AIN'T THEM BODIES SAINTS (2013)

Tidak ada komentar
Judulnya yang nampak begitu indah dan puitis sesungguhnya tidak memiliki kaitan apapun dengan ceritanya. Seperti yang telah dikatakan oleh sutradara sekaligus penulis naskah film ini, David Lowery bahwa ia memilih judul tersebut karena sudah sejak lama rangkaian kata itu terngiang di pikiran dan menurutnya punya tone yang sama dengan filmnya meski tidak memiliki kaitan apapun dengan ceritanya. Jadi apakah ini merupakan sebuah film yang indah? Ain't Them Bodies Saints memenangkan Special Jury Prize untuk sinematografi terbaik di ajang Sundance 2013 yang membuktikan bahwa film ini memang punya gambar-gambar menawan. Visualnya memang mengingatkan saya pada karya-karya Terrence Malick seperti Badlands. Bahkan ceritanya yang mengandung unsur crime dengan tempo lambat pun terasa serupa dengan karya Malick tersebut meski tentunya narasi yang dihadirkan tidaklah serumit film-film Terrence Malick. Ada juga unsur film western yang dimasukkan oleh David Lowery disini. Jadi akan ada drama kriminal dengan visualisasi indah ala Malick berpadu dengan unsur western dalam sebuah cerita romansa sepasang kekasih yang cintanya tengah diuji ini. Seindah itukah Ain't Them Bodies Saints?

Ber-setting di Texas, film ini berkisah tentang sepasang kekasih Bob (Casey Affleck) dan Ruth (Rooney Mara) yang tengah berbahagia setelah mengetahui bahwa Ruth mengandung anak mereka. Namun kebahagiaan itu harus ditunda sejenak karena keesokan harinya mereka berdua akan melaksanakan aksi perampokan bersama seorang rekan mereka, Freddy (Kentucker Audley). Perampokan tersebut tidak berjalan mulus dimana mereka bertiga akhirnya tersudut dan harus baku tembak dengan pihak kepolisian. Pada insiden tersebut, Freddy tewas dan salah seorang anggota polisi, Patrick Wheeler (Ben Foster) terluka karena tembakan Ruth. Merasa bahwa nyawa mereka termasuk si jabang bayi bisa terancam, Bob memilih menyerahkan diri dan mengaku bahwa ia yang telah menembak Patrick. Akhirnya Bob dijatuhi hukuman penjara 25 tahun sedangkan Ruth bisa hidup bebas memebesarkan puteri mereka Sylvie. Kekuatan cinta mereka pun diuji selama perpisahan ini. Dengan cerita yang boleh dibilang klise tersebut, Ain't Them Bodies Saints nampak seperti versi lebih ringan dari film-film Terrence Malick, namun tetap saja ini bukanlah film romansa yang mudah untuk dinikmati.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MY 2nd SHORT MOVIE - F(R)ICTION

Tidak ada komentar
Kali ini postingan saya bukan berbicara tentang review film apapun melainkan sharing tentang film pendek saya yang berjudul "F(R)ICTION". Ini adalah film pendek kedua yang saya buat dimana film yang pertama sampai saat ini masih terbengkalai dalam pembuatan musiknya tapi saya menargetkan akan segera menyelesaikan "hutang" tersebut secepatnya. "F(R)ICTION" sendiri memulai proses syutingnya pada bulan Oktober lalu selama kurang lebih enam hari. Konsepnya sendiri saya buat seperti mockumentary dikarenakan untuk mengakali keterbatasan teknis alatnya hehehe. Untuk sinopsisnya kurang lebih sebagai berikut 

"Proses syuting film pendek yang dilakukan oleh sepasang kekasih perlahan berubah menjadi perjalanan yang meleburkan batasan antara fiksi dan realita"

Tidak ada komentar :

Comment Page:

FRUITVALE STATION (2013)

Tidak ada komentar
Mungkin dari para penonton film ini ada yang sudah dan ada yang belum mengetahui tentang kisah nyata yang menjadi inspirasi dari debut penyutradaran dari Ryan Coogler ini. Pada tahun baru 2009 terjadi sebuah tragedi penembakan oleh seorang polisi yang menewaskan Oscar Grant di stasiun kereta bawah tanah, Fruitvale Station. Pada kejadian tersebut banyak saksi mata yang merekam dengan menggunakan telepon genggam mereka dan footage itupun tersebar luas hingga menuai banyak kontroversi dan kecaman. Polisi yang melakukan penembakan sendiri mengaku salah mengambil taser untuk melumpuhkan Grant dan justru mengambil pistol dan akhirnya menembak Grant hingga dia tewas di pagi harinya. Johannes Mehserle, polisi yang melakukan penembakan akhirnya dipenjara selama 11 bulan. Namun Fruitvale Station bukan hanya sekedar reka ulang dari tragedi memilukan tersebut. Karena toh pastinya tidak sedikit penonton yang sudah tahu sebelum penonton bahwa film ini akan berujung pada tragedi kematian Oscar Grant dan bukanlah spoiler untuk mengungkit akhir kisah tersebut. Ryan Coogler sendiri yang menjadi sutradara sekaligus penulis naskah mengaku ingin membawa penonton mengenali secara lebih mendalam tentang Oscar Grant, dan bukan sekedar melakukan reka ulang insiden tersebut.

Kisahnya mengambil setting pada hari terakhir kehidupan Oscar Grant yang diperankan oleh Michael B. Jordan (Chronicles). Oscar yang berusia 22 tahun memiliki seorang kekasih bernama Sophina (Melonie Diaz) dan seorang puteri yang masih kecil, Tatiana (Ariana Neal). Hubungan antara Oscar dan Sophina sempat terguncang saat Oscar kepergok selingkuh dengan wanita lain. Namun saat ini Oscar tengah membangun kembali hidupnya. Dia sudah tidak lagi menjual ganja walaupun tengah mengalami kesulitan keuangan setelah ia dipecat dari pekerjaannya karena sering terlambat. Hubungan Oscar dengan sang ibu, Wanda (Octavia Spencer) sendiri tengah membaik setelah dulu keduanya sempat bermasalah disaat Oscar sering keluar masuk penjara. Singkatnya Oscar kini telah bertobat dan ingin memulai hidup baru yang indah bersama keluarganya. Untuk itulah ia berusaha sebaiknya saat mempersiapkan ulang tahun sang ibu yang bertepatan dengan malam tahun baru. Kemudian kita tahu akan seperti apa kisahnya berlanjut dimana seusai pesta ulang tahun di rumah sang ibu Oscar dan Sophina menghabiskan malam untuk berkumpul bersama teman-teman mereka, bersenang-senang menunggu malam pergantian tahun dengan menaiki kereta. Namun siapa yang tahu kalau kesenangan dan kebahagian tersebut akan berubah menjadi tragedi hanya dalam hitungan jam.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SOEKARNO (2013)

Tidak ada komentar
Saya mungkin bukanlah penggemar karya-karya Hanung Bramantyo yang bagi saya secara kualitas sangat fluktuatif. Kadang-kadang filmnya bisa begitu baik seperti ? atau Sang Pencerah  atau masuk kategori lumayan seperti Perahu Kertas, tapi beberapa kali juga mengecewakan macam Ayat-Ayat Cinta dan Perahu Kertas 2. Tapi setidaknya saya sepakat bahwa Hanung adalah satu dari sedikit sutradara Indonesia yang masih bisa menyeimbangkan antara kualitas dan komersialitas dalam film-filmnya meski acapkali mengundang kontroversi. Kali ini Hanung kembali lagi membuat sebuah biopic setelah kesuksesan Sang Pencerah di tahun 2010 lalu. Kali ini proyeknya lebih besar dan lebih ambisius karena mengangkat kisah hidup seorang Soekarno yang notabene adalah Presiden pertama Indonesia sekaligus sosok dibalik proklamasi bersama Hatta. Filmnya sendiri sempat mendapat kritikan dari Rachmawati, puteri Soekarno sebelum masa perilisan. Sempat terjadi ketidak setujuan dari pihak Rachmawati mengenai penggambaran sosok ayahnya dan pemilihan Ario Bayu sebagai sosok Soekarno karena ia lebih menyukai Anjasmara memerankan ayahnya. Ya, nampaknya bukan film Hanung namanya jika tidak lepas dari kontroversi. Namun saya sendiri tidak mempedulikan segala kontroversi tersebut. Asalkan filmnya bagus, tidak peduli seberapa kontroversialnya saya akan tetap menyukai film tersebut.

Di bagian awal kita akan diajak mengenali sosok Soekarno kecil (Emir Mahira) yang mulai mempelajari banyak hal mulai dari menjadi seorang orator, nasionalis yang membenci penjajah sampai tentu saja penakluk hati wanita yang begitu ulung. Di masa dewasanya, Soekarno (Ario Bayu) mulai menapaki karirnya di dunia politik yang terus mengajak rakyat untuk tidak takut terhadap para penjajah dimana hal tersebut membuatnya mulai dianggap membahayakan oleh pihak Belanda. Soekarno pun mulai dijebloskan ke penjara bahkan sempat menjalani masa pengasingan. Namun seperti yang kita tahu perjuangan Soekarno tidak pernah berhenti bahkan sampai pada masa disaat penjajahan Jepang mengambil alih Indonesia. Bersama berbagai tokoh khususnya Hatta (Lukman Sardi) Soekarno tetap terus berjuang dengan caranya meski mendapat tentangan dari banyak pemuda termasuk Sjahrir (Tanta Ginting) yang menganggap cara Soekarno terlalu lembek dan penakut. Namun disamping perjuangan meraih kemerdakaan kita akan cukup banyak diajak untuk melihat kehidupan romansa Bung Karno dimana setelah menikah bertahun-tahun dengan Inggit (Maudy Koesnaedi) ia mulai terpikat pada muridnya sendiri, Fatmawati (Tika Bravani).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MOEBIUS (2013)

17 komentar
Sutradara gila nan kontroversial yang menjadi favorit saya, Kim Ki-duk kembali lagi lewat film terbarunya yang berjudul Moebius. Beberapa faktor membuat film ini menjadi begitu ditunggu. Yang pertama jelas karena ini adalah follow up Kim Ki-duk setelah keberhasilannya menang di Venice Film Festival 2012 lewat Pieta. Yang kedua adalah akibat kontroversi yang sempat terjadi sebelum perilisan film ini dimana pihak sensor Korea memberi rating "terlarang" bagi Moebius gara-gara banyaknya adegan sadis dan mengandung unsur seksual yang vulgar. Sadisme dan unsur seksual yang vulgar jelas bukan hal baru dalam karya Ki-duk, namun setahu saya baru kali ini filmnya mendapat rating yang setara dengan NC-17 di Amerika Serikat. Film Korea yang sebelumnya pernah mendapat rating ini adalah I Saw the Devil karya Kim Ji-Woon yang notabene juga merupakan salah satu film favorit saya. Pada akhirnya Kim memutuskan memotong sekitar tiga menit filmnya yang berasal dari adegan incest hingga akhirnya film ini diperbolehkan tayang. Sedangkan faktor ketiga yang membuat saya begitu menunggu film ini adalah kembalinya Cho Jae-hyun, si anak emas Kim Ki-duk, aktor yang menjadi partner in crime sang sutradara dimana keduanya terakhir kali berkolaborasi lewat Bad Guy 12 tahun lalu.

Moebius bercerita tentang sebuah keluarga disfungsional tanpa nama. Sang ayah (Cho Jae-hyun) tengah berselingkuh dengan seorang penjaga toko (Lee Eun-woo) dan perselingkuhan tersebut diketahui oleh istrinya (juga diperankan Lee Eun-woo) yang makin tenggelam dalam depresinya menghadapi perselingkuhan sang suami. Pada suatu malam sang ibu memutuskan untuk melakukan tindakan gila dengan memotong penis sang suami, tapi usahanya gagal setelah sang suami terbangun sebelum ia sempat melakukan aksinya tersebut. Kegagalan tersebut tidak membuatnya "menyerah" karena hal berikutnya yang ia lakukan adalah masuk ke kamar anaknya (Seo Young-joo) yang baru saja bermasturbasi untuk memotong penis sang anak. Kali ini usahanya berhasil, bahkan saat sang suami memergoki perbuatannya tersebut ia memilih mengunyah penis anaknya. Kini sang ayah giliran yang dirundung rasa bersalah dan mencoba segala cara untuk membantu sang anak supaya bisa mendapat kepuasan seksual meski sudah tidak memiliki alat kelamin dan mencari cara untuk memperbaiki kecacatan putera tunggalnya tersebut. Sepotong sinopsis yang sudah cukup sinting itu masih belum menggambarkan kegilaan Moebius secara menyeluruh, jadi percayalah kalau film terbaru Kim Ki-duk ini tidak akan mudah dinikmati khususnya bagi anda yang "berperut lemah."

17 komentar :

Comment Page:

THE ATTACK (2012)

Tidak ada komentar
Apa yang diangkat dalam The Attack oleh Ziad Doueiri ini adalah satu dari sekian dampak yang terjadi akibat konflik antara Israel dengan Palestina. Semenjak kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh Wafa Idris pada 27 Januari 2002 sudah ada banyak kasus bom bunuh diri lain yang dilakukan oleh pihak Palestina termasuk para wanita yang menjadikan diri mereka sebagai martir dalam sesuatu yang mereka anggap perjuangan terhadap penindasan Israel atau bisa dibilang sebuah bentuk jihad bagi mereka. The Attack sendiri mengangkat kisah tersebut dimana akan ada kisah tentang kejadian bom bunuh diri yang pelakunya ditengarai merupakan seorang wanita Palestina. Ziad Doueiri yang menjadi sutradara sekaligus penulis naskah film ini sendiri mungkin belum dikenal luas namanya, namun pengalamannya sebagai salah seorang juru kamera dalam film-film Quentin Tarantino seperti Reservoir Dogs dan Pulp Fiction. Setidaknya dari fakta bahwa ia pernah bekerja bersama salah satu sutradara terbaik dalam film terbaiknya (baca: Pulp Fiction) membuat karya seorang Ziad Douieri patut untuk dinantikan.

Karakter sentral dalam film ini adalah Amin Jaafari (Ali Suliman), seorang dokter bedah Arab yang tinggal di Tel Aviv bersama istrinya, Siham Jaafari (Reymond Amsalem). Amin adalah seorang dokter bedah yang sangat sukses dimana ia juga baru saja menerima sebuah penghargaan tertinggi bagi seorang dokter bedah. Bisa dibilang tingkatannya sama dengan Oscar bagi seorang aktor. Suatu hari terjadi sebuah peristiwa pengeboman di sebuah restoran yang menewaskan banyak rakyat Israel termasuk anak-anak yang tengah menghadiri pesta ulang tahun. Amin sendiri menjadi disbukkan karena banyaknya korban dalam peristiwa tersebut. Namun sesampainya dirumah seusai bertugas sang istri belum juga pulang dari kunjungannya ke rumah sang kakek. Pagi harinya Amin dibangunkan oleh sebuah telepon yang memintanya segera ke rumah sakit. Mengira ada pasien darurat ternyata Amin dihadapkan pada jenazah istrinya yang tewas mengenaskan akibat ledakan bom. Namun ternyata pihak kepolisian mencurigai bahwa Siham adalah pelaku bom bunuh diri tersebut. Amin yang tidak begitu saja percaya dan masih tenggelam dalam duka berusah mencari kebenaran dibalik kematian sang istri.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE BUTLER (2013)

Tidak ada komentar
Kisah mengenai rasisme tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas termasuk dalam film. Ada yang mengambil sudut pandang mereka kaum kulit hitam yang tertindas sebagai budak, ada juga yang mengambil sudut pandang kaum kulit putih yang mencoba menghapuskan rasisme tersebut. Kali ini giliran Lee Daniels yang mencoba mengangkat tema tersebut kedalam filmnya. Setelah meraih kesuksesan luar biasa lewat Precious pada tahun 2009 lalu yang juga mengangkat kehidupan kaum kulit hitam, kali ini Lee Daniels mengangkat kisah tentang seorang butler atau kepala pelayan berkulit hitam yang bekerja selama 34 tahun di gedung putih. Ceritanya sendiri terinspirasi dari kisah hidup Eugene Allen yang mengabdi di Gedung Putih sedari tahun 1952 sampai 1986. The Butler sendiri berprestasi sangat memuaskan setelah dirilis dengan meraup pendapatan diatas $161 juta berkat longetivity yang panjang. Sebuah bukti bahwa kisah rasisme masih sangat digemari penonton. Lewat film ini juga Forest Whitaker disebut cukup berpeluang meraih Oscar keduanya. Selain Whitaker, The Butler diisi banyak nama besar lain yang mengisi peran besar maupun kecil. Film ini mempunyai Oprah Winfrey, Mariah Carey, Terrence Howard, Alex Pettyfer, Cuba Gooding, Jr., Lenny Kravitz, Robin Williams, Minka Kelly, John Cusack, James Marsden, Liev Schreiber, Alan Rickman hingga Jane Fonda. Rentetan ensemble cast yang sangat meyakinkan ada disini.

Cecil Gaines (Forest Whitaker) adalah seorang kulit hitam yang tumbuh di sebuah perkebunan kapas. Disana ia dan kedua orang tuanya termasuk dari banyak kaum kulit hitam yang dipekerjakan oleh juragan kulit putih. Sampai suatu hari tragedi menimpa kehidupan Cecil disaat sang ibu (Mariah Carey) diperkosa dan ayahnya ditembak mati oleh pemilik perkebunan. Cecil yang masih kecil dirawat oleh salah seorang pemilik perkebunan tersebut dan dilatih untuk menjadi seorang pelayan. Menginjak remaja Cecil memutuskan pergi meski tidak memiliki tujuan. Beruntung masih ada orang yang bersedia menampung Cecil dan perlahan ia pun merintis karir sebagai seorang pelayan, mulai dari sebuah toko kecil sampai akhirnya disebuah tempat mewah. Puncak karirnya adalah saat ia mendapat tawaran bekerja sebagai kepala pelayan di gedung putih. Saat itu Cecil telah menikah dengan Gloria (Oprah Winfrey) dan memiliki dua putera yakni Louis (David Oyelowo) dan Charlie (Elijah Kelley). Di Gedung Putih, Cecil pun sempat bekerja dibawah pemerintahan banyak presiden mulai dari Eisenhower sampai Ronald Reagan. Konflik pun datang dari keluarganya saat sang putera sulung, Louis memilih bergabung dengan kelompok penolak rasisme garis keras The Black Panther.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DON JON (2013)

Tidak ada komentar
Judul film ini mengingatkan saya pada nama Don Juan, sosok fiktif yang sudah melegenda sejak tahun 1600-an dan kini namanya selalu bersinonim dengan womanizer atau hiperseksual. Dari fakta itupun kita sudah bisa menebak akan bercerita tentang apa film yang menjadi debut penyutradaraan Joseph Gordon-Levitt ini. Menari memang menantikan akan jadi seperti apa debut dari Gordon-Levitt mengingat sebagai aktor ia sudah membuktikan kualitasnya, apalagi disini ia tidak hanya menyutradarai tapi juga menulis naskah dan menjadi aktor utamanya. Jadi bisa dibilang ini adalah panggungnya seorang Joseph Gordon-Levitt untuk membuktikan kapasitasnya sebagai seorang filmmaker. Memilih komedi romantis sebagai genre yang diambil, tentu saja kisah tentang seorang womanizer sekaligus hiperseksual ini tidak lengkap jika tidak diisi sosok aktris yang pas. Untuk itulah ada nama Scarlett Johansson dan Julianne Moore disini. Khusus bagi Scarlett Johansson, jelas akan menarik perhatian kaum pria melihat aksinya di film yang penuh dengan konten seksual seperti ini. 

Kisahnya adalah tentang Jon Martello Jr. (Joseph Gordon-Levitt) yang oleh teman-temannya dipanggil Don Jon karena kemampuannya menarik hati para wanita. Cukup mengandalkan lirikan maut, tiap malam ia selalu berhasil membawa pulang wanita-wanita cantik dari klub untuk diajak berhubungan seks. Namun meski bisa dengan mudah berhubungan seks dengan banyak wanita cantik, Jon nyatanya tidak pernah bisa terpuaskan oleh hubungan seks tersebut. Justru kebiasaannya bermasturbasi sambil menonton film porno yang sanggup memuaskan segala hasrat seksual Jon. Menurutnya, seks yang selama ini ia dapat dengan wanita-wanita tersebut masih kalah jauh dibadningkan dengan kepuasan yang ia dapatkan saat mastrubasi ditemani porno-porno favoritnya. Sampai suatu hari ia bertemu dengan Barbara Sugarman (Scarlett Johansson) yang menurutnya adalah wanita bernilai sempurna. Disinilah Jon mulai membangun hubungan asmara yang berbeda dari sebelumnya, lebih dari sekedar one night stand. Akan ada banyak porno, masturbasi, seks dan hal-hal lain yang berkaitan dengan aspek seksual disini. Membungkusnya sebagai komedi-romantis nyatanya tidak membuat Don Jon berakhir sebagai film komedi dewasa yang jorok dan konyol.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ANCHORMAN: THE LEGEND OF RON BURGUNDY (2004)

4 komentar
Mungkin inilah film seorang Will Ferrell yang paling disukai banyak orang, dan mungkin salah satu yang dianggap sebagai film terbaiknya. Pendapatannya memang tidak besar-besar amat karena tidak sampai menembus angka $100 juta, namun seiring berjalannya waktu film ini banyak memiliki penggemar setia. Bahkan majalah Empire menempatkan film ini di urutan 113 dalam daftar 500 film terbaik sepanjang masa. Tentu saja peringkat tersebut tergolong tinggi untuk ukuran film komedi. Tidak heran tahun ini sekuelnya yang berjudul Anchorman 2: The Legend Continues akan segera dirilis. Anchorman: The Legend of Ron Burgundy tidak hanya mengandalkan nama Ferrell seorang. Berbagai macam nama besar dunia komedi ada disini mulai dari Paul Rudd, Steve Carell, Vince Vaughn sampai Christina Applegate. Daftar itu masih belum ditambah jajaran cameo yang seabrek mulai dari Danny Trejo, Jack Black, Judd Apatow (juga menjadi produser), Ben Stiller, Tim Robbins hingga Seth Rogen semuanya ada disini. Jadi sebelum menonton film keduanya yang akan rilis akhir tahun ini saya memilih menonton film pertamanya dulu. Selain agar tidak tersesat saat menonton sekuelnya, rasa penasaran sebagus dan selucu apa film ini juga menjadi alasan lainnya.

Filmnya ber-setting di San Diego tahun 70-an disaat profesi seorang anchorman atau pembaca berita di televisi merupakan profesi yang sangat prestisius dan dikagumi banyak orang. Ron Burgundy (Will Ferrell) adalah seorang anchorman dari stasiun televisi lokal yang begitu dikagumi oleh masyarakat San Diego. Bersama rekan-rekannya seperti Brian Fantana (Paul Rudd), Champ Kind (David Koechner) dan Brick Tamland (Steve Carell) mereka berempat dikenal sebagai "channel 4 news team". Semuanya begitu menyenangkan bagi Ron sampai datanglah seorang penyiar wanita bernama Veronica Cornigstone (Christina Applegate) yang berambisi menjadi seorang anchorman wanita pertama. Padahal pada masa itu, pembawa berita wanita belum ada karena hanya para pria lah yang dianggap pantas melakukan pekerjaan tersebut. Disaat ketiga rekannya merasa terancam dan tidak menyukai kehadiran Veronica, Ron malah jatuh cinta padanya. Akhirnya terjadilah bentrokan konflik antara profesionalitas pekerjaan, cinta antara sesama rekan kerja dan usaha Veronica untuk menjadi pembaca berita wanita yang sukses. Tentunya segala konflik tersebut dihadirkan dengan cara konyol yang sudah sering kita lihat di film-film komedi Ferrell lainnya.

Anchorman menegaskan bahwa meski ini adalah film komedi yang menampilkan karakter-karakter fiksi namun kisahnya berbasis dari kisah nyata. Mungkin sulit dipercaya semua yang ada di plot-nya adalah kisah nyata, tapi bagi saya yang dimaksudkan sebagai kisah nyata adalah mengenai apa yang terjadi pada siaran berita di stasiun televisi khususnya yang ada di balik layar. Anchorman tak ubahnya satir yang ditujukan bagi para pembuat siaran berita termasuk penyiarnya. Bagaimana mereka membuat berita kelahiran seekor bayi panda seolah menjadi berita yang sangat menghebohkan dan femoenal dengan selalu menjadi headline disaat siaran, atau tengok juga bagaimana para penyiar berita yang seharusnya memberikan informasi bermanfaat bagi masyarakat justru bukanlah orang-orang yang masuk kategori pandai dan memiliki wawasan luas. Hal itu bisa dilihat dari sosok Ron Burgundy yang tidak mengetahui banyak hal seperti sejarah San Diego, ungkapan-ungkapan dan pengetahuan lain, atau dari sosok Brick yang dikatakan memiliki IQ 48 dan tidak pernah nyambung saat beritneraksi dengan orang lain. Ada juga sindiran bagi pembaca berita seperti Ron yang sangat bergantung pada telemprompter dan tidak bisa membacakan berita selain dari apa yang tertulis disana. Namun tentu saja semuanya dituturkan dengan komedi yang konyol dan liar.
Anchorman: The Legend of Ron Burgundy memang tampil dengan begitu liar, penuh kekonyolan dan tingkat absurd yang lumayan di banyak adegannya. Lihat bagaimana Ron bermain jazz flute sampai menyemburkan api, atau tengok juga adegan gila saat beberapa tim berita dari stasiun acara yang berbeda-beda saling berebut rating sampai harus bertempur layaknya perkelahian antar geng yang melibatkan banyak senjata. Momen-momen penuh kegilaan tersebut memang menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Memang tidak selalu berakhir lucu namun setidaknya tetap mampu menjaga filmnya tidak membosankan. Komedinya memang cukup sering gagal bagi saya, namun cukup banyak pula yang terasa lucu. Film ini juga tertolong dengan kehadiran para cameo yang tidak hanya numpang lewat saja namun efektif dalam membangun kelucuan film. Adegan pertempuran antar "geng" tersebut membuat saya tertawa saat tiba-tiba Ben Stiller muncul dalam logat Spanyol. Lihat juga bagaimana Jack Black dan Danny Trejo tiba-tiba menjadi scene stealer meski bagi saya yang terbaik tetaplah Ben Stiller. Ya, Anchorman: The Legend of Ron Burgundy tidak hanya asal memasukkan berbagai nama besar sebagai cameo namun memberikan mereka porsi yang cukup untuk mencuri perhatian.

Bicara cerita seperti yang saya sebutkan diatas meski banyak mengandung satir yang realistis namun pengemasannya sendiri memang tidak serius. Jadi secara keseluruhan meski ceritanya punya potensi berbobot hampir tidak ada sindiran ataupun konten yang mengena karena tertutup komedi gilanya. Tapi kekecewaan terbesar saya adalah disaat film mendekati konklusi yang memeprlihatkan "pengampunan" dari warga kota terhadap Ron seolah-olah Ron baru saja melakukan hal luar biasa sepeti pahlawan. Setelah "penghinaan" yang ia lakukan semudah itukah ia mendapatkan kembali kepercayaan dan popularitas di mata masyarakat? Memang ini adalah komedi yang absurd namun untuk bagian ini bagi saya terlalu dipaksakan dan seolah menjadi bentuk kebingungan harus bagaimana memberikan konklusi bagi kisahnya. Secara keseluruhan Anchorman: The Legend of Ron Burgundy bukanlah komedi yang buruk. Kegilaannya cukup meghibur meski seringkali komedinya gagal bekerja dengan baik. Jajaran pemain utama khususnya Will Ferrell dan Steve Carell bermain baik dengan berbagai improvisasi kocak mereka. Namun menyebut film ini sebagai salah satu komedi paling berpengaruh di dekade 2000-an? Peringkat 113 dalam daftar 500 film terbaik sepanjang masa? Totally overrated.

4 komentar :

Comment Page:

BLACKFISH (2013)

2 komentar
Judul film ini adalah sebutan lain dari Orca atau yang lebih sering kita kenal dengan nama paus pembunuh atau killer whale. Mungkin jika melihat Orca akan banyak dari kita yang langsung teringat pada sosok paus yang bernama Willy yang muncul dalam film Free Willy, dan pastinya banyak dari kita yang sepakat bahwa sosok orca disana adalah seekor mamalia yang nampak ramah, imut dan bisa dijadikan peliharaan yang menyenangkan. Tidak akan terlihat sedikitpun tanda mengapa hewan tersebut juga disebut sebagai paus pembunuh. Namun dalam Blackfish, Gabriela Cowperthwaite akan menunjukkan pada kita sisi gelap yang melingkupi kehidupan para orca tersebut. Ceritanya berfokus pada Tilikum, orca yang telah sekian lama menjadi bintang utama atraksi orca di SeaWorld. Dari awal filmnya yang menunjukkan rekaman percakapan telepon jalur 911 kita sudah tahu bahwa terjadi sebuah kecelakaan tragis yang melibatkan orca dan trainer-nya yang pada akhirnya membuat sang pelatih terbunuh. Tapi sebelumnya kita akan diperkenalkan pada beberapa narasumber yang mayoritas adalah pelatih atau mantan pelatih orca yang pernah bekerja di SeaWorld. Awalnya perbincangan berjalan menyenangkan saat mereka satu per satu mengungkapkan alasannya menjadi pelatih orca. Akan ada kekaguman, impian dan kebahagiaan yang terungkap.

Suasana berubah saat nama Dawn Brancheau disebut. Dia adalah seorang trainer berusia 40 tahun yang dikenal sebagai salah satu pelatih senior, paling berpengalaman sekaligus yang paling memperhatikan aspek keselamatan di SeaWorld. Pada 24 Februari 2010 terjadilah insiden dimana Dawn jatuh kedalam kolam dan tewas dalam kondisi mengenaskan setelah Tilikum menyerangnya. Pihak SeaWorld menyatakan bahwa insiden itu terjadi akibat kesalahan Dawn yang bertugas dengan kondisi rambut ponytail yang membuatnya rawan terseret oleh orca. Namun beberapa saksi termasuk rekan-rekan Dawn sesama trainer berpendapat lain. Mereka menyatakan bahwa kejadian tersebut sepenuhnya terjadi karena keagresifan Tilikum. Dawn sendiri bukanlah korban pertama, melainkan ketiga yang tewas oleh Tilikum. Dari sinilah kita mulai diajak menelusuri hingga 30 tahun yang lalu di tahun 1983 saat Tilikum pertama kali ditangkap oleh para pemburu untuk dijadikan bahan pertunjukkan. Blackfish pada akhirnya tidak hanya mengajak kita melihat bagaimana sesungguhnya orca adalah makhluk yang berbahaya. Sebaliknya, pihak-pihak yang mengeksploitasi orca-lah yang akan "disudutkan" disini. Dalam hal ini pihak SeaWorld.

2 komentar :

Comment Page:

FRANCES HA (2012)

1 komentar
 
"Hidup bagai balerina, gerak maju berirama, detaknya dimana-mana seperti udara, hidup bagai balerina." Sebait lirik dari lagu Balerina milik band Efek Rumah Kaca tersebut adalah yang pertama saya ingat disaat menonton film terbaru garapan Noah Baumbach ini. Dikemas dengan format hitam putih yang unik sebagai bentuk terinspirasinya Noah Baumbach dari film-film lawas Woody Allen macam Manhattan dan Annie Hall, Frances Ha pada dasarnya memang mempunyai karakter utama yang berprofesi sebagai penari, namun bukan semata-mata karena hal itu saja saya menjadi teringat pada lirik lagu Balerina tersebut. Pertama-tama mari kita tengok dulu cerita dari film ini. Frances Halladay (Greta Gerwig) adalah wanita 27 tahun yang berprofesi sebagai seorang penari dan tinggal di Brooklyn bersama sahabatnya, Sophie (Mickey Summer). Keduanya adalah sahabat kental yang selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan Frances pada akhirnya lebih memilih tetap tinggal bersama Sophie daripada bersama pacarnya yang membuat mereka berdua akhirnya putus. Ironisnya tidak lama kemudian justru Sophie yang keluar dari apartemen mereka meninggalkan Frances sendirian kebingungan mencari cara menyambung hidup. Dari situlah pertemanan mereka mulai merenggang.

Frances sendiri tidak hanya kebingungan mencari tempat tinggal namun juga kesulitan uang mengingat posisinya di tim tari tempatnya bekerja belumlah resmi. Dari sini kita mulai diajak melihat perjalanan Frances yang terus berpindah-pindah tempat tinggal dan mengunjungi banyak tempat entah untuk mengunjungi orang tuanya ataupun melakukan sebuah "liburan" di Prancis. Ceritanya pun diisi dengan usaha Frances untuk menyambung hidupnya yang terus berpindah dan kekurangan uang, bagaimana kehidupan romansanya yang terkesan undateable, hingga bagaimana hubungan pertemanannya dengan Sophie yang sempat merenggang. Jadi apa hubungan ceritanya dengan lagu milik Efek Rumah Kaca tersebut selain fakta bahwa karakter Frances memang suka menari, berlari bahkan melakukan tarian sambil berlari di jalan raya? Bagi saya ini adalah sebuah kisah tentang perjalanan hidup kita yang akan terus bergerak, maju dan berpindah. Hal itu disiratkan lewat sosok Frances yang selalu tinggal berpindah-pindah. Bagaimana kita menjalani hidup tersebut dalam hal ini Frances bagaikan seorang balerina yang terus bergerak, menari, berlari, melompat dan terus maju seiring dengan irama yang dilantunkan oleh hidup itu sendiri.

1 komentar :

Comment Page:

THE FAMILY (2013)

2 komentar
Film garapan Luc Besson ini dibintangi Robert De Niro dan diangkat dari novel karya Tonino Benacquista berjudul Malavita yang artinya Badfellas membuat film ini seolah menjadi versi tidak serius dari Goodfellas karya Martin Scorsese. Tapi meskipun ceritanya memang seputar dunia mafia dan Scorsese menjadi eksekutif produser bahkan ada adegan yang menampilkan pemutaran film Goodfellas, The Family sama sekali bukanlah parodi dari film tersebut. Selain De Niro, ada nama-nama besar lain seperti Michelle Pfeiffer, Tommy Lee Jones hingga Dianna Agron di jajaran pemainnya. Saya sendiri tidak mengharapkan kisah yang berbobot dari The Family yang memang cukup mengedepankan unsur komedi, apalagi melihat jajaran film Luc Besson akhir-akhir ini yang kualitasnya biasa saja bahkan beberapa diantaranya termasuk film yang buruk. Namun sebagai hiburan yang menyenangkan The Family cukup punya potensi memuaskan saya apalagi melihat jajaran cast yang meyakinkan tersebut. Ceritanya berada seputaran keluarga Giovanni Manzoni (Robert De Niro) dan keluarganya yang sedang berada dalam program perlindungan saksi di bawah pengawasan FBI.

Manzoni terpaksa meninggalkan hidupnya sebagai bos mafia setelah terlibat masalah dengan Don Luchese (Stan Carp) yang membuat sang Don harus mendekam dalam penjara. Atas perbuatannya tersebut, Manzoni dan keluarganya terpaksa hidup di bawah perlindungan FBI yang dipimpin oleh Robert Stansfield (Tommy Lee Jones) dan tingga berpindah-pindah sampai sekarang akhirnya mereka tinggal di kota kecil yang terelat di Normandy, Prancis. Disana masing-masing dari keluarga tersebut harus menghadapi permasalahan yang mereka alami. Giovanni yang hidup dengan identitas Fred Blake tidak bisa meninggalkan rumah karena terus diawasi oleh FBI dan terpaksa menghabiskan waktunya dengan menulis riwayat hidupnya sebagai mafia. Permasalahan datang saat ia mengaku sebagai penulis novel sejarah tentang Normandy landing pada tetangganya walaupun ia sama sekali tidak tahu menahu mengenai peristiwa sejarah tersebut. Sang istri, Maggie (Michelle Pfeiffer) merasa harus menanggun semua perbuatan suaminya yang temperamental dan dia sendiri bermasalah dengan beradaptasi disana. Puteri mereka, Belle (Dianna Agron) yang juga selalu main kasar sedang jatuh cinta pada mahasiswa yang mengajar matematika di sekolahnya. Sedangkan sang putera, Warren (John D'Leo) banyak terlibat permasalahan kekerasan di sekolah. Tapi yang mereka tidak tahu adalah Don Luchese semakin dekat untuk mengetahui keberadaan mereka saat ini dan berniat menghabisi satu keluarga tersebut.

Yang paling menarik dari The Family / Malavita bukanlah kualitas cerita tapi karakter-karakter yang ada di dalamnya. Giovanni a.k.a Fred Blake yang diperankan De Niro adalah sajian utamanya. Dari luar ia seperti pria tua pengangguran biasa yang bahkan tidak bisa memperbaiki pipa ledeng dan hanya menghabiskan waktunya di depan mesin ketik, namun jika dia sudah tersinggung, Fred tidak ragu-ragu menghajar habis orang yang membuatnya marah sampai mematahkan semua tulangnya. Sedangkan Maggie tidak ragu-ragu meledakkan supermarket disaat ia merasa tersinggung oleh komentar orang Prancis tentang dirinya. Sedangkan kedua anak mereka tidak jauh beda dimana untuk menyelesaikan masalah mereka tidak ragu memakai kekerasan, bahkan Warren sang putera seolah benar-benar mewarisi darah mafia sang ayah dengan sanggup melakukan berbagai bisnis kotor dan perekrutan anak buah. Terkesan brutal? Memang The Family tampil brutal tapi dibalik kebrutalan keluarga gila tersebut selalu diselipkan unsur komedi yang membuat masing-masing karakternya tampil lebih menarik. Mungkin mereka terkesan sebagai keluarga disfungsional yang bertindak semau sendiri, tapi di balik itu mereka saling menyayangi dan melindungi satu sama lain dimana faktor itulah yang membuat interaksinya lebih menarik.

Seperti yang sudah saya duga tidak ada yang spesial dari ceritanya. Di samping karakternya yang asyik, ceritanya tergolong sangat sederhana. Tidak ada intrik rumit yang sering muncul dalam film-film bertemakan mafia dengan tone yang serius. Tapi The Family memang tidak berusaha untuk tampil serius. Ceritanya tidak berusaha cerdas dan memang terasa bodoh di beberapa bagian namun juga tidak berusaha terlalu keras untuk menjadi bodoh dengan menjadi parodi film-film mafia seperti Goodfellas. Ini adalah murni hiburan dengan selipan komedi yang cukup efektif. Terkadang komedinya memang berlalu begitu saja dalam artian tidak lucu, tapi saya lebih sering mendapati komedinya berhasil membuat saya tersenyum bahkan beberapa kali membuat tertawa. Bukan komedi cerdas namun tetap menarik untuk ditonton. Sebagai contoh adalah saat Fred yang diperankan De Niro datang ke acara pemutaran sekaligus debat film yang menampilkan film Goodfellas dimana kita tahu bahwa De Niro adalah salah satu aktor yang bermain dalam film garapan Martin Scorsese tersebut. De Niro sendiri tampil bagus disini. Yah jangan harapkan kualitas nomor satu seperti aktingnya di The Godfather II ataupun Goodfellas, namun kemampuannya membawakan sosok karakter yang dingin, brutal namun tetap terlihat lucu jelas patut mendapat pujian disini.

Sampai akhirnya kita dibawa pada sebuah klimaks yang untungnya berhasil menjaga tensi film. Pembangunan konflik menuju final showdown yang memperlihatkan anak buah Don Luchese menginvasi Normandy dan menyerbu rumah Fred terasa sangat menegangkan. Apalagi saat masing-masing anggota keluarga itu berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan keluarga mereka dari maut. Momen menuju final tersebut memang begitu intens dan menegangkan. Namun sayangnya saat eksekusi di pertempuran akhirnya malah terasa anti-klimaks dan berakhir begitu saja seolah-olah Luc Besson kebingungan bagaimana harus mengakhiri pertempuran yang (maunya) epic tersebut. Bahkan adegan aksi "mini" saat masing-masing keluarga Blake menghajar orang-orang di sekitarnya masih lebih menghibur daripada klimkas tersebut. Pada akhirnya The Family jelas tidak setara dengan karya-karya terbaik Luc Besson macam Nikita ataupun Leon: The Professional. Kisahnya juga dangkal dan tidak menyinggung hal-hal seperti ambiguitas yang muncul dalam istilah "keluarga" dalam dunia gangster meski punya potensi besar untuk itu. Tapi setidaknya bukan juga karyanya yang masuk daftar terburuk dan masih jadi hiburan yang cukup menghibur khususnya berkat komedinya yang cukup berhasil dan penampilan maksimal para pemainnya dalam membawakan tokoh-tokoh dengan karakterisasi yang asyik. 

2 komentar :

Comment Page:

THE EXORCIST (1973)

8 komentar
Apa film horor terbaik sepanjang masa? Jawabannya akan beragam. Para penonton masa kini mungkin banyak yang menyebut karya-karya James Wan macam Insidious atau The Conjuring. Para pecinta shasher mungkin akan memuja The Texas Chainsaw Massacre, A Nightmare on Elm Street hingga Halloween. Pemuja Sam Raimi pastinya akan mengagungkan trilogi Evil Dead karyanya. Akan muncul jawaban yang sangat beragam tapi The Exorcist mungkin akan menjadi yang paling banyak disebut dan menjadi sebuah karya klasik yang selalu dikenang. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan William Peter Blatty ini berhasil meraup keuntungan finansial yang luar biasa dengan pendapatan diatas $440 juta dengan bujet yang hanya $10 juta dimana hasil tersebut menempatkan The Exorcist sebagai salah satu film terlaris sepanjang masa. Dalam ajang Oscar pun film ini berhasil meraih 10 nominasi dan menjadi film horor pertama yang sanggup mendapat nominasi Best Picture. Kontroversi pun banyak mengiringi film ini karena dianggap banyak mengumbar visual yang disturbing dan hal lain yang dianggap "menodai" agama. Tapi apakah The Exorcist masih menjadi sebuah sajian yang sebegitu hebatnya jika ditonton saat ini?

Kisahnya dibuka dengan memperlihatkan proyek penggalian yang dipimpin oleh Father Merrin (Max von Sydow) yang selain seorang Pendeta juga merupakan arkeolog. Penggalian yang dilakukan di Irak tersebut membawa Father Merrin pada sebuah penemuan yang berkaitan dengan sesosok iblis bernama Pazuzu. Kemudian cerita berpindah ke Washington, disaat seorang aktris ternama Chris McNeil (Ellen Burstyn) yang mulai menyadari adanya perubahan signifikan pada perilaku puteri tunggalnya, Regan (Linda Blair). Regan yang tadinya ceria dan baik hati tiba-tiba sering mengeluarkan sumpah serapah dan menunjukkan gejala gangguan fisik yang tidak biasa. Usaha membawa Regan ke dokter tidak membuahkan hasil karena dari berbagai tes yang dilakukan tidak ditemui adanya gangguan pada kondisi fisiknya. Disisi lain kondisi Regan semakin parah dan dia mulai melakukan berbagai perbuatan ekstrim yang mengancam dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Disaat segala usaha medis gagal menyembuhkan Regan, Chris pun berpaling meminta bantuan pada pendeta bernama Damien Karras (Jason Miller) yang juga seorang psikiater. Damien sendiri sedang mengalami krisis iman akibat rasa bersalah terhadap kematian sang ibu. Dalam kondisi itulah Damien mulai menyadari bahwa ada kekuatan jahat yang bersemayam dalam tubuh Regan.

The Exorcist dimulai dengan tempo lambat. Kita secara perlahan diperkenalkan kepada masing-masing karakternya mulai dari penggalian yang dilakukan Father Merrin, pengenalan terhadap Chris dan Regan, serta mengenai krisis iman yang dialami oleh Damien Karras. Bahkan hingga satu jam pertama hampir tidak ada teror yang benar-benar mencekam dan pada satu jam tersebut, "gangguan" yang dialami oleh Regan baru mulai bertambah parah. Penonton yang mengharapkan berondongan teror mencekam sedari awal cerita mungkin akan merasa tidak sabar, namun bagi saya satu jam pertama yang berfokus pada pengenalan karakter itu sangatlah esensial. Kita tidak akan merasakan shock yang sama saat Regan mulai dikontrol oleh iblis dan melakukan tindakan-tindakan ekstrim jika kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana sosoknya yang polos dan ceria pada awal film. Tidak akan ada pula subplot menarik tentang krisis iman yang dialami Damien dan konflik menarik di klimaks film saat ia terjebak akan rasa bersalah dan iman yang harus ia miliki sebagai seorang Pendeta. Tapi bukan berarti The Exorcist tidak memberikan ketegangan pada paruh awalnya. Beberapa adegan seperti tes X-ray yang begitu membuat ngilu "hanya" karena darah yang muncrat, sampai adegan-adegan sederhana seperti pemaparan penampang hasil tes otak Regan yang uniknya bisa terasa begitu mencekam tanpa iringan musik apapun melainkan hanya efek suara dari alat yang digunakan oleh dokter.
Tidak perlu adegan scare jump untuk membuat The Exorcist terasa mencekam. Beberapa penampakan wajah iblis yang mungkin terlihat konyol saat ini bisa memberikan kesan mengerikan seperti sebuah mimpi buruk yang mendadak muncul. Bahkan hingga momen saat Regan sudah benar-benar diambil alih oleh iblis Pazuzu, film ini tidak mencoba mengaget-ngageti penonton lewat momen scare jump. The Exorcist lebih memilih bermain-main dengan psikologis penonton lewat berbagai sumpah serapah yang terlontar dari mulut sang iblis mulai dari yang sifatnya "hanya" kata-kata kotor sampai yang menghina Tuhan dan agama. Kita pun diajak melihat bagaimana mengerikannya iblis bukanlah pada wajahnya yang mengerikan atau tindakannya yang berbahaya tapi lebih kepada caranya untuk mempengaruhi umat manusia supaya kehilangan iman lewat tipu daya yang ia miliki. The Exorcist memang punya keunggulan yang jarang dimiliki film horor pada umumnya yakni naskah yang tergarap dengan begitu baik. Seperti treatmenti yang diberikan pada Regan, naskahnya bermain-main pada area psikologis yang dipadukan dengan religiusitas. Bagaimana saat psikis seseorang mulai terluka ia pun mulai "menghancurkan" dirinya. Tapi pada akhirnya iman yang kuat (apapun kepercayaan yang dianut) akan membawa seseorang menjadi lebih kuat dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Tidak heran naskahnya berhasil memenangkan kategori Best Adapted Screenplay di Oscar saat itu.

Aspek visualnya sendiri memegang peranan penting. Sinematografinya indah, khususnya saat adegan awal dimana Father Merrin berhadapan dengan patung Pazuzu di puncak bukit yang tidak hanya menghamparkan keindahan namun kengerian tersendiri. Seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan, berbagai grafik visualnya yang cukup disturbing mampu memberikan kengerian dan teror yang mengejutkan. Mulai dari spider-walk scene, adegan kepala berputar sampai yang paling gila adalah saat setan dalam diri Regan mulai menusuk-nusukkan salib pada kemaluannya hingga berdarah-darah sambil bersumpah serapah. Efek visualnya bekerja dengan baik dan terlihat meyakinkan bahkan untuk dilihat saat ini sekalipun. Bahkan aspek musiknya yang berisikan lagu Tubular Bellsi pun turut berhasil membangun teror dari atmosfernya yang mencekam. Klimaksnya tidak hanya menegangkan dan mengerikan namun juga menjadi klimaks dalam pergulatan batin yang dialami oleh Damien Karras yang bagi saya adalah karakter pendeta terbaik yang pernah muncul dalam film bertemakan exorcism.

The Exorcist diakhiri dengan sebuah ending yang sangat saya sukai. Film ini memang menghadirkan konflik pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan yang sudah ratusan kali diangkat dalam film horor termasuk yang bertemakan iblis, namun akhir filmnya membuat saya merenungi sesuatu. Dalam hal ini, kekuatan manusia yang berada pada pihak Tuhan memang akan lebih kuat saat melawan gangguan setan, namun dibutuhkan lebih dari itu. Dibutuhkan iman dan kepercayaan yang benar-benar kuat untuk melakukannya. Salah seorang guru saya dulu pernah berkata bahwa akan percuma bagi mereka yang selalu berbuat keburukan dan dosa untuk berucap ayat-ayat suci saat berhadapan dengan setan sepanjang apapun yang ia baca disaat dalam dirinya tidak benar-benar muncul rasa percaya terhadap apa yang ia ucapkan tersebut. Tapi diluar itu semua, The Exorcist memang layak disebut sebagai salah satu (jika bukan yang terbaik) film horor terbaik sepanjang masa. Perpaduan dari aspek teknis yang mumpuni, naskah yang berkualitas, akting yang menawan khususnya Linda Blair dan tentunya tidak melupakan kehebatannya dalam memberikan teror termasuk secara psikologis pada penontonnya.

8 komentar :

Comment Page:

SYNECDOCHE, NEW YORK (2008)

1 komentar
 
Charlie Kaufman adalah nama dibalik naskah-naskah cerdas yang kompleks serta penuh kegilaan seperti Adaptation, Being John Malkovich hingga Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Kisah-kisah yang ia tulis selalu penuh metafora dan jalinan plot yang jelas diluar logika. Jadi akan seperti apa hasilnya jika sang penulis menyutradarai sendiri naskah yang ia tulis? Jawabannya adalah Synecdoche, New York yang menjadi debut penyutradaraan Kaufman sekaligus satu-satunya film yang ia sutradarai hingga saat ini. Tentu saja akan ada banyak hal-hal absurd yang membuat penonton harus berpikir keras tentang makna yang sebenarnya terkandung dalam film ini. Film ini sendiri boleh saja menjadi box office bomb dimana dari $20 juta bujet yang digelontorkan hanya sekitar $4 juta saja pemasukan yang didapat, namun secara kualitas khususnya di mata para kritikus film ini sukses besar. Bahkan seorang Rogert Ebert menasbihkan film ini sebagai the best movie of the decade pada tahun 2009. Kisahnya sendiri akan berada disekitaran kehidupan Caden Cotard (Philip Seymour Hoffman), seorang sutradara teater yang mengalami banyak masalah dan ketidak bahagiaan dalam perjalanan hidupnya.

Caden tinggal bersama istrinya, Adele Lack (Catherine Keener) seorang pelukis yang mengkhususkan diri pada lukisan berukuran kecil serta puterinya yang berusia empat tahun, Olive (Sadie Goldstein) yang selalu hidup dalam ketakutan akan berbagai hal. Kehidupan rumah tangga Caden tidak pernah berjalan lancar dan ia sendiri merasa tidak bahagia akan kondisi tersebut. Caden pun sempat terlibat affair dengan Hazel (Samantha Morton) yang bekerja sebagai penjaga tiket di gedung pertunjukkaan tempat ia melangsungkan pementasan teater. Namun hubungan Caden dan Hazel pun tidak berjalan lancar karena disisi lain Caden masih merasa setia pada keluarganya. Kondisi makin diperparah saat Adele memilih pergi meninggalkan Caden bersama Olive untuk tinggal di Jerman bersama Maria (Jennifer Jason Leigh) yang merupakan sahabat Adele. Disaat itulah Caden secara tidak terduga mendapatkan "MacArthur Fellowship" yang membuatnya mendapat bantuand ana untuk mewujudkan mimpi artistiknya. Akhirnya Caden mendapat ide "gila" disaat ia memutuskan membuat sebuah pertunjukkan teater berskala massive yang mencakup semua kehidupan di kota New York, mulai dari semua bangunan yang ada sampai orang-orang di dalamnya, termasuk dirinya dan keluarganya. Disitulah batasan antara pementasan dan kenyataan mulai memudar.

1 komentar :

Comment Page: