RASHOMON (1950)

3 komentar
Memang Rashomon adalah karya kedua belas seorang Akira Kurosawa, namun baru lewat film inilah namanya dikenal oleh dunia perfilman secara luas. Bahkan jika berbicara lebih luas lagi, maka bisa dibilang Rashomon adalah film yang membuat perfilman Jepang menjadi diperhitungkan. Filmnya sendiri meraih banyak penghargaan diluar negeri, mulai dari Golden Lion pada Venice Film Festival hingga Academy Honorary Award di ajang Oscar tahun 1952. Ironisnya, film ini tidak terlalu mendapat respon positif di Jepang sendiri dimana banyak kritikus yang mengatakan bahwa film ini dipuji karena kental unsur western di dalamnya dan dianggap tidak sesuai dengan kultur Jepang sama sekali. Suatu tanggapan yang dikritik balik oleh Kurosawa. Mengapa Rashomon begitu dipuja dan dianggap sebagai salah satu masterpiece seorang Akira Kurosawa disamping Seven Samurai maupun Kagemusha? Jawabannya adalah karena Rashomon punya beberapa hal yang pada masa itu merupakan inovasi baru, dimaaa salah satunya ada pada narasinya yang menggambarkan tentang sebuah peristiwa dimana peristiwa itu diceritakan melalui sudut pandang beberapa orang dan mengambil pola alur nonlinier.

Filmnya dibuka dengan perbincangan antara tiga orang, yaitu Si penebang pohon (Takashi Shimura), pendeta (Minoru Chiaki) dan seorang pria lainnya atau dalam wikipedia bernama a commoner (Kichijiro Ueda). Ketiganya kebetulan sedang berteduh dibawah reruntuhan gerbang Rashomon dimana si penebang pohon dan pendeta terlihat tengah dibuat takjub serta terkejut akan sebuah kisah yang mereka dengar. melihat hal tersebut a commoner tertarik untuk mendengarkan kisah macam apa itu. Sang penebang pohon pun mulai bercerita bahwa tiga hari yang lalu ia baru saja menemukan sebuah mayat yang terbunuh di tengah hutan. Kemudian ia pun harus bersaksi di pengadilan untuk membantu menemukan pembunuhnya. Sang pendeta yang kebetulan bertemu dengan sang korban dan istrinya juga turut bersaksi. Kemudian saksi-saksi yang lain mulai berbicara. Namun anehnya adalah cerita dari masing-masing saksi sangat berbeda satu dengan yang lain. Kita pun akan diajak terus berpikir mengenai kisah siapakah sesungguhnya yang merupakan kenyataan?

3 komentar :

Comment Page:

ADDRESS UNKNOWN (2001)

Tidak ada komentar
Address Unknown merupakan satu lagi bukti "persahabatan" antara Kim Ki-duk dengan Venice Film Festival. Walaupun filmnya lagi-lagi tidak terlalu laris di Korea, namun Address Unknown berhasil menjadi film pembuka bagi festival tersebut sekaligus termasuk dalam jajaran nominator Golden Lion mengulangi raihan Kim sebelumnya dalam The Isle. Cerita yang dituangkan oleh Kim dalam film ini merupakan sebuah kisah yang diinspirasi oleh pengalaman hidupnya sendiri dan juga kisah hidup orang-orang di sekitarnya. Seperti film-film lain yang dirilis oleh Kim Ki-duk diawal karirnya, Address Unknown pun mempunyai banyak konten kekerasan yang begitu terasa disturbing serta atmosfer kelam yang lebih cenderung kearah brutal dan shocking daripada meditative seperti yang nampak pada film-filmnya belakangan ini. Film ini pun kembali menampilkan sosok Cho Jae-hyun yang merupakan aktor langganan Kim Ki-duk, walaupun disini Jae-hyun bukanlah menjadi tokoh utama. Tokoh utama yang menjadi fokus cerita film ini bukan hanya satu orang maupun sepasang kekasih seperti yang biasa muncul di film-film Kim, melainkah beberapa karakter yang sebenarnya saling terhubung satu sama lain. Address Unknown adalah sebuah kisah orang-orang dengan problema psikologis yang tinggal di sekitar pangkalan militer Amerika Serikat.

Eun-ook (Park Min-jung) adalah seorang gadis yang memiliki kecacatan pada sebelah matanya akibat kecelakaan yang terjadi pada saat ia dan kakaknya bermain di masa kecil dulu. Kondisinya tersebut membuat Eun-ook menutup diri pada orang-orang di sekitarnya termasuk Ji-heum (Kim Young-min) yang terobsesi pada Eun-ook. Meski Ji-heum terus berusaha memikat Eun-ook, tapi sang gadis terus menutup dirinya dan malah lebih memilih melampiaskan hasrat seksualnya dengan anjing kecil yang ia pelihara. Ji-heum sendiri merupakan seseorang yang pendiam dan penyendiri. Kepribadiannya tersebut membuatnya sering dijadikan bahan bulan-bulanan oleh teman-teman sebayanya. Untungnya ada Chang-guk (Yang Dong-kun), seorang pria blasteran yang selalu membela Ji-heum saat ia tengah di-bully. Chang-guk sendiri tinggal bersama ibunya (Bang Eun-jin) di sebuah bus bekas milik militer Amerika. Hubungan mereka berdua tidak terlalu baik dimana Chang-guk sering memukuli sang ibu, dimana hal tersebut sering memancing kemarahan Dog-Eyes (Cho Jae-hyeon), seorang jagal anjing tempat Chang-guk bekerja yang juga merupakan "kekasih" dari sang ibu. Tiap kali Chang-guk memukul ibunya, Dog-Eyes akan balas menghajar Chang-guk. Disisi lain, ibu Chang-guk hingga saat ini masih berharap sang suami yang merupakan anggota militer Amerika dan tengah bertugas di Amerika akan membalas surat-suratnya yang selama ini selalu kembali akibat alamatnya yang tidak diketahui.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

OBLIVION (2013)

3 komentar
Oblivion jelas sebuah film yang sangat ditunggu. Bagaimana tidak? Disaat industri mainstream Hollywood seolah sedang miskin ide orisinil, Joseph Kosinski (Tron Legacy) justru muncul dengan sebuah film yang menampilkan sebuah cerita yang baru. Memang Oblivion pada dasarnya diangkat dari sebuah grafik novel yang ditulis oleh Kosinski sendiri, namun grafik novel tersebut belum pernah dipublikasikan, jadi tetap saja Oblivion layak disebut mempunyai cerita yang original. Tapi daya tarik film ini bukan hanya cerita yang baru, nama besar Tom Cruise yang menjadi pemeran utama juga merupakan magent luar biasa bagi setiap film yang ia bintangi. Tidak hanya Cruise, karena film ini juga mempunyai nama besar lain, sebut saja Olga Kurylenko dan Morgan Freeman. Dengan bujet sebesar $120 juta, Oblivion jelas merupakan salah satu tontonan sci-fi yang menjanjikan efek CGI mewah berbalut adegan aksi spektakuler yang akan membuat banyak penonton beduyun-duyun datang ke bioskop untuk mencari sebuah hiburan blockbuster. Tapi pertanyaannya apakah cerita original yang dimiliki oleh Oblivion merupakan cerita yang menarik? Ataukah hanya satu lagi dari ratusan film berbujet raksasa yang mempunyai kualitas cerita yang kacangan?

Pada tahun 2077, Bumi sudah menjadi sebuah planet yang gersang dan tidak berpenghuni. Semua itu akibat perang yang terjadi 60 tahun lalu disaat makhluk alien bernama Scavenegrs melakukan invasi dengan cara menghancurkan bulan yang itu menyebabkan terjadinya banyak bencana alam di Bumi. Pada akhirnya Scavengers berhasil dikalahkan dengan meledakkan senjata nuklir. Namun akibat pemakaian nuklir, Bumi dan seisinya mengalami kehancuran dan radiasi yang menyebabkan planet tidak bisa lagi ditinggali. Untuk itu manusia yang selamat dipindahkan ke Titan, sebuah bulan milik Saturnus. Jack Harper (Tom Cruise) dan Victoria (Andrea Riseborough) adalah dua orang teknisi yang dikirim ke Bumi guna menjaga mesin-mesin yang digunakan untuk mengambil sumber daya alam yang masih tersisa dan dikirim ke Titan. Meski masa tugasnya sudah hampir berakhir, Jack tidak merasa bahagia karena dia masih merasa bahwa Bumi merupakan rumahnya dan masih begitu banyak hal yang ia ingin eksplorasi disana. Selama menjalankan misinya, Jack seringkali mendapatkan mimpi tentang seorang wanita yang tidak bisa ia ingat akibat memorinya yang telah dihapus sebelum menjalankan misi guna menjaga kerahasiaan dan keamanan. Suatu hari, sebuah objek misterius terjatuh dan disaat Jack mencoba memeriksanya ia terkejut karena disana terdapat Julia (Olga Kurylenko), wanita yang selalu muncul dalam mimpinya.

3 komentar :

Comment Page:

UNCLE BOONMEE WHO CAN RECALL HIS PAST LIVES (2010)

1 komentar
Pada tahun 2010 lalu, film karya sutradara Apichatpong Weerasethakul ini sukses membuat sejarah dengan menjadi film Thailand pertama yang memenangi Palme d'Or serta menjadi film Asia pertama sejak tahun 1997 yang berhasil memenangkan penghargaan tertinggi pada ajang Cannes Film Festival tersebut. Dengan judul yang cukup unik, Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives yang merupakan adaptasi lepas dari buku berjudul A Man Who Can Recall His Past Lives akan mengajak penontonnya menyambangi sosok Boonmee yang hidup dalam sebuah dunia penuh fantasi absurd namun disisi lain terasa begitu realistis. Film ini sudah dibuka dengan adegan yang akan membuat penontonnya garuk-garuk kepala kebingungan. Bagaimana tidak? Kita akan disuguhi sebuah adegan yang memperlihatkan seekor kerbau yang berusaha berontak dari tali yang mengikat lehernya di pohon, untuk kemudian lari melintasi sawah dan akhirnya sampai di dalam hutan sebelum kerbau itu terdiam dan dibawa lagi oleh sang pemiliknya. Kemudian dalam sekejap pemandangan berganti dan memperlihatkan sesosok makhluk hitam pekat yang menatap kearah kamera dengan mata berwarna merah yang bersinar. Sebuah pemandangan yang sunyi, mencekam sekaligus terasa begitu aneh yang menjadi awal dari petualangan yang tidak kalah anehnya.

Setelah itu barulah kita dipertemukan dengan Boonmee (Thanapat Saisaymar), seorang petani sekaligus pemilik perkebunan besar yang kini tengah menderita sakit keras akibat gangguan ginjal. Untuk menemani Boonmee, datanglah adik iparnya, Jen (Jenjira Pongpas) serta ponakannya, Thong (Sakda Kaewbuadee). Selain mereka berdua, ada pula seorang imigran dari Laos bernama Jai (Samud Kugasang) yang dengan setia bekerja dan merawat Boonmee. Semua terlihat biasa saja sampai pada sebuah makan malam keabsurdan kisahnya dimulai. Saat itu Boonmee sedang makan malam bersama Jen dan Thong sebelum tiba-tiba arwah istrinya, Huay (Natthakarn Aphaiwong) muncul secara perlahan dan iktu bergabung dengan mereka. Bukannya ketakutan, Boonmee dan Jen justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengobrol dengan Huay yang telah meninggal 19 tahun lalu. Belum sepenuhnya reda kekagetan saya melihat kemunculan Huay dan ekspresi mereka melihat kemunculan hantu tersebut, datanglah sesosok makhluk hitam yang diawal film sempat muncul sekilas tersebut. Ternyata makhluk itu adalah Boonsong (Jeerasak Kulhong), putera Boonmee yang sudah bertahun-tahun meninggal tanpa jejak. Malam itu terjadilah sebuah reuni keluarga paling unik, gila sekaligus terasa lucu yang pernah saya lihat dalam film.

1 komentar :

Comment Page:

RETROSPECTIVE REVIEW - AMEN (2011)

Tidak ada komentar
Seperti yang sebelumnya saya tuliskan dalam retrospective review untuk Pieta, saya berniat menonton ulang beberapa film Kim Ki-duk yang sebelumnya sudah saya tonton namun kurang berkesan. Kali ini yang saya tonton ulang adalah Amen, sebuah film yang bisa dibilang menjadi pertanda kembalinya Kim Ki-duk membuat film drama setelah sebelumnya comeback lewat dokumenter Arirang. Bisa dibilang Amen adalah wujud sesungguhnya dari istilah low budget movie dimana film ini memang digarap dengan dana yang sangat minim, hanya memakai satu kamera berkualitas rendah, dan hanya mempunyai dua orang kru yakni Kim Ki-duk yang disini menjadi sutradara, pemain, kameramen sekaligus editor dan Kim Ye-na yang menjadi aktris utama merangkap sebagai juru kamera. Sedikit menceritakan ulang kisahnya, Amen bercerita tentang seorang wanita (Kim Ye-na) yang melakukan perjalanan sendirian ke Paris untuk mencari seorang pria bernama Lee Myung-soo. Siapakah Lee Myung-soo? Diawal kita hanya bisa berspekulasi bahwa dia adalah seseorang yang sangat berharga bagi wanita tersebut, mungkin pacarnya. Tapi setelah mendatangi alamat yang dituju, Myung-soo ternyata sudah pindah ke Venezia. Maka wanita itupun mulai melanjutkan pencariannya ke Venezia hingga nantinya sampai di Avignon. 

Namun saat ia tengah tertidur di kereta api, masuklah seorang pria misterius yang memakai masker (Kim Ki-duk) yang kemudian memperkosa wanita tersebut dan mengambil barang-barangnya termasuk paspor dan sepatu. Ya, ini adalah satu lagi kisah Kim Ki-duk mengenai cerita cinta aneh yang dibalut unsur seksualitas. Salah satu hal yang paling mengganggu saya pada pengalaman pertama menonton film ini adalah aspek artistiknya yang terasa begitu kasar dan amatiran. Kamera berkualitas minim, pergerakan kamera serta editing yang kasar, hingga tata suara yang tidak jernih dimana noise yang ada begitu besar. Bahkan jika dibandingkan film debutnya, Crocodile, tata suara dalam Amen lebih buruk. Namun kali ini saya mendapatkan perasaan yang lain mengenai tata artistik tersebut. Kualitas gambar dan pergerakan kameranya memang kurang baik, tapi dengan berdiri di belakang kamera, Kim Ki-duk nampak begitu peka dalam menangkap gambar-gambar indah yang mampu mendukung esensi cerita serta atmosfer film ini. Sedangkan tata suaranya yang penuh noise justru membuat saya bisa merasakan keterasingan yang dirasakan oleh sang wanita. Seperti dia saya tidak mengenal orang-orang lain yang ada di sekitar dan tidak mengerti bahasa Prancis ataupun Italia. Dengan rangkaian noise itu suasana berada diantara keramaian yang asing seolah benar-benar terasa. Bisa jadi memang itu tujuan Kim Ki-duk, karena rasanya tidak mungkin ia lalai ataupun malas mengedit suara yang terasa begitu kasar ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ACT OF KILLING (2012)

2 komentar
Salah satu momen paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia adalah peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut kisah dan pelajaran sejarah yang diceritakan secara turun temurun, pada saat itu Partai Komunis Indonesia berusaha melakukan kudeta dengan cara membantai Jenderal-jenderal TNI untuk kemudian jenazah mereka dibuang di lubang buaya. Berdasarkan cerita sejarah pula kemudian Jenderal Soeharto memimpin penumpasan PKI yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sohearto pun dijadikan pahlawan dan era orde baru melahirkan berbagai macam doktrin yang pada intinya menjadikan PKI sebagai musuh bangsa yang harus ditumpas. Salah satu propaganda yang muncul adalah film G30S/PKI garapan Arifin C.Noer yang pada masa orde baru adalah film wajib putar setiap tahunnya. Namun kebenaran akan berbagai kisah sejarah tersebut hingga kini masih dipertanyakan. Banyak yang menganggap bahwa masih ada begitu banyak rahasia yang tidak diungkapkan kepada publik, termasuk apa yang akan disajikan oleh sutradara Joshua Oppenheimer dalam The Act of Killing atau yang mempunyai judul Indonesia Jagal ini. Saya yakin selain saya ada banyak orang Indonesia yang tidak tahu bahwa proses penumpasan PKI yang terjadi pada 1965-1966 juga melibatkan pembantaian yang tidak kalah kejam dengan yang dilakukan PKI itu sendiri.

Kita akan diajak berkenalan dengan sosok Anwar Congo, seorang pria tua berusia 70-an tahun yang tinggal di Medan. Di masa mudanya dulu, Anwar adalah seorang preman bioksop yang mengambil keuntungan sebagai tukang catut tiket bioskop, sampai kemudian terjadilah pemberontakan 30 September tersebut. Untuk melakukan penumpasan, ternyata bukan kekuatan TNI dan kepolisian yang dipakai melainkan gabungan para preman yang dengan cepat membantai orang-orang yang diyakini sebagai antek PKI. Anwar sendiri pada masa itu bisa membunuh hingga ribuan orang. Dalam The Act of Killing kita akan diajak bernapak tilas bersama Anwar Congo melihat kembali bagaimana dulu ia dan teman-temannya sesama preman melakukan pembunuhan. terhadap anggota PKI. Segala aspek yang ada dijelaskan dengan mendetail oleh Anwar termasuk bagaimana caranya melakukan pembunuhan. Sebuah pemandangan mencengangkan sekaligus mengerikan saat film ini memperlihatkan bagaimana Anwar yang sudah lanjut usia ini melakukan reka ulang metode membunuh yang ia lakukan dengan sangat santai bahkan dihiasi senyum di mulutnya serta diiringi tarian yang dulu ia lakukan dibawah pengaruh alkohol dan marijuana.

2 komentar :

Comment Page:

SPRING BREAKERS (2012)

5 komentar
Materi promosinya memperlihatkan gambar-gambar empat gadis cantik dalam balutan bikini super seksi. Dari keempat gadis tersebut ada Selena Gomez dan Vanessa Hudgens yang notabene dikenal sebagai Disney Princess. Sebuah langkah berani dari keduanya untuk mengubah imej putri menjadi gadis nakal berbalut bikini, dan tentunya sebuah daya tarik luar biasa bagi penonton pria untuk berbondong-bondong menyaksikan film ini. Dengan materi promosi macam itu serta dilihat dari judulnya, mungkin banyak orang mengira bahwa Spring Breakers merupakan sebuah komedi konyol yang berisikan lelucon-lelucon jorok dan mengeksploitasi hal-hal berbau seksual termasuk tubuh seksi keempat aktris utamanya. Tapi ini adalah film yang dibuat oleh Harmony Korine, sutradara sekaligus penulis naskah yang telah banyak menghasilkan film cult berisikan komentar sosial dan dibalut dengan cara yang unik bahkan beberapa kali terasa disturbing. Pada akhirnya Spring Breakers memang bukan sekedar film yang mengandalkan tubuh seksi pemainnya dan hal-hal berbau pesta pora liar meski aspek-aspek tersebut dengan setia mengiringi perjalanan film ini dari awal hingga akhir. 

Awalnya film ini menceritakan mengenai empat orang sahabat, Faith (Selena Gomez), Candy (Vanessa Hudgens), Brittany (Ashley Benson) dan Cotty (Rachel Korine) yang begitu bernafsu untuk mengisi liburan musim semi mereka dengan berpesta di luar kota. Sempat bermasalah dengan uang, mereka pun memutuskan mencari uang dengan cara merampok sebuah restoran kecil. Pada akhirnya mereka berempat berhasil berangkat ke Florida dan impian mereka bersenang-senang pun menjadi kenyataan. Bersama ribuan remaja lainnya mereka berpesta pora di pantai dan tidak lupa melakukan berbagai macam hal liar sambil dipengaruhi alkohol dan narkoba. Bagi mereka saat itu adalah waktu yang sempurna dan tidak ingin segera diakhiri. Namun kesenangan tersebut terpaksa berakhir saat keempatnya tertangkap oleh polisi yang sedang melakukan razia narkoba. Disaat mereka dalam kesulitan itulah tiba-tiba muncul Alien (James Franco), seorang rapper sekaligus gangster yang membantu mereka keluar dari penjara. Kini mereka berempat akan memulai "pesta" baru mereka bersama Alien yang tentunya akan lebih gila, lebih liar, dan lebih berbahaya.

5 komentar :

Comment Page:

BREATH (2007)

Tidak ada komentar
Jika sosok Cho Jae-hyun adalah aktor yang disebut sebagai Kim Ki-duk's Persona, maka untuk aktris ada Park Ji-a. Meski peran-peran yang ia lakoni porsinya tidak sebesar Cho Jae-hyun, tapi tetap saja sosoknya cukup identik dengan Kim Ki-duk dimana Ji-a telah bermain dalam lima film termasuk cameo di 3-Iron. Jika dilihat lagi, maka film dimana Park Ji-a mendapat peran utama hanyalah The Coast Guard dan Breath ini. Dalam Breath yang merupakan salah satu nominator Palme d'Or pada Cannes Film Festival 2007, Ji-a berperan sebagai Yeon, seorang istri yang tengah merasa tidak bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Yeon sendiri memang sudah jarang bertegur sapa dengan sang suami (Ha Jung-woo). Jika keduanya berinteraksi, yang terjadi hanyalah sang suami mengatakan hal-hal yang tidak nyaman didengar oleh yeon, dan ia hanya menanggapinya dengan membisu. Yeon semakin terluka saat mengetahui bahwa suaminya sedang berselingkuh dengan wanita lain. Disaat kegundahan semakin terasa, Yeon berulang kali menyaksikan berita di televisi tentang seorang terdakwa hukuman mati bernama Jang Jin (Chang Chen) yang baru saja melakukan usaha bunuh diri dengan menusuk lehernya dan membuat waktu eksekusinya ditangguhkan karena Jang Jin harus mendapatkan perawatan intensif. 

Semakin sering Yeon melihat berita tersebut, semakin ia merasakan ketertarikan pada sosok Jang Jin. Suatu hari Yeon memutuskan mengunjungi Jang Jin di penjara dengan mengaku sebagai mantan kekasihnya. Pertemuan pertama hanya berakhir dengan obrolan, namun semakin lama keduanya semakin sering bertemu. Yeon yang di rumah bersama sang suami hanya dia membisu mulai menemukan keceriaan dan bisa tertawa riang saat bertemu dengan Jang Jin. Sebaliknya, Jang Jin yang sebentar lagi akan dieksekusi perlahan mulai membuka diri pada Yeon dan mulai merasakan keterikatan pada wanita itu. Breath adalah satu lagi kisah cinta aneh yang ditawarkan oleh Kim Ki-duk, hanya saja kali ini tingkat keanehan yang ditawarkan jauh berkurang. Memang motivasi terjalinnya asmara antara kedua tokoh utamanya masih terasa absurd, tapi diluar itu tidak ada tindakan-tindakan gila diluar nalar yang dilakukan oleh karakternya. Dalam Breath, Kim Ki-duk seolah berusaha tampil lebih waras baik itu dari segi cerita yang ditampilkan maupun dari cara pengemasannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

42 (2013)

Tidak ada komentar
Membuat film biopic yang bagus itu susah. Membuat film olahraga yang bagus lebih susah. Jadi membuat film biopic bertemakan olahraga yang bagus jelas merupakan pekerjaan berat. Mengapa saya mengatakan kedua hal tersebut susah? Bukankah sudah begitu banyak film biopic yang dikatakan sebagai film yang isnpiratif? Memang betul tapi justru disitulah permasalahannya. Tokoh yang kisah hidupnya diangkat kedalam sebuah film pastilah mempunyai kisah hidup yang dramatis bahkan inspiratif. Namun saya yakin kesemua tokoh tersebut tidaklah memiliki kesempurnaan. Sedangkan yang sering menjadi permasalahan utama dalam film biopic adalah dramatisasi yang terasa berlebihan serta penggambaran tokohnya yang terlalu sempurna. Banyak film biopic yang seolah takut menggambarkan keburukan dari tokoh yang difilmkan. Sedangkan dalam film bertemakan olahraga, yang membuatnya susah menjadi film bagus adalah bagaimana supaya penonton tertarik meski sudah mengetahui bahwa sang tokoh utama akan meraih kemenangan dalam turnamen olahraga yang ia ikuti. Maka coba bayangkan bagaimana cara menyatukan kedua hal tersebut supaya menjadi film yang bagus tanpa perlu terasa berlebihan.

Pekerjaan yang berat itu diemban oleh Brian Helgeland dalam biopic terbarunya yang berjudul 42. Film ini bercerita tentang sosok Jackie Robinson (Chadwick Boseman) yang merupakan orang kulit hitam pertama yang bermain baseball di Major League. Semenjak Jerman dan Jepang berhasil dikalahkan dalam Perang Dunia II, para prajurit Amerika kembali pulang sebagai pahlawan yang berhasil menghapuskan fasisme. Namun nyatanya di Amerika sendiri justru rasisme yang masih merajalela. Memang orang kulit hitam sudah tidak lagi menjadi budak, tapi kebebasan mereka masih sangat jauh jika dibandingkan orang kulit putih. Sebagai contoh toilet untuk kulit hitam dan kulit putih masih dipisahkan. Rasisme juga terjadi dalan dunia baseball dimana dari 400 pemain Major League kesemuanya adalah orang kulit putih, sedangkan orang kulit hitam bermain di liga mereka sendiri yang termasuk liga sekunder. Sampai akhirnya Branch Rickey (Harrison Ford) yang merupakan pemilik klub Brooklyn Dodgers melakukan langkah kontroversial dengan mengontrak Jackie Robinson kedalam timnya sebagai pemain kulit hitam satu-satunya di liga. Sontak kontroversi dan caci maki mengiringi debut Jackie.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ONLY GOD FORGIVES (2013)

1 komentar
Dua tahun yang lalu duet Nicolas Winding Refn dan Ryan Gosling berhasil meraih sukses besar di Cannes Film Festival yang mendapat standing ovation sekaligus memberikan gelar Best Director pada Refn. Kolaborasi keduanya berlanjut di tahun ini melalui Only God Forgives yang menarik perhatian banyak orang termasuk saya. Setelah kesuksesan Drive kira-kira film hebat apalagi yang akan dihasilkan keduanya? Namun pada pemutarannya di Cannes, film ini memecah penonton menjadi dua kubu dimana banyak yang mencemooh namun ada juga penonton yang memberikan standing ovation pada film ini. Opini kritikus pun cukup terpecah meski lebih banyak yang menilai negatif film ini. Mayoritas orang mengkritisi plot serta karakterisasinya yang dianggap kosong meskipun filmnya memiliki sinematografi yang menawan. Namun saya tetap merasa tertarik pada film ini karena dua alasan, pertama Nicolas Winding Refn, kedua Ryan Gosling. Saya memang begitu menyukai Drive, namun diluar film tersebut karya-karya sang sutradara seperti Bronson dan Valhalla Rising selalu memberikan pengalaman menonton film yang unik. Sedangkan Ryan Gosling bisa dibilang saat ini merupakan salah satu properti "terpanas" Hollywood yang kapasitas aktingnya selalu memuaskan.

Julian (Ryan Gosling) adalah seorang ekspatriat yang karena alasan tertentu meninggalkan Amerika dan tinggal di Thailand bersama kakaknya, Billy (Tom Burke). Disana Julian merupakan seorang pemilik boxing club yang sebenarnya merupakan tempat penyelundupan narkoba besar-besaran. Suatu malam ia mendapat kabar bahwa Billy telah tewas dibunuh. Mencoba membalaskan kematian kakaknya, Julian akhirnya mengetahui bahwa Billy dibunuh karena ia memeprkosa seorang wanita berusia 16 tahun sebelum membunuh wanita tersebut secara brutal. Ayah wanita tersebut, Choi Yan Lee (Kovit Wattanakul) lah yang memukuli Billy hingga tewas. Saat Julian datang untuk menuntut balas, Choi Yan Lee bercerita bahwa ia membunuh Billy atas paksaan seorang polisi bernama Chang (Vithaya Pansringarm) yang dia deskripsikan sebagai Angel of Vengeance. Mendengar cerita itu Julian melepaskan sang pembunuh kakaknya. Di satu sisi, Crystal (Kristin Scott Thomas) yang merupakan ibu Billy dan Julian tiba di Bangkok dan memutuskan memburu pembunuh Billy setelah Julian menolak melakukannya.

1 komentar :

Comment Page:

RETROSPECTIVE REVIEW - PIETA (2012)

Tidak ada komentar
Ini bukan pertama kali saya menonton ulang sebuah film, karena beberapa film pun sampai saya tonton lima kali bahkan lebih karena saya begitu menyukai film tersebut (ex: Pulp Fiction, (500) Days of Summer). Tapi baru kali ini saya menonton ulang sebuah film untuk mendapatkan sudut pandang baru terhadap film tersebut dan menuliskan lagi reviewnya di blog ini. Sekitar tujuh bulan yang lalu saya menonton Pieta, film garapan Kim Ki-duk yang berhasil memenangi Golden Lion di Venice Film Festival, atau dengan kata lain menjadi film terbaik di festival tersebut dan menandai sejarah sebagai sutradara Korea pertama yang filmnya berhasil menajdi yang terbaik di satu dari tiga festival film paling prestisius (Cannes, Venice, Berlin). Saat itu dengan antusiasme dan ekspektasi tinggi saya menonton Pieta. Harapannya saya akan mendapati film-film indah penuh perenungan ala Ki-duk yang bisa ditemui dalam 3-Iron ataupun Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring. Tapi ternyata Kim Ki-duk menghadirkan film terbarunya tersebut secara lebih sederhana, lebih "kotor" dan keras. Memang kekerasan tidak pernah lepas dari film-filmnya, tapi keindahan serta pemaknaan mendalam yang saya harapkan tidak saya temui di Pieta yang nampak seperti revenge movie standar Korea. Saya pun kecewa pada saat itu.

Beberapa waktu terakhir ini saya sedang banyak menonton film-film Kim Ki-duk termasuk banyak diantaranya film-film lama sang sutradara yang rilis pada akhir 90-an sampai awal tahun 2000-an. Dari situ saya mulai menemui berbagai sisi lain dari Kim Ki-duk. Jika sebelumnya saya hanya memandang Kim sebagai sutradara dengan film-film indah yang mengalun nyaris tanpa dialog, apa yang ia tampilkan di awal karir ternyata cukup berbeda. Tingkat kekerasan yang sudah saya lihat di beberapa filmnya berada dalam porsi yang lebih banyak dan lebih kasar di era awal Kim Ki-duk. Karakter yang ada lebih kasar dan tidak selalu bisu. Gambar-gambar indah sedikit berkurang diganti dengan gambar-gambar penuh ironi dan atmosfer kelam yang entah bagaimana terasa indah. Saya pun teringat Pieta yang mempunyai gaya lebih mirip dengan awal karir Kim dibandingkan sebelum ia vakum pada 2009 dan 2010. Saya mulai berpikir, apakah sebenarnya Pieta  jauh lebih baik daripada yang saya anggap saat pertama kali menontonnya? Apakah penilaian saya waktu itu murni karena ekspektasi yang sangat tidak terpenuhi? Kenyataan yang berbeda dengan ekspektasi entah itu dari segi kualitas ataupun tipikal film sudah sering saya rasakan tapi baru kali ini hal tersebut membuat saya menonton ulang film tersebut. Alasannya jelas: Ini Kim Ki-duk.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CROCODILE (1996)

Tidak ada komentar
Akhirnya setelah berusaha cukup keras saya kesampaian juga menonton Crocodile yang merupakan film debut dari Kim Ki-duk. Film yang mempunyai judul Korea Ageo ini dirilis pada tahun 1996, dimana pada tahun tersebut Kim Ki-duk merilis dua film pertamanya yakni Crocodile dan Wild Animals. Melalui film ini semua cerita dan legenda mengenai Kim Ki-duk akhirnya dimulai. Lewat film ini namanya masuk ke dalam industri perfilman Korea Selatan. Lewat film ini pula industri perfilman mulai mengenal segala kontroversi tentang karyanya yang dipenuhi adegan kekerasan serta unsur seksual yang begitu kental. Lewat film ini Kim berusaha memantapkan berbagai aspek yang nantinya akan kita kenal sebagai signature miliknya,. Melalui film ini jugalah kolaborasi panjang antara Kim Ki-duk dan aktor Cho Jae-hyun dimulai. Nantinya mereka berdua akan bekerja sama dalam lima film lain. Dari segi cerita yang ditampilkan, Crocodile memang terasa bagaikan cetak biru bagi karya-karya Ki-duk berikutnya. Crocodile berkisah mengenai kehidupan seorang pria yang hidup di pinggiran sungai Han. Pria yang mempunyai nama panggilan Crocodile (Cho Jae-hyun) tersebut tidak tinggal sendirian, karena ada seorang kakek (Jeon Mu-Song) dan anak kecil (Ahn Jae-hong) yang berbagi tempat tinggal dengan Crocodile.

Crocodile adalah seorang pria dengan perangai yang tidak menyenangkan. Dia selalu bicara kasar dan seringkali mengamuk dan memarahi orang-orang di sekitarnya. Dia juga berusaha mendapatkan uang dengan berbagai cara mulai dari berjudi, menyuruh si anak kecil untuk bekerja menjual berbagai barang, sampai yang paling gila adalah mengambil uang dari dompet mayat-mayat. Ya, tinggal di pinggir sungai Han membuat Crocodile sudah tidak asing lagi melihat orang-orang yang mati bunuh diri melompat dari atas jembatan. Sungai tersebut memang dikenal sering menjadi tempat bagi orang-orang untuk bunuh diri, dan tiap kali ada yang melompat Crocodile akan langsung berenang tapi bukan untuk menyelamatkan orang itu tapi untuk mengambil dompetnya. Suatu hari seorang wanita (Woo Yun-kyeong) melakukan bunuh diri dan kejadian itu dilihat oleh mereka bertiga. Namun kali ini Crocodile tidak membiarkannya mati melainkan menyelamatkan nyawa wanita tersebut. Apakah Crocodile telah berubah menjadi baik hati? Tentu tidak, karena selepas wanita itu sadar, ia dijadikan bahan pelampiasan nafsu seksual dan berulang kali diperkosa oleh Crocodile. Anehnya, si wanita itu tidak mencoba untuk kabur dari tempat tersebut. Dan semakin sering mereka berinteraksi, hubungan aneh antara keduanya pun semakin dalam.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE CROODS (2013)

1 komentar

The Croods adalah sebuah kejutan bagi saya. Pertama, film ini sanggup mengumpulkan uang sebanyak $581 juta dan untuk sementara menjadi film animasi terlaris tahun 2013 mengungguli Despicable Me 2 dan Monsters University. Yang kedua, secara kualitas The Croods berada jauh diatas ekspektasi saya. Meskipun dibuat oleh Chris Sanders yang merupakan orang dibalik How to Train Your Dragon, saya tetap tidak berekspektasi tinggi terhadap film animasi buatan DreamWorks. Studio yang satu ini memang masih labil jika bicara masalah kualitas cerita yang ada dalam film-film mereka. Mungkin secara visual selalu mengagumkan, tapi secara cerita masih tidak stabil. DreamWorks mempunyai film brilian macam How to Train Your Dragon, Shrek dan Kung Fu Panda. Namun mereka juga punya tontonan medioker semisal Shrek Forever After dan Shark Tale. Maka dari itu meski ada anggapan DreamWorks sekarang sudah semakin membaik dan mendekati kualitas Pixar, saya tetap tidak berekspektasi tinggi terhadap The Croods. Namun ternyata DreamWorks berhasil memberi bukti lewat The Croods bahwa mereka bukan saja sudah mendekati Pixar dari segi kualitas visual animasinya tapi juga dari kualitas ceritanya.

Croods adalah nama dari sebuah keluarga yang hidup di jaman pra-sejarah dan merupakan sisa-sisa dari manusia gua yang masih bertahan hidup. Disaat keluarga-keluarga manusia gua lainnya telah mati, Croods masih bisa bertahan hidup berkat Grug, sosok ayah yang begitu protektif terhadap keluarganya. Namun terkadang perlindungan yang diberikan Grug terasa berlebihan seperti melarang anggota keluarganya untuk keluar dari gua setelah gelap, larangan menunjukkan rasa ingin tahu, larangan mencari hal-hal baru dan lain sebagainya. Karena menurut Grug, hal baru dan rasa ingin tahu bisa membunuh mereka. Hal itu membuat sang puteri, Eep merasa tidak tahan lagi. Suatu malam, Eep memutuskan keluar diam-diam dari gua karena merasa penasaran dengan sebuah cahaya yang bergerak-gerak di malam hari. Ternyata cahaya misterius tersebut berasal dari sebuah api yang dinyalakan oleh seorang pemuda bernama Guy. Guy bukanlah seorang manusia gua primitif seperti Eep dan keluarganya. Pemuda yang satu ini banyak mempunyai ide-ide brilian dan berhasil menemukan berbagai hal yang pada saat itu belum dipahami oleh manusia gua seperti cara membuat api, sandal bahkan payung. Guy ternyata tengah melakukan perjalanan untuk menyelamatkan diri dari akhir dunia yang ia yakini akan segera tiba. Tidak sulit bagi kita untuk menebak bahwa Eep akan mulai tertarik pada Guy yang jenius dan menyukai hal baru namun mendapat tentangan dari sang ayah yang punya sifat sangat berlawanan.

1 komentar :

Comment Page:

CELL 211 (2009)

Tidak ada komentar
Cerita mengenai seorang polisi yang harus menyamar menjadi tahanan dan menyusup ke dalam penjara memang sudah biasa. Biasanya sang polisi harus menyamar guna mendekati salah seorang tahanan untuk mendapatkan informasi mengenai kawanan penjahat yang belum berhasil tertangkap. Namun apa yang disuguhkan oleh Daniel Monzon dalam Cell 211 sedikit berbeda dari premis tersebut. Cell 211 sendiri adalah film asal Spanyol yang berhasil mendapatkan tanggapan sangat baik di masa perilisannya. Bahkan dalam ajang Goya Awards yang merupakan ajang penghargaan setara Oscar di Spanyol, film ini sanggup mengumpulkan 16 nominasi dan memenangkan delapan diantaranya. Dari delapan piala yang berhasil dibawa pulang tersebut, salah satunya adalah Best Picture dimana Cell 211 mengalahkan film Argentina The Secret in Their Eyes yang merupakan pemenang Oscar dan The Dancer and the Thief yang merupakan perwakilan Spanyol di ajang Oscar. Dalam Cell 211 memang ada orang luar yang menyamar sebagai tahanan, namun orang tersebut bukanlah seorang polisi yang tengah menjalankan misi undercover, melainkan seorang pegawai baru di sebuah penjara yang terjebak dalam sebuah kerusuhan yang tiba-tiba saja terjadi di dalam penjara tersebut.

Juan (Alberto Ammann) baru akan memulai bekerja besok, tapi ia memilih berkunjung terlebih dahulu untuk memberikan kesan yang baik dan terpaksa meninggalkan sang istri, Elena (Marta Etura) yang tengah hamil tua. Juan pun diajak berkeliling oleh sesama penjaga untuk melihat-lihat segala sisi penjara termasuk sebuah blok terpisah yang diisi oleh para psikopat dan pembunuh kejam yang kebanyakan dari mereka mendapat hukuman seumur hidup di penjara. Saat tengah berkeliling terjadilah sebuah kecelakaan yang menyebabkan beberapa reruntuhan terjatuh dari langit-langit dan salah satunya mengenai kepala Juan. Juan yang terluka dan pingsan dibawa ke sebuah sel bernomor 211 yang kebetulan baru saja kosong setelah penghuninya mati bunuh diri beberapa saat yang lalu. Namun sebelum Juan sempat mendapatkan perawatan, para tahanan yang dipimpin oleh Malamadre (Luis Tosar) berhasil kelaur dari sel dan mulai menciptakan kekacauan. Malang, Juan tidak sempat terselamatkan dan ditinggalkan tergeletak di sel tersebut hingga akhirnya salah seorang tahanan menemukannya dan membawa Juan bertemu dengan Malamadre. Untuk menyelamatkan dirinya, Juan mengaku sebagai seorang tahanan yang baru saja masuk hari itu. Juan pun pada akhirnya membantu Malamadre melancarkan aksinya bersama tahanan lain sambil secara sembunyi-sembunyi berusaha keluar dan bertemu dengan istrinya lagi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TRANCE (2013)

5 komentar
 
Danny Boyle adalah sutradara yang hebat, dan pernyataan  tersebut memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Kemampuannya dalam menselaraskan style dengan substance memang luar biasa seperti yang kita jumpai dalam film-filmnya mulai dari Trainspotting, 28 Days Later, Slumdog Millionaire hingga 127 Hours. Maka disaat Boyle membuat sebuah film yang katanya meramu unsur realita dan fantasi menjadi satu saya sangat tertarik. "Pasti bakal jadi film yang gila!" begitu pikir saya. Membaca berbagai review yang ada, banyak orang menyebut Trance laksana gabungan Memento dan Inception. Ya, dua film Nolan dengan plot twist gila itu digabung menjadi satu? Apakah Trance memang sehebat itu? Meski penasaran, saya sendiri sedikit ragu bahwa Trance akan sehebat yang saya dengar mengingat secara pendapatan film ini merugi dan pendapat kritikus terbilang biasa saja. Angka 69% di Rotten Tomatoes jelas tidak jelek tapi juga bukan angka bagi film yang dikatakan sebagai gabungan Memento dengan Inception. Sebenarnya ide tentang film ini sudah muncul hampir 20 tahun lalu saat Boyle baru saja merampungkan debut filmnya, Shallow Grave. Tapi karena menurut Boyle naskah milik Joe Ahearne tersebut akan sulit digarap pada waktu itu, jadilah rencana tersebut batal meski akhirnya Trance sempat dibuat sebagai film televisi pada 2001. Tapi Boyle tidak pernah melupakan naskah milik Ahearne tersebut dan setelah hampir dua dekade berlalu ia pun membuatnya.

Simon Newton (James McAvoy) adalah seorang juru lelang yang suatu hari mendapati pelelangan yang tengah berlangsung diserbu oleh sekawanan perampok yang berniat mencuri lukisan seharga 25 juta. Sesuai prosedur, Simon akan membawa lukisan tersebut dan membuangnya di tempat pembuangan sampah untuk menyelamatkannya, tapi di tengah perjalanan ia dihadang oleh Franck (Vincenct Cassel) yang merupakan pimpinan dari para perampok tersebut. Mencoba melawan, Simon akhirnya harus mendapat sebuah pukulan yang membuatnya pingsan dan lukisan itupun berhasil dibawa pergi oleh para perampok. Namun mereka terkejut saat mengetahui yang mereka bawa ternyata hanya sebuah bingkai kosong tanpa berisi lukisan yang mereka incar. Hanya Simon lah yang tahu dimana keberadaan lukisan tersebut, dan sayangnya akibat pukulan yang diberikan oleh Franck di kepalanya, Simon mengalami amnesia. Dia sama sekali tidak mengingat dimana ia terakhir menyembunyikan lukisan tersebut. Untuk itulah Franck membawa Simon untuk mendatangi seorang ahli hipnosis guna mendapatkan ingatannya kembali. Simon pun memilih datang ke tempat Elizabeth Lamb (Rosario Dawson). Terapi hipnosis dilakukan pada Simon yang pada akhirnya secara perlahan justru mengungkap berbagai macam rahasia serta konspirasi yang terjadi dalam perampokan tersebut.

5 komentar :

Comment Page:

THE HOST (2013)

2 komentar
Kesuksesan lima film The Twilight Saga yang berhasil mengumpulkan lebih dari $3,3 milyar dari total bujet kelima filmnya yang hanya $385 juta jelas membuat Hollywood tergiur untuk memfilmkan lagi karya-karya dari Stephenie Meyer. Selain tetralogi Twilight, Meyer masih punya satu novel lagi yang juga meraih kesuksesan, yakni The Host. The Host sendiri diterbitkan pada tahun 2008, disaat Twilight baru saja hendak memulai "invasi" terhadap para penonton dunia. Jujur saja sebenarnya proyek The Host cukup menjanjikan jika kita melihat siapa saja yang terlibat di dalamnya. Yang pertama jelas ini berbasis karya Stephanie Meyer yang mungkin bukanlah sebuah cerita yang bagus tapi jika dieksekusi dengan baik maka berpotensi menjadi sebuah cerita ringan yang menghibur. Kemudian di jajaran pemainnya ada aktris muda Saoirse Ronan yang pada tahun 2012 lalu sempat absen muncul di layar lebar dan Diane Kruger yang performanya sebagai Bridget von Hammersmark dalam Inglourious Basterds masih saya ingat. Tapi keberadaan sosok Andrew Niccol sebagai sutradara sekaligus penulis naskah adalah yang paling menjanjikan. Hal ini dikarenakan pengalamannya dalam menangani banyak film sci-fi seperti Gattaca dan In Time serta menulis naskah untuk The Truman Show dan The Terminal.

Dalam film ini bukan vampir ataupun werewolf yang menjadi sorotan melainkan alien parasit yang disebut sebagai Souls. Di masa depan, Bumi sudah menjadi tempat yang aman sekaligus damai. Tidak ada peperangan dan konflik di seluruh dunia. Bisa dibilang dunia saat itu terasa begitu sempurna. Namun dibalik itu semua bukan manusia yang menciptakan perdamaian tersebut, melainkan para Souls yang menghuni tubuh manusia. Pada saat itu mayoritas manusia di Bumi tubuhnya sudah diambil alih oleh Souls yang kini telah menguasai dunia. Meski mereka cinta damai, namun mereka tidak segan untuk memburu manusia yang melakukan perlawanan terhadap mereka. Salah satu manusia yang melakukan perlawanan adalah Melanie Stryder (Saoirse Ronan) yang selama ini hidup dalam pelarian bersama adiknya, Jamie (Chandler Canterbury) dan kekasihnya, Jared (Max Irons). Suatuh hari para Souls yang dipimpin oleh Seeker (Diane Kruger) berhasil menyudutkannya. Tidak rela diambil alih tubuhnya, Melanie memutuskan bunuh diri. Seeker pun membawa tubuh Melanie untuk kemudian memasukkan parasit kedalam tubuhnya. Maka dimasukkanlah parasit bernama Wanderer yang mengambil alih tubuh Melanie dan mencoba menggali informasi tentang manusia lain yang masih hidup dari memori milik Melanie. Tapi ternyata Melanie masih hidup dan hal tersebut membuat ada dua pikiran yang saling bertentangan dalam tubuhnya.

2 komentar :

Comment Page:

BEST MOVIES OF 2013 (SO FAR)

1 komentar
Tahun 2013 sudah berlalu lebih dari setengahnya dan saya pun tergiur untuk menuliskan daftar film-film apa saja yang saya anggap sebagai yang terbaik di tahun ini. Tentu saja daftar ini sifatnya masih sangat sementara dan sangat mungkin akan berganti. Bahkan mungkin saja separuh dari film yang ada di dafatr ini tidak akan masuk di daftar akhir tahun nantinya. Kedua puluh film yang ada disini mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai yang terbaik secara keseluruhan karena masih ada begitu banyak film bagus di tahun ini yang belum saya tonton, dan tentu saja karena daftar ini disusun murni oleh selera subjektif saya. Jadi berikut ini adalah daftar 20 film terbaik (sementara) tahun 2013 versi Movfreak Blog.

1 komentar :

Comment Page:

PACIFIC RIM (2013)

2 komentar
Batal menyutradarai The Hobbit, Guillermo del Toro ternyata sudah mempersiapkan proyek original miliknya sendiri yang berjdul Pacific Rim. Film ini sendiri merupakan hasil kolaborasi dari del Toro dan Travis Beacham dimana keduanya terinspirasi untuk membuat kisah tentang pertarungan antara robot raksasa melawan monster raksasa. Pacific Rim disebut mengambil inspirasi dari film-film kaiju. Kaiju sendiri diambil dari bahasa Jepang yang berarti makhluk aneh, tapi pengaruh dari banyaknya film asal Jepang yang menampilkan makhluk aneh berukuran raksasa, kaiju kini lebih sering diasosiasikan sebagai sebutan untuk monster raksasa. Contoh film kaiju yang paling terkenal tentu saja Godzilla yang bisa dibilang merupakan leluhur dari film-film monster yang banyak bermunculan termasuk puluhan sekuel dari Godzilla sendiri. Selain kaiju, film ini juga mengambil inspirasi cukup banyak dari film-film bertemakan mecha, khususnya yang berasal dari manga. Salah satu contohnya adalah Neon Genesis Evangelion sampai Patlabor yang juga menampilkan robot-robot raksasa yang dipiloti oleh manusia. Saya sendiri berekspektasi cukup tinggi terhadap Pacific Rim dan berharap akan mendapat sebuah tontonan epic tentang pertarungan robot melawan monster dalam usaha menyelamatkan dunia.

Di masa depan, umat manusia dikejutkan dengan kemunculan monster raksasa yang muncul dari dasar Samudera Pasifik. Awalnya monster yang disebut kaiju tersebut hanya muncul seekor dan butuh waktu seminggu bagi pasukan militer untuk mengalahkannya. Namun beberapa waktu berselang makin banyak lagi kaiju bermunculan dan memporak porandakan seluruh dunia serta memakan korban hingga jutaan nyawa. Kemudian harapan muncul saat pemerintah dunai bersatu dan terciptalah sebuah proyek untuk melakukan perlawanan terhadap kaiju. Proyek tersebut adalah membangun robot raksasa yang diberi nama Jaegers. Robot itu membutuhkan dua orang pilot untuk mengoperasikannya, dimana pikiran kedua pilot tersebut akan saling terhubung satu sama lain. Raleigh (Charlie Hunnam) merupakan salah satu pilot jaegers yang sudah berhasil membunuh banyak kaiju. Namun setelah sang kakak yang menjadi partnernya tewas saat bertugas ia memutuskan pensiun. Beberapa tahun berlalu kaiju semakin banyak dan makin kuat dimana monster-monster itu mulai saling beradaptasi dalam pertarungan melawan jaegers. Disaat kaiju makin banyak, jumlah jaegers yang tersisa beserta pilotnya makin sedikit. Pada saat inilah Marshall Stacker (Idris Elba) memanggil kembali Raleigh untuk terjun ke medan perang.

2 komentar :

Comment Page:

BIRDCAGE INN (1998)

2 komentar
Jika The Isle memantapkan nama Kim Ki-duk di kancah perfilman dunia lewat keberhasilannya di berbagai festival, maka Birdcage Inn mungkin adalah yang pertama kali memperkenalkan nama sang sutradara di level internasional. Meski Birdcage Inn berakhir seperti film Kim lainnya yang gagal secara komersil di Korea Selatan (hanya mengumpulkan kurang lebih 5.800 penonton) tapi prestasinya di festival film Internasional cukup berhasil. Film ini menjadi pembuka di kategori Panorama Section pada ajang Berlin International Film Festival tahun 1999. Film yang mempunyai judul Korea Paran daemun ini bercerita tentang kehidupan seroang wanita yang setiap malam bekerja sebagai PSK di sebuah penginapan. Wanita yang terjebak dalam kehidupan yang berat nan menyakitkan serta kehidupan prostitusi adalah tema yang kedepannya semakin sering diangkat oleh Kim Ki-duk seperti dalam The Isle maupun Bad Guy. Sosok yang menjadi tokoh sentral di film ini adalah Jin-a (Lee Ji-eun), seorang wanita berusia 22 tahun yang baru saja tiba di sebuah penginapan bernama Birdcage Inn untuk memulai bekerja disana. Tidak hanya bekerja, Jin-a juga diperbolehkan tinggal disana bersama satu keluarga pemilik penginapan tersebut yang terdiri dari empat orang.

Diawal saya menyebutkan bahwa ini adalah kisah tentang wanita yang berada dalam kehidupan berat dan menyakitkan. Apa yang dialami Jin-a memang sungguh berat. Ayah dari keluarga pemilik penginapan tersebut yang nampaknya baik dan penyayang memperkosanya, sang istri memang tidak bertindak kejam pada Jin-a tapi yang ia pikirkan hanya mendapat uang dari menjual tubuh Jin-a. Anak laki-lakinya yang hobi fotografi, Hyun-woo (Ahn Jae-mo) meminta Jin-a melakukan pose bugil sebelum akhirnya berhubungan seks dengannya. Sedangkan si anak perempuan, Hye-mi (Lee Hae-eun) adalah yang paling menunjukkan kebenciannya pada Jin-a dengan selalu mencela pekerjaannya dan terus berusaha mengasingkan Jin-a. Permasalahan yang dialami Jin-a bukan hanya datang dari keluarga tersebut, karena germo yang dulu mempekerjakan Jin-a baru saja bebas dari penjara dan sering mengunjunginya dan memaksanya berhubungan seks bahkan tidak jarang melukai secara fisik. Namun yang paling menjadi sorotan dalam Birdcage Inn adalah bagaimana hubungan antara Jin-a dan Hye-mi berkembang dimana Jin-a terus berusaha berteman dengan Hye-mi, tapi sebaliknya Hye-mi selalu menampik usaha tersebut dan terus membencinya.

2 komentar :

Comment Page:

DESPICABLE ME 2 (2013)

Tidak ada komentar
 
Studio animasi Illumination Entertainment membuat kejutan tiga tahun lalu saat film perdana mereka, Despicable Me sukses meraih pendapatan lebih dari $500 juta di seluruh dunia. Kejutan tidak hanya sampai kesuksesan komersial, karena film tersebut juga berhasil melahirkan karakter ikonis baru yang begitu disukai oleh orang-orang di seluruh dunia. Ya, karakter tersebut tidak lain adalah Minion. Meski secara kualitas filmnya biasa saja, namun kemunculan makhluk kuning menggemaskan yang selalu mengumbar kekonyolan tersebut sukses membuat para penonton jatuh cinta. Kini sosok Minion bisa dilihat dalam berbagai media, mulai dari merchandise sampai berbagai macam game. Tentu saja pihak studio tidak perlu berpikir panjang untuk membuat sekuelnya. Masih disutradarai oleh duo Pierre Coffin dan Chris Renaud, Despicable Me 2 akan menghadirkan cerita yang bisa dibilang berkebalikan dari film pertamanya. Jika di film pertama Gru diceritakan adalah seorang penjahat yang ingin menguasai dunia dan berusaha mencuri bulan untuk menjadi penjahat nomor satu, pada sekuelnya ini dia sudah bertobat dan justru direkrut untuk menghentikan aksi seorang penjahat yang berniat untuk menguasai dunia.

Ya, kini Gru memang sudah pensiun sebagai penjahat dan menjadi ayah dari Margo, Edith dan Agnes. Mereka berempat hidup sebagai keluarga yang bahagia, meski sebenarnya ada yang kurang, yakni sosok istri sekaligus ibu bagi ketiganya. Suatu hari Gru dikejutkan oleh kedatangan Lucy, seorang agen rahasia dari organisasi Anti-Villain League yang bertugas memberantas kejahatan berskala global. Gru dibawa secara paksa oleh Lucy untuk menemui Ramsbottom di markas besar AVL yang terletak di dasar laut. Disana Gru dengan segala pengalamannya sebagai penjahat kelas kakap dimintai bantuan untuk mencari seorang supervillain misterius yang baru saja mencuri sebuah formula genetis berbahaya. Dari situlah awal petualangan Gru dan Lucy untuk mencari sosok penjahat misterius tersebut dimulai.....dan tentunya dengan bantuan para Minion yang kali ini jumlahnya makin banyak. Jika anda menonton Despicable Me 2 dengan harapan untuk menyaksikan aksi konyol para Minion maka berbahagialah karena film ini akan memuaskan dengan sepuas-puasnya keinginan anda itu. Tidak hanya jumlah Minion saja yang makin bertambah, porsi mereka menampilkan berbagai aksi bodoh nan konyol juga turut dilipat gandakan disini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DREAM (2008)

Tidak ada komentar
Dream adalah film kelima belas dari Kim Ki-duk dan film terakhirnya sebelum sang sutradara memutuskan vakum dan menyepi di atas gunung. Sekedar informasi, pada proses pengambilan gambar film ini sempat terjadi kecelakaan yang menimpa aktris Lee Na-young. Saat itu sang aktris sedang melakukan adegan gantung diri, dan tanpa disangka-sangka terjadilah kecelakaan yang membuatnya sungguh-sungguh tercekik. Nyawa sang aktris berhasil diselamatkan tapi Kim Ki-duk merasa benar-benar terpukul atas kejadian tersebut dan membuatnya mempertanyakan makna hidup dan dirinya sebagai sutradara. Kembali ke filmnya, Dream sendiri seperti judulnya memang menampilkan cerita yang berpusat pada mimpi yang dialami oleh karakternya. Ya, ini adalah film tentang mimpi yang berjalan layaknya mimpi, maka jangan terkejut jika anda menemukan berbagai hal yang rasanya tidak masuk akal dan jauh dari logika. Kenapa? Karena bukankah mimpi seringkali tidak masuk akal dan mengkhianati logika? Tapi meski berbekal fakta tersebut Kim tidak lantas membuat filmnya asal melukai logika yang ada, karena seperti biasa film Kim adalah sebuah perjalanan indah penuh makna.

Jin (Jo Odagiri) baru saja terbangun dari mimpinya tentang tabrak lari yang ia lakukan. Jin merasa mimpi tersebut sangatlah nyata dan memutuskan untuk mendatangi tempat dimana mimpinya itu terjadi. Disana Jin terkejut karena dia mendapati kecelakaan tabrak lari dalam mimpinya sungguh-sungguh terjadi. Berdasarkan bukti dan rekaman yang ada, polisi menetapkan Ran (Lee Na-young) sebagai tersangka. Tapi walaupun bukti sudah sanagt jelas mulai dari foto lalu lintas yang memperlihatkan wajahnya dan fakta bahwa mobil miliknya rusak bekas kecelakaan, Ran mengelak bahwa ia melakukan tabrak lari tersebut. Menurut kesaksian Ran, saat kejadian berlangsung ia sedang tertidur di rumahnya. Mendengar kesaksian tersebut Jin menyadari bahwa apa yang ia alami dalam mimpinya akan terjadi pada kehidupan nyata. Bedanya, yang melakukan hal tersebut bukanlah Jin, melainkan Ran yang ternyata juga mempunyai kebiasaan tidur sambil berjalan. Menyadari hal tersebut bisa membahayakan khususnya bagi Ran, keduanya memutuskan untuk saling membantu supaya masing-masing dari mereka tidak tertidur. Perlahan mereka juga mulai menyadari bahwa ada ikatan diantara mereka berdua.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BEHIND THE CANDELABRA (2013)

Tidak ada komentar
Behind the Candelabra adalah film terakhir dari Steven Soderbergh sebelum sang sutradara memutuskan untuk rehat dari dunia film guna menekuni seni lukis. Ide untuk membuat film ini sendiri sebenarnya sudah muncul sedari tahun 2000 saat Soderbergh tengah membuat Traffic. Saat itu sang sutradara mengutarakan idenya kepada aktor Michael Douglas yang juga turut bermain di film tersebut dan menawarinya peran sebagai Liberace. Namun karena saat itu Soderbergh masih kebingungan akan mengemas film ini dari sudut pandang seperti apa, maka proses itupun menjadi tertunda. Sampai pada tahun 2008 Soderbergh menghubungi Richard LaGravense untuk menulis naskah berdasarkan memoir berjudul Behind the Candelabra: My Life with Liberace yang ditulis oleh Scott Thorson. Namun meski sudah mendapatkan ide cerita, Soderbergh justru terganjal dalam usahanya mencari distributor. Berbagai studio menyatakan bahwa film ini terlalu gay dan dinilai tidak menjual. Sampai pada akhirnya HBO bersedia menjadi distributor dan Behind the Candelabra pun menjadi sebuah film televisi meski sebelumnya sudah diputar perdana di Cannes Film Festival. Behind the Candelabra berkisah tentang 10 tahun terakhir dari hidup pianis ternama Liberace beserta affair yang ia jalin dengan Scott Thorson.

Scott Thorson (Matt Damon) adalah pemuda berusia 17 tahun yang bekerja sebagai pelatih binatang untuk keperluan syuting film. Suatu hari di sebuah gay bar ia bertemu dengan seorang produser film bernama Bob Black (Scott Bakula). Bob kemudian menawari Scott untuk ikut dengannya guna mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Melalui Bob lah pada akhirnya Scott bertemu dengan Liberace (Michael Douglas). Tidak butuh waktu lama bagi Liberace yang saat itu sudah 58 tahun untuk tertarik dengan Scott yang secara usia jelas pantas menjadi anaknya. Liberace mulai mengundang Scott untuk datang ke rumahnya. Scott yang ahli menangani hewan pun menawarkan bantuannya untuk menyembuhkan anjing kesayangan Liberace yang mengalami kebutaan. Semakin lama hubungan keduanya makin berkembang dan Liberace pun menawari Scott sebuah pekerjaan untuk menjadi tangan kanannya. Sejak saat itupun Scott tinggal serumah dengan Liberace, dan hubungan cinta antara keduanya terjalin semakin kuat. Keduanya yang selama ini erat dengan kesendirian dan rasa sepi pun sama-sama menemukan sosok yang bisa menemani mereka.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ELEPHANT MAN (1980)

Tidak ada komentar

The Elephant Man mungkin tidak hanya film yang melambungkan nama Lynch ke jajaran sutradara mainstream tapi juga merupakan filmnya yang paling sukses hingga saat ini, bahkan melebihi film lainnya yang cukup terkenal semisal Mulholland Drive ataupun Blue Velvet. Setelah kesuksesan Eraserhead di tahun 1977, komedian Mel Brooks yang juga merupakan produser The Elephant Man tertarik akan talenta Lynch dan memintanya menyutradarai film yang diadaptasi dari buku The Elephant Man and Other Reminiscences dan The Elephant Man: A Study in Human Dignity ini. Kisah yang diangkat sendiri merupakan kisah nyata tentang seorang pria bernama Joseph Merrick yang mempunyai kelainan fisik dimana kepalanya mempunyai bentuk yang menyerupai seekor gajah sehingga disebut The Elephant Man. Film ini sendiri berhasil mendapatkan delapan nominasi Oscar termasuk Best Picture, Best Actor (John Hurt) serta Best Adapted Screenplay. Tidak hanya itu, berkat hasil make-up yang luar biasa dari Christopher Tucker yang dianggap terobosan pada masa itu, pihak Academy Awards akhirnya menambahkan kategori untuk Best Makeup setahun kemudian. Secara komersial pun film ini meraih kesuksesan dengan mendapatkan lebih dari $26 juta dari bujetnya yang hanya $5 juta dan menjadi film David Lynch yang paling untung hingga kini.

Frederick Treves (Anthony Hopkins) adalah seorang dokter bedah dari sebuah rumah sakit di London. Suatu hari ia mendatangi sebuah freak show, yakni sirkus yang berisi orang-orang dengan kondisi fisik unik. Disana ia melihat Joseph Merrick (Jojn Hurt) yang disebut sebagai The Elephant Man karena kondisi fisiknya yang mirip dengan seekor gajah. Merasa tertarik pada kondisi yang dimiliki oleh Merrick, Treves memutuskan untuk bernegosiasi dengan Bytes (Freddie Jones) sang pemilik sirkus untuk membawa Merrick ke rumah sakit guna diteliti kondisinya. Disana Treves mulai mencoba meneliti kondisi Merrick yang meski pada awalnya sulit tapa lama kelamaan keduanya mulai saling bisa berkomunikasi secara verbal. Bagi Treves ini adalah keuntungan bagi dirinya sebagai dokter dan tentunya bagi ilmu pengetahuan. Tapi bagi Merrick, mempunyai sosok seperti Treves yang memperlakukannya seperti manusia biasa membuatnya mulai menemukan kebahagiaan yang telah lama tidak ia rasakan. Sekilas film ini mungkin terasa seperti film kebanyakan yang karakter utamanya memiliki kelainan. Mudah saja bagi kita menebak bahwa The Elephant Man juga membawa pesan yang selalu dibawa oleh film-film tersebut, yakni seperti apapun berbedanya kondisi seseorang, ia tetaplah seorang manusia yang harus diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya. Pesan seperti itu memang muncul disini, tapi jangan lupa bahwa ini adalah filmnya David Lynch.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MONSTERS UNIVERSITY (2013)

2 komentar
Semenjak diambil alih Disney, masa depan film-film Pixar secara kualitas memang cukup mengkhawatirkan. Semuanya dimulai oleh Cars 2, sebuah sekuel dari film Pixar yang dianggap dibawah standar. Cars 2 dirilis setahun setelah Toy Story 3 yang begitu sempurna itu dan hingga kini menjadi film Pixar yang punya kualitas paling buruk. Namun harapan sempat terpancar setelah Pixar merilis Brave. Saya setuju dengan anggapan banyak orang yang menyatakan film itu masih belum berada di puncak kualitas Pixar, tapi bagi saya Brave merupakan film yang setidaknya memenuhi standar dari studio animasi tersebut. Cerita yang original, serta konten yang penuh makna dan cukup menyentuh membuat saya menganggap kritikan terhadap film itu membuat Brave menjadi film Pixar paling underrated. Namun setahun kemudian Pixar justru kembali merilis film yang bukan merupakan sebuah kisah original, yaitu Monsters University yang merupakan prekuel dari Monsters Inc. Saya suka Monsters Inc. dengan segala desain monster, konsep original mengenai sumber energi dari teriakan anak-anak, sampai tentu saja cerita yang menyentuh. Maka dari itu meski saya kurang suka dengan ide prekuel, toh setidaknya film ini merupakan prekuel dari film yang punya kualitas tinggi, tidak seperti Cars 2.

Seperti biasa, film Pixar dibuka dengan sebuah short movie. Dalam Monsters University ada The Blue Umbrella yang mempunyai kisah sederhana tentang dua payung yang saling jatuh cinta tapi tentunya berhasil dieksekusi dengan begitu menyentuh. Meski kualitas film panjang Pixar mulai menurun tapi film pendek yang jadi pembuka tidak pernah mengalami penurunan tersebut. Kembali ke Monsters Universitiy, film ini ber-setting disaat dua sahabat dari Monster Inc. Mike dan Sulley masih berkuliah dimana saat itu mereka belum bersahabat bahkan saling bersaing. Mike dengan begitu bersemangat menjadi mahasiswa di Monsters University dengan mengambil jurusan "menakut-nakuti". Meski dirinya sama sekali tidak seram, Mike sangat berambisi untuk menjadi monster terbaik dan paling menakutkan. Disisi lain Sulley adalah mahasiswa baru yang dianggap menjanjikan dengan talentanya menakut-nakuti, apalagi dia merupakan anggota keluarga Sullivan yang dihormati. Keduanya kemudian saling bersaing untuk menjadi yang terbaik disana sampai sebuah insiden perlahan mulai menyatukan mereka berdua.

Kegunaan sebuah prekuel adalah untuk menjelaskan hal-hal yang belum sempat dijelaskan dalam film aslinya semisal latar belakang karakter, motif yang melatar belakangi terjadinya konflik dan lain-lain. Jika ada sebuah film yang sebenarnya tidak perlu mendapat penjelasan lebih dan dibuat prekuelnya, maka bagi saya itu adalah prekuel yang tidak perlu dan Monsters University adalah satu dari sekian banyak prekuel tidak penting yang dibuat hanya untuk mengais raupan dollar. Saya tidak ingin tahu apa yang membuat Mike dan Sulley bersahabat, saya tidak ingin tahu kenapa Mike hanya menjadi "pelatih" Sulley, saya juga tidak ingin tahu mengapa Randall begitu membenci keduanya. Singkatnya, Monsters Inc. adalah sebuah film yang sudah lengkap, dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan di film itu memang sudah tidak penting lagi untuk dijelaskan. Namun sebuah prekuel yang tidak perlu tidak lagi menjadi masalah jika mampu dieksekusi dengan baik, bahkan bisa jadi menjadi sebuah film yang menyamai film aslinya. Tapi permasalahannya adalah memang tidak ada lagi yang perlu untuk digali pada kisah Mike dan Sulley. 
Sayangnya, Monsters University benar-benar dieksekusi dengan biasa saja. Ceritanya menampilkan hal-hal yang saya tulis diatas seperti awal persahabatan Mike dan Sulley hingga bagaimana Randall bisa bermusuhan dengan mereka berdua. Tapi sayangnya tidak ada usaha untuk mengemas semua itu menjadi menarik. Tentu saja tanpa perlu dibuat prekuelnya mungkin banyak penonton yang sudah mengira-ira bagaimana latar belakang semua itu. Pasti sudah banyak yang mengira bahwa Mike dan Sulley sebelumnya bukan sahabat baik tapi munculnya berbagai momen semakin mendekatkan mereka. Tidak ada kejutan-kejutan yang bisa membuat tensi ceritanya menjadi lebih menarik. Pada akhirnya dari awal sampai akhir Monsters University berjalan dengan begitu datar. Jangankan mampu membuat saya tersentuh, emosi saya justru datar-datar saja meski saya begitu ingin menyukai film ini. Kenapa? Karena ini rilisan Pixar dan saya begitu berharap bisa jatuh cinta pada semua filmnya. Tapi Monsters University justru hanya menampilkan satu per satu momen numpang lewat yang berusaha menjelaskan latar belakang kejadian dan karakter di Monsters Inc. Semuanya hanya numpang lewat disini, saya tidak merasakan ikatan kuat yang membuat saya memahami menagapa Mike dan Sulley bisa begitu erat, tidak ada eksplorasi mendalam mengapa Randall bisa begitu benci pada mereka selain menunjukkan Randall dikalahkan oleh Sulley. Transformasinya dari baik menjadi jahat pun terasa begitu kasar. Bahkan turnamen "monster terseram" yang bagi saya cukup menjanjikan dan membuat saya berharap banyak juga tidak terasa spesial.

Bahkan disaat saya ingin dibuat tertawa, Monsters University tidak mampu menawarkan komedi segar yang membuat saya tertawa lebar. Disaat kisahnya datar, komedinya pun sama saja datarnya. Memang ada beberapa momen yang cukup lucu tapi tetap saja tidak terasa maksimal. Tapi tentu saja jika bicara kualitas visual, film ini masih nomor satu. Begitu menyenangkan melihat bagaimana dunia dalam Monsters Universitiy disajikan termasuk beragam monster baru yang muncul dan beberapa cameo dari monster-monster dari film pertamanya yang cukup menarik untuk dicari. Monsters Universitiy memang tidak seburutk Cars 2, tapi masalahnya, di Cars 2 saya memang tidak berharapn mendapat film terbaik Pixar, berbeda dengan Monster University. Pada akhirnya hal itu membuat kekecewaan saya terhadap film ini justru melebihi kekecewaan saya terhadap Cars 2 yang sejatinya menandai kemunduran kualitas Pixar. Monsters Universitiy berjalan dengan begitu datar dan kisahnya hanya sekedar lewat. Pesan yang coba disampaikan tentang bagaimana setiap individu mempunyai kelebihan mereka masing-masing pun menjadi kurang mengena. Saya masih dan akan terus berharap Pixar kembali pada kualitas terbaiknya dan memberikan cerita yang original. Harapan saya seolah terjawab karena tahun 2014 akan dirilis The Good Dinosaur yang merupakan film origina;. Sayangnya saya kembali dibuat kecewa karena setahun setelahnya akan rilis Finding Dory yang merupakan sekuel dari Finding Nemo.

2 komentar :

Comment Page:

THE LONE RANGER (2013)

Tidak ada komentar
Ada kalanya saya menjadikan sosok Johnny Depp sebagai aktor favorit saya. Saat itu saya begitu mengagumi performanya yang sering memerankan berbagai karakter yang unik menjurus ke aneh. Namun semakin kesini saya mulai merasa bosan karena range karakter yang ia mainkan semakin sempit dan seolah terjebak pada karakter yang itu-itu saja. Tapi toh memang sosok Johnny Depp yang wajahnya ditutupi make-up tebal itulah yang lebih disukai penonton. Hal itu dapat dilihat dari pendapatan film yang ia bintangi disaat tidak memakai make-up tebal dan karakter aneh semisal The Tourist, Public Enemies hingga The Rum Diary yang pendapatannya tidak seberapa, bahkan film yang disebut terakhir flop dan mengalami kerugian. Maka tidaklah mengagetkan bahwa Depp muncul dalam The Lone Ranger sebagai Tonto, sosok Indian yang punya penampilan aneh dengan gagak diatas kepalanya. The Lone Ranger sendiri adalah kisah yang pertama kali muncul dalam serial radio pada tahun 1933 dan sudah mengembangkan sayapnya ke media lain mulai dari buku komik, serial televisi hingga tentunya film layar lebar. Film ini juga mempertemukan kembali orang-orang yang berada dibalik kesuksesan trilogi Pirates of the Caribbean, yakni sutradara Gore Verbinski, produser Jerry Bruckheimer, komposer Hans Zimmer, dan tentunya Johnny Depp.

Pada tahun 1869, seorang pengacara taat hukum bernama John Reid (Armie Hammer) pulang ke kampung halamannya di Colby, Texas dengan kereta api. Kereta api tersebut ternyata juga mengangkut seorang penjahat berbahaya yang tengah menanti eksekusi, yaitu Butch Cavendish (William Fichtner). Tanpa diduga para anak buah Butch menyerang kereta itu untuk menyelamatkan sang pemimpin. Dengan mudah mereka berhasil memporak porandakan kereta tersebut. Namun John yang tidak tinggal diam mencoba melakukan perlawanan dengan dibantu oleh seorang Indian aneh nan misterius bernama Tonto (Johnny Depp) yang juga menjadi tahanan dalam kereta tersebut. Meski pada akhirnya Butch berhasil kabur, berkat aksi John dan Tonto para penumpang berhasil diselamatkan. Berkat aksinya itu John diangkat menjadi salah satu Texas Ranger oleh sang kakak, Dan (James Badge Dale) yang merupakan pahlawan disana dan mengajak John turut serta memburu Butch. Perjalanan itulah yang akan merubah takdir John dari seorang pengacara yang begitu taat hukum dan tidak pernah memakai senjata api menjadi sosok miserisu bertopeng yang dikenal dengan nama Lone Ranger.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

NO (2012)

Tidak ada komentar
 
Film buatan sutradara Pablo Larrain ini merupakan film Chile pertama yang berhasil mendapat nominasi Best Foreign Language Film di ajang Oscar. Bagi saya sendiri, No juga merupakan film asal Chile pertama yang saya tonton. Naskahnya sendiri berdasarkan dari sebuah drama panggung yang tidak dipublikasikan dimana drama tersebut berbasis dari sebuah pergolakan politik yang sungguh-sungguh terjadi di Chile pada tahun 1988. Dibintangi oleh Gael Garcia Bernal yang sebelumnya pernah memerankan sosok Che Guevara di dua film berbeda (Fidel & The Motorcycle Diaries), No akan membawa kita pada masa dimana seorang diktator bernama Jenderal Augusto Pinochet telah memimpin Chile selama 15 tahun dengan mengandalkan kekerasan lewat kekuatan militer yang ia miliki. Publik internasional pun pada akhirnya menekan pemerintah Chile untuk mengadakan voting terhadap rakyatnya untuk menentukan apakah Jenderal Pinochet bisa tetap berkuasa selama delapan tahun ke depan atau ia harus turun tahta dan rakyat Chile berhak memilih Presiden mereka lewat pemilu yang demokratis. Sebelum voting, diadakanlah masa kampanye sekitar sebulan dimana setiap harinya, baik pihak yang menyetujui Pinochet tetap bertahta ataupun yang tidak berhak memasang iklan kampanye selama 15 menit di televisi.

Reene Saavedra (Gael Garcia Bernal) adalah seorang pembuat iklan yang sukses dan bekerja membuat iklan kampanye untuk pihak yang menentang Presiden Pinochet atau disebut sebagai pihak "NO". Saavedra mempunyai strategi yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Jika rekan-rekannya memilih untuk mengeksploitasi penderitaan yang dirasakan oleh rakyat Chile lewat gambar-gambar memilukan dan tragis, Saavedra justru memilih jalan sebaliknya. Dia justru membuat iklan yang penuh dengan keceriaan, senyuman, jingle ceria serta dibumbui humor yang kental sehingga membuat iklan yang dia buat lebih mirip iklan minuman bersoda dibandingkan kampanye politik. Saavedra tentu saja mendapat banyak tekanan karena langkahnya itu dimana rekan-rekannya pun ikut mencibir Saavedra. Sang mantan istri pun terus meragukan langkah yang diambil mantan suaminya tersebut. Karena disisi lain pihak Pinochet memang mempunyai kekuatan serta pengaruh yang sangat besar khususnya berkaitan dengan kekuatan militer yang ia miliki. Pihak "NO" sendiri nampaknya memang hanya mempunyai peluang yang begitu kecil karena jangankan untuk menolak, bahkan untuk memilih dalam voting saja masih banyak rakyat yang enggan melakukannya. Kebanayakan dari mereka merasa takut akan kembali dipimpin oleh rezim socialism yang sempat membuat mereka menderita kemiskinan sebelum rezim Pinochet datang.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE CALL (2013)

1 komentar
Thriller karya sutradara Brad Anderson ini mempunyai ide dasar sangat unik yang setahu saya belum pernah dipakai dalam film manapun. Sudah banyak film yang menyoroti investigasi dari pihak kepolisian untuk mengungkap kasus kejahatan atau memburu penjahat misterius yang mencoba melarikan diri dari kejaran pihak berwajib. Namun baru pada The Call ini ada yang mengambil sudut pandang dari operator 911 yang selalu setia melayani telepon dari masyarakat mulai dari hal-hal penting dan emergency seperti pembunuhan sampai hal-hal tidak penting seperti mencari anjing atau menyelamatkan kucing. Operator tersebut akan menampung laporan yang masuk untuk kemudian menyambungkan pada pihak-pihak berwajib yang dibutuhkan seperti polisi sampai pemadam kebakaran sembari memberikan instruksi-instruksi darurat kepada pihak yang menelepon. The Call dibintangi oleh Halle Berry yang nampaknya akhir-akhir ini sedang tidak memiliki peruntungan yang bagus. Semenjak Catwoman yang memalukan itu, film-film Halle Berry sering gagal entah secara finansia ataupun kualitas, sebut saja Movie 43, Dark Tide atau Frankie and Alice. Dengan berbekal konsep yang unik serta disutradarai oleh Brad Anderson yang berpengalaman membuat thriller menarik (The Machinist) tentu saja ini adalah kesempatan bagi Halle Berry untuk memperbaiki karirnya lagi.

Jordan Turner (Halle Berry) adalah anggota LAPD yang bekerja sebagai operator 911 dan termasuk berpengalaman dalam pekerjaannya. Sampai suatu hari sebuah keputusannya justru membuat seorang gadis remaja dibunuh oleh pria misterius yang menerobos paksa kedalam rumah gadis tersebut. Mengalami trauma dan diselimuti rasa bersalah, Jordan memilih mundur dari pekerjaannya. Enam bulan berlalu dari kejadian tersebut dan Jordan kini bekerja sebagai trainer bagi para calon operator 911. Pada saat memberikan instruksi dan pengarahan mengenai praktek kerja pada para trainee, terjadi sebuah peristiwa darurat yang tidak bisa ditangani oleh seorang operator lainnya. Jordan mengambil alih laporan tersebut yang tanpa ia duga akan membuatnya berhadapan kembali dengan kasus traumatis yang ia hadapi enam bulan lalu. Dengan konsep uniknya tersebut, The Call juga akan memberikan gambaran yang jelas mengenai para operator 911, seperti apa situasi tempat mereka bekerja yang disebut dengan The Hive, apa saja tugas mereka, hingga bagaimana sebenarnya prosedur dari laporan yang masuk ditindak lanjuti. Saya yang sebelum ini tidak mengetahui gambaran mengenai pekerjaan tersebut terpuaskan dengan apa yang ditampilkan oleh The Call tersebut. Penjelasan yang dilakukan dengan baik dan secara bersamaan menjadi sebuah penghantar yang baik untuk membangun rangka ceritanya.
Semuanya yang tersaji dalam The Call begitu menarik dan menegangkan dalam 2/3 filmnya. Bagaimana kita diperlihatkan pada operator 911 beserta pernak-perniknya juga bagaimana beratnya beban psikologis dari seorang operator digambarkan karena walaupun sekilas tugasnya mudah namun keputusan yang dibuat bisa membuat sang penelepon selamat ataupun kehilangan nyawa. Lalu kita dibawa pada drama psikologis di sekitar sosok Jordan yang mengalam rasa bersalah dan trauma mendalam kemudian berusaha menebus "dosa" yang telah ia perbuat tersebut. Kita dibuat mengerti kenapa Jordan begitu ngotot dan mati-matian ingin menyelamatkan Casey yang tengah terjebak dan begitu peduli pada peneleponnya tersebut. Sajian thriller-nya terasa menegangkan dan menarik mengikuti bagaimana sebuah interaksi antara operator dan korban yang terhubung lewat telepon bisa menjadi sebuah suguhan thriller menegangkan yang berjalan dengan tempo cepat. Beberapa plot hole memang muncul disini begitu juga dengan tindakan beberapa karakternya yang terasa bodoh. Namun meski terasa bodoh, tindakan tersebut sebenarnya dapat dimaklumi mengingat masing-masing dari mereka baik itu korban ataupun sang pelaku tengah dilanda kecemasan dan kekhawatiran yang luar biasa.

Tapi entah apa yang ada di pikiran Richard D'Ovidio sebagai penulis naskah saat secara tiba-tiba merubah arah ceritanya di sepertiga akhir film. Sebuah thriller sederhana dengan konsep unik yang tersaji dengan begitu menarik sedari awal tiba-tiba berubah menjadi sebuah tontonan ala film slasher yang begitu klise. Bersamaan dengan filmnya yang berubah jalur, makin berkurang pula daya tarik dan ketegangan yang dimiliki oleh The Call. Sepertiga akhir yang buruk itu nyaris menghapuskan memori saya yang terpuaskan oleh 2/3 awal filmnya yang menyenangkan itu. Klimaksnya pun menjadi begitu hambar, membosankan bahkan ditutup oleh sebuah ending yang bagi saya menggelikan dan terasa bodoh. Saya sempat berharap meski 1/3 akhirnya berubah jalur dengan buruk, setidaknya film ini ditutup dengan konklusi yang memuaskan dan saya kira harapan saya akan terpenuhi saat diperlihatkan Jordan dan Casey akan berbuat sesuatu. Saya yang berharap sebuah hal gila ternyata kembali harus dikecewakan karena lagi-lagi keputusan yang diambil jauh dari kata memuaskan dan begitu anti-klimaks. Terlihat jelas bagaimana Richard D'Ovidio kebingungan untuk mengakhiri ceritanya. Bahkan arahan dari sutradara Brad Anderson yang tidak buruk serta akting Halle Berry yang bagus tidak mampu menyelamatkan paruh akhir film ini. Untung saja The Call masih punya paruh awal hingga pertengahan yang memuaskan hingga akhirnya tidak menjadi sebuah thriller yang buruk.

1 komentar :

Comment Page: