kejadian-kejadian dan legenda hantu yang ada disana. Claire yang awalnya tidak tertarik lama-kelamaan juga penasaran terhadap kebenaran cerita tersebut, khususnya pada cerita tentang hantu Madeline O'Malley yang konon katanya tewas gantung diri dalam sebuah tragedi dulu pernah terjadi dan katanya sampai sekarang masih sering menampakkan diri di penginapan tersebut. Tapi kegiatan iseng tersebut ternyata bisa membahayakan keselamatan mereka.

1 komentar :

Comment Page:

INVASION OF THE BODY SNATCHERS (1978)

Tidak ada komentar
Judul film ini sangat khas b-movie, yang jika diartikan ke Bahasa Indonesia menjadi "Invasi Para Pencuri Tubuh". Sebuah judul yang tentunya mengingatkan pada film-film cult classic macam Attack of the 50 Foot Woman, Plan 9 From Outer Space sampai The Blob. Film-film tersebut mungkin tidak mempunyai efek spesial yang bagus, cerita berbobot, ataupun akting kelas Oscar. Tapi justru disitulah kekuatan film-film dengan judul nyeleneh seperti itu. Ide cerita diluar nalar tapi cenderung bodoh dengan akting para pemain yang buruk sampai efek spesial yang murahan justru akan jadi sebuah tontonan yang menyenangkan, asal niatnya memang membuat "film bodoh" seperti yang saya sebutkan diatas. Begitu pula yang saya harapkan muncul dari Invasion of the Body Snatchers. Saya berharap adegan-adegan konyol, dialog-dialog corny sampai tampilan alien yang mungkin menggelikan namun juga bisa mengerikan atau menjijikkan. Tapi saya yang mengharapkan kebodohan yang jujur dari film ini justru mendapati bahwa Invasion of the Body Snatchers adalah film yang jauh lebih serius dan niat, tidak seperti judulnya.

Dari awal film dimulai kita sudah diperlihatkan bahwa para body snatchers ini sampai ke Bumi dan berbaur dengan tumbuhan yang ada. Kemudian dari bentuk tumbuhan itulah diam-diam mereka membuat duplikat dari manusia yang kemudian menggantikan kehidupan manusia tersebut. Semua dilakukan secara diam-diam dan rapih meskipun ada beberapa orang yang mencurigai terjadinya perubahan pada orang-orang di sekitar mereka. Salah satunya adalah Elizabeth (Brooke Adams) yang menyadari adanya perubahan pada pacarnya yang tiba-tiba menajdi berbeda, seolah tanpa emosi dan perasaan. Elizabeth memberitahukan hal ini pada rekan kerjanya, Matthew (Donald Sutherland) yang awalnya tidak terlalu mempercayai hal tersebut. Tapi setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Matthew pun mempercayai Elizabeth. Mereka berdua dan beberapa orang di San Francisco yang tersisa mencoba mencari cara untuk memusnahkan para body snatchers sambil terus menghindari supaya tubuh mereka tidak diambil alih.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ISLE (2000)

Tidak ada komentar
Film ini adalah film kelima yang dibuat oleh Kim Ki-duk sekaligus film pertamanya yang dirilis luas di pasar internasional. Saat diputar perdana di Venice Film Festival, film ini cukup mengundang kontroversi dan kehebohan karena banyak penonton yang saat itu muntah bahkan pingsan akibat beberapa adegan yang cukup disturbing. Kontroversi juga muncul berkaitan dengan adanya adegan penyiksaan terhadap hewan yang diakui oleh Ki-duk sendiri adalah asli. Segala kontroversi dan dampak yang muncul tersebut memang bisa dimaklumi karena adegan gore yang muncul dalam The Isle bukanlah sekedar gore yang mengandalkan darah atau kesadisan namun ditampilkan dengan realistis dan begitu terasa menyakitkan. Sebut saja dua adegan bunuh diri yang dilakukan dengan kail pancing yang terasa menyakitkan. Kemudian ada juga adegan penyiksaan terhadap beberapa hewan mulai dari membunuh kodok dengan brutal, mengiris sebagian tubuh ikan lalu melepaskannya lagi, sampai menenggelamkan burung hidup-hidup dalam sangkarnya.Tapi biar bagaimanapun film seorang Kim Ki-duk pasti selalu meninggalkan keindahan dan interpretasi mendalam, begitu juga The Isle.

Film ini berkisah tentang sebuah resrot pemancingan yang cukup unik dimana pengunjung akan diberikan sebuah cottage yang mengapung ditengah danau. Tempat pemancingan tersebut dikelola oleh seorang gadis bisu bernama Hee-jin (Suh Jung) yang setiap hari mengadakan alat transportasi berupa sebuah perahu di tempat tersebut. Hee-jin juga menyediakan berbagai kebutuhan bagi pengunjung seperti kopi sampai mengadakan para psk. Terkadang Hee-jin sendiri yang "melayani" pengunjungnya. Suatu hari datanglah seorang pengunjung bernama Hyun-Shik (Kim Yoosuk). Tapi Hyun-Shik bukan pengunjung biasa karena rupanya dia adalah buronan polisi akibat kasus pembunuhan yang pernah ia lakukan. Akibat pembunuhan tersebut pula hidup Hyun-Shik selalu berada dalam penyesalan dan rasa sakit. Secara perlahan justru mulailah terjalin hubungan asmara yang aneh antara Hyun-Shik dan Hee-Jin disana setelah melalui beberapa kejadian yang juga tidak kalah aneh dan menyakitkan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ONE DAY (2011)

1 komentar
Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan David Nicholls ini pada dasarnya punya ide cerita yang cukup menarik dan inovatif dibandingkan film-film romansa lainnya. Plot yang dipakai memang linier, tapi seolah bagaikan dibagi dalam beberapa chapter yang mana setiap chapter menceritakan satu hari dalam satu tahun selama 20 tahun kehidupan persahabatan sekaligus percintaan antara kedua karakter utamanya, Emma (Anne Hathaway) dan Dexter (Jim Sturgess). Tapi tentunya sebuah hal yang berbeda dan inovatif juga punya tingkat kesulitan yang berbeda dan lebih tinggi dibandingkan hal yang sudah jamak dilakukan. Disutradarai oleh Lone Scherfig (An Education) dan ditulis naskahnya oleh David Nicholls sendiri, One Day pada akhirnya harus terjatuh kualitasnya akibat inovasi yang dilakukan terhadap cara berceritanya tersebut. Kisahnya dimulai sejak 15 Juli 1988 dimana saat itu Emma dan Dexter baru saja lulus dari bangku kuliah. Mereka yang sebenarnya tidak terlalu akrab satu sama lain akhirnya memutuskan menghabiskan malam bersama. Tapi bukannya bercinta atau apa, mereka pada akhirnya justru memutuskan untuk jadi teman biasa saja. Akhirnya hubungan Emma dan Dexter berlanjut sebagai sepasang sahabat baik.

Kemudian kisahnya akan berjalan setiap tanggal 15 Juli tiap tahunnya selama 20 tahun. Hubungan antara Emma dan Dexter terus berjalan selama 20 tahun tersebut dan sebenarnya mereka saling mencintai satu sama lain. Selama 20 tahun itu jugalah kehidupan dan hubungan mereka mengalami pasang surut dan banyak cobaan. Sepanjang film kita tidak hanya diajak melihat hubungan keduanya tapi juga terkadang kita akan dibawa menyoroti detail kehidupan satu diantara mereka. Tidak setiap momen juga keduanya bersama karena di pertengahan beberapa kali kita akan melihat keduanya tapi dalam momen yang terpisah. Seperti yang sudah saya tuliskan diatas, inovasi yang dilakukan dalam pola penceritaan One Day justru menjadi salah satu kelemahan utama dari film ini. Sebuah inovasi yang berbeda jika tidak ditangani dengan baik memang pada akhirnya justru hasilnya terasa kurang maksimal. Dalam film ini kasusnya adalah pembagian kisahnya dalam berbagai segmen yang menceritakan satu hari dalam setahun. Hal ini membuat penonton jadi sulit untuk bisa masuk kedalam kisahnya dan mendalami romansa didalamnya. Bagaimana tidak, momen per-hari yang ditampilkan mempunyai nuansa dan kondisi yang jauh beda sehingga menciptakan alur yang terkesan melompat-lompat.

1 komentar :

Comment Page:

ADA APA DENGAN CINTA? (2002)

4 komentar
Jika kita perhatikan sekarang, ada dua tema yang begitu populer dan jamak dipakai dalam film-film Indonesia, yaitu horror dan romansa. Jika mau lebih masuk ke detail, horor yang sering muncul adalah horor remaja yang intinya menceritakan para remaja yang pergi ke suatu tempat angker lalu mendapat teror dari penunggu tempat tersebut. Sedangkan untuk kisah romansa yang sering diangkat juga adalah tentang kisah percintaan remaja yang dibuat mengharu biru. Jika dirunut ke belakang, maka dua tema besar tersebut sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kemunculan dua film yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan film Indonesia pada awal millenium lalu. Dua film tersebut adalah Jelangkung dan Ada Apa Dengan Cinta? Namun untuk kali ini saya akan lebih membahas AADC? dibandingkan Jelangkung. AADC? jelas sebuah fenomena di masanya dan masih melegenda hingga sekarang. Saat filmnya rilis dulu saya yang baru 10 tahun dan baru duduk di kelas 5 SD. Saat itu saya tidak menontonnya di bioskop dan pastinya untuk anak 10 tahun yang tinggal bukan di daerah perkotaan AADC? tidak memberikan impact yang besar dalam keseharian saya. Tapi bukan berarti impact tersebut tidak saya lihat saat itu. Remaja-remaja mulai dari anak SMP hingga SMA membciarakan AADC? sebagai fenomena, seolah sebagai kiblat dunia remaja mereka, tentang apa saja yang dianggap "gaul" saat itu.

Hingga kemudian saya SMP sekalipun AADC? masih menjadi kiblat mulai dari cewek-cewek yang membentuk gang seperti Cinta, hingga bagaimana kisah cinta Rangga dan Cinta yang seolah menjadi impian bagi setiap remaja saat itu. Semua ingin kehidupan cinta mereka diisi dengan puisi-puisi romantis ala Rangga-Cinta. Semua menyikapi orang yang hadir dalam kehidupan cinta mereka seolah diri emreka itu Rangga/Cinta. Bahkan mungkin hampir semua remaja bermimpi mendapat ciuman mesra dari sang kekasih di bandara. Apapun itu, jelaslah status AADC? sebagai sebuah fenomena tidak bisa lagi dielakkan. Sebuah fenomena film yang kemudian berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya pula. Jadi apa yang menyebabkan AADC? menjadi begitu fenomenal? Disini saya tidak akan lagi menuliskan bagaimana sinopsis sebuah film yang rasanya semua orang sudah pernah menontonnya bahkan lebih dari sekali. Dari segi cerita, sangat terlihat bahwa apa yang ditampilkan disini adalah semua hal yang bisa dibilang "harus ada" dalam film percintaan remaja. Jika dilihat sekarang mungkin semuanya begitu klise. Tapi ternyata film ini menjadi bukti bahwa semua hal klise belum tentu buruk. Sebuah film yang isinya klise belum tentu film yang buruk dan membosankan jika punya penggarapan yang bagus. Lagipula film ini terlihat klise karena sekarang sudah begitu banyak jumlah film remaja yang mengikuti pakem yang dipakai AADC?

Penggarapan yang sungguh-sungguh memang adalah kekuatan utama dari film ini walaupun menawarkan sebuah cerita yang klise. Penggarapan yang maksimal tersebut pada akhirnya berdampak positif pada filmnya yang membuat kisah sederhana tersebut menjadi begitu mengena di hati para penonton. Pada dasarnya semua hal tentang persahabatan dan percintaan yang dimunculkan film garapan Rudy Soedjarwo ini adalah kisah-kisah yang pastinya sudah pernah dialami oleh remaja manapun dan kapanpun. Dari situlah modal dasar untuk menjadikan filmnya menancap di hati penonton didapatkan.Sedari adegan awalpun Ada Apa Dengan Cinta? sudah akan membuat beberapa penontonnya akan berkata "itu gue banget!" dan momen-momen tersebut akan terus berulang sampai akhir film hingga semua yang menontonnya akan menemukan momen yang pernah mereka alami dalam dunia nyata. Karena semua momen dalam film ini digarap dengan maksimal, jadi pada akhirnya penonton tidak hanya akan menemukan momen yang sama dengan kehidupan mereka tapi juga melihat bahwa momen tersebut digarap dengan maksimal dan mampu tampil menyentuh. Pada akhirnya dengan begitu banyak momen yang begitu real, AADC? menjadi punya banyak adegan yang memorable. Saya sendiri punya banyak adegan favorit tapi yang paling saya suka adalah adegan saat Cinta melagukan puisi buatan Rangga dan disaat bersamaan diiringi adegan Alya yang sedang bunuh diri. Romantisme dan tragedi disampaikan dalam sebuah momen secara bersamaan dengan sama-sama maksimal penggarapannya. Sebuah adegan yang ditutup dengan indah saat kita diperlihatkan darah mengalir di kamar mandi yang begitu mengiris perasaan.
Semua orang akan menemukan kisah cintanya masing-masing dalam cerita Rangga-Cinta karena kisah cinta mereka berdua boleh dibilang nyaris lengkap dengan mengandung berbagai jalinan kisah yang pernah dialami remaja manapun. Orang yang saat itu jatuh cinta pada seseorang yang selalu bertengkar dengannya namun pada dasarnya hanya ingin perhatian akan merasa kisah cinta Rangga-Cinta mewakili perasaannya. Orang yang kisah cintanya harus menghadapi tembok tebal bernama persahabatan akan menemukan bahwa film ini sangat menggambarkan dirinya. Orang yang pada akhirnya harus meninggalkan kekasih tercintanya keluar negeri akan menangis haru melihat bagaimana film ini mampu menangkap dengan baik perasaan yang pernah ia rasakan. Bahkan mungkin sampai orang yang punya pengalaman kencan pertama di toko buku akan tersenyum begitu melihat Rangga dan Cinta berjalan berdua ke Kwitang. Akan masih banyak lagi kisah-kisah yang akan mewakili perasaan penontonnya, bahkan hampir tiap momen dalam film ini akan membuat masing-masing penontonnya teringat akan secuil kisah dalam percintaan SMA yang pernah ia rasakan. Tidak ada dramatisasi berlebih adalah kelebihan dari AADC? Semuanya mengalir dengan sederhana namun indah sehingga penonton akan merasakan kesederhanaan tersebut menjadi sebuah jalinan cerita yang begitu mendalam bagi mereka.
Ada Apa Dengan Cinta? juga mampu mencampurkan beberapa ideologi dan pola pikir kehidupan remaja tanpa perlu menyalahkan salah satunya. Kita ambil contoh saat pertemuan Rangga dan Cinta di Kwitang dimana Cinta lebih memilih datang ke konser PAS Band bersama teman-temannya. Setelah itu muncul pertengkaran antara mereka berdua yang dipicu oleh sebuah dialog dari Rangga yang begitu membekas bagi saya, yakni "Apa namanya kalau bukan mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan yang kurang prinsipil?" Yak! Seolah tiba-tiba saya merasakan bahwa Rangga meneriakkan kata hati saya yang selama ini terus terpendam entah karena tidak ingin atau tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Tapi dengan dialog tersebut tidak membuat film ini menyalahkan remaja yang menomor satukan sahabat diatas segalanya, tapi juga tidak pernah sekalipun film ini membenarkan hal tersebut. Itulah hebatnya film ini, bahkan sebaris kalimatpun akan mampu membuat penontonnya merasa bahwa "ini film gue!" Bicara soal baris kalimat tentunya begitu banyak kata-kata yang akan selalu terngiang di benak penontonnya. Mulai dari dialog romantis dari puisi macam "Pecahkan saja gelasnya, biar ramai" atau sampai dialog yang mungkin dianggap remeh macam "Basi, madingnya udah siap terbit" dan masih banyak lagi dialog memorable lainnya. Tentunya puisi "Ada Apa Dengan Cinta?" diakhir film akan selalu dikenang. Semuanya tergantung selera tiap penonton mau memilh dialog atau adegan mana yang jadi favorit mereka. Jika mayoritas orang merasa adegan ciuman Rangga dan Cinta sebagai yang paling romantis saya lebih memilih adegan menjelang akhir saat Cinta dan teman-temannya membicarakan perihal perasaan Cinta pada Rangga. Cinta tidak menjawab pertanyaan mereka tapi langsung menangis dan disusul pengakuan perasaannya. Adegan yang begitu mengharukan, romantis sekaligus natural.

Jajaran pemain dalam film ini begitu mampu memberikan permainan terbaik mereka. Tidak hanya itu, lewat film ini jugalah banyak bintang-bintang muda berbakat yang mencuat ke permukaan. Dian Sastrowardoyo dengan penampilannya yang begitu hebat sebagai Cinta jelas yang paling jadi sorotan. Dengan baik ia menjadikan sosok Cinta begitu mudah disukai dengan sebuah penampilan menawan yang tidak pernah kehilangan sisi naturalnya. Lewat film inilah Dian menjadikan dirinya sebagai aktris nomor satu di Indonesia saat itu, padahal ini barulah film keduanya setelah debutnya lewat Pasir Berbisik. Sedangkan bagi Nicholas Saputra ini adalah debutnya dalam film layar lebar dan langsung menjadikannya sosok idola kaum remaja wanita. Sosok Rangga yang cool dan punya pola pikir cukup dewasa ia tampilkan dengan baik, chemistry mereka berdua juga nyaris tiada duanya dalam perfilman kita sampai sekarang. Selain Dian dan Nico masih banyak pemain yang menjadikan film ini sebagai debutnya sebelum meraih popularitas seperti sekarang. Ladya Cheryl yang disini menjadi Alya nantinya akan menjadi aktris yang berseliweran di film-film berkualitas macam Fiksi. hingga Babi Buta yang Ingin Terbang. Adinia Wirasti sebagai Karmen juga menjalani debut disini. Sama seperti Ladya Cheryl dia akan membintangi beberapa film bagus meski tidak banyak, seperti 3 Hari Untuk Selamanya dan Ruang. Ada juga Sissy Priscillia dan Dennis Adhiswara yang juga melakoni debut mereka disini. Sedangkan Titi Kamal juga sama seperti Dian Sastro yang makin melambungkan namanya lewat film ini setelah sebelumnya membintangi Tragedi yang juga disutradarai Rudy Soedjarwo.

Dari isian soundtrack-nya juga film ini sangat luar biasa. Disinilah karya-karya terbaik seorang Melly Goeslaw dan Anto Hoed dalam dunia film hadir. Senada dengan filmnya yang sederhana namun mengena, lagu-lagu yang melantun sepanjang film juga tidaklah overdramatic seperti beberapa ost. bikinan Melly akhir-akhir ini. Lagu-lagu macam Ada Apa Dengan Cinta, Kubahagia sampai Tentang Seseorang yang dinyanyikan Anda Bunga sangat tepat dalam mengiringi naik turunnya emosi dan konflik yang ada. Demikianlah Ada Apa Dengan Cinta? Sebuah fenomena yang memang layak mendapatkan gelar tersebut. Sebuah momen kebangkitan film Indonesia yang memang punya kualitas yang patut dibangga-banggakan. Saya sendiri berniat untuk menuangkan segala kelebihan dan apa-apa saja yang saya dapatkan lewat film ini sehingga membuat filmnya begitu fenomenal bagi saya sekalipun. Tapi nyatanya terlalu banyak yang bisa dituangkan sehingga saya memilih untuk hanya mengambil beberapa poin saja, tapi berani saya jamin yang ditawarkan oleh AADC? jauh lebih banyak dan mendalam dibanding yang saya tuliskan. Inilah sebuah film yang tidak hanya berkualitas dan memorable tapi juga mampu memberikan cerminan yang begitu nyata pada kehidupan yang sesungguhnya. Bahkan sampai posternya pun begitu ikonik. Dampaknya bagi dunia sastra juga besar sampai buku Aku dicetak ulang setelah film ini.

4 komentar :

Comment Page:

JEFF, WHO LIVES AT HOME (2011)

Tidak ada komentar
Duplass Brothers adalah sepasang sutradara yang sangat identik dengan mumblecore film, yang merupakan sebutan bagi film-film indie yang punya bujet rendah dan seringkali memakai aktor dan aktris yang belum terkenal. Selain itu sebuah mumblecore juga seringkali tidak bergantung pada naskah dan para pemain sendiri yang mengembangkan dialog-dialog mereka. Meski mumblecore identik dengan pemain non-bintang, namun Duplass Brothers termasuk sering menggunakan pemain bintang seperti Greta Gerwig dalam Baghead. Kemudian ada Jonah Hill, John C. Reilly dan Marissa Tomei dalam Cyrus. Sedangkan dalam Jeff, Who Lives at Home bintang yang dipakai lebih banyak lagi. Disini ada Jason Segel, Ed Helms, Susan Sarandon sampai Judy Greer. Untuk ceritanya sendiri tidak jauh beda dari film-film mumblecore lain yakni penuh kesederhanaan tanpa dramatisasi berlebih tapi terkadang penuh hal-hal yang mengejutkan. Seperti judulnya, film ini berkisah tentang pria bernama Jeff (Jason Segel) yang walaupun sudah berumur 30 tahun tapi masih tinggal di basement ibunya dan belum juga berkeluarga.

Jeff juga adalah orang yang sangat percaya dengan takdir dan sangat meyakini pertanda-pertanda yang muncul dalam kehidupannya. Hal sekecil apapun bagi Jeff mempunyai arti. Itu jugalah yang membuatnya yakin saat suatu hari mendapat telepon salah sambung dari orang yang mencari Kevin. Jeff yakin bahwa seseorang dengan nama Kevin akan mempengaruhi hidupnya. Disisi lain yang bermasalah juga bukan hanya Jeff. Kakaknya, Pat (Ed Helms) juga bermasalah dengan rumah tangganya. Pernikahannya dengan Linda (Judy Greer) tengah bermasalah dan kehilangan romantisme. Apalagi setelah Pat membeli Porsche dengan harga yang sangat mahal tanpa persetujuan Linda. Problema juga tidak hanya dirasakan dua kaka beradik tersebut karena ibu mereka (Susan Sarandon) yang hari itu tengah berulang tahun juga mendapatkan sebuah masalah dengan orang yang mengaku sebagai penggemar rahasianya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN BEAUTY (1999)

7 komentar

American Beauty adalah debut dari sutradara Sam Mendes yang nantinya akan menghasilkan beberapa film sukses termasuk sebuah drama keluara depresif yang mempertemukan kembali Leonardo DiCaprio dengan Kate Winslet dalam Revolutionary Road dan juga film Bond ke 23 yang akan rilis tahun 2012 ini, Skyfall. American Beauty tidak hanya merupakan debut Sam Mendes tapi juga filmnya yang paling sukses baik itu dari segi komersial maupun kualitas. Disamping pemasukan yang melewati angka $350 Juta, film ini juga berhasil meraih delapan nominasi Oscar dan memenangkan lima diantaranya termasuk Best Picture dan Best Director untuk Sam Mendes. Meskipun mengandung kata Beauty didalamnya, tapi film ini sama sekali tidak bercerita tentang keindahan, karena yang disoroti sepanjang film adalah hal-hal yang menjurus kearah disfungsi dan depresif. Tapi bukan berarti walaupun kisahnya tidak indah membuat American Beauty juga tidak menjadi film yang indah dan cantik, karena yang saya saksikan justru sebuah sisi gelap yang mampu dihadirkan dalam medium yang begitu indah.

Ceritanya adalah mengenai Lester Burnham (Kevin Spacey) seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai penulis di sebuah majalah yang kehidupannya tidak bahagia. Lester merasa dirinya adalah seorang pecundang yang tidak bisa menjadi seorang ayah dan suami yang baik. Pada kenyataannya kehiduoan lester memang terasa menyedihkan. Tindak tanduknya terlihat kikuk, terancam dipecat dari pekerjaannya dan juga sering masturbasi saat sedang mandi walaupun ia sudah menikah. Disisi lain sang istri Carolyn Burnham (Annette Bening) adalah seorang pengusaha real-estate yang sangat ambisius dan begitu mementingkan pekerjaannya. Sepasang suami istri inipun pada akhirnya sudah tidak lagi terlihat sebagai pasangan suami-istri. Pernikahan mereka kini sudah hanya sebatas status dan nyaris tidak ada lagi romansa diantara mereka. Hal itu juga yang akhirnya mempengaruhi pribadi puteri tunggal mereka, Jane (Thora Birch) yang sama sekali tidak dekat dengan kedua orang tuanya bahkan cenderung membenci mereka. Keluarga ini benar-benar merupakan gambaran sebuah disfungsi keluarga tingkat akut dimana sudah tidak ada lagi keintiman antara mereka. Sampai suatu saat masing-masing dari mereka mulai menyadari apa yang kosong dalam kehidupan mereka dan mulai menemukan pengisi dari kekosongan tersebut.

7 komentar :

Comment Page:

THE AMAZING SPIDER-MAN (2012)

6 komentar
Pada tahun 2005 lalu Christopher Nolan datang dengan reboot bagi manusia kelelawar setelah Batman & Robin jeblok dari semua sisi baik itu finansial ataupun kualitas. Hal itu terasa wajar karena Batman layak mendapat film yang lebih baik, jadi setelah film buruk seperti itu sangat bisa dimaklumi saat dilakukan reboot. Jika dihitung juga jarak antara film terakhir dengan reboot-nya sudah delapan tahun dan jika ditarik lebih jauh lagi jarak reboot dengan film Batman pertama sudah 16 tahun, jadi memang waktu dan momentumnya sudah tepat. Toh film pertama yang disutradarai Tim Burton dulu masih belum terlalu melakukan eksplorasi terhadap asal usul Batman. Tapi lain halnya jika kita membicarakan tentang sang manusia laba-laba. Film terakhirnya yaitu Spider-Man 3 rilis baru lima tahun yang lalu, dan jika menengok perolehan uangnya juga termasuk bagus dengan mendapat $890 Juta di seluruh dunia dan merupakan yang tertinggi dibanding dua film pertamanya. Dari segi kualitas memang mengalami penurunan drastis dari film keduanya, tapi toh masih tidak bisa dibilang film sampah dan tidak terselamatkan layaknya Batman & Robin. Tapi akibat perselisihan Raimi dengan pihak studio akhirnya 10 tahun setelah film pertamanya dirilis sang manusia laba-laba mendapat reboot lewat The Amazing Spider-Man.

Meski disutradarai oleh Marc Webb yang membuat film favorit saya, (500) Days of Summer, keraguan dan rasa kurang antusias tetap saya rasakan. Tidak seperti film superhero lain macam The Avengers, The Dark Knight Rises hingga Man of Steel, The Amazing Spider-Man mendapat perhatian paling minim dari saya. Apalagi jika menengok fatka bahwa sebenarnya (atau sepertinya) sudah tidak terlalu banyak yang bisa digali tentang origin sang manusia laba-laba. Dalam pikiran saya paling yang akan saya dapat tidak jauh beda dari film karya Raimi yakni tentang Peter Parker yang tidak sengaja tergigit laba-laba dan mendapat kekuatan super, tidak akan ada kisah baru yang lebih dalam seperti petualangan Bruce Wayne di Batman Begins. Bedanya hanya kali ini sosok Peter Parker (Andrew Garfield) masih berada di SMA dan bukan berhubungan dengan Mary Jane melainkan Gwen Stacy (Emma Stone) yang dalam komiknya memang merupakan pujaan hati Peter yang pertama. Selain itu kita akan dibawa melihat kisah Peter sedari kecil yang tiba-tiba ditinggalkan kedua orang tuanya dan dititpkan kepada Paman dan Bibinya, Ben Parker (Martin Sheen) dan May Parker (Sally Field). 

6 komentar :

Comment Page:

WEEKEND (2011)

Tidak ada komentar
Kisah yang ditawarkan dalam Weekend sebenarnya punya poin yang sudah sering dimunculkan dalam film-film drama romantis, yaitu tentang "bagaimana jika sebuah hubungan yang awalnya direncanakan hanya sebagai hubungan seksual atau one night stand malah berjalan lebih jauh dan dalam?" Beberapa film khususnya yang memiliki genre romcom sudah sering mengangkat teman macam ini, sebut saja No Strings Attached yang dibintangi duet Portman-Kutcher. Hanya saja Weekend mengambil pendekatan yang lebih serius dan mendalam dan menambahkan satu pokok permasalahan lagi yaitu "bagaimana jika kedua tokoh yang saling mencintai tersebut adalah gay?" Sutradara Andrew Haigh yang juga merupakan penulis naskah film ini mencoba mengangkat dilema yang terjadi antara kedua tokohnya tentang bagaimana mereka menghadapi dilema akan hubungan yang awalnya direncanakan hanya sebagai have fun tersebut dan tentunya bagaimana mereka menghadapi kenyataan bahwa gay masih belum sepenuhnya diterima masyarakat.

Sepulang dari sebuah pesta dirumah temannya, Russell (Tom Cullen) tidak langsung pulang tapi mampir dulu ke sebuah gay bar dimana disana ia bertemu dengan Glen (Chris New). Keduanya lalu menghabiskan malam bersama dan berhubungan seks dirumah Russell. Hubungan tersebut awalnya memang hanya sebatas bersenang-senang saja, tapi ternyata kenyataannya lebih dari itu. Mereka mulai secara perlahan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan lebih sering bertemu. Tidak hanya bertemu untuk seks saja, keduanya juga makin sering bercerita tentang hal-hal yang sifatnya pribadi seperti masa lalu mereka, suka duka sebagai gay dan banyak lagi. Tentunya makin dalam sebuah hubungan maka satu sama lain akan makin banyak mengetahui dan akan makin banyak rintangan yang mereka temui. Meskipun dari sinopsis diatas dan dari apa yang juga saya tuliskan sebelumnya bahwa Weekend punya konflik mengenai sulitnya menjadi gay, tapi sebenarnya mengatakan ini adalah film tentang gay juga kurang tepat. Konflik tentang gay dan kedua karakternya yang gay hanyalah sebagai "bumbu penyedap" atau aksesoris belaka dari film ini. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

JANJI JONI (2005)

Tidak ada komentar
Sembilan tahun yang lalu sebenarnya nama seorang Joko Anwar sudah mulai dikenal setelah menulis naskah untuk film Arisan! yang fenomenal itu. Tapi baru dua tahun kemudian atau tepatnya tahun 2005 namanya mulai diperhitungkan sebagai sutradara berbakat (disamping penulis skenario cerdas) melalui Janji Joni yang bertaburan bintang. Dari bintang utamanya sudah ada Nicholas Saputra beserta Mariana Renata, Rachel Maryam, Gito Rollieas, Surya Saputra hingga Fedi Nuril. Deretan itu masih belum ditambah puluhan cameo yang ikut meramaikan filmnya. Tapi bukan itulah kekuatan utama dari film yang punya judul internasional Joni's Promise ini. Justru kekuatan naskah yang ditulis oleh Joko Anwar-lah yang jadi faktor utama keberhasilan film ini. Kisahnya sederhana namun punya template yang unik, yaitu tentang seorang pengantar roll film bernama Joni (Nicholas Saputra) yang punya track record sempurna dalam pekerjaannya dengan tidak pernah telat selama setahun dia menjalani pekerjaan tersebut.

Joni begitu mencintai pekerjaannya meski seorang pengantar film seringkali dipandang rendah tapi dia sadar bahwa pekerjaannya adalah sebuah pekerjaan yang sangat penting. Sampai saat dia mengantar film, Joni bertemu dengan seorang wanita cantik (Mariana Renata) yang langsung memikat hati Joni yang selama ini belum pernah pacaran sama sekali. Begitu memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis tersebut, Joni justru diberi "tantangan" supaya bisa mendapatkan nama sang gadis. Tantangannya sederhana, Joni harus bisa membawakan film yang sedang akan ia tonton tepat pada waktunya kemudian setelah film usai baru ia mau memberitahukan namanya. Tentu saja tanpa ragu Joni berjanji akan berhasil melakukan tugasnya tersebut. Toh sudah setahun berjalan dan ia tidak pernah telat, jadi apa yang bisa membuatnya gagal melaksanakan janji tersebut kan? Ternyata diluar dugaan datang begitu banyak rintangan tak terduga yang menghambat langkah Joni kali ini untuk mengantarkan film.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMBILKAN BULAN (2012)

Tidak ada komentar
Sudah cukup banyak film anak-anak yang dibuat oleh sineas kita dan saya rasa merupakan sebuah pernyataan dari seorang yang menutup mata jika mengatakan sineas lokal malas untuk membuat film bertemakan anak-anak. Mungkin jumlahnya masih kalah dibandingkan horor ataupun drama romantis, tapi untuk mengatakan sangat sedikit film anak-anak saya rasa salah juga. Beberapa tahun terakhir film anak-anak khususnya yang mengambil pendekatan drama bercampur unusr musikal sudah ada beberapa dan itu merupakan langkah yang baik mengingat anak-anak Indonesia akhir-akhir inii memang tengah kekeringan hiburan bermutu yang sesuai dengan umur mereka. Hal itu jugalah yang nampaknya melatar belakangi pembuatan film Ambilkan Bulan oleh Ifa Isfansyah selain sebagai penghormatan kepada alm. A.T. Mahmud. Bermodalkan menyutradarai Garuda di Dadaku dan menulis naskah untuk Rindu Purnama, Ifa Isfansyah kembali membuat sebuah film anak-anak yang dicampur dengan nuansa musikal lengkap dengan balutan lagu-lagu ciptaan A.T. Mahmud. Apakah hasilnya sama hebatnya dengan Sang Penari yang menjadi puncak kesuksesannya tahun lalu?

Ambilkan Bulan berkisah tentang gadis cilik berusia 10 tahun bernama Amelia (Lana Nitibaskara) yang hidupnya terasa sepi dan kurang berwarna semenjak meninggalnya sang ayah (Agus Kuncoro). Ditinggal mati suaminya membuat ibu Amelia (Astri Nurdin) terlalu larut dalam pekerjaannya dan kurang mempunyai waktu untuk bersama sang puteri tunggal. Beruntung lewat facebook Amelia akhirnya berkenalan dengan Ambar (Berlianda Adelianan Naafi) yang ternyata adalah sepupunya sendiri. Amelia begitu terpukau dengan cerita-cerita Ambar mengenai keindahan desa tempat tinggalnya. Hal itulah yang membuat Amelia begitu ingin pergi ke desa tersebut saat liburan sekolah walaupun sang ibu awalnya sempat tidak mengizinkan. Sesampainya didesa, Amelia berkenalan dengan beberapa teman baru yang nantinya akan bertualang bersama dia bahkan hingga ke tengah hutan sekalipun yang nantinya akan menjadi sebuh petualangan yang tidak terlupakan bagi mereka.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ABRAHAM LINCOLN: VAMPIRE HUNTER (2012)

3 komentar
Sebuah kisah fiksi yang asalnya adalah dari sebuah kisah nyata yang diberi twist selalu menarik untuk diikuti. Jelas menarik mengikuti bagaimana sebuah kejadian nyata atau sebuah sejarah yang nyata kemudian diadaptasi menjadi sebuah kisah fiksi penuh dramatisasi yang menarik. Asalkan tidak terlalu dipaksakan untuk nyambung saya yakin kisah-kisah semacam itu akan selalu menarik dan punya berbagai macam kejutan menyenangkan. Dalam media film salah satu yang terbaru adalah X-Men: First Class. Tidak semua momennya merupakan sebuah pelintiran kisah nyata memang, tapi film tersebut mengambil kejadian pada masa perang dingin untuk kemudian diadaptasi kedalam salah satu momen terpenting dan terkeren dari reboot pasukan mutant tersebut. Dalam dunia novel, pelintiran atau yang dikenal sebagai mashup ini nampaknya lebih sering muncul dan sudah sangat populer, apalagi setelah kesuksesan Pride and Prejudice and Zombies yang ditulis oleh Jean Austen dan Seth Grahame-Smith. Pasca kesuksesan novel nyeleneh tersebut, Seth Grahame-Smith kembali menulis sebuah mashup yang kali ini mengambil dari kisah hidup Abraham Lincoln yang dibuat menjadi seorang pemburu vampir. 

Tidak butuh waktu lama bagi novel ini untuk diadaptasi menjadi film karena di bulan yang sama dengan perilisan novelnya, Tim Burton dan Timur Bekmambetov mengumumkan telah mendapat hak untuk mengadaptasi novel tersebut menjadi film. Abraham Lincoln: Vampire Hunter mengambil kisah sedari Abe (sapaan Abraham Lincoln) masih kecil dan mendapati sang ibu dibunuh oleh Jack Barts (Marton Csokas). Upayanya balas dendam gagal karena ternyata Jack adalah vampir dan justru Abe yang terancam dibunuh sebelum akhirnya diselamatkan oleh Henry (Dominic Cooper). Henry kemudian menawari Abe untuk menjadi seorang pemburu vampir. Diselimuti dendam atas kematian ibunya, Abe menerima tawaran itu dan mulai berlatih sebagai pemburu vampir. Bertahun-tahun kemudian Abe (Benjamin Walker) telah menjadi pemburu vampir yang handal dan telah membunuh cukup banyak vampir yang saat itu di Amerika dipimpin oleh Adam (Rufus Sewell). Perjalanan Abe sebagai pemburu vampir diselingi sebagai penjaga toko terus berlanjut sampai ia bertemu dengan Mary Todd (Mary Elizabeth Winstead) yang menjadi pujaan hatinya dan membuat Abe harus memilih antara Mary atau kehidupannya sebagai seorang vampire hunter. 

3 komentar :

Comment Page:

THE BEST EXOTIC MARIGOLD HOTEL (2012)

Tidak ada komentar
Sutradara John Madden kembali menyoroti kisah orang-orang tua setelah sebelumnya lewat The Debt ia mengangkat mengenai para agen rahasia yang sudah pensiun, kali ini ia menggabungkan aktor dan aktris British veteran dalam sebuah dramedi dengan ensemble cast yang berisi para bintang uzur. Sebuah film yang berisi perenungan dan perjalanan mencari jawaban atas permasalahan selalu menarik apalagi jika didalamnya diisi bintang-bintang macam Judi Drench, Bill Nighy, Penelope Wilton, Tom Wilkinson hingga Maggie Smith. Belum lagi masih ada tambahan bintang muda seperti Dev Patel yang angkat nama lewat Slumdog Millionaire. Berbekal cerita yang ringan namun penuh akan perenungan dan konflik batin mendalam, sutradara yang pernah membawa filmnya (Shakespeare in Love) berjaya di Oscar, serta para pemain yang berpengalaman dan sudah tidak asing dengan nominasi Oscar, The Best Exotic Marigold Hotel seolah jadi sebuah jaminan mutu yang akan mendapat tempat di ajang Oscar tahun depan. Tapi apakah itu benar?

The Best Exotic Marigold Hotel membuka ceritanya dengan membawa kita berkenalan dengan tokoh-tokoh yang ada mulai dari Evelyn (Judi Drench) yang baru saja ditinggal mati sang suami dan harus menjual rumahnya untuk menutupi hutang yang ditinggalkan almarhum suaminya. Kemudian ada sepasang suami istri yang sudah menikah selama 39 tahun, Douglas (Bill Nighy) dan Jean (Penelope Wilton) yang sedang mengalami masalah baik dari keuangan dimana semua uang Douglas habis untuk investasi usaha bisnis internet putrinya sehingga membuat mereka tidak punya uang yang cukup untuk membeli rumah yang dianggap layak sampai kepada retaknya hubungan mereka akibat sikap Jean yang selalu berpikir negatif akan semua hal. Kemudian ada Muriel (Maggie Smith) yang dulunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga namun karena seumur hidupnya didedikasikan untuk mengurus keluarga orang lain ia sendiri tidak sempat berkeluarga dan hidup sendiri dengan harta berlimpah. Muriel adalah seorang wanita yang cukup rasis terhadap orang lain dan kini tengah bersiap menjalani operasi pinggangnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE INTOUCHABLES (2011)

Tidak ada komentar
Awalnya saya sama sekali belum pernah mendengar film ini, bahkan tidak ada satupun nama pemainnya yang saya tahu begitu juga dengan sutradaranya. Tapi kemudian saya dikejutkan saat melihat halaman wikipedia yang saat itu menunjukkan daftar peringkat film-film terlaris tahun 2012 yang menempatkan The Intouchables di peringkat lima besar, meski kemudian judulnya menghilang saya rasa karena pada akhirnya film ini digolongkan sebagai film yang dirilis pada tahun 2011. Film ini sampai sekarang sudah meraup pendapatan $350 juta untuk peredarannya diseluruh dunia. Belum cukup sampai disitu kejutan yang saya dapat karena ternyata The Intouchables juga dipilih sebagai cultural event of the year di prancis tahun lalu. Bahkan salah satu aktornya, Omar Sy berhasil memenangkan Best Actor di ajang Cesar Awards (Oscar-nya prancis) dengan mengalahkan Jean Dujardin yang menang Best Actor di Oscar. Jadi seperti apakah sebenarnya film fenomenal yang diangkat dari kisah nyata ini?

Driss (Omar Sy) awalnya tidak berniat untuk mengikuti interview yang diadakan oleh Philippe (Francois Cuzet) untuk bekerja sebagai pengurus untuk merawat Philippe yang menderita kelumpuhan. Driss hanya ingin mendapatkan tanda tangan Philippe sebagai tanda dirinya ditolak dalam wawancara tersebut supaya tetap bisa mendapat uang jaminan kesejahteraan. Tapi melihat sikap Driss yang berbeda dibandingkan pelamar lain dan seolah tidak memperlihatkan kepedulian padanya, Philippe justru malah memberikan kesempatan untuk menjalani percobaan sebagai perawatnya dan bisa tinggal dirumah mewah milik Philippe. Awalnya Driss begitu kesulitan dalam menjalankan pekerjaanya tersebut, tapi lambat laun dia mulai terbiasa dan menikmatinya. Bahkan Driss dan Philippe makin dekat dan lebih terasa sebagai dua orang sahabat daripada majikan dan pelayan. Semakin dekat keduanya semakin terungkaplah bahwa mereka masing-masing punya masalah pribadi yang mana nantinya akan terjadi sebuah simbiosis mutualisme diantara keduanya dalam menyelesaikan masalah masing-masing.

Tidak ada komentar :

Comment Page: