ROBOT & FRANK (2012)

Tidak ada komentar
Film tentang robot yang bersahabat bahkan menjadi bagian keluarga manusia sudah beberapa kali diangkat. Sebut saja Bicentennial Man milik Chris Colombus hingga A.I. karya Steven Spielberg. Dalam film-film tersebut robot yang sejatinya hanyalah sebuah mesin yang dibuat untuk membantu pekerjaan manusia menjadi layaknya makhluk hidup yang mempunyai perasaan. Robot & Frank memang punya unsur tersebut, tapi pendekatan yang dilakukan dalam film ini jauh berbeda, begitu pula isu yang coba disentuh. Seperti judulnya, film perdana dari sutradara Jake Schreier ini akan bercerita tentang interaksi antara Frank (Frank Langella) dan robot miliknya (diperankan Rachel Ma dan disuarakan oleh Peter Sarsgaard). Frank adalah pria berusia 70 tahunan yang hidup sendirian setelah kedua anaknya Hunter (James Marsden) dan Madison (Liv Tyler) sudah menjalani hidup mereka masing-masing. Frank sendiri adalah seorang pencuri yang dimasa mudanya pernah dipenjara akibat kasus pencurian. Bahkan saat sudah tua dan mengalami dementia seperti sekarang, Frank masih tetap mencuri walau "hanya" berupa benda-benda kecil yang murah dari sebuah toko.

Tidak hanya hidup sendiri, Frank juga nampak tidak punya teman. Satu-satunya orang yang dekat dengan Frank adalah seorang wanita penjaga perpustakaan bernama Jennifer (Susan Sarandon). Frank yang hampir tiap hari berkunjung ke perpustakaan juga mulai menaruh perasaan cinta pada Jennifer. Sebenarnya Hunter juga masih secara rutin mengunjungi sang ayah tiap minggunya meski harus menempuh perjalanan 10 jam dan membuatnya jarang menghabiskan waktu bersama anaknya. Tapi menghadapi tingkah laku ayahnya yang semakin pelupadan tidak teratur dalam kehidupannya, Hunter mulai merasa lelah. Akhirnya ia memutuskan membelikan Frank sebuah robot untuk membantunya melakukan kegiatan sehari-hari mulai dari membersihkan rumah sampai membuatkan makanan bagi Frank. Tentu saja pada awalnya Frank tidak menyukai kehadiran sang robot yang menurutnya terlalu mengatur kehidupannya. Sampai suatu hari Frank menyadari bahwa robot itu bisa membantunya melakukan aksi pencurian.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

85TH ACADEMY AWARDS WINNERS

2 komentar
Argo fuck yourself!!! Akhirnya Argo berhasil menjadi pemenang dalam ajang Oscar tahun ini mengalahkan Lincoln yang meraih nominasi terbanyak dan Life of Pi yang menjadi peraih piala terbanyak kali ini. Tidak terlalu banyak kejutan dimana hanya kemenangan Christoph Waltz serta Ang Lee saja yang cukup mengejutkan. Tapi kemenangan keduanya juga tidak bisa disebut sebagai kejutan luar biasa karena Waltz sudah menang di Golden Globe serta BAFTA sedangkan Ang Lee juga cukup dijagokan setelah kans Lincoln milik Spielberg memenangkan Best Picture mengecil. Dalam posting ini selain menyajikan daftar pemenang saya juga mencantumkan pilihan saya pribadi (pilihan, bukan prediksi). Jadi ini dia daftar nama-nama terbaik yang memenangkan ajang Oscar tahun 2013.

2 komentar :

Comment Page:

THE BAY (2012)

92 komentar
The Bay adalah sebuah horor mockumentary garapan sutradara Barry Levinson. Sebuah horor mockumentary memang saya akui punya kelebihan dalam menakuti penontonnya, dimana suasana dibuat terasa nyata dan juga membuat tingkat keseraman serta ketegangannya meningkat dibanding film horor yang disajikan secara "normal". Dalam The Bay, teknik mockumentary memang berguna untuk menciptakan suasana senyata mungkin sehingga mampu membuat penontonnya merinding tanpa perlu adegan mengagetkan, gore berlebihan ataupun penampakan makhluk seram. Menonton The Bay saya jadi sedikit teringat dengan Contagion arahan Steven Soderbergh, dimana kita akan diajak melihat penyebaran sebuah penyakit misterius yang dalam waktu singkat membunuh begitu banyak orang. Alkisah di sebuah kota kecil yang terletak di Maryland sedang diadakan Festival 4th of July, dan Donna Thompson (Kether Donohue) yang merupakan seorang penyiar televisi baru ditugaskan meliput acara tersebut. Awalnya semua berjalan lancar dan yang terlihat hanya tawa yang mengiringi kegembiraan para penduduk kota. Sampai kemudian kengerian secara perlahan mulai menyelimuti seiring dengan menyebarnya sebuah penyakit misterius yang satu persatu mulai membunuh penduduk kota.

Yang patut diperhatikan adalah bahwa The Bay bukanlah sebuah film horor dengan cerita yang bodoh. Mungkin naskahnya tidak spesial, tapi ceritanya masih cukup berbobot. Naskah dari Michael Wallach masih sempat memberikan gambaran bagaimana perbuatan manusia yang tidak peduli akan lingkungannya dapat berujung pada bencana tragis seperti dalam film ini. Selain itu, The Bay juga begitu baik dalam menyimpan misterinya. Sedari awal penonton sudah tahu ada hal mengerikan yang terjadi di kota tersebut namun coba ditutupi oleh pemerintah. Tapi kita tidak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi, apakah sebuah penyakit? Serangan monster? Atau hal lainnya? Misteri tersebut disimpan dengan rapih dan membuat penonton penasaran akan fakta yang sebenarnya. Tapi sedari awal film ini sudah memberi gambaran lewat cerita Donna Thompson tentang bagaimana mengerikannya kejadian pada hari itu. Hal tersebut mampu membuat tensi film ini sudah menegangkan dari awal dan tetap terjaga meskipun momen horornya belum muncul. Sayang The Bay ditutup dengan sebuah konklusi yang begitu anti-klimaks dan kurang greget, padahal klimaksnya sudah lumayan menegangkan.

92 komentar :

Comment Page:

ANNA KARENINA (2012)

1 komentar
Sutradara Joe Wright memang telah dikenal lewat kemampuannya dalam membuat film period drama. Hal itu bisa dilihat dari dua film yang melambungkan namanya, yakni Pride and Prejudice dan Atonement. Setelah dua non-period drama yakni The Soloist dan Hanna, Joe Wright kembali ke spesialisasinya lewat Anna Karenina, sebuah adaptasi dari novel klasik berjudul sama karangan Leo Tolstoy yang terbit pada 1877. Ini bukanlah kali pertama Anna Karenina diangkat menjadi sebuah film. Sebelumnya sudah ada sekitar sembilan film yang kisahnya merupakan adaptasi dari novel tersebut. Dalam film ini Joe Wright juga kembali berkolaborasi dengan aktris Keira Knightley yang selalu bermain dalam film period drama yang ia buat sebelum ini. Saya sendiri tidak terlalu menyukai film-film period drama karena kisah dan dialognya yang sering terkesan bertele-tele karena memang punya setting waktu bukan di zaman sekarang. Tapi film yang disutradarai oleh Joe Wright memang sayang untuk dilewatkan. Apalagi kabarnya Anna Karenina dibuat dengan teknik yang cukup unik dimana mayoritas filmnya dibuat diatas panggung besar dan membuat konsep filmnya seperti sebuah pertunjukkan teater.

Kisahnya berlatar di Rusia pada tahun 1847 dimana Anna Karenina (Keira Knightley) sedang melakukan perjalanan dari St. Petersburgh menuju Moscow untuk mengunjungi kakaknya, Oblonsky (Matthew McFadyen) yang saat itu tengah menglamai permasalahan dengan sang istri. Di kereta, Anna bertemu dengan Countess Vronskaya (Olivia Williams) yang kemudian mengenalkan Anna dengan puteranya, Count Vronsky (Aaron Taylor-Johnson). Perkenalan tersebut ternyata menjadi awal benih cinta yang terjalin antara Anna dan Vronsky. Tapi kisah cinta tersebut tentunya tidak mudah terwujud, bahkan bisa dibilang terlarang, karena saat itu Anna sudah menikah dengan Alexei Karenin (Jude Law), seorang politisi sekaligus orang yang sangat dihormati di St. Petersburgh. Sedangkan Vronsky sendiri tengah menjalin hubungan dengan Kitty (Alicia Vikander) yang tidak lain adalah adik dari istri Oblonsky. Tapi Anna Karenina  tidak hanya menyoroti kisah cinta Anna belaka, karena film ini ini juga akan menceritakan tentang kisah Konstatin Levin (Domhnall Gleeson), seorang land owner yang cintanya ditolak oleh Kitty.

Anna Karenina adalah sebuah film yang ambisius. Ambisius dilihat baik dari sisi konsep bagaimana filmnya dikemas dan ambisius dilihat dari konten cerita yang coba disampaikan. Seperti yang sudah saya singgung diawal, Joe Wright cukup berani dalam mengemas film ini layaknya sebuah drama panggung. Menonton Anna Karenina di beberapa bagiannya serasa seperti menonton pertunjukkan teater di panggung raksasa dengan setting panggung yang luar biasa mewah. Jujur saya menyukai pengemasan tersebut. Terasa unik dan menyenangkan melihat satu setting berganti dengan yang lain secara manual layaknya pentas teater dan para aktornya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara kontinyu seperti diatas panggung. Joe Wright pantas mendapat pujian karena mampu mengemas konsep yang unik ini dengan begitu rapih. Namun sayangnya secara keseluruhan penggunaan konsep ini saya rasa masih setengah-setengah. Ada beberapa adegan yang tidak terasa suasana panggungnya. Jika memang ingin memakai teknik ini kenapa tidak sekalian saja semua adegan dikemas begitu? Jika alasannya adalah tidak semua adegan bisa mendapat perlakuan seperti itu saya rasa sebaiknya sekalian saja tidak memakai konsep seperti ini. 
Selain mengincar keunikan dalam proses kreatifnya, manfaat penggunaan konsep ini juga kurang terasa. Kelebihan pementasan teater dibanding film adalah semuanya berjalan secara langsung sehingga emosi para aktor terasa begitu nyata. Dalam film, salah satu cara yang sering dipakai adalah penggunaan continous shot yang akan membuat rangkaian adegan yang satu dengan yang lain terasa nyata dan mengalir dengan alami. Teknik seperti ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Joe Wright dalam Atonement, namun sayangnya dia tidak mengeksplorasi lagi teknik ini dalam Anna Karenina. Padahal jika continous shot diterapkan dalam konsep drama panggung film ini saya yakin hasil akhirnya akan lebih maksimal. Tapi biar bagaimanapun apa yang ditampilkan oleh Joe Wright dalam film ini sudah memberikan keunikan tersendiri. Apalagi tiap-tiap adegan punya sinematografi yang begitu indah yang terlihat mulai dari desain panggung hingga bagaimana para aktor baik utama ataupun figuran bergerak diatas panggung. Jika ada pementasan teater dengan tata panggung dan properti semacam ini saya akan dengan senang hati merogoh kocek dalam untuk menontonnya.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, Anna Karenina juga terasa ambisius ditengok dari cerita yang coba disajikan. Keseluruhan ceritanya berkisah tentang cinta, namun apa saja yang coba diangkat dari sebuah tema cinta tersebut begitu banyak, begitu juga konflik dan karakter yang tersaji dalam keseluruhan kisahnya. Anna Karenina berkisah tentang sebuah pertentangan antara cinta sejati dan nafsu yang pada akhirnya berujung pada perselingkuhan. Film ini menyoroti bagaimana sifat dasar manusia yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki termasuk dalam urusan percintaan. Tema yang kedengarannya sederhana tersebut bisa menjadi begitu kompleks dan membingungkan jika tokoh yang terlibat terlalu banyak. Hal itulah yang terjadi dalam Anna Karenina. Tidak hanya kisah Anna dan perselingkuhannya yang disorot, tapi film ini juga kadang berpindah dan ganti menyoroti perjuangan cinta dan pencarian kebahagiaan hidup dari Konstatin Levin. Kisahnya menjadi tidak fokus dan akhirnya saya tidak merasa terlalu terikat dan tersentuh dengan kisah tragedi percintaan ini. Disaat saya sudah mulai terbawa oleh ceritanya, tiba-tiba film ini berganti fokus kepada kisah yang lain.

Selain itu, dengan banyaknya kisah yang coba diangkat, film ini menjadi terasa terlalu lama. Andai kisah seputar Konstatin Levin tidak terlalu diangkat, mungkin filmnya bisa "menghemat" sekitar 10 menit durasi, bahkan mungkin lebih. Pada akhirnya durasi hampir mencapai 130 menit menjadi terasa terlalu panjang. Karya terbaru Joe Wright ini memang pada akhirnya terasa tanggung dan kurang maksimal, tapi setidaknya dengan tata produksi yang unik, dasar cerita yang punya kedalaman emosi dan akting para pemainnya yang bagus khususnya Keira Kngihtley masih membuat Anna Karenina menjadi tontonan yang masih cukup menarik diikuti. Kemudian dari empat nominasi Oscar yang didapat, setidaknya untuk kategori Best Production Design dan Best Costume Desgin film ini hampir pasti mengunci kemenangannya.


1 komentar :

Comment Page:

MAMA (2013)

8 komentar
Mama aslinya adalah sebuah film pendek berdurasi hanya 3 menit yang dibuat oleh Andres Muschietti. Namun meski sangat pendek, tapi Mama sudah mampu memberikan tingkat kengerian yang luar biasa pada penontonnya. Lima tahun berselang, akhirnya versi panjang dari Mama yang masih disutradarai oleh Andres Muschietti dibuat. Dengan adanya nama Guillermo del Toro sebagai produser, sudah tentu film ini menarik untuk dinantikan, meski sebelumnya saya dibuat kecewa oleh Don't be Affraid of the Dark yang juga diproduseri oleh del Toro. Dengan adanya del Toro saya bisa memperkirakan bahwa film ini tidak akan berakhir menjadi film horror biasa, melainkan memiliki unsur dongeng seperti yang sudah menjadi ciri khas del Toro selama ini. Memanjangkan film yang aslinya 3 menit menjadi 100 menit tentu bukan hal mudah, karena itu keputusan untuk memilih Andres Muschietti sebagai sutradara adalah langkah yang bijak, karena Muschietti yang membuat film pendeknya pasti tahu betul mengenai Mama. Selain itu adanya nama Jessica Chastain yang notabene adalah salah satu aktris paling berbakat saat ini tentu membuat proyek ini semakin menjanjikan kualitas yang memuaskan.

Film ini menceritakan kisah tentang Jeffrey (Nikolaj Coster-Waldau) yang pada krisis ekonomi 2008 mengalami depresi dan memutuskan untuk membunuh rekan bisnis dan istrinya sendiri. Kemudian Jeffrey membawa kedua puterinya yang masih kecil, Victoria (3 tahun) dan Lilly (1 tahun) ke sebuah pondok di tengah hutan untuk membunuh keduanya. Namun sebelum itu sempat ia lakukan, Jeffrey ditangkap oleh sesosok makhluk misterius, dan cerita melompat lima tahun sesudah kejadian tersebut. Dikisahkan Lucas (diperankan juga oleh Nikolaj Coster-Waldau) yang merupakan saudara kandung Jeffrey terus mencari keberadaan Victoria dan Lilly yang menghilang. Sampai suatu hari keduanya ditemukan dalam kondisi layaknya hewan liar. Lucas dan sang istri, Annabel (Jessica Chastain) membawa Victoria dan Lilly ke rumah mereka dengan harapan keduanya bisa kembali normal sambil terus menerima perawatan psikologis dari Dr. Dreyfuss (Daniel Kash). Tapi satu hal yang tidak mereka ketahui adalah keberadaan sosok misterius yang dipanggil oleh Victoria dan Lilly dengan sebutan "Mama".

8 komentar :

Comment Page:

RECTOVERSO (2013)

2 komentar
Novel Rectoverso yang ditulis Dewi Lestari atau Dee adalah sebuah novel yang begitu spesial bagi saya. Saya yang bukan seorang pecinta novel bahkan termasuk malas membaca bisa dibuat begitu menyukai rangkaian 11 cerita pendek yang dipaparkan oleh Dee. Rectoverso bagi saya adalah sebuah kisah cinta yang mampu membuat pembacanya merasakan jatuh cinta saat membacanya. Saat mendengar bahwa akan dibuat film adaptasi dari novel tersebut, saya antara tertarik dan ragu. Tentu saja saya tertarik melihat bagaimana novel favorit saya diangkat dalam media film. Tapi tentunya saya ragu, karena mengangkat cerita dalam buku menjadi film bukan tugas yang mudah, apalagi film ini disutradarai bukan oleh nama-nama besar dalam dunia penyutradaraan, namun oleh lima wanita yang selama ini lebih dikenal sebagai aktris, yaitu Marcella Zalianty, Olga Lydia, Rachel Maryam, Happy Salma dan Cathy Saron. Dari sebelas cerita, dipilih lima cerita yang beberapa diantaranya adalah cerita favorit saya dalam novel tersebut. Kelima cerita itu adalah Malaikat Juga Tahu, Firasat, Cicak di Dinding, Curhat Buat Sahabat dan Hanya Isyarat. Tidak seperti novelnya yang menampilkan satu per satu ceritanya, versi film Rectoverso menghadirkan kelima kisahnya secara bergantian dimana satu kisah dengan kisah lainnya akan berjalan beriringan dari awal sampai akhir.

Malaikat Juga Tahu yang disutradarai oleh Marcella Zalianty adalah yang terbaik bagi saya. Bercerita tentang kisah cinta antara Abang (Lukman Sardi) yang seorang penderita autis dan Leia (Prisia Nasution), segmen ini punya kedalaman kisah yang paling bagus. Ceritanya paling mengena, akting para pemainnya bagus, dan punya momen puncak yang sanggup membuat saya begitu terharu. Momen puncak yang dirangkum dengan begitu baik dan menunjukkan bahwa Lukman Sardi sejatinya adalah salah satu aktor terbaik Indonesia saat ini jika dia lebih pandai memilih peran dalam film-filmnya. Malaikat Juga Tahu versi film pun bagi saya terasa sesuai dengan apa yang saya bayangkan disaat membaca ceritanya. Sedangkan Firasat yang disutradarai Rachel Maryam sayangnya terasa begitu lemah dalam menghadirkan konfliknya. Segmen ini punya potensi menghadirkan konflik batin yang bergejolak disaat seseorang harus berhadapan dengan firasat yang ia dapat mengenai sosok orang yang ia cintai. Tapi apa yang tersaji hanya sebuah kisah kegalauan Senja (Asmirandah) dimana cintanya terhadap Panca (Dwi Sasono) tidak kunjung bisa terucap. Kesan tragis yang dipunyai ending novelnya menghilang disini, bahkan entah saya yang salah menafsirkan atau memang begitu adanya, versi film ini punya interpretasi ending berbeda yang justru mengurangi esensi ceritanya.

2 komentar :

Comment Page:

DOOMSDAY BOOK (2012)

1 komentar
Tema yang menarik dan keberadaan Kim Ji-woon adalah alasan mengapa saya menonton film ini. Doomsday Book adalah sebuah antologi yang berisi tiga cerita mengenai bagaimana manusia secara sengaja/tidak sengaja melakukan hal yang menciptakan kehancuran bagi mereka sendiri. Dari ketiga cerita tersebut, Kim Ji-woon menyutradarai segmen Heavenly Creatures, sedangkan dua segmen lainnya disutradarai oleh Yim Pil-sung. Doomsday Book sendiri adalah film antologi dari Korea pertama yang pernah saya tonton. Berikut ini pembahasan masing-masing segmennya.

1 komentar :

Comment Page:

GANGSTER SQUAD (2013)

Tidak ada komentar
Pada awalnya film yang disutradarai oleh Ruben Fleischer (Zombieland, 30 Minutes or Less) akan dirilis pada 7 September 2012, tapi akibat insiden Aurora Mass Shooting film ini harus menunda jadwal perilisannya. Hal itu diakibatkan adanya adegan baku tembak di dalam bioskop sehingga diputuskan dilakukan shooting ulang untuk adegan tersebut. Jadwal rilisnya pun mundur hingga 11 Januari 2013. Gangster Squad awalnya adalah salah satu dari beberapa film yang paling saya tunggu di tahun 2012 karena melihat jajaran pemainnya. Jumlah bintangnya tidak main-main, ada Josh Brolin, Ryan Gosling, Sean Penn, Emma Stone, Nick Nolte, Anthony Mackie, Giovanni Ribisi hingga Michael Pena. Namun melihat jadwal diundurnya saya jadi agak pesimis. Bulan Januari dikenal sebagai tempat perilisan dua jenis film. Yang satu adalah film-film yang bersaing di ajang Oscar dan di tahun sebelumnya mendapat rilisan terbatas. Sedangkan satu lagi adalah film-film berkualitas buruk. Gangster Squad jelas tidak masuk kategori pertama. Jadi apakah film yang berdasarkan kisah nyata tentang seorang gangster bernama Mickey Cohen ini adalah film yang memuaskan atau lagi-lagi satu dari sekian banyak "sampah" yang dirilis pada Januari?

Pada tahun 1949, Los Angeles benar-benar telah dikuasai oleh gangster bernama Mickey Cohen (Sean Penn). Dia menguasai hampir semua bisnis, dan kekayaannya benar-benar ia manfaatkan juga untuk menyogok para polisi hingga hakim. Tidak ada polisi yang berani mengganggu Cohen, bahkan para polisi yang tidak korup sekalipun merasa segan untuk mencampuri urusan Cohen. Tapi ada seorang sersan bernama John O'Mara (Josh Brolin) yang selalu berpegang teguh pada prinsipnya dan taat hukum. Tapi tentu saja dia sendiri tidak cukup untuk menghentikan aksi Cohen. Apalagi pihak kepolisian tidak bersedia memberikan surat penangkapan terhadap Cohen. Sampai akhirnya Chief Parker (Nick Nolte) yang merupakan satu dari beberapa polisi yang membenci tindak kriminal Cohen meminta O'Mara untuk menciptakan sebuah tim guna menghancurkan kerajaan Cohen secara diam-diam. Tim tersebut nantinya disebut Gangster Squad. Tim tersebut terdiri dari O'Mara, Detektif Coleman Harris (Anthony Mackie) yang jago memakai pisau, Conwell Keeler (Giovanni Ribisi) yang merupakan otak dari tim, Max Kennard (Robert Patrick) yang jago menggunakan pistol dan telah membunuh 100 gangster, Navidad Ramirez (Michael Pena) yang merupakan rekan Kennard, dan Jerry Wooters (Ryan Gosling) yang diam-diam menjalin hubungan dengan kekasih Cohen, Grace Faraday (Emma Stone).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ON HER MAJESTY'S SECRET SERVICE (1969)

Tidak ada komentar
Film ini adalah penanda era baru dalam dunia James Bond, dimana Sean Conery untuk pertama kalinya tidak lagi menjadi agen 007 (meski pada akhirnya di tahun 1971 dia kembali lagi dalam Diamonds Are Forever). Sosok James Bond disini diperankan oleh George Lazenby. Lazenby sebagai Bond memang banyak memunculkan cerita. Yang pertama tentunya adalah fakta bahwa ia bukan merupakan orang Inggris asli (Lazenby adalah orang Australia). Hingga saat inipun Lazenby menjadi satu-satunya aktor non-British yang memerankan James Bond. Selain itu, dia juga hanya muncul dalam satu film saja, yakni OHMSS ini, dengan alasan tidak ini ter-typecast dan tidak bisa lepas dari bayang-bayang karakter Bond. Pada awal perilisannya sendiri OHMSS dan Lazenby tidak mendapat sambutan yang terlalu positif. Filmnya hanya mendapat sekitar $64 Juta, yang mana menurun jauh, sekitar $40 juta jika dibandingkan You Only Live Twice. Selain itu Lazenby dinilai tidak cocok memerankan karakter Bond yang memang sudah terlanjur begitu melekat pada diri Sean Conery. Namun seiring dengan berjalannya waktu, OHMSS justru dianggap menjadi salah satu film Bond terbaik sepanjang masa dan sering bersaing dengan Goldfinger sebagai yang terbaik.

Dalam film ini James Bond akan kembali berhadapan dengan Ernst Blofeld yang kali ini diperankan oleh Telly Savalas. Bond menyamar sebagai ahli genealogy untuk menyusup ke dalam markas Blofeld yang terletak di puncak pegunungan alpen yang bersalju. Kali ini Blofeld berusaha untuk menghancurkan suplai bahan makanan di seluruh dunia. Namun selain berhadapan dengan Blofeld, Bond juga akan "berhadapan" dengan kisah cintanya yang paling rumit disini, dimana ia akan berhubungan dengan Tracy (Diana Rigg), puteri dari Marc-Ange Draco (Gabriele Ferzetti) yang merupakan salah satu bos organisasi kriminal. Ya, selain berbagai cerita diluar layar, OHMSS juga terkenal dengan fakta bahwa ini adalah satu-satunya film dimana Bond menikah secara resmi, setelah sebelumnya menikah di You Only Live Twice, namun pernikahan tersebut hanya merupakan bagian dari misi belaka.

Sedari awal sudah terasa bahwa OHMSS belum bisa lepas dari bayang-bayang Bond milik Conery, atau lebih tepatnya takut untuk lepas. Sosok Bond yang sempat disembunyikan wajahnya diawal memang menunjukkan usaha untuk memperkenalkan kembali sosoknya dan memberikan penekanan bahwa ini adalah sosok Bond yang baru. Tapi lihat opening theme yang menampilkan berbagai adegan ikonis dari berbagai film Bond sebelumnya, seolah ingin meyakinkan bahwa OHMSS merupakan kisah agen 007 yang sama. Usaha yang bisa dimaklumi dan wajar namun caranya terlalu malas dan pointless. Belum lagi ada sebuah adegan dimana secara tiba-tiba musik pengiringnya berganti menjadi lagu Underneath the Mango Tree yang sudah melekat dengan kemunculan Ursula Andress dalam Dr. No. Lagi-lagi sebuah usaha yang terkesan putus asa dan penempatannya tidak pas. Terlalu dipaksakan. Tapi diluar itu OHMSS sudah memberikan berbagai sentuhan baru yang cukup menyegarkan.
Setelah dalam beberapa film sebelumnya lebih berfokus dalam pemakaian gadget yang makin canggih, maka disini duo penulis naskah Richard Maibaum dan Simon Raven mengesampingkah hal tersebut dan lebih berfokus dalam pengembangan ceritanya. Hal itu membuat OHMSS terasa lebih membumi dibandingkan installment sebelumnya. Bahkan nuansa ceritanya sendiri terasa lebih gelap. Salah satu faktornya adalah interpretasi Lazenby untuk karakter Bond versinya. Jika Bond milik Conery lebih sering melontarkan humor dan terkadang kurang serius meski masih punya karisma yang kuat, maka Bond milik Lazenby lebih sering memperlihatkan sosok Bond yang menderita dan lebih gelap. Memang masih ada beberapa one-line lucu yang ia lontarkan, dan kemunculannya dengan memakai kostum khas Skotlandia jelas terasa tidak seperti Bond yang cool. Namun diluar itu Bond versi Lazenby terasa lebih serius, sebuah performa yang hingga kini masih sering dikritisi namun disisi lain juga mendapat pujian. Saya masih lebih suka Conery, tapi tetap mengakui bahwa untuk OHMSS yang memiliki tone serius dan lebih gelap Lazenby lebih pas. Bicara soal tone yang gelap, film ini juga punya ending yang gelap dan tragis, tidak hanya untuk ukuran film Bond saja tapi juga sebagai film pada umumnya.

On Her Majesty's Secret Service juga punya adegan aksi yang lebih seru dan brutal. Dengan setting pegunungan bersalju Alpen yang ditampilkan dengan indah, adegan kejar-kejaran dengan ski terasa lebih seru. Bahkan ada banyak darah yang tumpah, membuat OHMSS menjadi salah satu film Bond dengan kandungan gore paling kental. Bahkan klimaks yang menampilkan Bond beraksi dibalut dengan theme song James Bond membuat sosoknya begitu keren. Bicara Bond Formula, film ini tetap memegang teguh hal tersebut. Musik tema All the Time in the World awalnya tidak terdengar seperti musik tema Bond, tapi lama kelamaan makin terasa pas. Diana Rigg sebagai Bond Girl jelas menjadi salah satu Bond Girl paling ikonis, dengan menjadi satu-satunya istri agen 007. Sosok Bond Villain dalam Ernst Blofeld juga terasa mengancam dan kejam. Dibandingkan kemunculannya di You Only Live Twice jelas Blofeld lebih intimidatif, kejam dan punya rencana yang lebih jenius sekaligus mengancam. Salah satu kemunculan villain terbaik dalam franchise James Bond. Dengan suasana yang lebih gelap, ending yang tragis, action sequence yang seru dan brutal, serta sosok Bond yang lebih kelam, On Her Majesty's Secret Service sebenarnya bisa menjadi film Bond terbaik mengalahkan Goldfinger. Ya, ini adalah Bond terbaik, andai saya tidak terganggu dengan plot hole dimana Blofeld tidak mengenali penyamaran Bond, padahal jelas-jelas di film sebelumnya mereka sudah saling berhadapan. Bagaimana bisa dia tidak mengenali sosok Bond yang "menyamar" disini?


Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE SESSIONS (2012)

5 komentar
The Sessions adalah sebuah come-back bagi sutradara Ben Lewin setelah absen membuat film selama 18 tahun. Cerita dari film ini sendiri berdasarkan kisah nyata tentang kehidupan Mark O'Brien yang mengalami kelumpuhan nyaris total akibat terkena polio disaat berumur enam tahun. Selain itu, film ini juga didasarkan dari artikel berjudul On Seeing a Sex Surrogate yang ditulis oleh O'Brien sendiri. Sutradara Ben Lewin juga sebenarnya merupakan pengidap polio dan membuatnya harus memakai alat bantu untuk berjalan, jadi nampaknya materi dalam film ini cukup personal baginya. The Sessions dibintangi oleh John  Hawkes (yang di-snub dari nominasi Best Actor Oscar) dan Helen Hunt (mendapat nominasi Best Supporting Actress). Kita akan mulai diperkenalkan pada sosok Mark O'Brien (John Hawkes) yang meskipun lumpuh dan harus hidup dengan bantuan alat bantu pernafasan tetapi dia tetap menjadi orang yang berhasil. Dia adalah lulusan terbaik di universitasnya dan juga merupakan seorang penulis puisi sekaligus jurnalis. Namun ada satu hal yang ia merasa kurang, yakni ketiadaan sosok wanita sebagai cinta sekaligus partner seks. Mark merasa tidak yakin akan kemampuan seksualnya, bahkan saat mengungkapkan cinta pada seorang gadis ia harus mengalami sakit hati.

Sampai suatu hari ia diminta untuk menulis artikel tentang kehidupan seks para disable, dan ia menemukan orang-orang yang berkekurangan sama seperti dirinya bisa mempunyai kehidupan seks yang normal. Hal itulah yang mendorong Mark menuruti saran terapisnya untuk menghubungi jasa sex surrogate. Sex surrogate adalah penyedia jasa terapi seks yang memberikan layanan untuk mengajari seseorang bagaimana berhubungan seks. Penyedia jasa tersebut bahkan bersedia untuk bersetubuh dengan orang yang menyewanya. Meski awalnya ragu, Mark akhirnya bersedia memakai jasa itu. Inilah awal pertemuan Mark dengan Cheryl (Helen Hunt), seorang sex surrogate yang tidak hanya membantu Mark dalam kehidupan seksual tapi juga memberikan Mark perasaan dan kebahagiaan yang lebih dari itu. Tentu saja dari sinopsis diatas dapat terlihat jelas bahwa The Sessions merupakan sebuah film yang cukup gamblang dalam memaparkan sisi seksualnya. Bahkan bukan tidak mungkin beberapa penonton menganggap film ini terlalu gamblang, karena berbagai momen berbau seksual disajikan tidak hanya sekilas saja tapi bahkan secara bertahap, selangkah demi selangkah, hingga akhirnya sampai pada intercourse.

Melihat adegan seks antara seorang yang lumpuh mungkin bukan hal yang bisa dinikmati oleh semua penonton. Adegan seks-nya gamblang namun tidak vulgar, dan hal itu yang bisa membuat film ini sulit untuk dinikmati karena justru imajinasi penonton yang bisa lebih liar dari apa yang tersaji di layar membuat film ini makin tidak mudah dinikmati. Tapi The Sessions bukan sekedar seks semata. Ini adalah tentang bagaimana kita berbuat baik pada sesama. Ini juga adalah sebuah kisah cinta yang romantis, tentang sebuah perjalanan seseorang dalam mencari cintanya. Seperti yang dikatakan oleh Pendeta Brendan (William H. Macy) bahwa cinta adalah sebuah perjalanan. Memang dia sepertinya akan mengatakan hal lain setelah itu yang ia batalkan, dan disitulah terasa maknanya bahwa cinta adalah sebuah perjalanan. Perjalanan misterius karena kita tidak tahu, bahkan mungkin tidak perlu tahu apa saja yang akan terjadi dan menanti kita di depan. The Sessions juga adalah kisah ironi dua manusia. Yang satu adalah Mark, dimana ia mengalami kesulitan dalam hal seksual dan cinta, sesuatu yang mungkin terasa sangat mudah bagi orang lain yang tidak punya kekurangan seperti dia. Di satu sisi, ada Cheryl yang dengan mudah menjelaskan segala hal seksual hingga berhubungan seks dengan klien tanpa ada perasaan lebih, bahkan nafsu sekalipun. Hal yang tentu tidak mudah bagi orang lain.
Bicara tema, The Sessions juga sempat menyinggung hal-hal berbau agama khususnya Katolik. Namun saya cukup menyayangkan cukup banyaknya subplot yang coba disajikan. Mark dikisahkan punya dua orang perawat setia, Rod dan Vera. Bagi saya alangkah lebih efektif jika hanya salah satu saja yang ditampilkan, sehingga hubungan Mark dan salah satu perawatnya itu akan lebih tergali dan memunculkan sebuah kisah persahabatan antara majikan dan pelayan yang lebih efektif. Saya juga menyayangkan kemunculan sosok Susan di akhir cerita. Mungkin maksud Ben Lewin adalah agar kisah ini seakurat mungkin dan tidak berbeda dengan cerita aslinya. Namun kemunculan Susan yang begitu cepat dan tiba-tiba, membuat ending kisah cinta Mark dan Cheryl terasa kurang menyentuh. Padahal momen sesi terakhir yang mereka lakukan sudah terasa mengharukan. The Sessions nampak terlalu berusaha otentik sehingga terlalu banyak kisah yang coba disajikan namun tidak semuanya berakhir maksimal. Padahal sedikit perubahan tidak akan membuat film ini terasa melenceng dari kisah aslinya.

Bicara akting pemainnya, John Hawkes sudah sepantasnya mendapat nominasi Best Actor Oscar. Karakternya yang penuh keterbatasan fisik tidak membatasi Hawkes dalam menampilkan performa luar biasa. Dia tidak bisa memanfaatkan tangan dan kakinya yang lumpuh, tapi dia sanggup memaksimalkan aktingnya lewat permainan ekspresi dan suara. Bagaimana ia mampu menggerakkan bagian badannya yang terbatas secara efektif, bagaimana ia menulis/menelepon dengan bantuan batang kayu yang dia letakkan di mulut, bagaimana ia menatap, dan bagaimana ia bicara semuanya luar biasa. Sulit membayangkan bahwa aslinya John  Hawkes bukan seseorang yang mengalami kelumpuhan. Helen Hunt juga bermain baik disini. Bagaimana dengan santainya ia mengajarkan seks secara gamblang memberikan saya sudut pandang baru terhadap kemunculan adegan telanjang ataupun seks dalam sebuah film. Overall, The Sessions adalah sebuah film tentang seks, dan memang sungguh-sungguh tentang hal tersebut. Seks bukanlah bumbu melainkan topik utama yang dibahas disini. Terasa romantis, cukup lucu dengan beberapa momen komedi yang tercipta dari kekikukkan tokoh-tokohnya dalam menjalani situasi aneh, serta punya banyak nilai moral yang dibahas. Bahkan mungkin terlalu banyak sehingga justru membuat keseluruhan filmnya tidak terasa maksimal.

5 komentar :

Comment Page:

THE MASTER (2012)

6 komentar
Karya terbaru dari Paul Thomas Anderson (PTA) ini jelas sudah sangat dinanti-nanti setelah film terakhirnya yang luar biasa, There Will Be Blood. Kehadiran Joaquin Phoenix sebagai aktor utama setelah sempat memutuskan rehat dari dunia akting jelas menarik perhatian. Selain itu masih ada dua nama besar lain yakni Philip Seymour Hoffman dan Amy Adams. Tapi yang paling mengundang perhatian dan memancing kontroversi dari film ini tentunya dari segi cerita yang disebut-sebut membahas tentang Scientology. PTA yang juga bertindak selaku penulis naskah memang membantah hal tersebut, meski dia sendiri mengakui bahwa sosok L. Ron Hubbard yang tidak lain adalah pendiri Scientology cukup menginspirasinya dalam menciptakan karakter Lancaster Dodd yang diperankan Philip Seymour Hoffman. Saya sendiri tidak terlalu memusingkan perihal tersebut, yang penting ini adalah film PTA yang merupakan jaminan mutu. Lagi pula dari trailer yang beredar saya berekspektasi cukup tinggi pada film ini. Dari teaser trailer yang hanya menampilkan sosok Joaquin Phoenix dalam beberapa adegan yang nampak indah dibalut iringan musik unik dari Jonny Greenwood, saya sudah dibuat tertarik pada film ini.

Tapi tokoh utama dari The Master sebenarnya bukan Lancaster Dodd, melainkan Freddie Quell (Joaquin Phoenix), seorang veteran Perang Dunia II yang mengalami post-traumatic stress disorder sebagai dampak dari pengalamannya di medan perang. Hal itu menjadikan Freddie sebagai sosok yang sangat terobsesi pada seks dan juga mengalami kecanduan terhadap alkohol. Jangan bayangkan Freddie sebagai seorang alkoholik biasa, karena dia tidak ragu untuk meminum campuran dari berbagai hal yang cukup gila mulai dari bahan bakar torpedo hingga cairan thinner. Kecanduan alkohol dan ptsd yang ia alami sering menimbulkan masalah bagi Freddie. Dia dipecat dari pekerjaannya sebagai fotografer, bahkan pernah membuat orang tua di tempatnya bekerja sebagai petani tewas akibat minuman yang ia berikan. Hingga akhirnya Freddie secara diam-diam menyusup ke sebuah kapal mewah yang ternyata dimiliki oleh Lancaster Dodd. Alih-alih mengusir Freddie, Dodd yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang penulis justru menawarkan Freddie untuk tinggal bersamanya. Ternyata Lancaster Dodd adalah seorang pimpinan dari sebuah perkumpulan cult bernama The Cause. Dari situlah Freddie mulai mencoba menyembuhkan "kegilaan" yang ia alami. Disisi lain Lancaster Dodd juga sangat ingin menyembuhkan Freddie walaupun anggota yang lain termasuk sang istri, Peggy (Amy Adams) menaruh curiga pada Freddie.

Banyak yang mengkritisi jalan cerita The Master yang dianggap tidak jelas tujuannya. Mengatakan  ini kisah tentang sebuah organisasi cult rasanya kurang tepat, mengingat The Cause sebenarnya tidak terlalu dieksplorasi. Kita tidak diberi tahu secara detail tentang ajaran apa yang disebarkan selain pemahaman filosofis mengenai a previous life. Film ini juga bukan menelusuri kisah Lancaster Dodd sebagai sang master dari organisasi tersebut. Sosoknya memang memunculkan beberapa pertanyaan tentang sifatnya hingga motivasinya dalam mendirikan The Cause juga tetap dibiarkan tak terjawab. Sosoknya terasa ambigu, namun kita tahu bahwa sebenarnya Dodd mempunyai masa lalu yang mungkin tidak kalah kelamnya jika dibandingkan masa lalu dari Freddie. Dia mampu membuat orang lain mengikuti ajarannya. Dia mampu membuat pengikutnya percaya pada kata-kata dan filosofinya, tapi disisi lain terasa ada pula keraguan tentang sesuatu dalam dirinya. Hubungannya dengan Freddie sendiri bisa dibilang menimbulkan pertanyaan. Apa yang membuat mereka begitu dekat dan punya ikatan yang sangat kuat? Ini jelas bukan sekedar hubungan guru dan murid atau teman biasa. Ini lebih seperti bromance yang tercipta lewat sebuah hubungan yang unik. 
Dodd begitu peduli pada Freddie bahkan mengkalim sebagai satu-satunya orang yang menyukai Freddie. Disaat semua orang ragu, Dodd justru terus berusaha menyembuhkan kegilaan Freddie. Sedangkan disisi lain, Freddie nampaknya tidak terlalu terpikat dengan filosofis yang diajarkan Dodd, tapi dia terpukau dengan karisma yang ditunjukkan sang master dan bagaimana Dodd bisa dengan begitu lihai menarik banyak orang. Freddie selalu terlihat terpukau dan senang saat menyaksikan Dodd berbicara didepan para pengikutnya dengan penuh keyakinan. Sepanjang film kita memang akan diperlihatkan bagaimana berbedanya Freddie dan Dodd. Freddie yang terus terjerumus pada kegilaan dan kencanduan alkoholnya terlihat sebagai sosok urakan yang tidak jelas. Berbeda dengan Dodd yang penuh filosofi luar biasa, kepintara ilmiah dan karisma yang mampu membuatnya dicintai para pengikutnya. Tapi pada akhirnya benarkah Dodd lebih yakin pada apa yang ia percayai daripada Freddie? Karena pada akhirnya The Master mempunyai sebuah ending yang bisa dibilang cukup ambigu mengenai pertanyaan tersebut disaat Freddie dan Dodd masing-masing menentukan bagaimana mereka melanjutkan hidup.
The Master berulang kali menyinggung mengenai masa lalu dari sudut pandang tiap-tiap karakternya. Ajaran The Cause berfokus mengenai mencari jalan keluar lewat masa lalu. Lancaster Dodd secara tersirat mempunyai masa lalu yang cukup kompleks dan itu juga terlihat dari ajaran yang ia sebarkan. Sedangkan Freddie jelas punya berbagai masalah di masa lalunya yang dieksplorasi cukup dalam, dan itu mempengaruhi perilakunya di masa sekarang. Terasa sangat jelas pula bahwa The Master punya banyak hal untuk disampaikan. Namun sekilas PTA terasa kurang mengeksplorasi secara maksimal hal-hal tersebut, hingga banyak yang beranggapan film ini tidak jelas maksudnya ingin bercerita tentang apa, dan mungkin akan terasa terlalu ambisius dalam berutur. Tapi bagi saya sendiri, sebenarnya The Master punya jawaban akan semua itu, hanya saja PTA tidak menampilkannya secara gamblang dan lebih memilih bertutur dengan hal-hal tersirat yang mungkin akan terlewat oleh penonton. Sebenarnya The Master dan There Will Be Blood punya beberapa kesamaan dalam beberapa hal, diantaranya adalah tentang pencarian seseorang akan penyembuhan spiritual terhadap dirinya. 

The Master punya kekuatan yang maksimal dari berbagai aspek teknis. Gambar-gambar indah silih berganti mengisi adegan demi adegan dalam filmnya. Keindahan itu makin diperkuat dengan isian musik dari Jonny Greenwood. Gitaris Radiohead ini berhasil memberikan suguhan musik yang dengan begitu baik mampu membangun suasana filmnya. Tentunya musik dari Jonny Greenwood bukanlah musik biasa. Layaknya musik yang ia munculkan dalam lagu-lagu Radiohead, bunyi-bunyian aneh tetap akan terdengar dalam film ini. Tapi adegan-adegan terbaik dalam The Master tidak hanya mengandalkan gambar indah ataupun isian musik Jonny Greenwood. Adegan-adegan sederhana pun bisa terasa luar biasa berkat pengemasan dari PTA dan tentunya akting maksimal dari para pemainnya. Salah satu adegan terbaik yang disajikan secara sederhana tentunya disaat Dodd melakukan sebuah sesi tanya jawab dengan Freddie yang berujung pada terungkapnya beberapa fakta dari masa lalu Freddie. Disitu kita hanya akan diperlihatkan close-up dari ekspresi wajah Joaquin Phoenix. Saya begitu menyukai bagaimana kuatnya emosi yang ditampilkan lewat ekspresi dan cara Joaquin Phoenix mengucapkan dialognya di adegan tersebut.

Pada akhirnya jika bicara tentang departemen akting, The Master memang unggul dalam hal tersebut. Film ini mendapat tiga nominasi pada Oscar 2013, dan semuanya datang dari departemen akting. Joaquin Phoenix mendapat nominasi Best Actor lewat sebuah penampilan yang bagi saya pribadi adalah yang terbaik jika dibandingkan nominator lainnya. Phoenix mampu menciptakan karakterisasi yang begitu kuat pada sosok Freddie lengkap dengan ciri khas baik dari gestur badan hingga ekspresi wajah. Saya selalu suka bagaimana tatapan mata dan senyumnya yang berbicara banyak meski tidak ada satu katapun yang terucap dari mulutnya. Dinamika emosi yang ia mainkan juga begitu luar biasa. Saya akan lebih memilih Joaquin Phoenix dibandingkan Daniel Day-Lewis. Sedangkan Philip Seymour Hoffman dan Amy Adams masing-masing mendapat nominasi Best Supporting Actor dan Best Supporting Actress. PSH sanggup memperlihatkan sosok Lancaster Dodd yang berkharisma dan pandai mengolah kata untuk membawa seseorang masuk ke alam meditasi mereka. Tapi yang lebih kompleks adalah disaat PSH sanggup memperlihatkan betapa kompleksnya kepribadian Dodd yang tidak terlihat dari luar namun tersirat dari beberapa momen. Sedangkan Amy Adams mungkin tidak terlalu banyak dieksplorasi tapi tiap kata yang keluar dan tatapn matanya yang dingin selalu menjadi momen yang luar biasa.

The Master mungkin bukan karya terbaik Paul Thomas Anderson, tapi jelas salah satu film terbaik 2012 sekaligus salah satu film paling underrated. Saya sama sekali tidak merasa film ini minus arah yang jelas dalam ceritanya, karena PTA sudah memperlihatkan dan mengeksplorasi semua hal tersebut, hanya saja tidak ia sajikan secara gamblang dan lebih tersirat. The Master adalah sajian 137 menit yang tidak pernah membosankan, terasa begitu powerful dan punya keindahan tersendiri.

6 komentar :

Comment Page:

WRECK-IT RALPH (2012)

8 komentar
Akhir-akhir ini nampaknya film yang memberikan tribute atau penghormatan terhadap suatu genre sedang sering dibuat, dan mayoritas punya kualitas yang baik. Ada The Cabin in the Woods yang memberikan penghormatan pada film horror, The Artist pada film bisu, Frankenweenie pada film monster, bahkan Skyfall juga memberikan berbagai penghormatan pada film-film James Bond lama. Kali ini giliran Walt Disney lewat film animasi ke-52 mereka yang memberikan penghormatan, bedanya bukan penghormatan pada suatu genre film melainkan kepada video games atau lebih tepatnya arcade game yang sempat booming pada era 90-an. Sambutlah Wreck-it Ralph, sebuah film yang sudah begitu dinantikan oleh para gamer. Jika Toy Story bercerita tentang mainan yang hidup dan punya perasaan, maka Wreck-it Ralph adalah kisah tentang bagaimana jika para karakter dalam video game sebenarnya hidup dan berinteraksi satu sama lain. Dunia dalam film ini memang mengingatkan pada Toy Story, dimana para karakter dalam game akan hidup layaknya manusia dan saling berinteraksi jika game center sudah tutup dan tidak ada orang disana. Apa jadinya jika para karakter villain dalam game sebenarnya bukanlah sosok yang sama sekali jahat? Apa jadinya jika mereka menjadi jahat hanya karena peran mereka dalam dunia game tersebut? Lalu apa jadinya jika mereka justru ingin menjadi baik?

Begitulah yang dialami oleh Ralph, sosok penjahat dalam game Fix-it Felix, Jr. Pekerjaan yang ia lakukan tiap hari adalah menghancurkan gedung yang kemudian akan diperbaiki oleh Felix Jr. ,sosok protagonis dalam game tersebut yang dikendalikan oleh para gamer. Tapi masalahnya, dengan menjadi sosok penjahat ia justru dijauhi dan ditakuti oleh penduduk dalam game tersebut. Disaat Felix Jr. mendapat puja puji, punya banyak teman, mendapat medali emas dan tinggal di rumah mewah, Ralph justru dijauhi dan tinggal di tumpukan sampah. Hal tersebut membuat Ralph jengah. Hal itulah yang mendorongnya melakukan perbuatan terlarang dalam dunia game, yaitu berpindah ke game lain untuk menjadi sosok jagoan guna mendapatkan medali dan membuktikan pada orang-orang bahwa ia juga bisa menjadi baik. Dalam usahanya itu ia berpindah-pindah game, mulai dari game FPS berjudul Hero's Duty hingga game balapan anak-anak berjudul Sugar Rush. Disana ia juga bertemu dengan Vanellope, seorang karakter game yang juga dijauhi karena mengalami kerusakan. Tapi tanpa disadari oleh Ralph, perbuatannya justru memunculkan bahaya yang bisa menghancurkan dunia game tersebut.

8 komentar :

Comment Page:

TRICK 'R TREAT (2007)

5 komentar
Jika ditanya film apakah yang paling melambangkan hari Halloween, mungkin banyak yang akan menjawab franchise Saw atau Paranormal Activity yang memang tiap tahunnya selalu merilis film pada sekitar bulan Oktober. Ya, tanggal 31 Oktober memang selalu diperingati sebagai hari untuk menghormati mereka yang sudah meninggal. Tapi apakah kedua film yang saya sebutkan diatas memang mewakili semangat Halloween? Rasanya tidak. Memang keduanya merupakan tontonan horror, tapi seperti anak-anak yang hanya menginginkan permen atau orang dewasa yang tidak peduli lagi pada esensi Halloween, film-film tersebut juga tidak memberikan cerminan sesungguhnya akan hari tersebut. Jadi mari kita sambut Trick 'r Treat, sebuah film karya Michael Dougherty (penulis naskah X2 dan Superman Returns) yang diluar dugaan mampu menyajikan sebuah tontonan horror yang cerdas sekaligus mengangkat berbagai urban legend yang mengiringi perayaan Halloween. Menonton film ini saya bagaikan diajak ke sebuah negeri dongeng berhiaskan hiasan Jack-o'-lantern dan penuh makhluk-makhluk misterius yang senang akan tumpahnya darah.

Film ini adalah sebuah antologi yang berisi beberapa cerita seram yang terjadi pada suatu malam Halloween di sebuah kota. Film dibuka dengan sebuah cerita pembuka tentang sepasang suami istri, yang baru saja pulang kerumah setelah menghadiri pesta perayaan Halloween. Hal mengerikan telah menanti mereka saat sang istri melanggar salah satu pantangan di hari Halloween, yakni mematikan sebuah jack-o'-lantern yang masih menyala. Lalu ada seorang kepala sekolah yang punya sebuah hobi mengerikan dan sadis. Sedangkan sang tetangga yang merupakan seorang pria tua pemarah yang membenci Halloween tidak tahu bahwa sebuah teror tengah menantinya. Di tempat lain sekumpulan anak kecil bermain-main dengan horror tanpa tahu akibat yang akan mereka tanggung. Terakhir ada kisah tentang beberapa wanita yang berniat berpesta liar bersama banyak pria di malam itu. Tapi pesta tersebut tentunya akan menjadi sebuah horror mengerikan penuh darah. Semua kisah itu punya benag merah, dan salah satu yang menghubungkannya adalah kemunculan sosok kecil misterius memakai piyama orange dan penutup muka dari karung yang selalu muncul dalam setiap kisah. Nama sosok misterius itu adalah Sam.
Entah bagaimana film sebagus ini berakhir sebagai film yang langsung dirilis ke DVD. Ya, Trick 'r Treat tidak mendapat penayangan di bioskop dan hanya ditayangkan dalam beberapa screening festival sebelum berakhir menjadi direct-to-dvd. Padahal jika dibandingkan Saw ataupun Paranormal Activity, jelas film ini jauh lebih bagus, lebih menyeramkan dan punya cerita yang ratusan kali lebih cerdas dari kedua franchise tersebut. Sebenarnya film ini tidak termasuk dalam film yang sangat menakutkan dan membuat saya ingin memencet tombol pause karena tegang dan ketakutan. Film ini memang punya gore yang cukup efektif namun tidak berlebihan seperti Saw. Saya katakan tidak berlebihan karena memang penempatan adegan gore tersebut tepat sasaran dan tidak asal diumbar. Begitu juga suasana tegang yang diciptakan lewat atmosfer maupun berbagai desain makhluk mistis yang ditampilkan. Mulai dari sosok Sam hingga beberapa makhluk jadi-jadian yang muncul semuanya terlihat begitu menyeramkan. Bahkan sekumpulan anak kecil dengan topeng hantu sudah terasa creepy. Unsur horror yang ada memang tidak sampai masuk golongan super seram ataupun membuat jantung serasa mau copot, tapi penempatannya yang pas membuat film ini enak untuk diikuti.

Tapi tentu saja kelebihan utama dari Trick 'r Treat adalah bagaimana Michael Dougherty mampu membuat sebuah dunianya sendiri hingga akhirnya mampu membentuk serangkaian cerita yang cerdas. Ceritanya cerdas karena mampu menggabungkan berbagai macam mitos dan cerita-cerita yang beredar dalam legenda Halloween. Belum lagi pemberian twist cerdas nan unpredictable dalam tiap-tiap kisahnya yang makin membuat film ini menarik untuk diikuti. Dari opening-nya memang menarik, tapi saya tidak mengira ini akan jadi sebuah horror yang penuh kejutan dalam ceritanya. Masing-masing ceritanya akan memberikan twist yang mampu membuat sumpah serapah keluar dari mulut saya yang dibuat terkejut dan tidak menduga akan dibawa kearah sana. Ini memang sebuah tontonan horror, tapi juga bagaikan sebuah perjalanan ke negeri dongeng dimana Halloween adalah sebuah keseharian. Dougherty juga jeli menghubungkan satu kisah dengan yang lain sehingga semuanya tetap terasa saling berhubungan tanpa membuat penontonnya kebingungan dan berhasil membuat penonton merasa bahwa semua kisahnya memang terjadi dalam universe atau dunia yang sama.

Michael Dougherty tahu benar tentang apa yang ingin dia ceritakan. Dia punya tujuan yang jelas akan dibawa kemana filmnya, dan pada akhirnya pengemasan yang ia lakukan menjadi terasa sangat spesial. Dengan unsur horror yang punya formula pas, cerita yang saling berkaitan dengan baik, bahkan beberapa unsur komedi gelap yang memberikan nuansa kartun dalam kisahnya ditambah twist yang pintar membuat Trick 'r Treat bukan hanya menjadi sebuah film horror biasa melainkan dongeng gelap, sebuah dark tale yang juga merupakan sebuah surat cinta yang sesungguhnya pada hari Halloween, dan bukan sekedar aji mumpung layaknya dua franchise yang sudah saya sebutkan di atas.

5 komentar :

Comment Page:

YOU ONLY LIVE TWICE (1967)

2 komentar
Dengan bujet yang kembali meningkat menjadi $10 juta, You Only Live Twice yang merupakan film kelima James Bond ini sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang spesial. Beberapa inovasi kecil dalam Bond formula diterapkan disini. Film ini sudah dibuka dengan adegan yang cukup menarik saat James Bond diperlihatkan terbunuh di Hong Kong lalu kita akan diajak melihat adegan pemakaman sang agen rahasia di tengah laut. Tentu saja kita tahu bahwa Bond masih hidup dan itu semua memang hanya sebuah trik untuk mengecoh perhatian musuh-musuhnya supaya mengira dia sudah tewas. Kemudian opening theme juga dikemas dengan baik, di mana kita akan disuguhi lagu You Only Live Twice yang diberi sentuhan tradisional Jepang pada aransemen musiknya, menjadikan lagu tersebut menjadi salah satu favorit saya dalam daftar music theme dalam film 007. Pertemuan antara Bond dengan M dan Miss Moneypenny tentu masih ada, tapi kali ini dilakukan di dalam sebuah kapal selam. Sedikit inovasi namun tetap bisa memberikan cukup variasi terhadap formula tersebut. Tapi inovasi paling besar tentu saja ada pada fakta bahwa cerita film ini tidak mengambil dari novel Ian Fleming. Untuk pertama kalinya film Bond hanya mengambil judul novelnya saja, sedangkan ceritanya adalah cerita baru yang ditulis oleh Ronald Dahl dengan mengambil unsur dari Dr. No.

Kali ini James Bond ditugaskan ke Jepang untuk menyelidiki hilangnya pesawat antariksa milik Amerika Serikat. Pihak Amerika sendiri menuduh Soviet yang menjadi dalang dibalik peristiwa tersebut. Namun pihak intelegen Inggris berpendapat lain setelah mengetahui bahwa pesawat antariksa tersebut mendarat di Jepang. Untuk itulah Bond bekerja sama dengan intelegen Jepang yang dipimpin Tiger Tanaka (Tetsuro Tamba) mencoba menyelidiki kebenaran kasus tersebut dan mencari tahu dalang peristiwa tersebut sebelum perang dunia III meletus akibat perpecahan Amerika dan Soviet. Pada kenyataannya, memang ada pihak ketiga yang bertanggung jawab atas hilangnya pesawat antariksa tersebut, yakni SPECTRE. SPECTRE berusaha mengadu domba Amerika dan Soviet supaya timbul perang antara kedua belah pihak untuk kemudian muncul sebagai kekuatan baru yang akan menguasai dunia. Film ini terasa lebih spesial dengan kemunculan Ernst Stavro Blofeld (Donald Pleasence) atau yang sebelumnya dikenal sebagai number 1 dan merupakan pimpinan SPECTRE. Setelah suara dan sedikit sosoknya pertama muncul dalam From Russia With Love akhirnya Blofeld diperlihatkan sosok sebenarnya disini (meski harus menunggu hingga menit 95). Kemunculan awalnya meyakinkan, sayang porsinya masih terlalu minim dan kurang mengancam jika dibandingkan Auric Goldfinger.

2 komentar :

Comment Page:

THE ABCs OF DEATH (2012)

2 komentar
Pertama mendengar kabar pembuatan film ini saya luar biasa antusias. Bagaimana tidak, ide menggabungkan 26 sutradara horror tergila di seluruh dunia dalam satu film memang terdengar sebagai sebuah ide yang jenius. Saya bertambah antusias lagi saat mendengar bahwa salah satu sutradara Indonesia, yaitu Timo Tjahjanto (Mo Brothers) termasuk salah satu dari 26 sutradara tersebut dimana dia mendapat bagian menggarap huruf L. Ya, disini kita akan melihat 26 film pendek yang masing-masing filmnya mewakili tiap huruf alfabet secara urut mulai dari A-Z. Semua filmnya akan membawa kita pada cerita tentang kematian! Bisa dibilang ini adalah sebuah tontonan mengenai "26 ways to die". Meski pada akhirnya The ABCs of Death tidak memberikan keseraman seperti yang saya harapkan tetap saja ini adalah sebuah film yang cukup menyenangkan ditonton dan menyenangkan untuk dibicarakan, jadi dalam review ini saya akan sedikit mengulas satu per satu filmnya mulai dari A sampai Z. Perjalanan kita diawali oleh segmen A is for Apocalypse yang merupakan sebuah pembuka yang menjanjikan. Menampilkan sedikit gore dan punya suasana sedih nan kelam. Pembuka yang membuat saya tertarik mengikuti rangkaian parade kematian berikutnya.

Tapi saya justru dibuat bosan dengan B is for Bigfoot yang ternyata tidak punya Bigfoot yang seram dan C is for Cycle yang jelas tidak cocok sebagai sebuah film pendek dan berakhir dengan begitu hampa. Baru pada segmen D is for Dogfight yang dikemas lewat efek slo-mo indah, punya tensi menegangkan dan memiliki twist yang bagus saya dibuat kembali tertarik. E is for Exterminate sayangnya kembali terasa datar dan tidak menyeramkan dengan konsep cerita yang juga terasa malas untuk ditulis secara lebih kreatif dan gila. Untungnya ada Noboru Iguchi lewat F is for Fart yang seperti biasa menjadi film gila, konyol dan kocak dari sutradara asal Jepang ini. Saya dibuat tertawa terbahak-bahak dan bersumpah serapah disini. G is for Gravity juga menunjukkan betapa malasnya sang sutradara mengemas kisah ini dan mengapilkasikan gravitiy sebagai penyebab kematian. Dikemas dengan format firs person camera memang jadi nilai plus tapi kematian yang ada jelas biasa saja. H is for Hyrdo-Electric Diffusion adalah sebuah konsep kegilaan yang unik, aneh nan menyenangkan untuk ditonton meski lebih kental unsur slapstick comedy daripada horor. I is for Ingrown bisa jadi sebuah film panjang yang bagus seperti Martyrs. Namun sebagai film pendek, segmen ini tidak terlalu spesial meski juga tidak buruk.

2 komentar :

Comment Page:

RUBY SPARKS (2012)

4 komentar
Pernahkah anda bermimpi tentang seseorang yang terasa begitu sempurna, dan dalam mimpi itu anda jatuh cinta pada orang tersebut? Anda tidak tahu siapa dia, sosoknya terasa asing, tapi anda merasa dia begitu sempurna dan anda merasakan cinta yang luar biasa saat itu. Lalu pernahkah anda mengalami sebuah keajaiban dalam hidup anda sampai anda tidak bisa percaya keajaiban tersebut terjadi? Inilah Ruby Sparks sebuah film yang disutradarai oleh Jonathan Dayton dan Valerie Faris (dua orang yang dulu mempersembahkan Little Miss Sunshine pada kita) serta ditulis naskahnya oleh Zoe Kazan. Zoe Kazan sendiri ikut bermain di film ini menjadi karakter Ruby Sparks. Sedangkan jajaran nama lain yang menjadi pemain juga menjanjikan, mulai dari Paul Dano, Annette Bening, Antonio Banderas, Eliott Gould hingga Chris Messina. Banyak yang membandinkan film ini dengan (500) Days of Summer yang notabene adalah film favorit saya. Pada akhirnya kisah yang ditampilkan memang jauh berbeda, tapi Ruby Sparks punya pernak-pernik cinta yang sama, karakter yang sama-sama lovable, dan sama-sama mendobrak batas sebuah komedi romantis. Beda kisah, namun keindahan dan keajaiban cinta yang disuguhkan kedua film ini sama.

Calvin Weir-Fields (Paul Dano) adalah seorang novelis muda yang begitu berbakat. Novel yang dulu ia tulis laku keras dan mendapat pujian dimana-mana. Namanya terkenal sebagai novelis muda jenius, meski dia sendiri mengaku membenci sebutan jenius tersebut. Tapi kini ia sedang mengalami writer's block. Disaat semua orang masih percaya akan kejeniusan dan menunggu karya berikutnya dari Calvin, dia justru sedang mengalami fase yang sulit. Dia ditinggalkan oleh kekasihnya, buntu ide, dan merasa benar-benar kesepian. Bahkan Calvin sampai harus bertemu dengan therapist untuk mengangani masalahnya ini. Namun akhir-akhir ini Calvin sering mendapatkan mimpi yang aneh. Dia bermimpi ada seorang wanita yang tidak ia kenal muncul di mimpinya. Tapi ia merasa begitu mengenal wanita tersebut. Sampai disaat ia mendapat tugas untuk menulis satu halaman cerita dari sang terapis, Calvin memutuskan menulis tentang wanita tersebut yang ia beri nama Ruby Tiffany Sparks. Menulis tentang Ruby membuat Calvin penuh dengan inspirasi lagi, sampai suatu hari saat ia bangun sosok Ruby sudah menjadi nyata dan tinggal bersamanya.

4 komentar :

Comment Page:

THE LAST STAND (2013)

Tidak ada komentar
Memang lewat The Expendables dan sekuelnya kita bisa melihat penampilan Arnold Schwarzenegger di layar lebar, khususnya di film kedua saat dia bersama Stallone dan Willis bersama menembaki para musuh.Tapi kapan terakhir kali sang Governator menjadi tokoh utama dalam filmnya? Jawabannya adalah satu dekade yang lalu dimana ia bermain di Terminator 3: Rise of the Machines. Pada akhirnya saat masa jabatannya sebagai Gubernur berakhir pada tahun 2011 lalu Schwarzenegger menyatakan siap kembali berakting. Yep, he's back! Kendaraan pertama Arnold untuk melakukan come back adalah The Last Stand yang juga menjadi debut film Amerika pertama bagi sutradara asal Korea, Kim Ji-woon. Tentu saja saya bersemangat menyambut film ini. Arnold adalah salah sato action star favorit saya yang filmnya jelas jauh lebih bagus daripada film-film Stallone dan Van Damme. Sedangkan Kim Ji-woon sudah menelurkan banyak film-film hebat dan gila dimana salah satunya adalah I Saw the Devil yang bagi saya adalah salah satu film terbaik di tahun 2011 lalu. Trailer-nya memang terlihat biasa saja, seperti sebuah film aksi generik tahun 80-an, tapi ternyata The Last Stand memberikan hiburan yang jauh lebih menyenangkan dan come back yang layak bagi Arnold.

Di sebuah kota kecil bernama Sommerton Junction yang terletak di Arizona, tinggal seorang Sherrif bernama Ray Owens (Schwarzenegger) yang mencari ketenangan setelah selama ini menjalani kehidupan yang keras sebagai polisi bagian narkotika di Los Angeles. Di kota kecil yang tenang itu, Ray hanya punya tiga anak buah yaitu Mike Figuerola (Luis Guzman) yang hobi menembak daging bersama Lewis Dinkum (Johnny Knoxville) yang aneh dan gemar mengoleksi senajata, Sarah Torrance (Jaimie Alexander) yang bermasalah dengan sang mantan kekasih, Frank Martinez (Rodrigo Santoro) dan yang terakhir adalah deputi muda Jerry Bailey (Zach Gilford) yang berkeinginan menjadi polisi di Los Angeles seperti Ray. Suatu hari ketenangan kota itu terganggu disaat Gabriel Cortez (Eduardo Noriega) seorang bandar narkoba kelas kakap yang tengah dibawa oleh FBI tiba-tiba kabur dan berusaha lari ke Meksiko. Kubu FBI dibuat kewalahan dengan Cortez dan anak buahnya. Semua usaha untuk menghentikan Cortez yang melaju kencang sambil membawa sandera seorang agen FBI, Ellen Richards (Genesis Rodriguez) berhasil digagalkan. Sampai akhirnya Cortez sampai ke Sommerton Junction untuk menyeberang. Tapi disana perlawanan terakhir dari Ray dan para deputinya sudah menunggu.

Tidak ada komentar :

Comment Page: