SEARCHING FOR SUGAR MAN (2012)

Tidak ada komentar
Nama Sixto Rodriguez mungkin akan terdengar asing bagi para pecinta musik di Indonesia. Namun di Afrika Selatan namanya begitu dipuja, bahkan konon disana nama Sixto Rodriguez lebih tenar dibandingkan Elvis maupun Bob Dylan. Bagaimana bisa seorang musisi yang sepanjang karirnya hanya menelurkan dua album yang keduanya jeblok di pasaran menjadi begitu terkenal di Afrika Selatan dan melebihi ketenaran musisi legendaris macam Bob Dylan dan Elvis yang notabene mampu menjual jutaan keping album di seluruh dunia? Searching for Sugar Man adalah sebuah dokumenter karya Malik Bendjelloul yang berhasil menjadi film dokumenter terbaik di ajang Oscar 2013. Film ini bercerita tentang usaha Stephen 'Sugar' Segerman dan Craig Bartholomew Strydom, dua orang fans Sixto Rodriguez dari Cape Town, Afsel untuk mencari sang idola di akhir tahun 90-an. Ya, meskipun begitu terkenal di Afrika Selatan, namun keberadaan Rodriguez selalu menjadi misteri. Data mengenai dirinya begitu jarang, hampir tidak ada orang yang mengenalnya secara personal, bahkan ada kabar yang mengatakan bahwa Rodriguez telah meninggal bunuh diri saat konser. Kabar itupun simpang siur. Ada yang mengatakan Rodriguez menembak dirinya sendiri dan ada pula yang mengatakan Rodriguez membakar dirinya. Namun semua itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya.

Tapi satu hal yang diketahui secara pasti oleh orang-orang di Afrika Selatan, yaitu bahwa lagu-lagu milik Rodriguez sudah memberikan inspirasi yang luar biasa baik pada para musisi atau lebih pentingnya kepada para pejuang anti-apartheid. Lagu milik Rodriguez pada akhirnya menjadi anthem bagi para musisi sekaligus aktivis di Afrika Selatan untuk menentang apartheid. Pada akhirnya meskipun kedua album Rodriguez, Cold Fact dan Coming from Reality gagal total di Amerika, berkat informasi mulut ke mulut albumnya berhasil terjual hingga angka 500.000 keping yang merupakan salah satu penjualan tertinggi sepanjang sejarah di Afrika Selatan. Searching for Sugar Man akan membawa kita ikut menelusuri jejak pencarian Segerman dan Strydom terhadap Sixto Rodriguez. Film ini begitu baik dalam membangun kesan penonton terhadap Rodriguez. Diawal sosoknya bagaikan seorang ksatria bergitar misterius yang bersembunyi di sudut kota sehingga jarang orang yang tahu sosoknya. Hanya lagu-lagu indahnya yang diketahui oleh orang lain. Perlahan kisahnya mulai berkembang dimana kita mulai tahu bahwa meskipun gagal di Amerika, lagu-lagu Rodriguez begitu menginspirasi dan digemari di Afrika Selatan. Tapi masih saja sosoknya misterius. Pada titik ini, saya mampu dibuat bertanya-tanya mengenai keberadaan serta sosok sesungguhnya dari Rodriguez.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SNITCH (2013)

Tidak ada komentar
Dwayne Johnson bagaikan sebuah jaminan akan hadirnya sebuah film aksi yang seru dan kental dengan nuansa machoisme. Urusan akting memang tidak spesial namun sebenarnya juga tidak bisa dikatakan buruk. Maka dari itu namanya seolah menjadi jaminan keberhasilan sebuah film. Bahkan franchise macam Fast & Furious saja bisa kembali mendapatkan nafasnya disaat Johnson bergabung di Fast Five. Disaat era Stallone maupun Schwarzenegger telah usai, Dwayne Johnson bersama Jason Statham kini menjadi ujung tombak dalam genre ini. Maka dari itu disaat film terbarunya yang berjudul Snitch dirilis saya mengharapkan sebuah film action yang penuh aksi seorang Dwayne Johnson dengan otot-otot besarnya menghajar tiap musuh yang ditemui. Melihat posternya yang menampilkan sosok sangar sang aktor saya makin yakin bahwa ini adalah sajian yang mungkin tidak terlalu banyak memakai otak tapi yang pasti akan banyak otot yang dihadirkan disini. Namun ternyata Snitch bukanlah tipikal film seperti yang saya harapkan karena dibandingkan adegan aksi akan lebih banyak drama disini. Yang paling mengejutkan adalah Dwayne Johnson tidak bermain sebagai karakter tangguh yang sanggup menghajar 10 orang sekaligus ataupun meledakkan markas musuh sendirian. Disini dia berperan sebagai John Matthews, seorang pria biasa pemilik sebuah perusahaan konstruksi.

Konflik dalam Snitch dimulai saat Jason (Rafi Gavron), putera John dari pernikahan pertamanya ditangkap polisi atas tuduhan mengedarkan narkoba. Mengetahui bahwa puteranya tidak bersalah, John berusaha melakukan apapun untuk menghindarkan Jason dari hukuman 10 tahun penjara termasuk berusaha melakukan perjanjian dengan jaksa wilayah Joanne Keeghan (Susan Sarandon). Akhirnya Joanne sepakat untuk mengurangi masa tahanan Jason selama setahun asalkan John bersedia membantu menangkap Malik (Michael Kenneth Williams) yang merupakan seorang pemasok narkoba besar disana. John akhirnya bersedian untuk menyamar sebagai kurir narkoba dengan menggunakan truk perusahaan miliknya. Namun hal diluar dugaan terjadi saat misi tersebut justru membawa John pada lingkaran krimina yang jauh lebih besar dan tentunya makin membahayakan dirinya beserta seluruh keluarganya. Mungkin filmnya penuh dengan nuansa kriminal yang melibatkan kartel narkoba kelas kakap. Namun seperti yang sudah saya sebutkan bahwa Snitch nyatanya bukanlah film penuh rangkaian adegan aksi meskipun punya Dwayne Johnson di dalamnya. Snitch nampak berusaha menggabungkan court room drama tentang usaha seorang ayah berunding dengan jaksa supaya sang anak bisa bebas dengan action-crime tentang usaha melacak gembong pengedar narkoba.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THREE YEARS OF BLOGGING

7 komentar
Dalam 21 tahun hidup saya, melakukan sebuah kegiatan yang sifatnya tidak wajib selama tiga tahun dan masih terus berjalan adalah sebuah hal yang bisa dikatakan prestasi. Saya yang mudah bosan akan sesuatu ini memang jarang melakukan suatu hal yang memasuki hitungan tahunan. Maka dari itu usia blog yang sudah tiga tahun ini adalah sebuah pencapaian bagi saya pribadi, apalagi hingga saat ini saya masih cukup rajin menulis review disini dan masih tetap menikmatinya. Dari situlah saya makin yakin bahwa saya benar-benar mencintai film dan segala hal-hal yang berkaitan dengannya. Untuk urusan menulis saya bukanlah seorang penulis yang baik dimana itu bisa dilihat dari tulisan-tulisan saya di blog ini yang bisa dibilang asal dan seadanya. Untuk film sendiri saya bukanlah orang yang ahli ataupun mendapat pendidikan formal di bidang perfilman. Tiga tahun lalu saya mulai menulis hanya karena merasa ingin menuangkan apa yang saya rasakan setelah menonton sebuah film. Hal itu perlahan berkembang menjadi sebuah opini saya mengenai film yang saya tonton. Kemudian seiring berjalannya waktu saya makin menemukan kesenangan untuk menggali secara lebih mendalam terhadap film yang saya tonton. Tentu saja pada akhirnya pendapat ataupun interpretasi saya akan sebuah film tidak lebih dari komentar penonton awam biasa dan sama sekali tidak pernah memposisikan diri sebagai ahli perfilman.

7 komentar :

Comment Page:

STAR TREK INTO DARKNESS (2013)

Tidak ada komentar
Saya tidak tumbuh pada masa dimana Star Trek sedang berada di era kejayaan. Pada saat film terakhirnya rilis (Star Trek: Nemesis) saya baru berumur 10 tahun. Apalagi berdasarkan apa yang saya temui di masyarakat, kepopuleran Star Wars mengalahkan Star Trek. Banyak yang menganggap Star Wars dengan segala hal di dalamnya jauh lebih keren dibandingkan Star Trek yang dianggap terlalu geeky. Saya sendiri yang belum pernah menonton satupun film Star Trek tidak bisa membandingkan dua franchise yang saling bersaing ini. Kemudian datang J.J. Abrams dengan reboot miliknya di tahun 2009 lalu. Disaat sang pesaing sedang "tertidur", Abrams membawa Star Trek ke era baru, membuatnya menjadi sebuah tontonan yang keren, menggaet fans baru sekaligus membuat para Trekkies (fans Star Trek) kembali berbangga hati sebagai penggemar fanatik. Kini Abrams pun kembali dipercaya menahkodai sekuelnya yang sempat direncanakan rilis pada 2012 tapi mundur setahun karena Abrams menginginkan hasil yang lebih maksimal. Dengan bujet lebih besar, kembalinya bintang lama seperti Chris Pine, Zachary Quinto dan Zoe Saldana serta munculnya pemain baru macam Benedict Cumberbatch dan Alice Eve, Into Darkness siap membawa kita mengikuti penjelajahan baru dari USS Enterprise. 

Dalam sebuah misi di Planet Nibiru, Kapten Kirk (Chris Pine) melakukan sebuah keputusan menyelamatkan Spock (Zachary Quinto) yang membuatnya melanggar salah satu peraturan utama di Starfleet. Hal itu membuat Kirk harus turun pangkat dan kehilangan Enterprise yang ia pimpin. Namun terjadilah sebuah serangan terhadap markas Starfleet oleh mantan agen Starfleet John Harrison (Benedict Cumberbatch) yang berujung pada tewasnya Admiral Pike (Bruce Greenwood). Kematian terhadap mentornya membuat Kirk bernafsu untuk memburu Harrison yang diketahui kabur ke Kronos, planet tempat tinggal bangsa Klingon yang selama ini bermusuhan dengan Bumi. Mendapatkan jabatannya kembali sebagai kapten, Kirk kembali memimpin USS Enterprise untuk membunuh Harrison di Kronos dalam sebuah misi rahasia yang berbahaya. Karena jika pihak Klingon mengetahui hal tersebut, akan terjadi perang besar-besaran antara Klingon dan Bumi. Namun begitu tiba di Kronos, Kirk mengetahui bahwa ada fakta serta rahasia yang jauh lebih besar mengenai identitas John Harrison dan motivasinya melakukan serangan terhadap pihak Starfleet. Dengan penggarapan dari Abrams, Star Trek Into Darkness tidak hanya menjadi sebuah tontonan blockbuster musim panas yang penuh dengan adegan aksi bombastis serta efek CGI mewah namun juga punya jalan cerita yang begitu menarik, penuh kejutan serta emosional.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

UPSTREAM COLOR (2013)

3 komentar
Shane Carruth mungkin nama yang asing di telinga penonton film blockbuster dan Upstream Color sendiri barulah film keduanya dalam karirnya selama satu dekade. Meskipun begitu dia sudah mendapatkan reputasi di kalangan pecinta film dimana film debutnya yang rilis pada 2004, Primer sudah mendapatkan status cult. Primer sendiri adalah sebuah debut yang luar biasa dengan menyajikan narasi rumit sekaligus alur cerita mengenai perjalanan waktu yang begitu cerdas. Saya teringat menonton film tersebut hingga dua sampai tiga kali untuk bisa mengerti keseluruhan ceritanya. Carruth sendiri baik di film tersebut maupun Upstream Color ini tidak hanya bertindak sebagai sutradara namun juga sebagai penulis naskah, aktor utama, komposer musik, sinematografer sekaligus editor. Berbeda dengan Primer, Upstream Color punya narasi yang bisa dibilang lebih abstrak sekaligus konten cerita yang lebih mendalam. Ya, ini bukan lagi "sekedar" kisah perjalanan waktu dan pertanyaan eksistensi seperti Primer. Upstream Color adalah sebuah perjalanan lebih jauh dalam mempertanyakan eksistensi dan kehidupan manusia. Narasi dibuka dengan memperlihatkan sosok Thief (Thiago Martins) yang menggunakan ulat untuk menciptakan sebuah minuman/obat yang sanggup digunakan untuk mengontrol pikiran orang lain.

Lalu ada sosok wanita bernama Kris (Amy Seimetz) yang nantinya akan berkonfrontasi dengan Thief. Thief menculik Kris dan memasukkan ulat miliknya kedalam tubuh Kris dan membuat Kris dapat berperilaku sesuai dengan apa yang Thief inginkan termasuk menguras semua tabungan miliknya. Pada akhirnya dengan bantuan seorang bernama Sampler (Andrew Sensenig), Kris dapat mengeluarkan ulat dalam tubuhnya yang sudah berkembang sedemikian besar dan mentransfernya kedalam tubuh seekor babi. Dalam kondisi hidup yang sedang tidak baik, Kris bertemu dengan Jeff (Shane Carruth) dimana mereka berdua pada akhirnya saling suka dan menjalin romansa. Namun satu hal yang tidak mereka sadari bahwa kehidupan mereka sekarang tidak berjalan seperti apa yang mereka pernah tahu sebelumnya. Kini hidup mereka "terikat" dengan berbagai macam kehidupan mulai dari makhluk mikroskopis, babi di peternakan, hingga tumbuhan-tumbuhan di alam sekitar mereka. Sulit menuliskan plot dari Upstream Color dengan berbagai hal abstrak dan metafora yang kental di dalamnya. Dalam pengalaman menonton yang pertama, saya tersesat cukup jauh dalam kebingungan mengenai bercerita tentang apakah film ini sesungguhnya. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa salah satu kunci terbesar untuk menafsirkan film ini terdapat pada buku Walden karya Henry David Thoreau yang bukunya banyak muncul bahkan dibacakan dalam film ini.

3 komentar :

Comment Page:

THE PLACE BEYOND THE PINES (2013)

1 komentar
Keberadaan Ryan Gosling dan Bradley Cooper dalam satu film jelas sebuah daya tarik yang luar biasa. Keduanya adalah aktor yang menjadi hot property di Hollywood setidaknya dalam dua tahun terakhir. Gosling menguasai tahun 2011 dengan tiga film dan setelah absen setahun ia kembali lagi dengan tiga film sekaligus (bahkan bisa empat andaikan filmnya dengan Terrence Malick jadi rilis tahun ini). Sedangkan Bradley Cooper yang semenjak penampilannya di The Hangover pada 2009 lalu mulai menikmati kesuksesan sedang berada di puncak karirnya setelah meraih nominasi Oscar tahun ini lewat Silver Linings Playbook. Namun The Place Beyond the Pines tidak hanya punya mereka berdua. Berbagai nama besar lain turut menghiasi film ini mulai dari Eva Mendes, Ray Liotta, Rose Byrne hingga Dane DeHaan yang mencuri perhatian lewat Chronicles dan akan berperan sebagai Harry Osborn di The Amazing Spider-Man 2 tahun depan. Disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Derek Cianfrance yang sebelumnya menyutradarai Blue Valentine (juga dibintangi Ryan Gosling), The Place Beyond the Pines bercerita tentang setidaknya tiga cerita besar yang saling berkaitan dan punya efek sebab-akibat satu sama lain.

Luke Glanton (Ryan Gosling) adalah pria yang tiap malam bekerja sebagai seorang stuntman sepeda motor, sebuah atraktsi yang kurang lebih sama dengan Tong Stand/Tong Setan di Indonesia. Luke sendiri sempat menjalin hubungan singkat dengan seorang pelayan restoran bernama Romina (Eva Mendes). Namun akibat tuntutan pekerjaan ia harus meninggalkan Romina untuk berkeliling ke berbagai tempat. Setahun kemudian ia kembali dan mendapati fakta mengejutkan bahwa Romina sudah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Jason yang merupakan hasil hubungannya dengan Luke. Hal tersebut mengubah jalan hidup Luke selamanya. Merasa perlu bertanggung jawab dia memilih berhenti dari pekerjaan dan menetap di kota tersebut supaya bisa menghidupi Romina dan Jason. Sadar bahwa satu-satunya kemampuan yang ia miliki adalah skill mengendarai sepeda motor yang diatas rata-rata ia menerima tawaran Robin (Ben Mendelsohn) untuk merampok bank. Hal itulah yang membuat Luke pada akhirnya harus berurusan dengan seorang polisi muda bernama Avery Cross (Bradley Cooper). Bagi Avery, konfrontasi singkatnya dengan Luke telah merubah hidupnya. Bahkan tidak hanya mempengaruhi hidup Avery, tapi juga hidup orang lain termasuk Jason dan Romina. Sebuah konfrontasi beberapa detik yang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang bahkan hingga 15 tahun kemudian.

1 komentar :

Comment Page:

TEXAS CHAINSAW (2013)

1 komentar
The Texas Chainsaw Massacre buatan Tobe Hooper yang dirilis pada tahun 1974 bisa dibilang merupakan salah satu pondasi utama dalam genre film slasher. Mungkin bukan yang pertama, tapi film tersebut termasuk yang memantapkan formula tentang sekelompok remaja bodoh yang berlibur ke tempat terpencil untuk kemudian satu demi satu melakukan hal bodoh yang menyebabkan mereka tewas dibantai oleh sesosok pembunuh berdarah dingin, biasanya makin sadis makin baik. Dalam film slasher, cerita memang di nomor sekiankan. Hal yang paling penting dalam film seperti ini adalah bagaimana cara kematian masing-masing karakternya dikemas dan segila (baca: sekeren) apakah sosok pembunuh yang ditampilkan. TTCM sendiri punya semua hal diatas. Sosok pembunuhnya jelas gila. Siapa tidak kenal Leatherface dengan segala kegilaannya? Memakai topeng kulit manusia, kanibal, senang berdandan seperti perempuan, punya psychological age 8 tahun meski sudah dewasa, dan tentunya bersenjatakan gergaji mesin yang selalu berhasil meneror korban ataupun penonton tiap kali kemunculannya. Belum lagi keberadaan keluarga Sawyer yang sama gila dan juga kanibal makin membuat TTCM terasa begitu mengerikan. Sempat di-remake pada 2003, TTCM berlanjut dengan Texas Chainsaw 3D yang merupakan sekuel langsung dari film originalnya.

Dibuka dengan potongan-potongan dari adegan film aslinya, Texas Chainsaw kemudian memulai kisahnya dengan memperlihatkan apa yang terjadi setelah Sally (protagonis film pertamanya) berhasil kabur dari kejaran Leatherface dan melaporkan kejadian yang baru saja ia alami pada polisi. Tapi ternyata sebelum polisi berhasil melakukan penangkapan, para warga yang tidak terima akan perbuatan keluarga Sawyer memutuskan untuk membakar mereka hidup-hidup termasuk Leatherface yang disini diketahui bernama Jedediah Sawyer. Kemudian kisahnya melompat ke 20 tahun kemudian, dimana narasi berfokus pada Heather Miller (Alexandra Daddario) yang saat itu baru saja mengetahui fakta bahwa dirinya bukan anak kandung kedua orang tuanya. Heather mengetahui hal tersebut setelah mendapat surat warisan dari neneknya yang tinggal di Newt, Texas diamana disitu tertulis bahwa Heather merupakan keturunan terakhir dari keluarga Sawyer. Merasa ingin tahu asal usul yang sebenarnya, Heather bersama teman-temannya memutukan untuk pergi menuju Texas. Disana mereka menemukan bahwa warisan yang diterima oleh Heather adalah berupa mansion yang amat besar. Melihat mansion tersebut, hal wajib yang harus dilakukan oleh para remaja di film slasher tentunya mengadakan pesta di tempat yang masih misterius tersebut. Tentunya kita juga tahu bahwa ternyata di salah satu sudut rumah tersebut,sosok Leatherface dengan gergaji mesin miliknya sudah menanti mangsa.

1 komentar :

Comment Page:

EVIL DEAD (2013)

4 komentar
Sekilas, remake dari Evil Dead ini memang bagaikan dosa terbesar dalam sejarah film horror. Bagaimana tidak, film aslinya yang dibuat oleh Sam Raimi sudah menjadi legenda dalam dunia film horror, bahkan mengibaratkan film tersebut sebagai sebuah kitab suci bagi penggemar horror rasanya tidak berlebihan. Kemudian kita lihat sudah berapa kali kelancangan Hollywood dalam me-remake horror klasik berujung pada kegagalan. Ada Friday the 13th, A Nightmare on Elm Street, Texas Chainsaw Massacre hingga Halloween (judul terakhir mungkin paling mendingan kualitasnya). Namun satu hal yang berbeda dari Evil Dead, karena remake yang satu ini sudah mendapat persetujuan bahkan dukungan dari orang-orang yang terlibat dalam film aslinya, yakni Sam Raimi dan aktor Bruce Campbell. Fede Alvarez yang baru memulai debutnya disini ditunjuk sebagai sutradara. Alvarez sendiri cukup dikenal lewat film pendeknya yang berjudul Panic Attack yang rilis empat tahun lalu. Meski tetap mengundang kontroversi, namun Alvarez nampaknya tahu benar bagaimana melakukan remake terhadap sebuah film klasik. Dia tidak merusak pondasi film aslinya, dan malah memberikan berbagai penghormatan tanpa terlupa untuk memasukkan visi miliknya sendiri dan membuat remake ini tetap terasa baru tanpa merusak yang lama.

Jalan ceritanya sendiri jelas masih berpatokan pada film aslinya yang juga sudah dipakai oleh ratusan film horror masa kini. Lima orang remaja yang jika huruf depan namanya digabungkan membentuk kata DEMON (David, Eric, Mia, Olivia, Natalie) berkumpul di sebuah kabin di tengah hutan milik orang tua David dan Mia. Disana mereka berkumpul dengan sebuah niatan untuk menyembuhkan Mia yang selama ini kecanduan narkoba. David sendiri merasa bersalah karena sebagai kakak dia tidak pernah ada di sebelah Mia dan kali ini berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka. Tapi malam pertama mereka sudah tidak berjalan lancar disaat mereka menemukan sebuah pintu tersembunyi menuju ruang bawah tanah. Bagi yang sudah menonton film aslinya pasti tahu yang akan terjadi berikutnya dimana kelima remaja ini menemukan Book of the Dead, membaca mantra yang ada di dalamnya yang kemudian membangkitkan iblis jahat yang akan satu per satu merasuki mereka dan membunuh semua yang ada disana. Selain tidak adanya sosok Ash Williams, Alvarez memang tidak melakukan perubahan yang berarti pada jalan ceritanya. Tentu saja hal itu bukanlah hal negatif, karena biar bagaimanapun Alvarez seperti yang saya singgung diatas tetap berhasil memadukan elemen film original dengan visi miliknya.

4 komentar :

Comment Page:

JACK REACHER (2012)

Tidak ada komentar
Ada Jack Reacher, ada Jack Ryan, ada pula Alex Cross. Membaca judul dan premisnya saja saya sudah tidak yakin, karena film-film diatas nampak seperti sebuah suguhan aksi yang sedari awal sudah malas memilih judul (pakai saja nama tokoh utamanya, beres) dan saya pun berasumsi ceritanya ditulis secara malas-malasan. Jack Reacher sendiri adalah sebuah adaptasi terhadap novel One Shot karya Lee Child. Karakter Jack Reacher sendiri pertama muncul pada novel Lee yang berjudul Killing Floor pada 1997. Sejak saat itu sudah ada 17 novel yang memunculkan karakter Jack Reacher dalam ceritanya. Hal itu berarti karakternya punya sejarah yang cukup panjang, tidak kalah dari Jason Bourne bahkan lebih panjang. Namun lagi-lagi materi promosi yang terasa malas-malasan mulai dari judul hingga poster filmnya membuat saya memandang sebelah mata terhadap film ini, sebuah film yang nampaknya hanya akan bersenjatakan rentetan adegan aksi dan kharisma seorang Tom Cruise. Pada akhirnya dugaan saya tidak sepenuhnya salah namun juga tidak 100% benar. Jack Reacher memang bukan film dengan cerita yang brilian tapi ternyata lebih cerdas dari yang saya duga.

Di Pittsburgh, Pennsylvania terjadi sebuah insiden penembakan yang menewaskan lima orang. Dari tempat kejadian perkara ditemukan berbagai barang bukti mulai dari selongsong peluru hingga koin yang digunakan untuk membayar parkir. Dari koin tersebut ditemukan sidik jari milik James Barr (Joseph Sikora) yang merupakan mantan sniper dari angkatan darat Amerika Serikat. Namun sayangnya sebelum ia mengakui perbuatannya, Barr sudah terlanjur dipukuli oleh sesam tahanan hingga koma. Dalam proses interogasi sebelumnya tidak ada pengakuan dari mulut Barr, yang ada hanyalah ia menuliskan pesan yang berbunyi Get Jack Reacher! Jack Reacher (Tom Cruise) sendiri juga merupakan mantan militer Amerika yang kini hidup secara misterius. Dia tidak memiliki alamat ataupun data diri lain yang membuat keberadaannya tidak bisa dilacak. Namun secara tiba-tiba Jack Reacher justru muncul dengan sendirinya untuk membantu penyelidikan. Dia pun akhirnya diminta oleh Helen Rodin (Rosamund Pike) yang merupakan pengacara Barr untuk menjadi penyelidik dalam kasus tersebut. Namun penyelidikan tersebut justru memunculkan berbagai fakta baru yang mengejutkan dan membuat kasus yang seolah mudah tersebut menjadi jauh lebih rumit. Ya, sama seperti cerita dalam Jack Reacher yang awalnya saya kira kosong namun ternyata jauh lebih menarik.

Ternyata Jack Reacher bukanlah sekedar film aksi yang hanya mengandalkan rangkaian ledakan dan baku tembak tanpa memperhatikan cerita. Karena diluar dugaan saya, film ini justru cukup menitik beratkan pada elemen investigasi dan menempatkan rentetan adegan aksinya sebagai "pemanis" filmnya. Jack Reacher menawarkan elemen investigasi yang cukup menarik dimana misteri yang ada mampu tersimpan dengan baik hingga pada akhirnya saat satu demi satu fakta mulai terungkap, hal itu menjadi sebuah twist yang menyenangkan meskipun tidak bisa dibilang mengejutkan. Christopher McQuarrie selaku sutradara sekaligus penulis naskahnya juga tidak terlalu terburu-buru ataupun berlebihan dalam menutupi misterinya. Dia membuka tabir misteri tersebut dengan cukup efektif hingga saya bisa dibuat betah menikmati jalinan ceritanya. Walaupun begitu saya tidak bisa mengatakan bahwa naskah dari Jack Reacher adalah naskah yang cerdas. Saya belum membaca novel One Shot yang menjadi sumber adaptasinya, namun membaca sekilas sinopsis novel tersebut dan membandingkannya dengan apa yang tersaji dalam film saya cukup yakin bahwa Jack Reacher tertolong oleh dasar cerita novelnya yang cerdas. Sedangkan adaptasi dari McQuarrie sebenarnya biasa saja, bahkan seringkali kendor di beberapa bagian.
Dibalik misterinya yang cukup menarik, Jack Reacher sebenarnya menyimpan begitu banyak potensi untuk menjadi the new Bourne. Sayangnya berbagai potensi tersebut kurang berhasil dimaksimalkan. Elemen investigasi dan misterinya sudah saya katakan diatas cukup baik. Bagaimana dengan adegan aksinya? Secara keseluruhan adegan aksi yang ada cukup menarik. Kejar-kejaran mobil yang menghibur, adegan perkelahiannya cukup brutal, adegan baku tembaknya pun tidak hanya asal menghamburkan ratusan peluru namun terasa cukup taktis. Film ini beruntung punya tokoh utama dengan karakterisasi seperti Jack Reacher yang tidak mempedulikan hukum dan menghalalkan kekerasan seperti apapun untuk membela kebenaran. Tapi sayangnya saya masih merasa hal tersebut kurang dimaksimalkan. Dengan sosok Reacher yang seperti itu, film ini masih terasa hambar di adegan aksinya. Jack Reacher juga sebenarnya punya potensi kuat di aspek drama, hanya saja harus mengalah dengan elemen investigasi dan porsi adegan aksinya, dan saya memahami pilihan tersebut. Tapi setidaknya masih ada momen drama yang mengena, yakni disaat Helen sedang melakukan reka ulang terhadap aktivitas masing-masing korban penembakan.

Sayang pada akhirnya Jack Reacher ditutup dengan begitu hambar sekaligus antiklimaks. Sosok penjahatnya terkesan begitu melempem, bahkan sosok The Zec (diperankan sutradara legendaris Jerman, Werner Herzog) yang menjadi otak kejahatan utama dan terlihat begitu berwibawa harus mati begitu saja di akhir tanpa greget sedikitpun. Namun saya cukup menyukai fakta bahwa hingga akhir sosok Jack Reacher masih tetap menyimpan misteri mengenai identitasnya. Karena pada dasarnya Reacher memang sosok misterius yang entah tinggal dimana dan seperti apa orangnya. Mungkin nantinya jika dibat sekuel barulah perlu mengenalkan sosok Jack Reacher secara lebih mendalam, sedangkan untuk film pertama memang lebih baik tetap membiarkan sosoknya misterius dan membiarkan kharsima seorang Tom Cruise yang bermain. Ya, disini memang Cruise membuktikan bahwa dirinya masih seorang action hero kelas atas yang bisa terlihat brutal, keren namun misterius. Secara keseluruhan filmnya sendiri tidaklah spesial tapi punya jalinan cerita yang cukup menarik dan adegan aksi yang menghibur. Sayangnya punya durasi yang terlalu lama (tidak sampai 2 jam pun sudah cukup) dan diakhiri dengan anti-klimaks.


Tidak ada komentar :

Comment Page:

HANSEL & GRETEL: WITCH HUNTERS (2013)

Tidak ada komentar
Film yang berkisah tentang twist terhadap sebuah dongeng klasik memang masih menjadi tren. Kali ini giliran dongeng Hansel & Gretel ciptaan Brothers Grimm yang diadaptasi secara lepas. Yang menarik adalah film ini disutradarai oleh Tommy Wirkola yang terkenal lewat film zombie-nazi miliknya, Dead Snow. Dalam Dead Snow saya mengenal Wirkola sebagai sutradara penuh visi gila, dimana ia sanggup mencampurkan horror penuh darah dengan rangkaian komedi hitam yang lucu. Jadi harapan saya tentunya Hansel & Gretel: Witch Hunters juga akan menjadi sebuah film yang gila dan brainless. Dari judulnya sendiri kita sudah bisa membaca bahwa ceritanya akan mendapatkan twist. Bagaimana tidak? Hansel dan Gretel yang dalam dongeng aslinya dikisahkan adalah dua anak kecil yang tersesat di hutan, mengikuti remahan roti sebelum sampai di rumah milik penyihir yang akhirnya mengurung mereka disini keduanya justru dijadikan duo kakak-adik pemburu penyihir. Jalan cerita awal film ini masih mengikuti pakem dongeng aslinya dimana Hansel dan Gretel kecil tersesat di tengah hutan setelah ditinggalkan oleh sang ayah. Kemudian mereka menemukan sebuah rumah yang terbuat dari permen dan ternyata itu adalah rumah seorang penyihir jahat.

Kita semua tahu bahwa Hansel dan Gretel akan dikurung oleh penyihir tersebut sebelum akhirnya mereka berdua berhasil membunuh sang penyihir untuk kemudian hidup bahagia selamanya. Dalam dongeng, disitu adalah akhir cerita, namun dalam film ini semuanya justru baru dimulai saat itu. Selang 15 tahun kemudian, Hansel (Jeremy Renner) dan Gretel (Gemma Arterton) telah dikenal sebagai pemburu penyihir yang tersohor. Dengan bersenjatakan busur panah canggih hingga senapan sampai bazoka mereka berdua berkeliling untuk membunuh penyihir-penyihir jahat yang gemar menculik anak-anak. Sampai mereka tiba di kota Augsburg setelah Walikota meminta mereka untuk memburu penyihir yang telah menculik banyak anak-anak disana. Mereka harus berhadapan dengan sekumpulan penyihir yang dipimpin oleh Muriel (Famke Janssen) seorang penyihir jahat yang sangat kuat. Tanpa diduga Muriel sebenarnya tengah mempersiapkan sebuah rencana rahasia yang kejam. Masih ada beberapa twist pada lanjutan ceritanya, tapi pada dasarnya berbagai perubahan dari cerita aslinya tersebut tidak bisa disebut sebagai twist yang cerdas, karena itu semua hanya pembuka jalan bagi berbagai adegan aksi penuh darah dan tak berotak yang jadi sajian utama film ini.

Pada dasarnya memang tidak ada twist cerdas dalam ceritanya, tapi harus diakui perubahan tersebut cukup memberikan daya tarik. Tidak perlu bertanya-tanya latar belakang yang menjadikan Hansel dan Gretel sebagai witch hunters. Yang kita tahu hanyalah mereka berdua dsempat diculik oleh penyihir, kemudian kita interpretasikan saja mereka dendam pada penyihir lalu memutuskan untuk memburu semua penyihir yang ada di dunia. Tapi sekali lagi kedalaman cerita memang tidak diperhatikan disini. Twist yang diberikan adalah untuk membuka jalan supaya bisa menampilkan sebuah cerita ber-setting masa lampau tapi dua jagoan utamanya memakai senjata-senjata modern semacam bazoka hingga gatling gun. Mungkin sekilas itu adalah hal yang konyol, tapi percayalah penggunaan senjata-senjata tersebut berhasil membuat action sequence dalam film ini seru dan membuat sosok Hansel dan Gretel menjadi action hero yang cukup keren meskipun sama sekali tidak terasa adanya chemistry kakak beradik diantara keduanya. Tapi sekali lagi yang penting keduanya bisa beraksi dengan keren, karena itu adalah tujuan utama film ini.
Bicara soal action sequence, jangan lupa bahwa ini adalah film seorang Tommy Wirkola. Hal itu berarti kita bisa berharap akan ada darah yang tumpah serta berbagai macam adegan sadis sekaligus gila disini. Wirkola memang berhasil menyajikan berbagai macam adegan sadis mulai dari kepala yang pecah sampai tubuh yang terbelah. Tapi sayangnya tingkat kegilaan yang ada masih jauh dari yang saya harapkan. Jelas sekali Wirkola mengalah untuk kepentingan rating, sebuah hal yang wajar terjadi pada sutradara luar Amerika yang baru memulai debutnya di Hollywood. Mungkin untuk ukuran sebuah film blockbuster mainstream di Hollywood, Hansel & Gretel: Witch Hunters sudah cukup sadis, tapi tidak untuk ukuran Wirkola. Apalagi saya merasa aura bersenang-senang yang begitu kental dalam Dead Snow jauh menurun disini. Adegan sadisnya jauh lebih serius dan unsur komedi hitamnya jauh menurun pula. Tidak ada adegan kocak seperti usus yang terikat di sebuah pohon seperti di Dead Snow. Semua kekerasannya bisa membuat tersenyum dan menghindarkan dari rasa kantuk, tapi terlalu kaku dan kenakalan seperti yang saya harapkan.

Bahkan usaha untuk membungkus film ini dengan komedi dari dialognya juga kurang berhasil. Jeremy Renner tidak terlalu baik untuk menghantarkan baris dialog yang dimaksudkan sebagai line komedi. Aktingnya tidak buruk tapi kurang berhasil membuat karakter Hansel jadi lebih menarik. Sedangkan Gemma Arterton sebagai Gretel? Bagi para penonton pria pasti akan menyukai penampilan Gemma Arterton disini. Bahkan bagi mereka penonton pria yang menganggap kualitas filmnya busuk setidaknya akan selalu terhibur setiap kali Artertron tampil di layar. Famke Janssen sebagai sosok penyihir jahat Muriel juga sebenarnya tidak buruk namun masih saja terasa kurang greget sebagai seorang penyihir jahat yang kejam. Pada akhirnya saya merasa Hansel & Gretel: Witch Hunters gagal memenuhi ekspektasi saya terhadap kegilaan Tommy Wirkola karena disini dia masih terlalu sopan dan seolah melupakan untuk bersenang-senang dalam mengumbar kegilaan dalam kesadisan yang ada. Mungkin salah satu lelucon paling mengena adalah sosok troll buruk rupa yang diberi nama Edward.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SIGHTSEERS (2012)

3 komentar
 
Film Kill List yang disutradarai oleh Ben Wheatley pada tahun 2011 cukup menuai sukses dan banyak mendapat respon yang positif. Dengan banyaknya adegan sadis serta twist ending yang gila, film tersebut dianggap berhasil menyuguhkan sebuah tontonan horror yang bagus, namun saya tidak terlalu sependapat. Benar jika terdapat beberapa adegan yang menampilkan kesadisan dengan cukup gamblang, dan benar ending-nya punya kejutan sekaligus tingkat kegilaan yang mungkin nyaris setara dengan A Serbian Film, tapi secara keseluruhan saya merasa Kill List membosankan dan berjalan terlalu lambat. Setahun kemudian Ben Wheatley kembali membuat sebuah film thriller berjudul Sightseers. Bedanya, dalam film yang juga diproduseri oleh Edgar Wright ini, terdapat bumbu komedi hitam. Sightseers bercerita tentang sepasang kekasih, Chris (Steve Oram) dan Tina (Alice Lowe) yang melakukan perjalanan berdua. Chris mengajak Tina dalam perjalanan tersebut untuk menunjukkan pada kekasihnya itu bagaimana dunia yang disukai oleh Chris. Perjalanan yang pada awalnya tidak disetujui oleh ibunda Tina tersebut awalnya berjalan menyenangkan. Keduanya begitu menikmati perjalanan penuh cinta tersebut. Sampai kemudian sebuah kejadian mengerikan membuat perjalanan tersebut perlahan menjadi penuh darah dan diisi oleh rangkaian pembunuhan keji.

Sebenarnya, road movie yang berkisah tentang sebuah perjalanan yang menjadi kacau bukan hal baru karena road movie memang selalu menampilkan konflik semacam itu. Begitu juga film tentang sepasang kekasih yang melakukan atau menemui hal gila bersama-sama juga bukan merupakan hal baru. Namun jika ditelusuri lebih dalam, apa yang terkandung pada Sightseers jauh lebih dalam, gila dan tragis daripada itu. Sedari awal, Chris dan Tina sudah sama-sama bisa dibilang sudah bermasalah. Chris seiring dengan berjalannya film diceritakan punya kehidupan yang tidak terlalu mulus termasuk cita-citanya menjadi penulis, sedangkan Tina masih merasakan kehilangan mendalam setelah kucing kesayangannya tewas setahun lalu. Tidak hanya itu, ibunya yang sakit-sakitan juga sering membuat Tina merasa terganggu dengan sikapnya yang memang sering membuat Tina jengkel. Kemudian kedua orang ini saling jatuh cinta dan menemukan orang yang mereka cari dalam diri pasangan masing-masing, dan pada akhirnya mereka berlibur bersama. Mereka sama-sama menginginkan liburan yang bahagia bersama orang yang mereka cintai. Chris ingin membuat Tina terkesan padanya, sedangkan Tina sudah merasa muak dengan kehidupan yang ia jalani. Pada akhirnya saat liburan mereka "terganggu" keduanya sama-sama mendapatkan hal gila untuk mendapatkan yang mereka mau.

3 komentar :

Comment Page:

IRON MAN 3 (2013)

Tidak ada komentar
Marvel memulai fase kedua dari Cinematic Universe mereka lewat Iron Man 3. Mengalami pergantian sutradara dari John Favreau ke Shane Black, film ketiga ini bercerita tentang kehidupan Tony Stark pasca serangan Chitauri yang terjadi di The Avengers. Jika film pertama bercerita tentang bagaimana Stark memulai kehidupannya sebagai Iron Man dan film kedua berkisah tentang masa kejayaannya sebagai superhero, maka film ketiga ini mengeksplorasi lebih dalam diri Stark baik sebagai dirinya maupun sebagai Iron Man. Yang menarik adalah di film ketiga ini akhirnya sosok The Mandarin yang selama ini dianggap sebagai musuh Iron Man yang paling terkenal akhirnya muncul dan dimainkan oleh Ben Kingsley setelah di film pertama nama organisasi teroris yang ia pimpin, The Ten Rings sempat disinggung. Pasca serangan Chitauri, Tony Stark (Robert Downey Jr.) mengalami gangguan kecemasan yang membuatnya tidak pernah tenang. Dia menghabiskan seluruh waktunya bekerja di laboratorium dan hal itu membuat hubungannya dengan sang kekasih, Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) cukup terganggu dimana Tony tidak sempat meluangkan waktu bersamanya.

Pada saat yang bersamaan kondisi dunia sedang memanas akibat teror dari sekelompok teroris yang dipimpin oleh The Mandarin (Ben Kingsley). The Mandarin merupakan dalang dibalik berbagai macam pengeboman yang terjadi di berbagai belahan dunia dan menewaskan banyak orang. Namun akibat kurangnya bukti dan petunjuk di lokasi kejadian, keberadaan Mandarin menjadi sulit untuk diketahui. Disisi lain seorang ilmuwan bernama Aldrich Killian (Guy Pearce) tengah mengembangkan sebuah serum bernama Extremis yang dapat digunakan untuk meregenerasi kerusakan pada tubuh manusia. Namun tidak hanya itu, Extremis ternyata juga dapat memberikan kekuatan berlipat bagi para penggunanya. Killian sendiri ditengarai punya hubungan dengan segala teror yang dilakukan oleh Mandarin. Namun Tony Stark tidak hanya harus melawan para musuh tersebut tapi juga harus berjuang menghadapi dirinya sendiri guna melindungi orang tercinta yang ia miliki. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: