THE BOW (2005)

2 komentar
Dua pengalaman terakhir saya dalam menonton film Kim Ki-duk yaitu Time dan Arirang tidak se-amazing pengalaman-pengalaman sebelumnya saat menonton film buatan sutradara Korea ini. Bagi saya Time terasa terlalu cerewet untuk ukuran film Kim Ki-duk dan alurnya yang berputar-putar terasa membosankan. Suasana magis seolah menyatu dengan alam yang jadi ciri Ki-duk juga tidak terasa karena Time punya set yang lebih realistis, yaitu sebuah perkotaan di Korea dan dalam dunia yang bisa dibilang "lebih modern". Sedangkan Arirang memang masih merupakan film yang lumayan bagus, setidaknya bagi saya yang merupakan penggemar Kim Ki-duk. Tapi film itu adalah sebuah dokumenter yang tentunya tidak akan memberikan sensasi yang sama jika dibanding film-film Ki-duk lainnya. Apalagi Arirang juga dibuat dengan kesederhanaan tingkat tinggi karena memang film itu dibuat nyaris tanpa biaya. Sampai akhirnya saya menonton The Bow atau yang punya judul Korea Hwal. Ya, disinilah saya akhirnya kembali merasakan perasaan unik yang hanya bisa ditemui jika menonton film buatan Kim Ki-duk.

Kim Ki-duk kembali menampilkan karakter "bisu" dalam filmnya. Di sebuah kapal yang mengapung di tengah laut tinggal pria tua berumur kira-kira 60-an (Jeon Seong-hwang). Tapi pria itu tidak tinggal sendirian, disana juga ada seorang gadis muda yang baru 16 tahun (Han Yeo-reum). Keduanya sama-sama tidak pernah mengucapkan satu katapun. Sang pria tua menjadikan kapal tempat ia tinggal itu sebagai tempat pemancingan. Tiap harinya dengan kapal motor ia menjemput beberapa orang yang akan memancing disana. Diantara para pemancng tersebut sering beredar banyak gosip tentang hubungan antara pria tua dan gadis tersebut. Ada yang bilang bahwa gadis itu sudah tinggal di kapal semenjak usia 6 tahun setelah ditemukan oleh pria tua itu dan selama 10 tahun tidak pernah meninggalkan kapal. Ada juga kabar yang mengatakan bahwa pria tua itu berniat untuk menikahi sang gadis saat usianya menginjak 17 tahun. Entah benar atau tidak, sang pria tua yang juga jago panah itu memang sangat protektif khususnya jika ada pemancing yang mencoba menggoda sang gadis. Sampai suatu hari datang seorang laki-laki yang seumuran dengan gadis itu (Seo Si-jeok). Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya dua orang ini saling mencintai.

2 komentar :

Comment Page:

12 MONKEYS (1995)

3 komentar
Ini adalah film ketujuh dari Terry Gilliam yang ia buat 10 tahun setelah film Brazil yang fenomenal itu. Cerita dari 12 Monkeys sendiri terinspirasi dari sebuah film pendek Prancis rilisan tahun 1962 berjudul La jetée. Film ini juga memiliki beberapa bintang didalamnya mulai dari Bruce Willis, Madeleine Stowe, Christopher Plummer, sampai Brad Pitt yang lewat perannya sebagai Jeffrey Goines disini mendapatkan nominasi Oscar untuk pertama kalinya dan memenangkan Best Supporting Actor di ajang Golden Globe untuk pertama kalinya. 12 Monkeys bercerita tentang kondisi masa depan dimana pada tahun 1996 Bumi sudah terkontaminasi oleh sejenis virus mematikan yang membunuh hampir semua populasi manusia. Sisa manusia yang selamat terpaksa hidup di bawah tanah untuk menghindari virus mematikan tersebut. Namun usaha untuk menemukan vaksin dari virus tersebut terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan membuat sebuah mesin waktu dan mengirimkan seorang volunteer yang berasal dari dalam penjara untuk kemudian dikirim ke tahun 1996 untuk mengumpulkan informasi mengenai virus tersebut. Salah seorang tahanan bernama James Cole (Bruce Willis) bersedia untuk dikirim ke masa lalu dengan jaminan akan diberi masa pengurangan tahanan.
Namun misi tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan saat James bukannya dikirim ke tahun 1996 tapi malah "nyasar" ke tahun 1990. Disana James yang mengatakan bahwa pada tahun 1996 akan ada organisasi bernama Twelve Monkeys yang akan menyebarkan virus mematikan justru dianggap gila dan akhirnya dimasukkan kedalam sebuah rumah sakit jiwa. Disanalah ia bertemu dengan seorang psikiater bernama Kathryn Railly (Madeleine Stowe) dan seorang pasien lain bernama Jeffrey (Brad Pitt). Tanpa ia ketahui kedua orang tersebut akan menjadi sosok penting dalam pencarian yang dilakukan oleh James. Tapi selain melakukan pencarian informasi terhadap virus tersebut, James juga harus berjuang untuk menemukan kebenaran sebenarnya apakah ia memang datang dari masa depan atau hanya orang yang mengalami delusi belaka. Gambaran tentang masa depan yang suram dimana populasi manusia sudah sangat sedikit jelas bukan hal baru dalam sebuah film. Tapi melihat hal tersebut dari petualangan yang dilakukan oleh James Cole, maka nuansa kelam sangatlah terasa. Menyaksikan petualngan seorang pria yang berada di tempat yang asing, dikirim ke rumah sakit jiwa, melakukan pencarian yang tidak ia ketahui ujungnya, dan meragukan kewarasan dirinya sendiri terasa begitu kelam. Apalagi seiring dengan bejalannya film kita akan dibawa pada sebuah akhir yang kental nuansa tragedinya namun masih menyisakan sisi manis didalamnya.
12 Monkeys memang terasa begitu gelap. Fakta bahwa filmnya berkisah tentang sebuah populasi yang musnah dan adanya aspek gangguan mental/kegilaan pada karakternya membuat suasananya makin terasa kelam. Dalam film ini sendiri time paradoks sangat terasa dalam alurnya. Hal itu membuat kisahnya memiliki beberapa twist yang bagi saya cukup efektif dalam membuat filmnya terus menarik. Akan ada banyak pertanyaan yang mencuat seiring berjalannya film entah itu mengenai organisasi 12 Monkeys sampai pertanyaan tentang sosok James Cole, apakah dia memang seorang dari masa depan atau hanya orang yang mengalami gangguan jiwa? Selain dari alur ceritanya yang memang penuh misteri, sosok James Cole jelas jadi faktor yang membat film ini terus menarik untuk diikuti. Mengikuti seorang karakter yang kebingungan, sama bingung dan tidak tahunya dengan penonton akan menjadi sangat menyenangkan. Film ini juga menyoroti tentang memori dan ingatan manusia khususnya tentang false memories dimana seseorang keliru dalam mengidentifikasi ingatannya. Aspek tentang false memories ini jugalah yang makin membuat film ini misterius karena kita tidak tahu ingatan mana yang benar dan mana yang keliru.

Menempatkan Bruce Willis dan Brad Pitt sebagai dua aktor utama adalah pilihan tepat. Awalnya James Cole akan diperankan Nick Nolte dan Jeffrey adalah peran yang ditawarkan bagi Jeff Bridges namun akhirnya abtal karena usulan itu ditolak oleh pihak Universal Pictures. Bruce Willis bagus sebagai James Cole yang tangguh diluar namun rapuh didalam. Saat harus beraksi dalam momen action jelas Willis terlihat tangguh. Tapi saat harus beradegan drama dia juga cukup baik dalam memerankan James Cole yang kebingungan dan merasa dirinya gila. Mungkin bukan performa kelas Oscar tapi ini adalah sebuah penampilan yang sangat pas dalam film yang cukup kental nuansa action-nya. Lalu kemudian ada performa bagus dari Brad Pitt yang menjadi seorang pasien rumah sakit jiwa yang meledak-ledak. Saya tidak pernah meragukan akting Brad Pitt, tapi melihatnya dalam karakter Jeffrey adalah kejutan yang menyenangkan. Sebuah penampilan yang membuat setiap kali karakternya muncul dalam suatu adegan, adegan tersebut menjadi menarik diikuti. Pada akhirnya 12 Monkeys adalah sebuah film yang misterius namun tetap mudah diikuti dan punya nuansa yang begitu kelam dengan beberapa twist.

3 komentar :

Comment Page:

PREMIUM RUSH (2012)

1 komentar
Film yang naskahnya ditulis oleh David Koepp dan John Kamps ini jelas punya dasar cerita yang amat menarik. Jika biasanya momen kejar-kejaran dalam film akan memakai kendaraan yang berkecepatan tinggi seperti mobil, motor atau bahkan menampilkan bus yang melaju dengan kecepatan tak terkontrol seperti di Speed, maka Premium Rush akan menampilkan sepeda sebagai kendaraan utama yang dipacu. Jelas ini adalah sebuah hal yang unik dan sangat jarang ditemui eksperimen macam ini di film-film action Hollywood kini. Ketertarikan saya terhadap Premium Rush juga ditambah karena adanya dua orang aktor kelas atas didalamnya yaitu Joseph Gordon-Levitt yang tengah melambung namanya dan Michael Shannon yang tahun lalu baru saja menampilkan akting luar biasa lewat Take Shelter. Berita tentang Gordon-Levitt yang sempat mengalami kecelakaan dan membuatnya cedera saat proses syuting sepertinya sudah menjadi pertanda bahwa film ini akan melaju dengan kecepatan tinggi dan memacu adrenaline penontonnya. Disini Gordon-Levitt berperan sebagai Wilee, seorang kurir sepeda yang setiap harinya bekerja mengantarkan barang dengan kecepatan tinggi di jalanan ramai New York.

Dibandingkan kurir lainnya, Wilee sering disebut sebagai yang paling gila, karena ia masih kukuh memakai sepeda biasa yang tidak dilengkapi fasilitas "ganti gigi" dan paling anti memasang rem di sepedanya. Suatu siang ia ditugaskah untuk mengambil sebuah paket yang dikirim oleh temannya, Nima (Jamie Chung), Paket itu diperuntukkan bagi seorang bernama Sister Chen yang berada di Chinatown. Tapi ternyata ada pihak lain yang mengincar paket tersebut, yaitu Bobby (Michael Shannon) yang juga seorang anggota kepolisian New York. Paket apa yang sebenarnya diantar oleh Wilee masih misterius, yang jelas saat ini ia harus berkejar-kejaran dengan Bobby dan pihak kepolisian. Premium Rush jelas berhasil menyajikan sebuah formula kejar-kejaran yang unik. Lupakan semua ketidak logisan tentang bagaimana Wilee bisa punya stamina yang begitu luar biasa hingga mampu memacu sepedanya dengan kecepatan penuh selama sekitar lebih dari satu jam dan berhasil menghindari kejaran mobil dan begitu padatnya lalu lintas New York. Lupakan juga bagaimana Wilee masih bisa memacu kencang sepedanya walaupun sudah cedera parah dan patah tulang. Lupakan juga berbagai plot hole lainnya yang banyak bertebaran di film ini karena yang jadi sorotan utama adalah momen kejar-kejarannya yang seru, seperti tagline filmnya, "Ride Like Hell".

Jika melupakan berbagai ketidak mungkinan yang ada, maka film ini berhasil memberikan pada penontonnya sebuah chasing moment yang cukup menegangkan. Begitu ramainya jalanan kota membuat film ini terasa menegangkan. Fakta bahwa Wilee hanya menunggangi sepeda dan bisa kapan saja tertabrak mobil atau bahkan truk (yang itu sudah pasti akan sangat membahayakan nyawanya) membuat saya terpaku mengikutinya melaju kencang sepanjang jalan. Sepeda jelas jauh lebih rapuh dari kendaraan bermotor macam mobil dan itu pastinya membuat kita akan lebih tegang melihat Wilee beraksi di jalan. Pengemasan visual yang cukup variatif seperti pemunculan rute jalan hingga beberapa visual yang menampilkan isi pikiran Wilee dalam mengatur strateginya melewati keramaian kota juga turut menjadi faktor yang membuat Premium Rush makin menarik. Selain itu, diluar dugaan film ini juga memasukkan beberapa momen humor yang cukup berhasil mengundang tawa. Singkatnya, Premium Rush mampu terasa seru tapi tetap terasa ringan untuk diikuti. 
Penampilan duo pemeran utamanya yang baik juga menjadi nilai plus lain bagi film ini. Joseph Gordon-Levitt terlihat meyakinkan sebagai seorang bicycle messenger yang super jago dan tengah bersusah payah memacu sepedanya menghindari kejaran musuh. Keberanian Gordon-Levitt untuk melakukan berbagai aksi stunt sendiri dan menguasai banyak trik bersepeda membuatnya terlihat begitu meyakinkan disini. Michael Shannon? Ah sungguh menyenangkan melihatnya sebagai sosok polisi antagonis gila yang punya kesulitan mengontrol emosinya dan selalu meledak-ledak. Jika anda ingat adegan saat Shannon mengamuk di Take Shelter, maka dia akan lebih sering menampilkan emosi-emosi seperti itu disini, bedanya di Premium Rush dia lebih gila dan bukan seorang pria yang melampiaskan segala emosi terpendamnya, melainkan pria yang terlalu mudah melampiaskan emosi yang ia rasakan. Jarang sekali sebuah film Hollywood yang berbalut action mampu menampilkan "pertarungan" protagonis-antagonis dimana keduanya bermain dengan meyakinkan dan punya karakter yang jelas, dan disini pertarungan Wilee-Bobby jelas menarik.

Sampai disini sepertinya saya akan menyatakan bahwa Premium Rush adalah film yang bagus dan akan menempatkan bintang empat di bagian rating, tapi tidak. Premium Rush tidak memposisikan diri sebagai film bodoh yang hanya mengumbar adegan aksi saja. Film ini terlihat tetap berusaha memasukkan unsur cerita yang (maunya) menarik dengan menambahkan misteri, percintaan bahkan drama melankoli antara ibu dan anak juga sedikit diselipkan. Namun sayangnya semua itu tidak ada yang berhasil. Misteri mengenai paket dan segala hal disekitarnya tidak membuat saya penasaran, karena toh tidak ada juga sebuah twist yang bisa saya harapkan. Pada akhirnya jawaban dari misteri tersebut saya yakin hanya ada di seputar paket apa yang dibawa dan alasan Bobby mengejar Wilee. Selain itu tidak ada hal menarik lainnya yang bisa digali dan diikuti. Bumbu percintaan dan hubungan ibu-anak yang diselipkan juga sama sekali tidak menggigit. Hal ini membuat film terasa membosankan disaat adegan aksinya tengah mengalami penurunan tensi. Disaat itulah tidak ada hal lain yang bisa membuat filmnya menarik kecuali mungkin jika Michael Shannon muncul di layar. Sudah begitu film ini juga ditutup dengan ending yang sangat antiklimaks dan jauh dari kesan epic seperti harapan dan bayangan saya setelah melihat perjalanan filmnya yang cepat. Kekurangan itulah yang pada akhirnya gagal membuat Premium Rush menjadi film yang bagus, namun setidaknya masih layak tonton sebagai hiburan yang tidak jelek.

1 komentar :

Comment Page:

ONCE UPON A TIME IN ANATOLIA (2011)

Tidak ada komentar
Seperti yang kita tahu bahwa Turki punya wilayah yang masuk ke bagian Eropa dan sebagian ada di Asia. Sedangkan Anatolia sendiri (kalau saya tidak salah) adalah bagian dari Turki yang masuk kedalam wilayah Asia. Film garapan sutradara Nuri Bilge Ceylan ini memang mengambil mengambil lokasi di daerah Anatolia. Once Upon a Time in Anatolia memang sebuah sinema Turki yang punya pencapaian yang spesial. Hal itu bisa dilihat dari keberhasilan film ini memenangi Grand Prix di Cannes Film Festival 2011 (berbagi dengan The Kid With a Bike). Kategori Grand Prix sendiri bisa dibilang adalah sebuah penghargaan yang punya nilai prestisius nomor dua di ajang Cannes, yaitu "hanya" dibawah Palme d'Or. Jadi apa sebenarnya yang terjadi di Anatolia pada film ini? Ternyata kita akan dibawa mengikuti sebuah pencarian yang dilakukan terhadap sebuah mayat korban pembunuhan yang dikubur di suatu tempat di Keskin, Anatolia. Pencarian tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari Beberapa anggota polisi, pihak militer, penggali kubur, seorang jaksa, seorang dokter hingga dua orang kakak beradik yang menjadi tersangka pembunuhan tersebut.

Pencarian tersebut berlangsung hingga larut malam dan tidak kunjung selesai. Penyebabnya adalah Kenan, salah satu tersangka yang memimpin pencarian tidak terlalu ingat tentang tempat dimana ia menguburkan mayat tersebut, karena pada saat melakukan pembunuhan dia dalam kondisi mabuk, sedangkan sang adik sendiri termasuk orang yang mengalami retardasi mental hingga tidak terlalu membantu pencarian tersebut. Yang ia ingat hanyalah mayat itu dikuburkan di sebuah tempat lapang dekat mata air dan di sekitarnya terdapat beberapa pohon. Tentu saja tempat dengan deskripsi semacam itu sangat banyak disana. Pencarian terus berlangsung, dan disaat bersamaan kita akan diajak menelusuri personal masing-masing karakter mulai dari Kepala Polisi, dokter, jaksa bahkan sampai Kenan sang pelaku pembunuhan. Mereka satu sama lain membicarakan berbagai macam topik mulai dari yang ringan seperti makanan hingga topik berat macam kematian. Tapi tentu saja cerita yang paling mengena adalah kisah tentang seorang wanita yang bisa memprediksikan hari dimana ia mati dan mengatakannya pada sang suami bahwa ia akan mati setelah melahirkan bayi mereka. Dari berbagai cerita dan obrolan itulah kita akan mulai mengetahui sisi kepribadian masing-masing karakter.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BEETLEJUICE (1988)

1 komentar
Setelah debut yang sukses baik secara kualitas ataupun komersil dalam Pee-wee's Big Adventure, Tim Burton mulai mendapat pengakuan di Hollywood. Pasca kesuksesan tersebut Burton mulai mendapat kiriman naskah untuk dia sutradarai, hanya saja dari banyak materi tersebut tidak ada yang membuat ia tertarik. Bagi Tim Burton naskah-naskah tersebut terkesan kurang original dan kurang dalam hal imajinasi dan kreatifitas. Sampai pada akhirnya Burton menerima naskah Beetlejuice dari Michael McDowell, dan ia merasa cocok dan setuju untuk menyutradarainya. Tiga tahun setelah debutnya, akhirnya Beetlejuice rilis dengan dibintangi oleh banyak nama besar yang sebenarnya pada saat itu belum banyak dikenal dan sedang merintis karir. Ada nama seperti Alec Baldwin, Geena Davis, Winona Ryder, Catherine O'Hara sampai Michael Keaton yang pada akhirnya akan menjadi Bruce Wayne dalam Batman versi Burton. Dalam Beetlejuice sendiri berbagai ciri khas Tim Burton mulai terasa, mulai dari karakter aneh sampai set yang kental unsur ekspresionisme-nya.

Awalnya kita akan dibawa melihat kehidupan bahagia sepasang suami istri, Adam (Alec Baldwin) dan Barbara (Geena Davis) yang sedang menikmati liburan di rumah mereka yang terletak di kampung. Malang bagi mereka, di tengah perjalanan mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan yang akhirnya menewaskan keduanya. Sadar telah tewas, keduanya justru kebingungan apa yang harus mereka lakukan sebagai "hantu baru". Kondisi makin rumit saat sebuah keluarga membeli rumah mereka dan tinggal disana. Merasa terganggu dengan keberadaan keluarga baru tersebut, Adam dan Barbara mencoba mengusir mereka dari sana. Tapi apa daya, pengalaman yang masih kurang sebagai hantu membuat mereka selalu gagal dalam usaha pengusiran dan menakut-nakuti tersebut. Sampai akhirnya mereka tergoda untuk meminta jasa bantuan dari Betelgeuse (Michael Keaton) meski sebelumnya sudah diwanti-wanti untuk tidak meminta bantuannya, karena Betelgeuse sudah sering menciptakan masalah.

1 komentar :

Comment Page:

EL TOPO (1970)

4 komentar
Melihat judul dan sedikit cuplikan filmnya, saya mengira El Topo adalah film western biasa yang mengisahkan tentang petualangan seorang koboi bernama El Topo dan akan berisi banyak adegan tembak-menembak seru ala film-film koboi lawas. Meski saya bukan penggemar film seperti itu, tapi saya pikir toh bukan masalah sekali-kali menonton film koboi klasik sekedar untuk mencari hiburan. Lagipula setelah sekilas melihat beberapa data tentang film garapan sutradara Alejandro Jodorowsky ini, ternyata ini adalah film yang menjadi wakil Meksiko dalam ajang Academy Awards 1972 untuk kategori Best Foreign Language Film meski pada akhirnya gagal masuk daftar nominator final. Tapi hal tersebut sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa El Topo bukan sekedar film aksi koboi biasa. Tapi setelah selesai menonton, yang saya dapatkan justru salah satu pengalaman menonton paling aneh dalam hidup saya. Daripada mendapat suguhan film koboi/western yang dibalut dengan cerita apik saya justru mendapati bahwa ini adalah sebuah film absurd penuh filosofi yang dibungkus dengan genre western. 

Cerita di paruh awal film belum terasa aneh. Kita akan dibawa melihat sosok El Topo (Alejandro Jodorowsky) yang berkelana menunggangi kuda melintasi padang gurun Meksiko yang gersang dengan anaknya yang baru berusia 9 tahun. Tidak ada keanehan apapun kecuali sang anak yang telanjang bulat. El Topo dan anaknya mendapati sebuah kampung yang semua penduduknya dibantai dengan sangat sadis. Perjalanannya akhirnya berujung pada pertemuan dengan seorang Colonel (David Silva) dan beberapa anak buahnya yang menjadi dalang dibalik pembantaian tersebut. El Topo berhasil mengalahkan Colonel dan anak buahnya sekaligus menyelamatkan desa tersebut. Setelah itu jagoan kita kembali melanjutkan perjalanannya,tapi kali ini ia meninggalkan sang anak kepada para biarawan yang sebelumnya menjadi budak seks para anak buah Colonel yang homoseksual. Meski meninggalkan anaknya, El Topo justru membawa seorang wanita (Mara Lorenzio) yang sebelumnya menjadi budak seks sang Colonel. El Topo lalu menamai wanita tersebut "Mara". Mara kemudian meminta El Topo untuk mengalahkan "The Four Great Gun Master" supaya menjadi penembak terhebat. Mara meminta hal tersebut sebagai syarat supaya ia bisa mencintai El Topo. Mau tidak mau El Topo memulai perjuangannya mengalahkan keempat orang jago tembak tersebut yang pada akhirnya justru akan mengajarkan El Topo banyak hal tentang hidup.

4 komentar :

Comment Page:

PERAHU KERTAS (2012)

Tidak ada komentar
Meskipun sudah dirilis sedari bulan Agustus lalu, saya baru sempat menonton Perahu Kertas pada September ini. Membaca banyak review positif yang ada saya menjadi cukup penasaran untuk menonton film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Dewi Lestari ini. Sempat khawatir akan ketinggalan mengingat biasanya film lokal punya masa tayang yang singkat di bioskop, nyatanya film garapan Hanung Bramantyo ini masih bertahan dilayar lebar. Bahkan hingga sekarang Perahu Kertas sudah menjadi film lokal terlaris ketiga dibawah The Raid dan Negeri 5 Menara dengan jumlah penonton mencapai 550.000 orang. Banyaknya penggemar novel tersebut memang cukup memberikan dampak yang signifikan terhadap pendapatan film ini. Saya sendiri belum membaca novelnya, dan saya tetap tidak peduli dengan komentar-komentar semisal filmnya tidak sesuai novel atau aktor dan aktris yang bermain tidak sesuai dengan harapan fans atau apalah. Bagi saya film adalah film dan novel adalah novel. Tidak akan mungkin bisa sama persis dan pasti ada bagian yang berbeda karena dua media ini memang sangatlah berbeda dalam menghantarkan kenikmatan bagi konsumennya. Sayapun tetap akan berekspektasi pada film ini sama dengan ekspektasi yang saya berikan pada film-film yang bukan adaptasi apapun termasuk novel. Tidak sama persis jelas bukan masalah, namun jika bisa sama itu adalah bonus.

Perahu Kertas akan mengajak kita berlayar mengarungi kehidupan seorang gadis bernama Kugy (Maudy Ayunda) yang selalu bercita-cita menjadi penulis dongen. Kugy sendiri punya tingkat imajinasi luar biasa tinggi sampai terkadang dia dianggap aneh oleh kedua temannya, Noni (Sylvia Fully R.) dan Eko (Fauzan Smith). Dia menganggap dirinya sebagai seorang "agen Neptunus" dan selalu punya sebuah ciri khas meletakkan kedua tangannya diatas kepala dimana hal itu ia sebut sebagai "radar Neptunus". Suatu hari sepupu Eko yang berkuliah di Belanda, Keenan (Adipati Dolken) datang ke Bandung. Keempatnya mulai menjalin persahabatan yang sangat erat. Namun dibalik persahabatan tersebut, muncul perasaan yang lebih diantara Kugy dan Keenan. Masalahnya adalah saat itu Kugy sendiri sudah mempunyai pacar yang tinggal di Jakarta, yaitu Ojos (Dion Wiyoko). Sedangkan Keenan sudah "dijodohkan" oleh Eko dan Noni dengan Wanda (Kimberly Ryder), sepupu Noni yang juga sebelumnya tinggal di Australia. Hal tersebutlah yang menghalangi perjalanan cinta Kugy dan Keenan, padahal keduanya sudah saling cocok akan cara pandang masing-masing akan kehidupan. Namun permasalahan tidak berhenti sampai disitu, karena masih banyak lagi kisah yang lebih kompleks yang akan datang.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

V FOR VENDETTA (2005)

3 komentar
Perseteruan antara pemerintah dengan rakyatnya mungkin adalah kisah yang sudah berlangsung sejak jaman dahulu kala dan nampaknya tidak akan pernah berujung. Momen disaat pemegang tahta kekuasaan menyalahgunakan kekuasaan tersebut dan hanya ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi dibandingkan berkuasa untuk mensejahterakan rakyat dan negerinya memang sudah jadi cerita lama. Hal itulah yang pada akhirnya menciptakan sistem totalitarian dimana suatu pemerintahan mengontrol segala hal dalama negara. Kontrol disini tidak hanya pada hal-hal seperti hukum ataupun kekayaan tapi juga sampai kepada hal-hal seperti norma dan mereka berusaha mengontrol bagaimana masyarakat berperilaku sesuai dengan keinginan mereka. Setelah itu semuanya tergantung kepada rakyatnya akan bersikap bagaimana, apakah hanya akan menerima hal tersebut? Atau malah melakukan perlawanan karena adanya perasaan terkekang? Hal itulah yang menjadi poin penting dalam kisah V for Vendetta yang diadaptasi dari komik yang ditulis oleh Alan Moore pada 1982 sampai 1989. Versi filmnya sendiri disutradarai oleh James McTeigue (Ninja Assassin) dan naskahnya ditulis oleh Duo Wachowski (The Matrix Trilogy).

Pada tahun 2020, Inggris dipimpin oleh Chancellor Adam Sutler dari partai Norsefire yang beraliran fasis. Sang Chancellor memimpin dengan pola totalitarian dan benar-benar membatasi kebebasan rakyatnya. Hal yang benar dan salah diatur oleh pemerintah. Bahkan orang-orang dari kaum yang tidak disukai seperti para tahanan politik, homoseksual sampai muslim dimasukkan kedalam camp konsentrasi. Tidak ada satupun orang yang berani menentang rezim ini meskipun banyak yang membencinya. Semuanya takut kepada pemerintah yang akan menangkap bahkan membunuh pihak yang melawan mereka. Tapi ternyata ada seorang misterius yang memakai topeng Guy Fawkes (Hugo Weaving) berani turun ke jalan dan melakukan aksi menentang bahkan melawan pemerintah. Pria bertopeng misterius tersebut menamakan dirinya V. Pada tanggal 5 November setelah ia menyelamatkan Evey Hammond (Natalie Portman) dari para polisi rahasia pemerintah, V melakukan aksi publik perdananya dengan meledakkan gedung Old Bailey yang merupakan pusat pengadilan. V bahkan kemudian mengumumkan lewat televisi tentang rencana yang akan ia lakukan. Ia mengajak para rakyat yang tidak menyukai rezim totalitarian tersebut untuk turun ke jalan tepat setahun kemudian pada tanggal 5 November untuk secara bersama menggulingkan pemerintahan, bahkan V berencana meledakkan gedung parlemen.

Sekedar info, topeng yang dipakai V berasal dari sosok nyata. Guy Fawkes memang bukan tokoh fiksi. Guy Fawkes termasuk satu dari beberapa tokoh yang berperan dalam rencana pembunuhan terhadap King James I pada 1605 namun gagal dan pada akhirnya ia dieksekusi pada tahun 1606. Rencana tersebut dinamakan Gunpowder Plot, dan memang berlangsung pada 5 November 1605. Rencananya juga tidak jauh beda dengan rencana V, yakni meledakkan House of Lords pada tanggal 5 November. V for Vendetta memang adalah kisah tentang bagaimana kekuatan yang muncul dari persatuan rakyat dapat menggulingkan sebuah kekuasaan seperti apapun. Jika rakyat sudah bersatu memang tidak ada yang tidak mungkin, dan hal tersebut sudah sering dibuktikan di dunia nyata. Permasalahannya adalah tidak semua orang berani menjadi pencetus ide perlawanan tersebut dan menjalankannya. Untuk itulah terkadang perlu cara ekstrim untuk bisa memantik keberanian dan menampar kesadaran rakyat terhadap penindasan yang menimpa mereka. Dari situlah pertanyaan muncul mengenai apakah kekerasan bahkan sampai pembunuhan yang dilakukan oleh V memang perlu dan bisa dibenarkan? Tapi toh ambiguitas moral tersebut sudah sering dibuktikan dalam berbagai kejadian dimana rakyat akan bersatu jika muncul sebuah momen heroik atau disaat pemerintah melakukan hal yang jauh kelewat batas dan biasanya berkaitan dengan hilangnya nyawa satu atau banyak orang.
Kritikan bagi sistem totalitarian juga amat terasa disini. Bahkan dalam V for Vendetta sistem ini digambarkan tidak punya sisi positif sedikitpun. Sebenarnya hal ini sedikit disayangkan, mengingat tindakan yang dilakukan oleh V sudah terasa abu-abu dan ambigu, mengapa tidak sekalian saja buat para pemerintah totalitarian ini sebagai pihak abu-abu juga? Hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan sedikit memberikan alasan mengenai pemakaian sistem ini pada saat itu, jadi yang muncul bukanlah penggambaran abu-abu melawan hitam seperti yang nampak pada film (saya belum membaca komiknya), namun menjadi abu-abu melawan abu-abu. Ah saya rasa itu akan membuat film ini makin menarik dan makin terasa mendalam. Saya juga kurang setuju dengan pendapat V bahwa "Seharusnya bukan rakyat yang takut pada pemerintah, namun pemerintah yang takut pada rakyat" Tentu anda pernah mendengar kisah tentang raja yang mendapat ramalan bahwa anaknya nanti akan menggulingkan dirinya jika sudah dewasa. Sang raja menjadi takut pada anaknya dan berusaha membununya. Tapi pada akhirnya justru rasa takut itu yang membuat sang raja jatuh. Hal itulah yang juga akan terjadi jika pemerintah takut pada rakyat. Pemerintah bisa jadi bertindak sama jauhnya dengan yang terjadi pada film ini, dan tetap akan menimbulkan dampak negatif yang besar.

Walaupun begitu film ini sudah mampu menyampaikan berbagai pesannya dengan baik dan mengena. Konsep tentang topeng yang dipakai V sedikit mengingatkan saya pada alasan Bruce Wayne versi Nolan mengenakan kostum Batman. Ide dasarnya bukanlah topeng atau siapa di balik topeng tersebut, namun ideologi yang dibawa. Topeng hanyalah menjadi simbol saja. Begitu pula dengan sosok V yang tidak pernah terlihat mukanya. Topeng Guy Fawkes yang ia pakai hanyalah simbol perlawanan. Tidak penting siapa sosok dibalik topeng tersebut, yang penting adalah ide yang ia miliki. Bicara tentang sosok V jelas sosok Hugo Weaving patut diberi pujian. Wajah dan ekspresinya memang tak pernah terlihat, tapi ia mampu memberikan sebuah penampilan yang ikonik hanya lewat suara yang khas dan gestur yang begitu luwes dan terkadang unik. Meski tidak pernah melihat wajahnya, penonton bisa memahami apa yang ia maksud. Dasarnya sama saja dengan konsep ide tadi, orang tidak tahu siapa sosok dibalik topeng, tapi mereka bisa mengerti ide yang ia bawa dari segala perbuatannya. Kemudian ada juga sosok Natalie Portman yang juga bagus. Tapi yang paling menonjol adalah totalitasnya dimana Portman tidak segan menggunduli kepalanya secara nyata.

Namun V for Vendetta tidak hanya melulu soal pamer ideologi dan politik. Salah satu faktor utama keberhasilan film ini adalah mampu menyeimbangkan faktor politik tersebut dengan suguhan adegan aksi yang sangat menarik. Mungkin special effect yang ada tidak terlalu mewah, namun penanganannya yang pas plus dibalut iringan musik epik buatan Dario Marianelli, V for Vendetta mampu tampil dengan begitu keren. Dua aksi peledakan yang ada di film ini mampu tampil begitu megah namun punya porsi yang tidak berlebihan. Semua itu masih ditambah aksi keren dari sosok V yang beraksi hanya bermodalkan beberapa pisau saja. Seringkali memang penggunaan pisau bakal jauh terlihat lebih keren dari senjata api seperti apapun. Pada akhirnya mungkin tidak semua orang sepaham dengan ide-ide yang disampaikan dalam V for Vendetta, namun jelas film ini mampu menggabungkan berbagai sindiran yang cukup tajam dan mengenai dengan berbagai adegan aksi yang menghibur. Saat sebuah film mampu menggabungkan dua hal itu dengan baik, maka itulah bukti bahwa film itu spesial. Saya yakin V for Vendetta akan terus diingat, seperti tanggal 5 November. Remember remember, the 5th of November.

3 komentar :

Comment Page:

ANNIE HALL (1977)

3 komentar
Hingga saat ini Annie Hall bukan hanya salah satu film tersukses dari Woody Allen namun juga salah satu film dengan genre komedi romantis paling sukses yang pernah dibuat. Bagaimana tidak? Dari segi pendapatan, film ini berhasil meraup $38 Juta dari bujet yang hanya $4 Juta. Selain itu, Annie Hall berhasil memenangkan empat piala Oscar, yaitu untuk kategori Best Picture, Best Director, Best Original Screenplay dan Best Actress bagi Diane Keaton. Woody Allen sendiri mendapatkan nominasi Best Actor walaupun akhirnya harus kalah dari Richard Dreyfuss. Melalui Annie Hall sendiri Woody Allen mulai mendapat pengakuan sebagai salah satu sutradara terbaik di Hollywood, dan semenjak film ini juga Woody Allen rutin merilis satu film tiap tahun terhitung semenjak mulai 1978 (kecuali tahun 1981 dimana ia tidak merilis satupun film). Film ini juga memberikan inspirasi dan pengaruh bagi banyak film komedi romantis termasuk film favorit saya (500) Days of Summer. Dilihat dari jalan cerita dan pengemasan yang unik memang terlihat sekali bahwa Annie Hall memberikan inspirasi yang kuat dalam film tersebut.

Alvy Singer (Woody Allen) adalah seorang stand-up comedian yang sedang berusaha mencari tahu mengapa hubungan cintanya dengan Annie Hall (Diane Keaton) bisa berakhir. Alvy sendiri adalah sosok pria yang canggung jika harus berhadapan dengan orang lain. Dia juga punya cara pandang yang bisa dibilang sangat pesimistis terhadap dunia dan berbagai hal di sekitarnya. Ia merasa banyak konspirasi dan keburukan yang terjadi di dunia ini. Bahkan ia menganggap hanya ada dua golongan manusia, yaitu terrible dan miserable. Alvy memang adalah seorang yang amat paranoid dan beberapa kali juga gagal dalam hubungan percintaan. Dia pernah menikah dua kali dan semuanya berujung pada kegagalan, sampai ia bertemu dengan Annie dan mulai menjalani hubungan dengan gadis tersebut. Awalnya hubungan keduanya menyenangkan. Alvy dan Annie terlihat saling mengisi satu sama lain. Tapi lama kelamaan mereka mulai saling merasa bahwa hubungan tersebut mulai tidak berjalan lancar, namun keduanya masih saling mencintai dan merasa sayang untuk mengakhiri hubungan tersebut, khususnya Alvy yang merasa bahwa Annie adalah wanita terbaik dalam hidupnya.

3 komentar :

Comment Page:

RESIDENT EVIL: RETRIBUTION (2012)

13 komentar
Bagi saya franchise film Resident Evil adalah seri film yang paling kacau dalam mengatur kontinuitas ceritanya. Beberapa karakter juga banyak yang hilang dan dimunculkan lagi tanpa alasan yang jelas dalam tiap sekuel-nya. Untuk urusan cerita selain seringkali asal masuk, dari film ke film juga terasa stagnan dan makin kehilangan sentuhan horror yang selalu saya rasakan tiap bermain game R.E. (walaupun makin kesini game-nya sendiri juga perlahan mulai tidak se-horror dulu lagi). Tapi toh saya tetap menantikan film kelimanya ini, karena meski tidak pernah sampai tahap bagus, namun film-film Resident Evil setidaknya selalu bisa menjadi sajian "bodoh" yang ringan untuk ditonton. Bahkan sebenarnya saya sempat menaruh ekspektasi yang lebih tinggi pada Retribution jika dibandingkan dengan Afterlife. Penyebabnya adalah beberapa materi promo termasuk trailer dan tagline yang berbunyi Evil Goes Global. Apakah ini berarti film Resident Evil akan mengalami perubahan kisahnya menjadi lebih luas dan epik? Selain itu beberapa tokoh macam Leon S. Kennedy dan Ada Wong juga muncul disini termasuk kembalinya Jill Valentine. 

Retribution memulai kisahnya tepat setelah ending dari Afterlife dimana Alice (Milla Jovovich) dan para penumpang kapal lainnya diserang oleh pasukan Umbrella yang dipimpin oleh Jill Valentine (Sienna Guillory) yang berada dalam kendali Umbrella. Dalam penyerbuan tersebut Alice tertangkap dan diinterogasi oleh pihak Umbrella. Namun secarra tiba-tiba ia diselamatkan oleh wanita misterius bernama Ada Wong (Li Bingbing). Selain Ada, beberapa orang regu penyelamat juga ikut bergabung dimana regu tersebut dipimpin oleh Leon S. Kennedy (Johann Urb) dan ada juga Luther West (Boris Kodjoe) yang berhasil selamat setelah event di Afterlife. Bersama mereka mencoba kabur dari markas Umbrella yang tentunya terdapat berbagai macam zombie hingga monster ganas. Selain itu ada juga pasukan yang dipimpin oleh Jill Valentine dan beranggotakan para clone dari rekan Alice dulu macam Carlos (Oded Fehr) dan Rain Ocampo (Michelle Reodriguez). Dari sinopsis diatas sudah nampak jelas bahwa tagline "Evil Goes Global" sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Ya, memang dalam universe film tersebut T-Virus sudah menyebar ke seluruh dunia, namun hal tersebut hanya muncul dalam cerita Alice dan mungkin adegan di akhir. Tapi selebihnya Retribution hanya akan berfokus pada usaha Alice dan kawan-kawannya kabur dari markas Umbrella, sebuah cerita yang tidak jauh beda dari Afterlife. 


Kacaunya kontinuitas cerita dalam franchise ini nampaknya disadari oleh Paul W.S. Anderson yang pada akhirnya menambahkan sebuah adegan Alice yang membacakan sebuah narasi mengenai ringkasan cerita keempat film sebelumnya. Adegan yang mungkin hanya sekitar 5 menit bahkan mungkin tidak sampai itu ternyata sudah bisa meringkas keseluruhan kisah dari film-film sebelumnya. Hal itu membuktikan bahwa pembuat film ini sudah benar-benar kebingungan akan membawa franchise ini kearah mana dan hanya berusaha menambah sekuel demi pemasukan yang berlipat. Dalam Retribution kita akan dipaksa menerima kenyataan bahwa beberapa karakter macam Chris dan Claire menghilang entah kemana tanpa penjelasan (lagi). Mungkinkah akan ada penjelasan di sekuelnya? Saya ragu melihat bagaimana film ini memperlakukan karakternya selama ini yang "seenaknya" keluar-masuk. Lalu bagaimana dengan keseluruhan ceritanya? Lupakan cerita. Tanpa perlu lagi membahas kurang global-nya cerita film ini, Resident Evil: Retribution tetap punya jalan cerita yang konyol dan penuh dengan plot hole menganga lebar. 
Ah, bukankah Resident Evil memang tidak pernah berfokus pada cerita? Bukankah yang paling penting dari film macam ini adalah rentetan adegan aksinya yang menghibur? Bukan pendapat yang keliru, namun untuk film ini kebodohan dan lubang ceritanya sudah keterlaluan. Timeline kisah yang tidak jelas adalah salah satunya. SPOILER Logikanya, momen penyerbuan Jill pada Alice hingga akhirnya Alice terbangun tidaklah terlalu lama. Jika memakai logika terbodoh sekalipun, momen tersebut tidak akan makan waktu berminggu-minggu, tapi lihatlah apa yang terjadi. Albert Wesker entah darimana dan bagaimana sudah bisa membentuk kelompok perlawanan terhadap Umbrella dan T-Virus dan entah bagaimana pula Luther West bisa ikut bergabung disana. Saya tidak akan membahas lebih jauh lagi tentang kebodohan dan plot hole film ini karena itu tidak akan ada habisnya. Padahal momen awalnya cukup lumayan saat filmnya menampilkan berbagai momen mengagetkan yang cukup punya suasana horror. Tapi setelah itu semuanya kembali seperti film-film sebelumnya. Selingan diantara adegan aksinya terasa sangat membosankan dan tidak menarik. 

Lalu bagaima dengan adegan aksinya yang jadi andalan? Paul W.S. Anderson masih ketagihan dengan adegan slow motion yang sayangnya kelewat batas penggunaannya. Mungkin Zack Snyder juga banyak memakai momen itu, tapi dia cukup jeli membuat sebuah momen menjadi pas bahkan seringkali terkesan perlu untuk disajikan dalam slo-mo. Sedangkan Anderson tidak punya kemampuan tersebut. Hampir semua adegan aksi yang dia anggap berpotensi keren disajikan dengan slow motion. Momen di pembukanya memang lumayan, tapi setelah itu makin kelewatan dan malah membuat porsi action yang harusnya menghibur jadi terlihat bodoh. Padahal sebenarnya berbagai adegan tersebut punya potensi menjadi seru dan keren, apalagi dengan balutan efek yang bagus untuk ukuran film dengan dana tidak sampai 100 juta. Musik yang mengiringi juga cukup epic, sayang cara Paul W.S. Anderson mengemasnya menjadikan adegan aksi film ini kurang greget. Hal itu jugalah yang membuat bakat Milla Jovovich sebagai seorang heroine terasa terbuang. Dia bisa terlihat keren, bahkan lebih keren dari Angelina Jolie sebagai action heroine, tapi penanganan dari sang suami tidak mendukung potensi itu dan malah membuatnya terlihat payah. Untung adegan klimaksnya yang hanya ditampilkan dalam format hand-to-hand cukup menarik.

Fakta bahwa Alice tetap superior meski kekuatannya sudah diambil pada film keempat juga masih mengganggu. Karakter baru macam Ada Wong ataupun Leon juga masih kurang maksimal. Li Bingbing bagus sebagai Ada Wong, tapi caranya berbicara sangat mengganggu. Untung "tampilannya" sangat menghibur. Sedangkan Leon? Lupakan sosok Leon yang terlihat keren di video game, disini dia sama sekali tidak keren. Sama anehnya dengan melihat Chris Redfield versi Wentworth Miller. Overall saya merasa film kelimanya ini kualitas yang paling buruk dibanding film-film sebelumnya dengan cerita yang juga makin buruk dan membosankan. Tapi sebodoh apapun film kelimanya ini merangkai kisahnya daan mengakhirinya saya tetap masih menantikan film keenamnya dan berharap film yang (mungkin) akan jadi penutup franchise ini akan menajdi yang penutup yang epic. Tapi sekarang saya masih terperangkap dalam ingatan tentang betapa buruknya film kelima ini dan satu hal yang terlintas di pikiran saya adalah "Apakah Paul W.S. Anderson memang salah satu sutradara terburuk Hollywood saat ini?"

13 komentar :

Comment Page:

CITY LIGHTS (1931)

Tidak ada komentar
Pada tahun 1929 era perfilman di Hollywood mulai mengalami perubahan drastis saat film suara mulai ditemukan dan dengan cepat menjadi fenomena baru. Para sineas film bisu mulai beralih membuat film dengan suara. Tapi seperti sosok George Valentin dalam film The Artist, tetap ada beberapa pihak yang tetap kukuh membuat film bisu. Salah satu dari sosok tersebut adalah Charlie Chaplin. Terkenal sebagai The Tramp dengan gestur konyol dan kumis ala Hitler-nya, Chaplin tetap "ngotot" membuat film bisu pada 1931 yang berarti dua tahun setelah dimulainya era film suara. Film berjudul City Lights ini masih memperlihatkan sosok Chaplin sebagai The Tramp yang kali ini harus berjuang untuk membantu seorang gadis penjual bungan yang tidak bisa melihat. The Tramp jatuh cinta pada sang gadis dan pada akhirnya ingin membantunya untuk melunasi segala hutang sekaligus membantu operasi mata gadis tersebut. Untuk itulah ia melakukan berbagai usaha mulai dari bekerja sampai meminta bantuan orang kaya yang sempat ia selamatkan hidupnya saat hendak bunuh diri. Tentunya semua itu masih dihiasi tingkah konyol dan komedi ala Charlie Chaplin.

Saya sendiri bukanlah seorang penggemar slapstick dan sangat jarang berhasil dibuat tertawa oleh tipikal komedi tersebut. Tapi cara Chaplin dalam meramu film ini berbeda dan tidak asal mengumbar segala kekonyolan dan kesialan The Tramp. Dilihat sekilas mungkin City Lights adalah sebuah film dengan cerita yang standar dan dibuat untuk memberikan jalan bagi komedi slapstick-nya, namun dibalik itu semua, film yang ceritanya juga ditulis oleh Chaplin ini punya hati. Ceritanya yang sederhana justru membuat film ini akan abadi. Kisah tentang cinta, pengorbanan hingga masalah harta memang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Justru dengan segala kesederhanaan tersebut penonton jenis apapun bisa dengan mudah mencerna dan menikmati filmnya. Bicara tema, kisah persahabatan tidak luput diulas dalam film ini. Bagaimana sebuah persahabatan antara The Tramp dan si orang kaya yang dibangun bukan atas dasar ketulusan persahabatan seolah menjadi cerminan yang tidak akan pernah hilang dari bentuk persahabatan pada zaman apapun. Lalu bagaimana dengan kisah cinta Tramp dengan gadis penjual bunga?

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE KING OF COMEDY (1983)

4 komentar
Film ini dibuat pada masa dimana Martin Scorsese dan Robert DeNiro sedang berada di puncak masa jaya dalam kolaborasi mereka. Selama tiga dekade mulai dari 70-an sampai tahun 90-an keduanya memang begitu sering berkolaborasi dan menghasilkan berbagai film hebat. Dalam kurun waktu sekitar 23 tahun tersebut Scorsese dan DeNiro sanggup menghasilkan delapan film yang sukses meraih 21 nominasi Oscar meski hanya berhasil memenangkan tiga piala. Ya, sebelum berkolaborasi dengan DiCaprio yang sampai sekarang sudah menghasilkan empat film (hampir lima, The Wolf of Wall Street rilis tahun depan) Scorsese dan DeNiro lebih dulu dikenal sebagai kolaborasi aktor-sutradara yang sukses. The King of Comedy sendiri adalah film pertama dari mereka berdua yang mempunyai unsur komedi didalamnya setelah dalam kolaborasi sebelumnya unsur crime menjadi unsur yang sangat dominan. Tapi sebenarnya The King of Comedy sendiri masih tidak lepas dari unsur kriminalitas dan komedinya sendiri adalah komedi hitam dengan suasana film yang bisa dibilang cukup miris. Film ini berkisah tentang Rupert Pupkin (Robert DeNiro) yang sedang merintis karir sebagai seorang stand-up comedian. 

Rupert selama ini adalah seorang pemburu tanda tangan selebritis dan sudah mempunyai begitu banyak koleksi. Tapi mimpi sebenarnya dari Rupert adalah menjadi stand-up comedian terkenal. Sampai suatu hari saat Rupert sedang berada di lokasi syuting sebuah talk show yang dibintangi oleh Jerry Langford (Jerry Lewis) terjadi sebuah insiden dimana salah seorang fans berat Jerry yang sedikit gila, Masha (Sandra Bernhard) nekat masuk kedalam mobil Jerry. Saat itulah Rupert mencoba mengendalikan situasi dan akhirnya berhasil "menyelamatkan" Jerry dan ikut masuk kedalam mobil sang bintang. Disitulah Rupert merasa bahwa jalannya menjadi sukses mulai terbuka. Rupert yang begitu naif dan polos yakin bahwa Jerry bisa membantunya menjadi terkenal dengan tampil di acara talk show yang ia bawakan. Tapi kenyataan memang tidak semudah dan seindah mimpi Rupert. Entah sudah berapa film yang mengangkat tentang mimpi karrakternya untuk menjadi selebirits. Semuanya diakhiri dengan cara yang berbeda. Ada yang di akhir sang tokoh utama berhasil, namun ada juga yang gagal. Tapi sejauh ini tidak ada yang tampil dengan begitu menyedihkan dan penuh ironi menyakitkan seperti ini.

4 komentar :

Comment Page:

ARIRANG (2011)

Tidak ada komentar
Saat proses syuting film Dream pada tahun 2008 lalu, terjadi sebuah kecelakaan dimana Lee Na-young sang aktris utama hampir tewas disaat sedang melakoni adegan gantung diri. Kejadian tersebut membuat Kim Ki-duk sang sutradara mengalami shock hebat dan memutuskan untuk menyepi dan tinggal sendirian di gunung. Proses pengasingan diri yang ia lakukan tidak hanya berlangsung dalam hitungan bulan saja tapi sampai tiga tahun! Dalam tiga tahun tersebut banyak yang mempertanyakan apa yang dilakukan sang sutradara. Kim Ki-duk yang biasanya rajin merilis film tiap tahun tidak lagi terdengar kabarnya. Di rumah sempit sederhana yang terletak di gunung tersebut ternyata Ki-duk benar-benar tenggelam dalam perasaan bersalah akibat kecelakaan pada proses syuting tersebut. Disanalah Kim Ki-duk mencoba meninjau ulang kehidupannya selama ini. Mulai dari hakikatnya sebagai seorang manusia sampai menengok kebelakang berkaitan dengan karirnya sebagai seorang sutradara film. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa film memang bagian tak terpisahkan dalam kehidupannya dan membuat film merupakan kebahagiaan terbesar yang pernah ia rasakan.

Perasaan itulah yang akhirnya mendorong Kim Ki-duk membuat film ini yang memperlihatkan kehidupannya di gunung. Selain itu ddalam 100 menit yang ditawarkan oleh Arirang, kita akan diajak melihat Kim Ki-duk ber-katarsis ria dengan mengeluarkan segala kegundahan hatinya dalam berbagai momen emosional yang ia perlihatkan. Film ini sendiri tidak bisa dibilang sepenuhnya merupakan sebuah dokumenter. Seperti yang dikatakan Ki-duk dalam film ini, Arirang boleh saja dianggap sebagai sebuah drama bahkan mungkin film fantasi. Usaha Kim Ki-duk dalam menghadirkan beberapa momen seperti obrolan dengan "bayangan" dan sisi lain dari dirinya, dan beberapa momen yang terasa punya unsur dramatisasi yang kuat memang menjadikan Arirang tidak terasa 100% sebuah dokumenter yang menangkap kehidupan Kim Ki-duk dengan apa adanya secara gamblang. Mungkin film ini lebih pantas disebut sebagai dokumenter dari perasaan dan isi hati sang sutradara, bukan dokumenter tentang kehidupan nyatanya. Seperti film-film Kim Ki-duk yang lain, Arirang juga tidak lupa menambahkan berbagai metafora sebagai perlambang akan kandugan filmnya meski kali ini tidaklah seabstrak film-film lainnya. Metafora lebih kental terasa pada dialognya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

OLDBOY (2003)

5 komentar
Jika ada sebuah daftar tentang film-film terbaik yang pernah dirilis oleh Korea, Oldboy seolah sudah dipastikan masuk dalam daftar itu. Bahkan beberapa list yang tidak hanya menampilkan film terbaik Korea tapi juga film terbaik sepanjang masa juga memasukkan film yang disutradarai oleh Park Chan-wook ini seperti yang dilakukan oleh Empire Magazine saat menempatkan Oldboy di peringkat 18 dalam daftar "100 Film Terbaik Sepanjang Masa". Film ini juga bisa dibilang menjadi tonggak kebangkitan perfilman Korea sehingga film-film rilisan negeri ginseng menjadi jauh lebih diperhitungkan. Tema balas dendam yang diusung Oldboy juga menjadi tren yang terus dibuat filmnya bahkan sampai saat ini. Saya sendiri menonton ulang film ini karena merasa tertarik untuk mengulas Oldboy di blog ini karena pertama kali saya menontonnya sudah sekitar tiga tahunan yang lalu. Meski sudah cukup lama tapi sampai sekarang ekspresi wajah Choi Min-sik di ending film ini tetap tidak pernah bisa saya lupakan dan mungkin hanya bisa ditandingi oleh akhir indah dari Memories of Murder

Kisah dalam Oldboy sudah penuh misteri dilihat dari premis ceritanya. Seorang pria bernama Oh Dae-su (Choi Min-sik) tanpa alasan yang jelas diculik oleh orang yang tidak ia kenal. Dae-su disekap dalam sebuah ruangan mirip kamar hotel murahan tanpa tahu alasan dibalik penculikan tersebut. Setelah setahun berlalu ia mendapat kabar dari televisi bahwa istrinya tewas dibunuh dan Dae-su menjadi tersangka utamanya. Usaha Dae-su untuk kabur juga tidak berjalan mudah, sampai 15 tahun berlalu ia tiba-tiba saja dibebaskan tanpa alasan yang jelas. Diculik tiba-tiba tanpa alasan dan setelah 15 tahun dilepaskan tiba-tiba juga tanpa alasan, Dae-su mencoba mencari identitas sang penculik yang juga telah mengambil keluarga Dae-su dari hidupnya. Dalam pencarian tersebut ia bertemu dengan seorang gadis pelayan restoran bernama Mi-do (Kang Hye-jeong) yang membantunya. Dae-su dan Mi-do makin dekat dan akhirnya saling jatuh cinta. Disamping itu, penyelidikan Dae-su terhadap sang pelaku penculikan juga tidak mudah namun perlahan-lahan titik terang mulai ia dapatkan. Setelah berbagai ujian fisik dan mental satu persatu misteri dan kejutan mulai didapatkan Dae-su dari pencarian yang ia lakukan.

5 komentar :

Comment Page:

BERNIE (2011)

Tidak ada komentar
Jack Black tidak pernah menjadi komedian favorit saya. Beberapa film terakhirnya macam Gulliver's Travel dan Year One begitu mengecewakan meski ada dua film Kung Fu Panda yang berhasil. Dalam Bernie, Jack Black mencoba peran serius yang mungkin bukan pertama kalinya ia lakoni tapi hal ini jelas sangat menarik. Menarik karena disaat seorang aktor komedi mencoba peran yang lebih serius, hasilnya seringkali memuaskan. Beberapa contoh nyatanya adalah Adam Sandler lewat Punch Drunk Love, Jim Carrey lewat Eternal Sunshine of the Spotless Mind dan The Truman Show, sampai Ben Stiller lewat Greenberg. Berbagai contohtersebut membuktikan bahwa para aktor komedi punya potensi dalam peran drama yang membutuhkan akting yang lebih kuat jika karakternya pas, naskahnya bagus dan punya sutradara yang juga jeli dalam mengarahkan mereka. Dalam Bernie, Jack Black akan diarahkan oleh sutradara Richard Linklater yang dulu juga pernah bekerja sama dengannya dalam School of Rock. Kolaborasi Jack Black dalam peran seriusnya dengan Richard Linklater yang menghasilkan film romatis favorit saya (Before Sunrise & Before Sunset) jelas layak disimak.

Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata tentang pembunuhan terhadap wanita berusia 81 tahun yang terjadi di Texas pada tahun 1996 dan sempat dimuat dalam artikel Texas Monthly dengan judul Midnight in the Garden of East Texas. Bernie Tiede (Jack Black) adalah seorang pria yang bekerja di sebuah perusahaan pemakaman yang terletak di kota kecil bernama Carthage yang termasuk bagian dari Texas. Bernie sangat terkenal dengan kebaikan dan keramahannya. Berkat sifat baiknya itulah semua orang di Carthage sangat menyukai Bernie. Kebaikan Bernie juga terlihat saat ia menunjukkan kepeduliannya kepada orang-orang yang baru saja ditinggal mati oleh kerabatnya. Hal itu jugalah yang ia tunjukkan saat seorang wanita tua bernama Marjorie Nugent (Shirley MacLaine) baru saja ditinggal mati suaminya. Berlawanan dengan Bernie, Marjorie adalah seorang wanita kaya yang sangat dibenci oleh penduduk sekitar. Dia tidak pernah ramah, selalu berkesan sombong dan angkuh pada tetangganya. Jika diibaratkan maka Bernie adalah cermianan kebaikan sedangkan Marjorie adalah cerminan keburukan. Keduanya sangat bertolak belakang. Namun kebaikan hati Bernie mulai membuat Marjorie luluh, dan perlahan Bernie masuk dalam kehidupan janda tua tersebut. Sampai semakin lama Marjorie makin bergantung pada Bernie dan membuat Bernie serasa dipenjara oleh Marjorie.

Tidak ada komentar :

Comment Page: