THE DEEP BLUE SEA (2011)

1 komentar
Pada awalnya The Deep Blue Sea adalah sebuah naskah teater yang dimainkan pada tahun 1952 dan dibuat oleh Terence Rattigan. Hampir 60 tahun kemudian, seorang Terence "yang lain" yakni Terence Davies mengadaptasi naskah tersebut menjadi sebuah film yang juga ia sutradarai. Untuk jajaran pemain ada dua bintang besar Tom Hiddleston dan Rachel Weisz yang menjadi pemain utama. Selain mereka berdua ada nama Simon Russell Beale yang meskipun dalam dunia perfilman atau bagi orang awam namanya mungkin kurang familiar tapi sebenarnya ia adalah seorang aktor teater yang punya nama besar dan sering dianggap sebagai the greatest stage actor of his generation. Ini adalah sebuah kisah cinta yang ber-setting di London sekitar tahun 1950-an, sebuah era dimana sisa-sisa dari Perang Dunia II masih belum sepenuhnya hilang baik itu secara fisik (kerusakan bangunan dan semacamnya) sampai kepada psikis orang-orangnya. Kisahnya sendiri bukan menyoroti hal tersebut, namun nuansa pasca perang tersebut cukup punya peran disini khususnya pada karakter yang ada.

Kisahnya berjalan maju mundur, dimana kita akan diajak melihat kehidupan Hester Collyer (Rachel Weisz) yang masih muda dan menikah dengan seorang hakim pengadilan tinggi yang usianya jauh lebih tua, Sir William Collyer (Simon Russell Beale). Hester mendapatkan segalanya dari sang suami, baik itu kemewahan materi hingga rasa sayang mendalam. Namun sayangnya Hester masih merasa ada yang kurang, yakni ia tidak mendapatkan gairah seksual bersama sang suami yang tentunya mempengaruhi kebahagiannya. Namun kisahnya dengan Sir William sudah berlalu 10 bulan yang lalu, dimana sekarang Hester sudah bersama dengan Freddie Page (Tom Hiddleston) yang mampu memenuhi segala hasrat seksualnya meski itu harus membuat Hester hidup dalam kondisi keuangan yang serba pas pasan. Namun sayangnya meski bisa memberikan kepuasan dalam hal seksual, Freddie tidak mampu memberikan kasih sayang hangat dan perhatian seperti Sir William, ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk minum-minum bersama temannya atau bermain golf. Pada akhirnya hal itulah yang membuat Hester memutuskan melakukan usaha bunuh diri.

1 komentar :

Comment Page:

NAMELESS GANGSTER (2012)

Tidak ada komentar
Nameless Gangster adalah sebuah film yang cukup fenomenal di Korea Selatan, dimana film ini ditonton oleh sekitar empat juta penonton hanya dalam jangka waktu 26 hari pemutarannya. Sempat menempati posisi puncak Box Office Korea Selatan selama tiga minggu, film ini pada akhirnya berhasil meraup pendapatan diatas $30 Juta. Selain tema gangster, Nameless Gangster juga menjual nama pemain-pemain utamanya yang termasuk aktor papan atas. Disini ada Ha Jung-woo (The Chaser, The Yellow Sea) dan aktor senior Korea Choi Min-sik. Film ini sendiri bisa dibilang merupakan kembalinya Choi Min-sik setelah terakhir kali muncul di tahun 2010 lalu saat menjadi seorang pembunuh sadis dalam I Saw the Devil (dalam film animasi Leafie, A Hen into the Wild ia hanya menjadi pengisi suara). Tidak hanya sukses secara komersial, dari segi kualitas, film yang disutradarai oleh Yun Jong-bin ini juga banjir pujian. Salah satu pujian datang dari majalah Time yang menyebut Nameless Gangster sebagai sebuah film yang akan membuat Martin Scorsese bangga.

Choi Ik-hyun (Choi Min-sik) awalanya hanyalah seorang petugas pabean di sebuah pelabuhan yang sering menerima suap bersama dengan teman-temannya sesama petugas. Sampai suatu hari saat bertugas malam ia memergoki dua orang yang tengah membongkar muatan yang ternyata berisi 10 kilogram heroin. Choi memutuskan untuk menjual heroin tersebut kepada Choi Hyung-bae (Ha Jung-woo) yang merupakan seorang bos gangster yang disegani di Korea. Dimulai dari situlah kehidupan Choi Ik-hyun berubah. Memanfaatkan kemampuannya berbicara (atau lebih mungkin disebut "menjilat"), Choi mulai berubah dari sekedar seorang tak dikenal yang sok gansgter menjadi salah satu sosok mafia paling dikenal di Korea. Selain itu kita juga akan diajak melompat beberapa tahun kedepan disaat Presiden Korea menyatakan perang terhadap ulah gangster yang mengagungkan kekerasan, dimana pada saat itu Choi telah ditangkap oleh pihak kepolisian.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ROCK OF AGES (2012)

Tidak ada komentar
Film garapan Adam Shankman ini diangkat dari sebuah pementasan jukebox broadway musical yang sudah dipentaskan mulai dari tahun 2006 lalu dan masih berjalan hingga sekarang. Sekedar informasi, jukebox musical adalah sebuah pertunjukkan drama panggung atau film musikal yang menampilkan berbagai macam lagu yang sudah tenar dan di-cover sesuai dengan kebutuhan pertunjukkan tersebut. Untuk Rock of Ages sendiri, lagu-lagu yang dipakai adalah lagu-lagu rock dari era 80-an dimana glam rock tengah berjaya. Beberapa band yang tengah dalam masa jayanya saat itu lagunya muncul di film ini, sebut saja Deff Leppard, Scorpions, Guns N' Roses, Joan Jett hingga Bon Jovi. Ya, tentu saja ekspektasi saya terhadap film ini adalah sebuah musikal yang kental dengan aura rock baik itu dari isian lagu sampai konten ceritanya. Sutradara Adam Shankman sendiri sudah tidak asing dengan film musikal dimana dia sudah menyutradarai Hairspray hingga dua episode dari Glee. Untuk jajaran pemainnya sendiri film ini menampilkan ensemble cast mulai dari jebolan Dancing with the Stars Julianne Hough, penyanyi Mary J. Blige, hingga para aktor dan aktris ternama macam Russell Brand, Alec Baldwin, Paul Giamatti, Catherine Zeta-Jones dan tenunya Tom Cruise.

Film yang punya setting pada tahun 1987 ini menceritakan tentang Sherrie (Julianne Hough), seorang gadis kampung yang pindah ke Los Angeles untuk mengejar mimpinya untuk menjadi penyanyi. Sialnya saat baru sampai dia sudah jadi korban penjambretan dimana uang dan koleksi albumnya ikut hilang. Untung ada Drew (Diego Boneta) yang membantunya untuk mendapat pekerjaan di klab malam rock n' roll terkenal bernama The Bourbon Room yang dipunyai oleh Dennis Dupree (Alec Baldwin). Saat itu Bourbon tengah dalam masalah keuangan karena pajak. Disisi lain, Patricia Whitmore (Catherine Zeta-Jones) yang merupakan istri walikota dengan sangat gencar mengajak pihak gereja dan orang tua disana untuk memboikot rock n' roll dan Bourbon yang dianggap merusak generasi muda. Protes bertambah gencar saat di Bourbon akan diadakan konser terakhir dari band Arsenal yang mempunyai frontman Stacee Jaxx (Tom Cruise) yang dikenal sebagai dewa rock. Tentu saja akan ada konflik percintaan antara Sherrie dan Drew dimana keduanya sama-sama mengejar mimpi di Los Angeles.

Bicara soal nomor musik yang ditampilkan, Rock of Ages jelas memberikan keasyikan tersendiri bagi penontonnya. Bagi para pecinta glam rock dan yang hidup dimasa musik tersebut berjaya pasti akan sing along dan berjoget menikmati sajian lagu-lagunya. Bahkan bagi saya yang bukan pecinta musik tersebut pun masih sangat menikmatinya. Memang hanya beberapa lagu terkenal saja yang saya hafal, namun patut diakui bagaimana musik-musik yang ada dipresentasikan berhasil menjadi hiburan yang luar biasa. Lagu-lagu macam I Love Rock n' Roll, More Than Words, Rock You Like A Hurricane dan masih banyak lagi memang memberikan kesenangan bagi telinga penontonnya. Bagaimana aransemen yang dihadirkan dalam film ini mampu tampil begitu menyenangkan tanpa harus merusak versi asli lagunya patut mendapat pujian dan menjadi salah satu poin plus paling kuat dalam Rock of Ages.
Dari segi musik jelas film ini cukup terasa aura rock-nya, lalu bagaimana dengan ceritanya? Sayangnya untuk urusan cerita Rock of Ages terasa kurang nge-rock. Daripada memberikan cerita yang kental dengan segala pernak-pernik rock n' roll yang keras, liar dan gahar, film ini justru lebih terasa seperti versi layar lebar dari Glee hanya saja sajian musiknya punya genre rock 80-an, tapi untuk urusan jalan ceritanya terasa sangat Glee. Kisah tentang seorang gadis polos yang mengadu nasib ke kota besar, hidup terlunta-lunta, bertemu pria idaman hingga akhirnya berhasil meraih mimpinya jelas bukan sebuah cerita yang (bagi saya) mencerminkan rasa rock n' roll. Oke, mungkin kehidupan tokohnya digambarkan susah, tapi tidak keras dan kelam karena pengemasannya yang ringan. Kemasan luar dan sajian lagunya boleh saja nge-rock, tapi didalamnya tidak terasa jiwa dari rock n' roll tersebut seperti apa yang terus menerus dikatakan oleh para tokohnya tentang jiwa rock n' roll dan sebagainya. Pemakaian lagu Don't Stop Believing yang untuk generasi sekarang sudah begitu identik dengan Glee pada klimaks cerita juga makin menguatkan bahwa Rock of Ages adalah musikal ala Glee dengan kedok rock n' roll.

Ceritanya yang kurang nge-rock dan sangat mudah ditebak jelas cukup mengecewakan meski sebenarnya masih bisa diikuti, toh iringan musiknya nyaman di telinga. Tapi satu lagi faktor plus film ini adalah permainan para pemainnya. Yah, mungkin dua bintang utamanya terasa biasa saja, tapi lihat pemeran pendukung macam Alec Baldwin yang tua tapi nge-rock, Russell Brand yang kali ini tidak terlalu annoying, Catherine Zeta-Jones yang sering terasa menyebalkan, Paul Giamatti yang terlihat licik, semuanya bermain bagus. Tapi bagi saya bintang utamanya adalah Tom Cruise. Sejak film dimulai saya langsung menunggu-nunggu kemunculan Cruise sebagai dewa rock, dan begitu dia muncul ternyata ia langsung berhasil mencuri perhatian. Tampilannya memang mengingatkan pada Axl Rose, tapi lihat aura yang dimunculkannya. Gadis-gadis yang pingsan jika ada di dekatnya memang selipan komedi, tapi disisi lain sosok Cruise sebagai Stacee Jaxx benar-benar menggambarkan apa itu "Dewa Rock" yang punya aura kuat dan wibawa luar biasa, dan karakternya juga masih terasa manuiawi hanya saja kurang dalam digali.

Tahun 2012 dunia film memang kental dengan berbagai kado dari filmmaker untuk beberapa kalangan penonton, semisal The Cabin in the Woods bagi pecinta horror, The Artist bagi film bisu, dan masih banyak lagi. Rock of Ages bisa saja menjadi sebuah kado dan penghormatan bagi dunia rock n' roll, sayangnya kisah yang ditampilkan masih jauh dari keliaran dan kerasnya rock n' roll itu sendiri. Auranya masih terasa terlalu ringan dan kisahnya begitu cheesy. Bagaimana momen musikalnya disajikan sebenarnya juga terlihat dipaksakan, untung lagu-lagunya bagus jadi saya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sayang sekali film ini sebenarnya berpotensi menggali lebih dalam dunia rock n' roll beserta ketenaran dan mimpi yang ada didalamnya. Bahkan film ini juga mengkritik pop culture dan para ekstrimis agama , tapi semua pesan itu lenyap dengan kemasan Rock of Ages yang terlalu "halus". Tapi masih sebuah film yang bisa dinikmati khususnya bagi para pecinta glam rock dan menonton penampilan Tom Cruise disini adalah hiburan yang memuaskan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

A CAT IN PARIS (2010)

Tidak ada komentar
A Cat in Paris adalah satu dari lima film yang mendapat nominasi Oscar tahun ini untuk Best Animated Feature Film. Bersama Chico & Rita pula film Prancis ini menjadi film asing yang masuk dalam nominasi tersebut. Meski pada akhirnya kalah bersaing dengan Rango karya Gore Verbinski, namun film yang disutradarai oleh Jean-Loup Felicioli dan Alain Gagnol ini tetap mendapat perhatian dari para kritikus. Sayangnya A Cat in Paris tidak terlalu dikenal publik karena hanya ditayangkan dalam skala kecil saja. Filmnya sendiri berjalan cukup cepat, yaitu hanya sekitar 64 menit. Namun meski berdurasi sangat singkat namun A Cat in Paris mampu memanfaatkan durasi yang singkat tersebut menjadi sebuah sajian unik yang menghibur, bahkan sebenarnya dengan durasi yang pendek justru menjadi salah satu kekuatan film ini karena kisahnya menjadi langsung to the point dan berjalan dengan tidak bertele-tele. Tapi satu yang pasti bahwa meskipun ini film animasi namun konten didalamnya tidak semuanya bisa dinikmati oleh anak-anak meski tidak se-dewasa Chico & Rita.

Film ini bercerita tentang seorang gadis cilik bernama Zoe yang punya kesulitan bicara. Hal itu sendiri disebabkan tidak adanya orang yang rutin berinteraksi dengannya. Sang ayah adalah seorang polisi yang gugur saat bertugas, dan sang ibu sendiri adalah seorang polisi yang makin sibuk bekerja semenjak kematian sang suami dan tidak pernah mempunyai waktu memperhatikan puterinya. Yang selalu setia menemani Zoe adalah kucing miliknya yang bernama Dino. Tapi tanpa diketahui oleh siapapun termasuk Zoe sekalipun, Dino punya kehidupan ganda. Selain sebagai kucing rumah peliharaan Zoe yang suka menangkapi kadal, Dino juga adalah partner dari Nico, seorang pencuri benda seni yang sangat jago dalam melancarkan aksinya. Tiap larut malam, Dino mendatangi rumah Nico dan keduanya melakukan aksinya. Suatu hari seorang bos gangster bernama Victor Costa dikabarkan tengah berencana untuk mencuri sebuah patung dari Afrika yang akan segera dipamerkan untuk pertama kali di depan publik. Costa sendiri orang yang bertanggung jawab dibalik kematian ayah Zoe. Aksi dari Costa inilah yang nantinya akan menjadi penghubung segala konflik antar semua tokoh didalamnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SKYFALL (2012)

7 komentar
Lima puluh tahun sudah berlalu sejak Sean Conery memperkenalkan line ikonik "My name is Bond, James Bond" di layar lebar dan sekarang franchise sang agen rahasia 007 sudah sampai pada nomor 23. Setelah di-reboot lewat Casino Royale pada 2006 lalu, sosok James Bond memang sudah mengalami banyak perubahan. Tidak ada lagi Bond yang flamboyan seperti versi Brosnan, karena Bond versi Craig jauh lebih kasar dan lebih brutal. Dari segi fisik juga Craig berbeda dibanding para pendahulunya dimana ia menjadi Bond pertama yang berambut pirang. Tapi segala keraguan tersebut dibantahkan lewat Casino Royale yang mampu tampil luar biasa. Sekali lagi sutradara Martin Campbell berhasil menghidupkan franchise Bond yang sempat nyaris mati seperti yang pernah ia lakukan lewat GoldenEye bersama Pierce Brosnan dulu. Setelah sempat mengalami penurunan kualitas dalam Quantum of Solace kali ini bertepatan dengan perayaan 50 tahun rilisnya Dr. No (film pertama James Bond), Daniel Craig kembali memerankan sosok sang agen rahasia meskipun produksi film ke-23 ini sempat mengalami hambatan disaat MGM mengalami kebangkrutan dan membuat Skyfall baru bisa rilis empat tahun setelah film sebelumnya (biasanya film Bond rilis tiap dua tahun sekali).

Skyfall punya jajaran pemain dan sutradara yang kuat. Untuk kursi sutradara ada Sam Mendes yang sebenarnya lebih terkenal lewat drama-drama depresif macam American Beauty atau Revolutionary Road. Tapi semenjak pemilihan Daniel Craig sebagai Bond yang ternyata tepat meski sempat diragukan saya sama sekali tidak meragukan pemilihan Sam Mendes, karena pasti ada alasan tertentu dibalik keputusan tersebut. Sementara itu untuk sosok villain ada Javier Bardem yang akan menjadi lawan dari Craig. Untuk Bond Girl ada dua aktris yang bermain yaitu Berenice Marlohe dan Naomie Harris. Selain itu ada juga Ralph Fiennes dan tentu saja Judi Dench yang kembali melanjutkan perannya sebagai M. Skyfall dibuka dengan sebuah adegan dimana Bond dan rekannya, Eve (Naomie Harris) sedang menjalankan misi di Turki untuk mendapatkan sebuah hard drive yang berisi data tentang agen-agen yang tengah melakukan misi penyamaran. Disaat sedang bertarung dengan lawannya, secara tidak sengaja Bond justru terkena tembakan yang dilepaskan oleh Eve. Bond yang terjatuh ke sungai dinyatakan hilang dan dianggap telah tewas. Menghilang beberapa lama, akhirnya Bond kembali disaat dia mendengar kabar bahwa kantor MI6 mendapat serangan bom yang menewaskan beberapa agen, dan mengancam nyawa M.

7 komentar :

Comment Page:

SOUND OF MY VOICE (2011)

Tidak ada komentar
Setelah sukses dengan debut penulisan naskahnya dalam Another Earth yang bagi saya sendiri termasuk salah satu film terbaik di 2011 lalu, nama Brit Marling mulai diperhitungkan baik sebagai penulis naskah ataupun sebagai aktris baru yang berbakat. Tahun ini selain membintangi Arbitrage bersama Richard gere dan membintangi The Company You Keep yang disutradarai Robert Redford, Marling juga kembali terlibat dalam penulisan naskah film yang disutradarai oleh Zal Batmanglij ini. Sound of my Voice sendiri cukup berprestasi diajang festival dimana film ini berhasil memenangkan Strasbourg European Fantastic Film Festival sebagai film terbaik. Layaknya Another Earth, Sound of My Voice juga punya nuansa indie yang kental dengan jalinan cerita unik dan masih sedikit menyinggung ranah science-fiction meski tidak menjadi sorotan utama. Setelah menulis tentang kembaran Bumi, kali ini Brit Marling akan mengangkat kisah tentang sebuah perkumpulan cult dan misteri yang menyelimuti perkumpulan tersebut.

Di awal kita akan diajak melihat sepasang kekasih, yaitu Peter (Christopher Denham) dan Lorna (Nicole Vicius) yang sedang dibawa ke sebuah tempat. Mereka ternyata dibawa ke sebuah tempat rahasia dimana sebuah perkumpulan misterius berada. Peter dan Lorna ternyata sedang dalam proyek membuat dokumenter secara sembunyi-sembunyi. Mereka tertarik untuk membongkar rahasia dibalik perkumpulan cult tersebut. Salah satu rahasia dan misteri terbesar yang menyelimuti perkumpulan tersebut adalah keberadaan Maggie (Brit Marling), pimpinan perkumpulan tersebut yang mengaku berasal dari masa depan tepatnya tahun 2054. Maggie sendiri menjanjikan keselamatan bagi para anggotanya yang percaya akan kebenaran dirinya. Peter dan Lorna yang tidak percaya begitu saja akan kebenaran hal tersebut terus melanjutkan proyek mereka untuk menyelidiki kebenaran yang ada, sampai pada suatu momen dimana misteri makin rumit dan kepercayaan mereka mulai dipertanyakan.


Sound of My Voice masih punya aura dan semangat yang sama dengan Another Earth. Kesederhanaan dan nuansa indie yang kental serta alur yang berjalan lambat namun begitu mengikat dan penuh misteri menghiasi sepanjang film. Namun sekali lagi yang paling menonjol dalam film ini adalah kekuatan naskah yang ditulis oleh Brit Marling. Ceritanya punya segala kompleksitas mengenai kebenaran dan kepercayaan yang dibungkus dalam konteks misteri dan sci-fi. Tentu saja dengan jalinan cerita yang kompleks apalagi ditungjang dengan bujet yang minim Sound of My Voice berpotensi punya plot hole yang menganga lebar dan jalinan cerita yang beraksa dipaksakan. Namun berkat kekuatan naskahnya, film ini terhindar dari masalah tersebut dan tetap berjalan lancar dengan cerita yang enak untuk diikuti tanpa adanya permasalahan lubang yang besar pada ceritanya. Alurnya yang lambat perlahan akan mencengkeram penontonnya untuk ikut terlarut pada jalinan kisahnya. Kita akan diajak merasakan ketegangan yang intens dan juga diajak untuk ikut berpikir dan menyelami kisahnya.
Misteri tentang kebenaran dibalik identitas Maggie pastinya akan selalu berputar-putar di pikiran penonton sepanjang film ini berakhir. Saya sendiri selalu berpikir akan hal itu hingga akhirnya film berakhir dan saya sadar bahwa Sound of My Voice bukan mengenai itu. Tidak penting apakah segala hal yang dikatakan oleh Maggie benar atau tidak, karena Sound of My Voice pada akhirnya tidak akan menjawab itu semua. Menonton film ini bagaikan mengikuti berita tentang fenomena kemunculan UFO dimana kita sebagai penonton yang tidak langsung mengalami fenomena tersebut tidak akan tahu kebenaran yang sesungguhnya. Yah, karena pada akhirnya yang paling penting bukan "Apakah Maggie benar-benar berasal dari masa depan?", tapi lebih kepada rasa percaya yang dimiliki oleh masing-masing individu. Masing-masing individu pastilah punya rasa percaya yang mereka pegang teguh, dan tidak ada yang salah dalam kepercayaan seseorang karena itu menyangkut keyakinannya sendiri. Bagi saya film ini justru menyindir orang-orang yang menghujat para pengikut perkumpulan cult yang dianggap punya kepercayaan menyimpang, namun justru para penghujat tersebut tidak mempunyai sebuah kepercayaan dan keyakinan yang kuat dimana mereka selalu terombang-ambing tanpa satu pegangan yang pasti.

Akan ada banyak kejutan yang dimiliki oleh Sound of My Voice. Selain itu banyak juga perenungan bagi para penontonnya yang disimpan oleh film ini. Mungkin akan terasa sedikit membosankan di pertengahan khususnya bagi anda yang tidak terbiasa dengan sebuah film beralur lambat dan low budget yang berarti akan terasa begitu sederhana dan mungkin akan disebut murahan. Tapi jika anda mampu bersabar maka film ini akan memberikan pengalaman yang memuaskan dan tidak jauh berbeda dari apa yang saya rasakan setelah menonton Another Earth. Brit Marling sendiri berakting bagus disini meskipun karakternya memang tidak menuntut sebanyak karakter di Another Earth tapi sudah membuat saya penasaran akan karya-karya berikutnya dari wanita 29 tahun ini. Karya Brit Marling berikutnya adalah naskah untuk The East, sebuah action-mystery yang kembali disutradarai Zal Batmanglij dan akan dibintangi Ellen Page, Alexander Skarsgard dan tentunya Brit Marling sendiri.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

V/H/S (2012)

3 komentar
Film anthology khususnya yang mempunyai genre horror selalu menarik untuk ditonton dimana saya menyukai berbagai ide dan jenis tontonan yang bervariasi didalamnya. Kemudian muncul V/H/S, sebuah anthology yang punya konsep cukup unik dimana dalam film ini terdapat lima film horror pendek dan satu kisah yang menjadi story arc utamanya. Yang membedakan film ini dari yang lainnya adalah karena film ini dibuat dalam format mockumentary dan punya format gambar VHS tape yang tentu saja sudah jarang kita temui sekarang. Orang-orang yang terlibat dalam penggarapannya sendiri jarang yang punya nama besar karena mayoritas adalah aktor dan sutradara muda. Mungkin hanya Ti West (The Innkeepers) yang cukup dikenal dalam dunia perfilman horror. Jadi apakah ini akan menjadi sebuah horror yang memang berkualitas atau malah menjadi satu dari sekian banyak tontonan yang punya konsep menarik namun hasil akhir yang buruk?

TAPE 56
Ini adalah segmen yang tidak hanya menjadi pembuka tapi juga merupakan main story arc yang akan menjadi penghubung semua kisah yang ada di V/H/S. Disutradarai oleh Adam Wingard, Tape 56 berkisah tentang sekumpulan remaja vandalis yang senang berbuat onar dan merusak segala hal termasuk menyusup kedalam rumah seseorang dan merusaknya. Suatu hari mereka mendapat sebuah pekerjaan yang menjanjikan banyak uang dimana mereka harus menyelinap ke sebuah rumah untuk mengambil sebuah tape. Tentu saja mengira itu sebuah pekerjaan yang sangat mudah mereka mau saja melakukannya.Tapi ternyata tape tersebut tidak mudah untuk dicari karena ada begitu banyak tape dan mereka harus memeriksanya satu persatu. Disaat mencari salah satu anggota memeriksa sebuah tape yang sudah berada didalam VCR. Tanpa disangka apa yang akan mereka lihat adalah berbagai rekaman-rekaman misterius yang mengerikan. Tape 56 pada awalnya mampu terlihat menarik dengan segala misteri yang ada dan tingkat keseramannya juga cukup menegangkan. Namun akibat segmen ini disajikan secara terpotong-potong, feel yang ada menjadi tidak maksimal dan kisahnya sendiri bisa dibilang kosong. Sebagai kisah penghubung awalnya segmen ini masih menjadi penghubung yang masuk akal namun lama kelamaan menjadi dipaksakan. Bahkan twist yang ada diakhir juga mengecewakan dan keseluruhan kisahnya kurang mendapat penjelasan yang memuaskan. Segmen yang tidak buruk hanya terkesan digarap seadanya. (2.5/5)

AMATEUR NIGHT
Segmen ini adalah pembuka diantara rekaman-rekaman VCR yang ditemukan dalam Tape 56. Kisahnya adalah tentang tiga pemuda yang baru saja mendapat sebuah kacamata yang bisa digunakan untuk merekam. Dengan itu mereka memutuskan bersenang-senang malam itu dan akan merekam saat mereka berhubungan seks dan mencoba membuat film porno mereka sendiri. Tapi tanpa disangka malam tersebut bukan berakhir menyenangkan namun berakhir sangat menyeramkan dan tragis karena ada sebuah kengerian yang menanti mereka. Diawal, Amateur Night berjalan biasa saja, bahkan kengerian macam apa yang menunggu sudah tertebak sejak awal cerita. Tapi selama menunggu horror tersebut untung segmen ini tidak terlalu membosankan. Hingga akhirnya saat klimaks dan horror dimulai semuanya berjalan efektif. Tingkat gore yang cukup sadis dengan darah dan potongan tubuh berhamburan berhasil dikombinasikan dengan ketegangan yang luar biasa. Saya sendiri merasa ini adalah segmen yang paling menegangkan dan paling seram, apalagi saat sudah mendekati akhir yang secara kurang ajar mampu terasa begitu mendebarkan. Segmen terbaik dalam film ini (yang anehnya ada diawal). (4.5/5)

SECOND HONEYMOON
Akhirnya segmen yang digarap oleh Ti West. Dengan adanya nama Ti West tentu saja saya paling berharap pada segmen ini. Kisahnya adalah tentang sepasang suami istri yang melakukan road travel yang menjadi bulan madu kedua mereka. Tapi tanpa disangka ada seseorang misterius yang menebarkan teror dalam perjalanan yang seharusnya romantis ini. Ti West memang selama ini terkesan hobi dalam melakukan perkenalan karakter secara mendalam terhadap filmnya seperti yang ia lakukan dalam The Innkeepers. Hal itu memang sangat berguna untuk membuat penonton mengenal dan peduli terhadap karakter yang ada, namun sayangnya metode tersebut kurang cocok diterapkan dalam short movie seperti ini. Alhasil segmen Second Honeymoon menjadi terasa lambat dan membosankan bahkan saat misteri yang ada sudah mulai diperkenalkan. Satu-satunya yang menjadi penyelamat adalah gore yang muncul di akhir dimana itu cukup membuat ngilu. Untuk twist ending yang dihadirkan sendiri terasa kurang maksimal eksekusinya meski.Ini adalah segmen terburuk dalam V/H/S. (2/5)

TUESDAY THE 17TH
Dari judulnya yang mengingatkan pada Friday the 13th sudah dipastikan bahwa ini adalah sebuah slaher. Cerita yang dihadirkan sangat standar film slasher dimana ada empat orang remaja yang berlibur ke tengah hutan. Keanehan mulai terjadi saat kamera yang merekam liburan mereka mulai menampilkan gambar-gambar misterius yang muncul. Perlahan mereka mengetahui bahwa ditempat tersebut pernah terjadi tragedi yang juga melibatkan empat orang remaja. Diluar dugaan segmen slasher ini menjadi salah satu yang paling menegangkan dan menyeramkan. Saya sudah merasa ngeri dan ciut duluan setiap kali kamera bergetar yang menandakan akan ada gambar seram yang muncul, dan saat sosok pembunuh muncul pembunuhan yang ia lakukan pun punya kadar kesadisan yang tidak main-main meski twist yang dipakai tidak terlalu mengejutkan dan penjelasan tentang sosok pembunuhnya tidak terlalu jelas. Tapi untungnya ini adalah sebuah slasher yang tidak terlalu butuh penjelasan detail karena yang penting adalah bagaimana ketegangan yang muncul dan untukhal itu Tuesday the 17th adalah jawaranya. (4/5)
\
THE SICK THING THAT HAPPENED TO EMILY WHEN SHE WAS YOUNGER
Segmen dengan judul terpanjang ini menampilkan format dan kisah yang cukup unik dimana kita diajak melihat perbincangan antara Emily dan kekasihnya lewat webcam. Disana Emily bercerita tentang berbagai kejadian misterius yang menimpanya di malam hari. Setelah sebuah penampakan mengerikan yang secara tidak sengaja terekam, Emily memutuskan untuk sengaja mencari sosok makhluk yang menerornya sambil menyalakan webcam sambil ditemani oleh pacarnya. Secara teror ini adalah salah sebuah segmen yang mengerikan. Menunggu penampakan hantu yang akan muncul selalu membuat saya tegang dan momen kemunculannya selalu efektif. Tapi diluar dugaan segmen dengan judul super panjang ini tidak hanya punya teror penampakan hantu karena dibalik itu masih ada sebuah twist yang sangat mengejutkan. Namun sayangnya kejutan tersebut tidak dijelaskan secara detail karena twist yang ditampilkan disini bagi saya adalah sebuah twist yang butuh explanation. Sayang film ini hanya berbentuk short movie dimana hal itu membuat tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya. Ada potensi film ini dibuat menjadi lebih panjang. Bukan segmen terbaik tapi segmen yang paling cerdas. (3.5/5)

10/31/98
Segmen terakhir dalam sebuah antologi biasanya adalah yang terbaik, dan itu juga yang saya harapkan dalam film ini. Bercerita tentang empat orang pemuda yang tengah bersiap mendatangi sebuah pesta Halloween lengkap dengan kostum masing-masing, mereka malah tersasar dan masuk ke sebuah rumah kosong. Awalnya mereka hanya berputar-putar melakukan berbagai keisengan dirumah tersebut. Sampai mereka menemukan sebuah ruangan yang menyimpan misteri dan teror yang akan mereka hadapi dalam rumah tersebut. Sebuah horor rumah hantu yang bagi saya justru lebih cocok digarap oleh Ti West karena sineas yang satu ini biasanya memang ahlinya membuat horor rumah hantu. Satu hal yang patut dipuji dari 10/31.98 adalah bagaimana efek CGI yang ditampilkan termasuk sangat meyakinkan untuk ukuran sebuah short movie dengan bujet rendah. Banyak yang menyebut ini sebagai segmen terbaik tapi saya kurang setuju karena bagi saya kengerian yang ada masih kalah dari beberapa segmen diatas. Saya tidak merasa terlalu takut atau tegang saat rumah hantu tersebut sudah mulai meneror keempat tokoh utamanya. Beberapa plot hole juga sangat terasa bahkan menganga lebih lebar dibanding segmen lainnya. Untung ending yang ditampilkan bisa dibilang cukup seram. (3/5)

Secara keseluruhan V/H/S adalah sebuah antologi horror yang sangat memuaskan dengan berbagai momen yang menyeramkan dan menegangkan. Walaupun ada beberapa segmen yang mengecewakan itu adalah hal yang wajar dalam sebuah antologi dimana ada yang bagus dan ada yang buruk. Tapi overall ini adalah sebuah tontonan yang cukup mengerikan. Formatnya juga menarik dan kreatif meski tetap terasa beberapa hal yang dipaksakan berkaitan dengan usaha saling mengaitkan satu segmen dengan yang lainnya.

3 komentar :

Comment Page:

FRANKENWEENIE (2012)

Tidak ada komentar
Dua film terakhir Tim Burton, Alice in Wonderland dan Dark Shadows punya kualitas yang begitu mengecewakan bagi saya meskipun punya aspek visual yang unik seperti ciri khas sang sutradara. Kali ini dalam Frankenweenie yang merupakan film keduanya di tahun 2012, Burton membuat sebuah remake terhadap film pendek yang ia buat pada tahun 1984 dengan judul sama. Versi film pendeknya sendiri adalah sebuah live action  dengan format hitam putih, sedangkan versi panjangnya ini dibuat dalam format animasi walaupun tetap setia dengan format hitam putih dan ditambah embel-embel 3D. Pada perilisan film pendeknya dulu sempat terjadi konflik antara Burton dengan pihak Disney dimana saat itu Burton diminta untuk membuat sebuah film keluarga. Namun pada akhirnya yang dihasilkan oleh Burton adalah sebuah film yang terlalu mengerikan untuk penonton anak-anak akibat visualisasi dan temanya yang memang kental unusr horror. Hal itu membuat Burton dianggap menyia-nyiakan bujet yang diberikan dan dipecat oleh Disney.  Tapi selang hampir 30 tahun kemudian Disney kembali memberikan "lampu hijau" bagi Burton untuk membuat ulang proyek ini.

Cerita film ini sendiri masih merupakan parodi sekaligus homage bagi Frankenstein dimana kita akan melihat sosok Victor Frankenstein, seorang bocah yang kesehariannya tidak terlalu suka bersosialisasi dengan teman-temannya. Victor lebih memilih berkutat dengan hobinya membuat film dan bereksperimen di laboratoriumnya. Tapi Victor bukannya tidak punya sahabat, karena selama ini ia juga mempunyai seorang sahabat, yaitu Sparky yang notabene anjing kesayangannya. Namun suatu hari tragedi terjadi saat Sparky tertabrak mobil ketika mengambil bola baseball yang dipukul Victor. Merasa terpukul karena kehilangan satu-satunya sahabat yang ia miliki, Victor nekat melakukan sebuah eksperimen dengan harapan akan bisa menghidupkan Sparky kembali. Eksperimen tersebut berhasil dan Victor pun mendapatkan sahabatnya kembali. Tapi permasalahan muncul saat orang lain mulai mengetahui bahwa Victor berhasil menghidupkan kembali anjingnya tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BRAINDEAD (1992)

Tidak ada komentar
Lima tahun setelah Bad Taste yang gila, murahan, ngawur dan keren itu, Peter Jackson kembali menyajikan kegilaannya dalam sebuah komedi-horor sinting yang sampai sekarang masih dianggap sebagai one of the goriest movie of all time. Tentu saja kali ini Peter Jackson sudah menggarap filmnya dengan bujet yang jauh lebih tinggi dari film pertamanya tersebut (diatas 10 kali lipat Bad Taste yang hanya berbiaya $260 ribu). Lalu setelah alien bermuka pantat teror gila dari makhluk macam apalagi yang akan dihadiahkan Peter Jackson pada para penggemarnya? Ternyata dalam film yang punya judul lain Dead Alive ini giliran zombie yang muncul membawa teror. Oh tapi tentu saja zombie versi Peter Jackson bukan sekedar zombie biasa karena para walking dead ini ternyata berasal dari sebuah virus bawaan monyet ganas yang berasal dari pedalaman Sumatera, tepanya di Skull Island. Ya, monyet ini berasal dari pulau yang sama dengan asal King Kong yang 13 tahun kemudian akan di-remake juga oleh Peter Jackson. Monyet yang disebut Sumatran Rat-Monkey ini konon kabarnya berasal dari pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga ekor monyet terhaadap seekor tikus yang membawa wabah virus. 

Monyet-Tikus tersebut kemudian dibawa untuk dipamerkan di kebun binatang Selandia Baru. Dilain tempat, seorang pemuda kikuk bernama Lionel (Timothy Balme) melakukan kencan pertamanya bersama Paquita Sanchez (Diana Peñalver) di kebun binatang tersebut. Tapi dalam kencan tersebut ternyata Lionel dibuntuti oleh ibunya, Vera (Elizabeth Moody). Lionel sendiri memang selama ini hidup bersama ibunya dan selalu dikekang oleh sang ibu yang sangat posesif semenjak kematian suaminya. Tidak terima melihat sang anak untuk pertama kalinya berkencan dengan seorang wanita membuat Vera membuntuti keduanya. Celakanya saat sedang membuntuti mereka, Vera secara tidak sengaja tergigit oleh monyet-tikus tersebut. Gigitan tersebut membuat Vera sakit parah. Namun lama kelamaan kondisinya makin buruk dan makin aneh. Ya, gigitan tersebut yang dianggap oleh penduduk Skull Island sebagai kutukan akan membuat korbannya mati dan berubah menjadi zombie ganas! Tapi tentu saja Peter Jackson tidak akan membawa kita pada sebuah plot standar film zombie, karena daripada membunuh zombie sang ibu, Lionel lebih merawat zombie sang ibu dan menyembunyikannya di ruang bawah tanah. Tentu saja kegilaan demi kegilaan akan segera menyusul.

Tidak ada komentar :

Comment Page: