THE TALE OF THE PRINCESS KAGUYA (2013)

Tidak ada komentar
Isao Takahata yang film terakhirnya, My Neighbors the Yamada dirilis 15 tahun yang lalu kali ini mengadaptasi sebuah cerita rakyat Jepang dari abad ke-10 yang berjudul The Tale of the Bamboo Cutter. Kandungan kisah dari cerita rakyat itu sendiri tidak jauh berbeda dari kebanyakan cerita rakyat milik Indonesia, yakni tentang seorang puteri kahyangan yang secara ajaib muncul di Bumi lalu dirawat oleh sepasang suami istri tua miskin yang tidak mempunyai anak. Dalam The Tale of the Princess Kaguya, kita akan dipertemukan dengan seorang pria tua yang bekerja sebagai tukang potong bambu di sebuah pedesaan kecil dekat hutan. Pria tua itu tinggal hanya berdua dengan sang istri. Sampai suatu hari saat sedang memotong bambu ia melihat cahaya terang dari sebuah pohon bambu muda. Dari dalamnya muncul sesosok puteri berukuran kecil. Merasa bahwa itu merupakan anugerah dari langit, sang pemotong bambu pun membawa puteri kecil itu kerumah. Bersama sang istri, mereka berdua memutuskan untuk merawat sang puteri seperti anak mereka sendiri. 

Tapi ada keanehan pada sang puteri yang dipanggil Takenoko (Little Bamboo) tersebut. Setelah bertransformasi menjadi seorang bayi, ia mulai tumbuh dengan amat cepat. Hanya butuh waktu beberapa hari sampai Takenoko akhirnya tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik. Seperti layaknya anak-anak kecil lain, Takenoko pun menghabiskan keseharian dengan bermain bersama teman-temannya, termasuk Sutemaru yang keluarganya adalah pembuat mangkuk dari kayu. Takenoko perlahan tumbuh menjadi gadis yang semakin cantik dan persahabatannya dengan Sutemaru semakin kuat. Tapi kebahagiaan sederhana itu tidak bertahan lama setelah suatu hari sang pemotong bambu menemukan emas dan begitu banyak kimono indah dari sebuah bambu. Penemuan itu dianggapnya sebagai pertanda dari langit bahwa ia harus membesarkan Takenoko layaknya seorang puteri yang tinggal di rumah besar, bukannya di desa seperti sekarang. Dari situlah awal kisah bagaimana Takenoko dikenal sebagai Princess Kaguya dimulai.
Dengan gambar yang dikemas layaknya lukisan cat air, The Tale of the Princess Kaguya masih sama dengan kebanyakan film-film Ghibli lain, yaitu menghadirkan kesederhanaan cerita penuh makna yang indah dalam rangkaian visual yang indah pula. Gambar cat air dalam film ini mencapai puncak keindahannya dalam adegan-adegan yang mengalami pergerakan seperti angin berhembus di sela-sela pohon, atau saat Takenoko/Kaguya berlari sekuat tenaga membelah hutan untuk kembali ke rumahnya di desa. Ada keindahan dan kesan natural kuat yang berhasil ditampilkan oleh visualnya, berkorelasi sempurna dengan salah satu tema film ini yakni tentang alam. Ceritanya memang berfokus tentang alam dan uniknya walau dibuat pada abad ke-10 kisah yang hadir masih sangat sesuai dipandang dalam era modern ini, bahkan jauh lebih tepat menyentil aspek sosial masyarakat dewasa ini. Para tokoh bangsawan dan sang pemotong bambu beranggapan bahwa kebahagiaan berasal dari harta melimpah dan kehidupan mewah. Tapi tidak begitu dengan Kaguya. Sosok Kaguya sendiri bagai penggambaran dari "manusia" secara keseluruhan. Manusia memang hidup lebih "nyaman" dengan harta melimpah, tapi dalam hati mereka diisi dengan kekosongan. Mereka merasa sepi, hampa, sendiri. 
Entah bermaksud atau tidak, bagi saya film ini juga mengkritisi gaya hidup istana dan para bangsawan yang lebih mementingkan manner daripada perasaan. Saya sendiri selama ini merasa kurang menyukai pola hidup seperti itu lebih mementingkan tampilan luar dan menyembunyikan perasaan sejati manusia, mengekang kebebasan berekspresi. Seperti sebuah kalimat yang diucapkan Kaguya, "jika puteri sampai harus menghitamkan gigi supaya tidak tertawa terbahak-bahak berarti puteri bukanlah manusia". Budaya yang ditampilkan diantara para bangsawan dan orang kaya di film ini bagi saya adalah budaya yang kurang memanusiakan manusia. Disaat seseorang dijauhkan dari emosi mereka dan dikurung di sebuah sangkar emas berupa istana daripada dekat dengan alam yang penuh kehidupan, saat itulah seseorang itu kehilangan esensi mereka sebagai manusia itu sendiri. The Tale of the Princess Kaguya sempurna dalam menggambarkan itu semua, membuat saya bersimpati pada Kaguya dan gemas dengan segala perlakuan yang ia terima demi mendapat kesempurnaan sebagai seorang puteri.

Memang dengan durasinya yang mencapai 137 menit, banyak momen dalam film ini yang terasa kurang menarik bahkan membosankan. Sedikit melelahkan, tapi keindahan visualnya sanggup menolong. Tapi tetap saja dengan menurunnya tensi serta daya tarik pada pertengahan film, alangkah baiknya jika durasinya dipotong meski hanya 10-15 menit. Untungnya, seperti mayoritas film produksi Ghibli lain The Tale of the Princess Kaguya berhasil ditutup dengan sebuah rangkaian adegan hingga ending yang begitu indah dan menyentuh. Simak adegan saat Kaguya bertemu kembali dengan Sutemaru lalu keduanya terbang bebas di angkasa penuh tawa. Begitu indahnya momen tersebut. Tapi momen tearjerker tentu saja hadir pada ending saat Kaguya terpaksa kembali dijemput oleh orang-orang dari Bulan. Musik garapan Joe Hisaishi yang mengiringi kedatangan pasukan Bulan begitu indah dan menghadirkan kesan bittersweet, karena musiknya yang punya aura ceria tapi kita tahu bahwa musik itu akan mengiringi momen menyedihkan saat Kaguya harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Sebuah momen yang amat mengharukan. Pada akhirnya film ini punya masalah yang mirip dengan The Wind Rises (review) yakni bagian tengah yang kurang menarik, tapi lagi-lagi ending yang kuat secara emosional menyelamatkan filmnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page: