RAZE (2013)

Tidak ada komentar
Film yang memperlihatkan karakter-karakternya harus bertarung satu sama lain sampai mati sudah sangat banyak. Tapi bagaimana jika karakter yang beratrung sampai mati itu adalah wanita? Premis itulah yang membuat Raze jadi sebuah tontonan yang menarik karena disaat film-film serupa yang menampilkan pria-pria macho justru tampil kurang garang dan brutal, Josh C. Waller menjanjikan pertarungan tangan kosong brutal antara para wanita dalam film ini. Sebagai bintang utama ada nama Zoe Bell yang selama ini dikenal sebagai stunt dalam film-film seperti Kill Bill, Iron Man 3 sampai serial televisi Xena: Warrior Princess. Zoe Bell sendiri sempat menjadi bintang utama dalam film Death Proof milik Quentin Tarantino. Selain Zoe Bell ada aktris-aktris "tangguh" lain seperti Rachel Nichols dan Tracie Thorms. Nama terakhir juga tampil di Death Proof dan The Descent. Raze sendiri bercerita tentang puluhan wanita yang diculik dan dipenjara untuk kemudian dipaksa bertarung satu lawan satu sampai mati hingga akhirnya hanya ada satu pemenang yang bertahan hidup. Wanita-wanita ini juga tidak bisa menolak bertarung karena jika mereka menolak atau kalah dalam pertarungan maka orang tersayang mereka akan segera dibunuh. Sabrina (Zoe Bell) adalah mantan anggota militer sekaligus tahnan perang yang ikut dicullik bersama puluhan wanita lainnya. Sabrina mau tidak mau harus mulai membunuh lawan-lawannya, jika tidak puterinya akan dibunuh. 

Tentu saja plot dalam Raze sepitis kertas meski ada usaha dari Josh C. Waller untuk menambahkan berbagai satir sosial dalam ceritanya. Tapi toh pada akhirnya Raze memang lebih banyak mengandalkan pertarungan-pertarungan brutal para petarung wanita tersebut. Namun meski ceritanya tipis, usaha untuk memberikan cerita dan sedikit latar beakang pada karakternya patut diapresiasi dan apa yang ditampilkan masih lebih bagus daripada film-film setipe. Raze coba memasukkan unsur kapitalisme dalam kisahnya tentang orang-orang kaya yang bisa berbuat semau mereka bahkan demi mendapatkan hiburan. Ya, film ini memang coba memperlihatkan hiburan gila tidak manusiawi yang diminati orang-orang berduit. Selain itu Raze juga berkisah tentang sisi liar yang dimiliki oleh semua orang bahkan wanita sekalipun. Tentu saja hal seperti itu sudah bukan barang baru lagi, tapi berhubung yang dieksploitasi sisi liarnya adalah para wanita hasil akhirnya jadi jauh lebih menarik. Dan seperti yang sudah saya singgung sebelumnya film ini juga berusaha memberikan latar belakang meski seadanya untuk masing-masing karakter sehingga memberikan motivasi bagia tiap-tiap karakternya untuk bertarung. Sayangnya latar belakang tersebut masih terasa kurang dalam memberikan sisi emosional yang dihadapi tokohnya akibat dilema yang mereka hadapi. Padahal ada potensi untuk menggali aspek emosional tentang usaha bertarung demi orang tercinta sampai saat mereka harus bertarung dengan sesama petarung yang sudah akrab dengan mereka. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ROBOCOP (2014)

Tidak ada komentar
RoboCop versi Paul Verhoeven yang rilis hampir tiga dekade lalu tentu saja masih diingat sebagai salah satu film klasik yang sanggup menggabungkan unsur action plus sci-fi penuh gore dan kesadisan dengan berbagai satir sosial cerdas yang begitu mengena di zamannya. Bahkan jika dibawa ke masa kini masih ada beberapa satir sosial yang sesuai, bukti bahwa RoboCop memang legendaris. Jadi apakah film legendaris seperti itu butuh untuk dibuatkan remake ataupun reboot? Saya pribadi menjawab perlu! Alasan pertama adalah karena pasca kesuksesan luar biasa Verhoeven, franchise ini diikuti oleh dua sekuel dengan kualitas yang jauh dibawah film pertamanya. Jadi bisa dibilang "peninggalan" terakhir RoboCop di layar lebar adalah dua film berkualitas buruk. Alasan kedua berkaitan dengan tampilan Alex Murphy sebagai robot polisi pembasmi kejahatan yang mau tidak mau harus kita sepakati sudah terlihat agak usang untuk masa sekarang. Dengan body yang jauh dari ramping dan gerakan yang super kaku jelas robot yang satu ini akan lebih terasa menggeikan untuk generasi sekarang khususnya anak-anak dan remaja. Untuk itulah sosok RoboCop memang perlu diberi sentuhan yang lebih modern namun juga harus berhati-hati karena jika gagal, film ini sama saja menambah follow-up buruk dari karya Verhoeven. Untuk itulah sutradara Jose Padilha yang filmnya pernah meraih penghargaan tertinggi di Berlin Film Festival (Elite Squad) ditunjuk mengarahan film ini.

Kisahnya masih tidak jauh berbeda dari versi Verhoeven yakni tentang Alex Murphy (Joel Kinnaman) yang merupakan seorang polisi jujur di tengah banyaknya jajaran polisi korup di kots Detroit. Akibat kondisi kepolisian yang korup itulah banyak penjahat yang masih bebas berkeliaran termasuk seorang bos kriminal bernama Antoine Vallon (Patrick Garrow) yang menjadi buruan Murphy dan rekannya, Jack Lewis (Michael K. Williams). Namun aksi "sembrono" Murphy dalam mengejar Vallon justru berujung pada usaha pembunuhan akan dirinya lewat bom yang diletakkan di dalam mobilnya. Akibat ledakan tersebut Murphy pun menderita luka bakar parah. Disisi lain, Raymond Sellars (Michael Keaton) yang merupakan CEO dari OmniCorp sedang mencari seorang polisi yang akan ia jadikan bahan percobaan membuat prajurti robot dengan tubuh dan otak manusia. Hal itu ia lakukan untuk "memenuhi" harapan rakyat Amerika akan sosok mesin pelindung yang tetap memiliki perasaan layaknya manusia. Hal itu juga untuk memuluskan usaha Sellars dalam menghapuskan undang-undang yang melarang adanya robot sebagai pelindung masyarakat karena robot dianggap tidak mempunyai perasaan dalam melakukan segala tindakannya. Atas dasar itulah akhirnya dengan bantuan dari Dr. Dennett Norton (Gary Oldman) tubuh Murphy yang hancur dibuat ulang dalam bentuk sebuah robot polisi. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BERBAGI SUAMI (2006)

1 komentar
Berbagi Suami atau yang punya judul internasional Love For Share merupakan film Nia Dinata sebagai follow up dari Arisan! yang keren itu. Jadi pertanyaannya jelas apakah Nia berhasil menunjukkan kualitasnya lagi atau tidak, karena setelah apa yang ia hasilkan lewat Arisan! sudah pasti ekspektasi tinggi akan selalu mengiringi film-film berikutnya. Kali ini tidak ada nama Joko Anwar sebagai penulis naskah karena ceritanya ditulis sendiri oleh Nia Dinata. Berisikan jajaran ensemble cast yang melimpah lengkap dengan cameo yang tidak kalah banyak pula, film ini akan membawa kita pada tiga buah cerita yang memiliki benang merah pada tema yang diangkat, yakni poligami. Tidak hanya itu, karakter dalam masing-masing cerita juga akan bertemu dan berinteraksi meski tidak dalam porsi yang besar dan tidak berpengaruh pada alur dari tiap-tiap cerita. Dengan mengangkat isu poligami dan menghadirkannya lewat sudut pandang perempuan, Berbagi Suami memang terasa sebagai film yang feminis, sedikit menyerang para pelaku poligami namun tidak serta merta menumpahkan segala amarahnya pada mereka. Nia menyampaikan segala kritikan serta kegundahannya dengan cerdas dan hangat lewat tiga cerita yang meski punya tema sama namun baik dari atmosfer, dan situasinya berbeda-beda. Bahkan tiap-tiap cerita punya hal lain untuk diceritakan.

Cerita pertama menampilkan Salma (Jajang C. Noer), seorang dokter yang terpaksa menerima kenyataan bahwa suaminya (El Manik) yang juga seorang pengusaha sekaligus politikus telah menikah lagi dengan Indri (Nungki Kusumastuti) bahkan sudah mempunyai seorang anak. Kondisi tersebut berjalan hingga 10 tahun yang menyebabkan puteranya, Nadine (Winky Wiryawan) tumbuh dengan menyimpan amarah pada sang ayah. Kemudian cerita kedua berkisah tentang Siti (Shanty), seorang gadis lugu yang baru saja tiba di Jakarta untuk memenuhi keinginannya mengikuti kursus make-up. Disana ia tinggal bersama Pak Lik (Lukman Sardi), seorang supir rumah produksi film yang telah mempunyai dua orang istri, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka). Dari dua istrinya tersebut Pak Lik sudah mempunyai banyak anak dan mereka pun harus tinggal berdesakan di sebuah rumah kecil di dalam gang. Kedua istri Pak Lik sendiri hidup rukun dan mereka jugalah yang menbantu Siti saat ahirnya ia tahu Pak Lik berniat menjadikannya istri ketiga. Kemudian cerita terakhir berfokus pada Ming (Dominique) seorang gadis muda keturunan Tionghoa yang bekerja sebagai pelayan di restoran bebek milik Koh Abun (Tio Pakusadewo). Keberadaan Ming yang cantik dan seksi membuat banyak pengunjung pria senang makan disana termasuk Firman (Reuben Elishama), seorang sutradara muda yang senang meminjamkan VCD film pada Ming. Disisi lain Koh Abun ternyata menyukai Ming dan berniat menikahinya tanpa sepengetahuan sang istri, Cik Linda (Ira Maya Sopha).

1 komentar :

Comment Page:

GROTESQUE (2009)

7 komentar
Gelar sebagai film torture porn paling populer mungkin dipegang oleh Saw dan Hostel, namun jika bicara yang paling gila dan sadis maka kedua film tersebut sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Grotesque karya Koji Shiraishi. Koji Shiraishi sendiri paling dikenal lewat film horror fund footage super seram berjudul Noroi: The Curse yang bagi saya merupakan film found footage paling menyeramkan. Judul Grotesque sendiri berasal dari bahasa Latin grotto yang berarti "tempat tersembunyi". Sampai sekarang film ini sering disebut sebagai film paling brutal, paling disturbing serta sebutan "paling..." lainnya yang pada intinya merujuk pada satu kesimpulan yaitu Grotesque adalah film sinting. Film ini sendiri dilarang beredar di Inggris dengan alasan yang kurang lebih menyatakan bahwa Grotesque jauh lebih gila daripada Saw maupun Hostel karena disaat dua torture porn asal Hollywood tersebut masih menyelipkan misteri serta latar belakang karakter, lain halnya dengan Grotesque yang hanya berfokus pada penyiksaan-penyiksaan sadis. Memang kenyataannya film ini tidak punya cerita rumit ataupun misteri terselubung layaknya Saw. Kisahnya sangat sederhana dimana ada sepasang pria dan wanita yang dalam perjalanan pulang dari kencan pertama mereka harus menerima nasib malang saat seorang pria misterius menculik mereka. Kemudian segala kegilaan dimulai di sebuah ruangan tersembunyi milik sang penculik tersebut.


Selanjutnya yang terjadi adalah berbagai macam bentuk penyiksaan mulai dari fisik sampai mental dilakukan oleh sang penculik terhadap kedua korbannya, dan semua itu dihadirkan dengan begitu vulgar disini. Tentu saja ada berbagai macam penyiksaan khas film-film torture porn yang penuh dengan darah dan terasa begitu menyakitkan. Grotesque punya semua adegan penyiksaan gila yang akan memuaskan dahaga para pecinta darah tumpah atau potongan tubuh berhamburan. Mulai dari yang tingkatnya ringan seperti penusukan, yang sedang seperti memotong anggota tubuh dengan gergaji mesin, sampai yang paling ekstrim dan terasa begitu menyakitkan semisal pemotongan penis atau puting. Jika anda merasa sudah melihat semua jenis penyiksaan dengan bermodalkan delapan film Saw dan tiga film Hostel, maka Grotesque sudah siap mengejutkan anda dengan berbagai macam penyiksaan sinting yang mungkin selama ini hanya ada menjadi mimpi basah sutradara-sutradara Hollywood macam Eli Roth. Tentu saja Koji Shiraishi berbaik hati dengan menyajikan itu semua tanpa basa-basi, atau dengan kata lain melalui grafik yang vulgar. Efek visual yang hadir juga cukup baik hingga makin membuat segala kesadisannya terasa nyata entah itu darah mengalir atau potongan tubuh berhamburan tentunya dengan darah berlumuran. Dari awal hingga akhir ini adalah sajian penyiksaan tanpa henti yang bahkan turut menyiksa emosi penontonnya. 

Emosi? Apa yang bisa diperbuat oleh sebuah film torture porn tanpa latar belakang karakter yang mencukupi terhadap emosi penontonnya? Terasa aneh memang, namun meskipun tanpa pengenalan karakter yang mendalam saya sudah dibuat bersimpati pada kedua karakter utamanya. Kita hanya tahu bahwa mereka berdua baru saja pulang dari kencan pertama yang menyenangkan, hanya itu. Namun seiring dengan berjalannya film dan saya diperlihatkan pada hasrat bertahan hidup dan saling meindungi satu sama lain yang cukup besar antara mereka berdua, saya pun perlahan mulai menaruh simpati. Mungkin kisah keduanya tidak sampai terasa sebagai perwujudan cinta sejati yang membuat mereka saling rela berkorban, tidak sekuat itu. Namun setidaknya tanpa adanya pendalaman karakter yang lebih, film ini sudah berhasil membuat saya berharap keduanya bisa selamat dari siksaan yang mereka alami, sebuah harapan yang sepanjang film pun selalu saya sadari sebagai harapan yang semu. Berkat rasa simpati pada kedua karakternya inilah yang membuat Grotesque lagi-lagi berhasil mengejutkan saya lewat kemunculan dinamika emosi yang cukup kuat khususnya di bagian akhir. Ternyata film ini tidak hanya pamer kesadisan namun juga bisa membangun ketegangan yang tidak main-main. Dinamika emosinya pun diatur cukup baik naik turunnya. 
Dan jika bicara soal dinamika emosi, Grotesque memang paling jago membuat penontonnya emosi dan bersumpah serapah. Tidak hanya karena kegilaan adegan penyiksaannya tapi juga karena keberhasilan film ini membuat ekspektasi saya meninggi, menaruh secercah harapan yang nampaknya mustahil sebelum kemudian membanting dan menampar saya keras-keras akan kenyataan yang ada. Hebatnya itu dilakukan tidak hanya sekali tapi beberapa kali, dan saya masih juga termakan oleh "permainan" dari film ini. Bagi saya Grotesque adalah film torture porn sejati, kenapa? Karena penyiksaan yang ditampilkan oleh film ini tidak melulu penyiksaan fisik namun juga ujian mental bahkan sampai sexual humiliation. Kedua karakter utamanya tidak hanya disiksa habis-habisan tubuhnya tapi juga disiksa mentalnya, dipermalukan, dilecehkan, pokoknya membuat Jigsaw dan orang-orang gila di Hostel terasa begitu manusiawi dalam memperlakukan korban-korban mereka. Dokter sinting sekaligus penculik dalam film ini memang benar-benar menyiksa, menghancurkan fisik dan mental korbannya, mempermainkan mereka secara perlahan. Kedua korban diperlakukan benar-benar tidak selayaknya manusia, dan seolah-olah tidak ada harganya sama sekali. Benar-benar sajian penyiksaan yang bangsat!

Tapi Grotesque bukannya tanpa momen membosankan. Pada paruh awal saat si penculik melakukan foreplay pada korban wanitanya, film ini sempat terasa membosankan karena durasi yang tersita terlalu lama pada bagian itu. Tentu saja ini bukan film-film JAV yang akan membuat penontonnya terangsang melihat adegan foreplay-nya, jadi adegan si penculik meraba-raba dan menjilati tubuh korbannya malah jadi terasa begitu membosankan. Untungnya setelah itu kegilaan mulai bertambah dan segala penyiksaan sinting mulai digeber sehingga Grotesque pun tetap jadi tontonan gila nan menyenangkan hingga akhir. Lalu jika bicara ending, mungkin penonton akan terbagi dua, yaitu yang membenci atau yang menyukai ending-nya. Yang membenci akan beranggapan setelah lebih dari satu jam penyiksaan dengan tone yang kelam dan serius tiba-tiba filmnya ditutup dengan akhir yang "konyol" seperti film-film gore-nya Nishimura. Namun saya termasuk yang menyukainya karena alasan yang simpel, yaitu saya berhasil dibuat tertawa terbahak-bahak. Bagi saya ending itu makin melengkapi dinamika yang dihadirkan film ini, mulai dari tegang, jijik, menyakitkan, bahkan tawa di akhir. Namun saya tidak menyukai sebuah fakta yang dibeberkan tentang si penculik yang mengungkap kenapa dia hidup sendirian dan pada akhirnya memicu segala perbuatan gila tersebut. Bagi saya momen itu tidak hanya konyol tapi sangatlah dipaksakan, seolah Koji Shiraishi ingin memberikan kedalaman pada karakter itu tapi bingung harus mengemasnya seperti apa. Tapi secara keseluruhan ini adalah tontonan super gila sekaligus super menyenangkan. Saya cukup yakin masih ada film-fim lain yang lebih sinting, lebih disturbing dari ini, dan susah dibayangkan seperti apa film-film tersebut.

7 komentar :

Comment Page:

BIG BAD WOLVES (2013)

1 komentar
 
Film-film Israel mungkin belum terlalu punya nama di perfilman dunia, namun Big Bad Wolves sukses menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian. Pada awalnya film ini tidaklah terlalu diketahui banyak orang meski sudah diputar di Tribecca Film Festival pada April 2013 lalu. Namun baru pada akhir tahun Big Bad Wolves mulai banyak dibicarakan setelah Quentin Tarantino menyebut film ini sebagai film terbaik di tahun 2013. Sebenarnya meskipun saya adalah penggemar berat film-film Tarantino, namun saya sendiri tidak terlalu menjadikan list film-film terbaik yang dia buat tiap tahunnya sebagai pegangan mengingat Tarantino sering membuat "keanehan" dalam daftarnya seperti saat ia memasukkan The Tree Musketeers dan The Lone Ranger dalam daftar-daftar tersebut. Tapi tetap saja film yang disutradarai oleh Aharon Keshales dan Navot Papushado cukup menarik perhatian apalagi dengan konsepnya yang menggabungkan unsur thriller-kriminal dengan komedi hitam. Ya, nampaknya ini bukan sekedar film terbaik versi Tarantino tapi juga bisa menjadi film Tarantino versi Israel. Seperti judulnya, Big Bad Wolves akan membawa kita menengok para kejahatan serigala yang dengan sadisnya melakukan tindak kriminal kepada gadis-gadis kecil (Gadis Berkerudung Merah?).

Telah terjadi kasus penculikan pada banyak gadis-gadis kecil yang berujung pada pemerkosaan bahkan pembunuhan secara sadis kepada gadis-gadis tak berdosa tersebut. Tersangkanya adalah Dror (Rotem Keinan), seorang guru yang sempat terlihat di TKP. Namun Dror menyangkal tuduhan tersebut dan supaya dia mau mengaku sekelompok polisi yang dipimpin oleh Micki (Lior Ashkenazi) melakukan penyiksaan terhadap Dror. Tapi meskipun telah disiksa dan dipukul berkali-kali Dror tetap menyangkal tuduhan tersebut. Pada akhirnya penyiksaan tersebut malah mengakibatkan Micki kehilangan pekerjaannya setelah video penyiksaan yang direkam oleh seorang anak kecil tersebut tersebar di internet. Micki juga disalahkan oleh pimpinannya, Tsvika (Dvir Benedek) karena lewat aksi main hakimnya itu Bror terpaksa harus dilepaskan yang malah berujung pada ditemukannya mayat salah satu gadis korban penculikan yang sudah dalam kondisi mengenaskan. Seluruh jari tangannya patah, kuku kakinya terlepas dan yang paling mengenaskan mayat itu ditemukan tanpa kepala dan ditemukan bekas pemerkosaan. Micki yang sudah kehilangan pekerjaannya memutuskan untuk menangkap lagi Dror guna memaksanya mengakui segala kejahatan tersebut. Disisi lain, Gidi (Tzahi Grad) yang merupakan ayah korban sekaligus pensiunan militer juga berniat melakukan hal yang sama, yakni membawa Dror ke sebuah tempat terpencil untuk kemudian menyiksanya secara perlahan sampai ia membuat pengakuan.

1 komentar :

Comment Page:

OLDBOY (2013)

8 komentar
Membuat remake bisa dibilang bukanlah keputusan yang "bijak", apalagi jika film aslinya adalah film legendaris, salah satu yang terbaik atau bahkan sebuah cult. Pengecualian mungkin ada pada Evil Dead tapi itupun karena Sam Raimi si pembuat film aslinya terlibat sehingga para fans tidak terlalu menghujak pembuatan film tersebut. Maka dari itu pembuatan remake bagi Oldboy milik Park Chan-wook yang sering disebut sebagai salah satu film Korea terbaik sepanjang masa banyak menuai protes dan kontroversi. Film yang dirilis tahun 2003 tersebut memang film yang hebat karena bisa menggabungkan cerita yang mendalam dengan kesadisan tingkat tinggi nan stylish. Namun Park Chan-wook sanggup menjadikan keburtalan dalam filmnya bukan sebagai tempelan semata tapi juga sesuatu yang esensial dan memang diperlukan dalam cerita tentang pembalasan dendam itu. Maka dari itu keraguan begitu besar hinggap saat mendengar bahwa remake dari Oldboy akan dibuat oleh Spike Lee. Lee boleh saja seorang sutradara yang cukup berjaya di Oscar namun biar bagaimanapun tetap saja ia lebih dikenal lewat fim-film drama bertemakan isu-isu sosial dan politik dibandingkan thriller menegangkan penuh kebrutalan layaknya Oldboy. Jadi jika pada akhirnya film ini gagal total baik secara kualitas maupun finansial dimana remake ini menjadi box office bomb setelah hanya mampu meraup tidak sampai $5 juta dari total bujet $31 juta, saya tidaklah terlalu terkejut. 

Menggantikan sosok Oh Dae-su ada Joe Doucett yang dimainkan oleh Josh Brolin, seorang pria pemabuk yang bekerja di bidang pemasaran. Tapi karena hobinya mabuk itu pekerjaan Joe tidak berjalan lancar termasuk saat ia kedapatan menggoda pacar kliennya dan membuat Joe kehilangan proyek yang sudah hampir deal. Tentu saja bagi yang sudah menonton versi aslinya akan tahu bahwa yang terjadi berikutnya adalah Joe harus mendekam di dalam sebuah ruangan mirip motel tanpa tahu alasan kenapa ia dikurung, dimana dia dikurung, dan siapa yang mengurungnya. Setelah menghabiskan 20 tahun hidup dengan hanya ditemani televisi dan beberapa lembar kertas serta makan pangsit setiap hari, Joe tiba-tiba dibebaskan lagi-lagi tanpa tahu alasan kenapa ia mendadak bebas setelah 20 tahun. Dari situlah Joe mencoba mencari siapa dalang dibaik semua ini termasuk usahanya bertemu kembali dengan sang puteri setelah sebelumnya Joe difitnah telah membunuh istrinya sendiri. Dalam pencariannya itu Joe juga dibantu oleh seorang petugas medis bernama Marie Sebastian (Elizabeth Olsen). Pada akhirnya naskah yang ditulis oleh Mark Protosevich meski merubah beberapa hal tetap saja tidak merubah garis besar cerita yang ada sehingga bagi yang sudah menonton film aslinya pasti sudah tahu akan dibawa kemana film ini nantinya. 

8 komentar :

Comment Page:

PENGKHIANATAN G 30 S/PKI (1984)

8 komentar
Sampai sekarang film Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah film paling kontroversial yang pernah ada di perfilman tanah air. Dibuat dengan sokongan dari pemerintahan Orde Baru, film ini dianggap sebagai sebuah propaganda dari pihak pemerintah kepada masyarakat berkaitan dengan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada 30 September 1965 dimana film ini menceritakan kejadian tersebut berdasarkan versi dari pemerintahan Soeharto. Pada masa perilisannya film ini ditonton lebih dari 600.000 orang dan sempat menjadi film terlaris Indonesia sepanjang masa pada saat itu. Tapi konon katanya banyak dari jumlah penonton tersebut yang datang ke bioskop tidak secara suka rela namun diharuskan untuk menonton khususnya para siswa. Bahkan para siswa juga sempat diharuskan menonton film ini dan diberikan tugas untuk menulis resensi. Tidak hanya itu, sampai sebeum jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1998, film juga ini wajib tayang di televisi setiap tanggal 30 September. Namun setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru film ini seolah menghilang dari peredaran setelah penayangannya juga dilarang di televisi.  Tapi dengan mengesampingkan hal-hal berkaitan dengan propaganda tersebut sesungguhnya Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan sebuah pencapaian yang cukup istimewa dalam sejarah perfilman Indonesia.

Ceritanya dimulai dari akhir Septembe 1965 disaat kondisi Indonesia tengah kacau balau dimana perekonomian rakyat juga sedang berada dalam kondisi yang menyedihkan dan kelaparan terjadi dimana-mana. Presiden Soekarno (Umar Kayam) sendiri saat itu tengah sakit parah dan diperkirakan hidupnya tidak lama lagi. Hal itulah yang coba dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Aidit (Syubah Asa) untuk menjalankan kudeta. Kondisi PKI sendiri saat itu tengah diatas angin setelah konsep politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) milik Presiden Soekarno mempermudah penyebaran dan perekrutan anggota PKI. Untuk itulah mereka berencana mengangkat isu “Dewan Jenderal”, sebuah konspirasi palsu yang mencoba memfitnah para Jenderal TNI dimana mereka dituduh berencana melakukan kudeta pemerintahan jika Soekarno akhirnya meninggal. Namun sesungguhnya itu adalah isu yang disebarkan oleh PKI guna memperlancar kudeta yang mereka rencanakan. Rencana mereka adalah menculik para jenderal di tanggal 30 September malam guna membawa mereka ke lubang buaya untuk dipaksa mengakui bahwa Dewan Jenderal adalah hal yang nyata. Dan seperti yang kita tahu pada akhirnya para jenderal tersebut ditemukan sudah meninggal di dalam lubang buaya dalam kondisi yang mengenaskan. Kita juga akan melihat bagaimana pihak angkatan darat yang dipimpin oleh Soeharto (Amoroso Katamsi) berusaha menggagalkan rencana kudeta PKI.


Pengkhianatan G 30 S/PKI jelas merupakan sebuah film drama-sejarah namun dalam pengemasannya, Arifin C. Noer seolah sengaja membungkus film ini bagaikan film horror. Memang pada dasarnya film ini mengangkat kejadian horror tragis yang begitu mengerikan, namun saya tidak menyangka pada akhirnya film ini dikemas selayaknya film horror dengan memakai begitu banyak aspek yang sering dimunculkan film horror untuk meneror penontonnya. Sebagai contoh penggunaan musik dari Embie C. Noer yang terasa begitu menyayat dan mampu menciptakan atmosfer mencekam.  Belum lagi ditambah banyaknya adegan penuh darah yang cukup sadis serta penggunaan lighting gelap di banyak adegan. Berkaitan dengan suasana remang-remang yang dipakai ditambah dengan banyaknya asap rokok membuat film ini juga memiliki aura noir yang cukup kuat. Penggunaan rokok sendiri memang sengaja diperbanyak khususnya dalam adegan rapat PKI untuk mengesankan karakternya sedang berpikir keras. Bahkan karakter Aidit yang aslinya bukan seorang perokok pun disini digambarkan sebagai perokok berat yang selalu “menyambung” rokoknya. 

Sedangkan adegan-adegan sadis penuh darah yang mayoritas muncul sejak penculikan para Jenderal di rumah masing-masing sampai penyiksaan di lubang buaya memang terasa cukup mencekam. Saya bisa membayangkan bagaimana siswa-siswa sekolah dasar yang diharuskan menonton film ini pasti akan merasakan terror yang luar biasa menakutkan bahkan mungkin traumatis melihat berbagai adegan tersebut.  Salah satu yang paling mengerikan bahkan tragis adalah disaat D.I. Pandjaitan ditembak tepat di depan keluarganya gara-gara terlalu lama berdoa. Yang terjadi setelah itu adalah puterinya menangis histeris di kubangan darah sang ayah. That’s disturbing! Atau ihat saat para Jenderal disiksa dengan begitu sadis di lubang buaya sedangkan para anggota PKI tertawa-tawa bahkan menari dan menyanyi “Genjer-Genjer”. Begitu mengerikan melihat para Jenderal yang tubuhnya penuh luka itu diseret-seret sebelum akhirnya dibunuh dan dikubur di dalam sumur.
Bahkan sebelum adegan penculikan, film ini sudah berhasil membangun atmosfernya dengan begitu menegangkan. Saya dibuat harap-harap cemas menantikan adegan tersebut lewat pembangunan suasana yang begitu intens, music mencekam serta beberapa adegan slo-mo yang muncul saat bala tentara PKI turun dari truk yang membawa mereka ke rumah masing-masing Jenderal. Namun diluar segala horror dan kesadisan tersebut film ini juga menggambarkan banyak hal, salah satunya adalah keresahan yang terjadi di kalangan masyarakat bahkan sampai ke kalangan menengah dan kalangan bawah. Hal terebut begitu terasa saat kita melihat setiap adegan yang memunculkan karakter rakyat jelata pasti diisi dengan curahan mereka tentang kondisi yang terjadi, bahkan disaat santai seperti pesta sekalipun hal itu juga yang mereka obrolkan satu sama lain. Hal tersebut seolah memperlihatkan bahwa setiap saat semua elemen masyarakat selalu diresahkan dan dibuat mengkhawatirkan kondisi Indonesia yang tengah carut marut mulai dari perekonomian sampai perebutan kekuasaan. Saya juga suka bagaimana dialog dalam film ini ditulis. Bagi kalian yang sudah pernah membaca atau menonton karya Arifin C. Noer pasti sudah tahu akan kelebihannya dalam menuliskan dialog yang penuh kata-kata cerdas bahkan indah tanpa perlu berlebihan mencoba puitis. Bahkan beberapa dialog menjadi ikonis sampai sekarang seperti “Darah itu warnanya merah, Jenderal!", atau "Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum hingga mengalahkan amis darah sendiri" dan masih banyak dialog-dialog hebat lainnya. Sayangnya berbagai dialog bagus tersebut tidak ditunjang dengan akting mumpuni pemainnya. Beberapa bagian terdengar begitu kaku dengan pemotongan kalimat yang terasa tidak enak didengar.

Pada akhirnya Pengkhianatan G 30 S/PKI memang terasa begitu kental nuansa propagandanya. Sosok yang hitam dan putih digambarkan dengan begitu jelas. Sosok putih jelas adalah Soeharto dan pasukannya yang berjuang demi kebenaran dan tanah air. Sedangkan sosok hitam adalah PKI yang digambarkan sebagai kumpulan orang-orang murni jahat yang begitu keji. Mereka seolah-olah merupakan setan yang tega membunuh siapa saja, menginjak-injak Al Qur’an, bahkan menikmati segala pembunuhan dan penyiksaan yang mereka lakukan sembari menari-nari disertai tawa riang. Padahal saya yakin ada begitu banyak kompleksitas dalam kejadian sejarah ini jika kita membicarakan tentang hitam dan putih. Hal ini jelas mengurangi kompleksitas kisah khususnya berkaitan dengan karakterisasi. Selain itu saya juga merasakan adanya plot hole dalam kisahnya berkaitan dengan pemberontakan yang dilakukan PKI. Sepanjang film kita diperlihatkan bahwa mereka terus menerus rapat dan seolah semuanya sudah tertata dengan sempurna, tapi mengapa rencana itu bisa digagalkan dalam waktu yang begitu singkat? Saya juga cukup terganggu dengan cara editing filmnya yang terasa kurang rapih dan terlalu sering memperlihatkan gambar yang terasa kurang esensia dan pada akhirnya menambah panjang durasi. Yang saya maksud kurang esensial bukanlah shoot buku atau gambar gunungan di rumah Soeharto karena bagi saya justru hal-ha tersebut esensial. Yang saya maksud adalah adegan-adegan singkat yang menampilkan ekspresi beberapa karakter sekunder ditambah peralihan yang tidak rapih.


Ini adalah film propaganda yang ironisnya juga berkisah tentang propaganda. Propaganda yang dilakukan PKI terhadap rakyat, bahkan propaganda yang dilakukan petinggi PKI terhadap anggota-anggotanya yang sempat mempertanyakan kepastian isu Dewan Jenderal dan pelaksanaan kudeta tersebut. Arifin C. Noer seolah berusaha memperlihatkan bahwa kita para penonton berada dalam posisi yang sama dengan orang-orang “bawahan” atau rakyat kecil tersebut yang tidak tahu apa-apa dan berusaha didoktrin oleh pihak-pihak petinggi. Tapi dari segi cerita ini bukan hanya sekedar doktrin karena sesungguhnya film ini punya cerita yang cukup cerdas dan menarik tentang konspirasi dan tindak criminal. Ada kisah tentang pemfitnahan, konspirasi politik tingkat tinggi, hingga perebutan kekuasaan yang cukup rumit. Ya, inipun adalah thriller politik yang punya kisah berlapis dan tersaji dengan cerdas.  Pada akhirnya mungkin memang benar bahwa Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah film yang dibuat sebagai bentuk propaganda dari pemerintahan orde baru dan berusaha mengkultuskan Soeharto dan semakin mensahkan PKI sebagai pihak yang begitu jahat. Namun diluar itu sesungguhnya ini adalah pencapaian teknis yang memuaskan serta mempunyai naskah yang begitu baik dari Arifin C. Noer. Filmnya mencakup banyak genre, mulai dari horror, thriller politik, drama, criminal, bahkan ada selipan action juga. Ya, tidak ada salahnya untuk mengesampingkan sejenak faktor propagandanya dan menengok kembali film yang sempat setia menemani rakyat Indonesia setiap malam hari tanggal 30 September ini.

8 komentar :

Comment Page:

DELICATESSEN (1991)

Tidak ada komentar
Ini adalah debut penyutradaraan dari Jean-Pierre Jeunet yang paling dikenal lewat Amelie, sebuah film Prancis yang berhasil meraih lima nominasi Oscar termasuk Best Original Screenplay yang ditulis sendiri oleh Jean-Pierre. Tapi dalam Delicatessen Jean-Pierre tidak sendirian karena ada Mar Caro yang juga menjadi sutradara. Naskah film inipun hail tulisan keduanya. Dari judul filmnya yang berarti "toko makanan" Delicatessen tidak akan membawa kita melihat sajian-sajian lezat nan berkelas buatan chef di restoran mewah seperti yang sering muncul di berbagai film-film Prancis. Apa yang dihadirkan oleh Jean-Pierre Jeunet dalam debutnya ini adalah sebuah dunia post-apocalyptic yang kondisinya mengenaskan. Meski tidak diperlihatkan secara keseluruhan tapi dari cerita karakternya sampai cuplikan berita di koran kita akan tahu bahwa manusia sedang kesulitan mendapatkan makanan. Jangankan daging yang lezat, untuk memakan makanan sungguhan saja mereka sudah tidak sanggup. Alhasil pereonomian pun makin memburuk dan tidak dijumpai lagi proses jual beli dengan menggunakan uang. Masyarakat berjual beli kembali dengan cara barter dimana jagung merupakan salah satu benda yang bisa dipakai sebagai alat pembayaran. 

Namun di sebuah apartemen kumuh milik seorang tukang jagal bernama Clapet (Jean-Claude Dreyfus) orang-orang masih bisa menikmati daging yang dijual oleh Clapet meski tidak sering. Tapi walaupun toko daging tersebut berlambang babi, tapi daging yang dijual bukanlah daging babi melainkan manusia. Kebanyakan merupakan korban penipuan dari Clapet dimana ia memasang iklan lowongan kerja di koran, lalu orang yang datang untuk melamar akan dijagal untuk kemudian dijual dagingnya pada orang-orang sekitar. Suatu hari datanglah Louison (Dominique Pinon), mantan badut sirkus yang membaca lowongan pekerjaan dari Clapet. Tanpa tahu bahwa Clapet berniat membunuhnya, Louison tinggal dan bekerja disana dengan senang hati, apalagi setelah ia berkenalan dengan Julie (Marie-Laure Dougnac) yang tidak lain adalah puteri tunggal Clapet. Hubungan keduanya pun semakin lama semakin dekat. Julie kini semakin mengkhawatirkan nasib Louison dan mulai mencari cara untuk menyelamatkan Louison dari ayahnya sendiri. Selain kisah yang menjadi fokus utama tersebut Delicatessen juga akan membawa kita melihat bagaimana kehidupan serta interaksi yang terjadi antara penghuni apartemen tersebut. 

Sama seperti Amelie, hal pertama yang langsung terasa saat melihat Delicatessen adalah keindahan sinematografi dan art direction-nya. Dengan penggunaan filter warna orange yang mendominasi sepanjang film bercampur dengan penyusunan set lokasinya, atmosfer dari film ini tersampaikan dengan baik. Atmosfer yang muncul pada sebuah masa post-apocalyptic dan penuh dengan kerusakan entah itu kerusakan dunia maupun diri manusianya. Saya sangat menyukai bagaimana tiap-tiap set disusun juga bagaimana penempatan propertinya yang tidak jarang terasa unik. Bahkan dari opening credit-nya, Delicatessen sudah menggoda saat satu per satu nama kru film ini terpampang di beberapa barang usang yang melambangkan posisi mereka. Misalnya sinematografer tertulis diatas kamera, atau penata musik tertulis diatas piringan yang sudah pecah. Dari pengemasan set dan propertinya aura weird dan sedikit disturbing bisa dengan mudah dirasakan semisal saat ada ruangan milik seorang tua yang penuh dengan siput dan kodok dengan lantai yang terenda air. Teknik pengambilan gambar serta pencahayannya juga berhasil membuat tidak hanya lokasinya saja yang terasa aneh dan disturbing tapi juga karakter-karakternya. Yang paling terasa adalah saat adegan close-up yang sukses membuat ekspresi karakternya terasa creepy semisal yang nampak ada Clapet maupun Aurore.
Seperti kebanyakan film-film Prancis,  Delicatessen punya iringan musik yang indah. Tapi bukan keindahan itu saja yang menjadikan aspek musik dalam film ini spesial tapi berkat beberapa adegan montage unik yang berhasil dikemas oleh Jean-Pierre dan Marc Caro. Tercatat ada dua montage yang begitu unik dan sanggup membuat saya begitu terpukau. Bagaimana berbagai bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh benda-benda berlainan yang notabene bukan alat musik sanggup menghasilkan harmonisasi bunyi yang enak didengar bahkan sanggup menciptakan rangkaian montage yang lucu. Tapi dari dua adegan tersebut saya paling suka yang lebih sederhana yakni saat Louison sedang memperbaiki per di kasur milik Mademoiselle Plusse (Karin Viard). Dengan diiringi musik ala Hawaii, adegan mengcek per diatas kasur perlahan berubah jadi sebuah "tarian" yang terkesan minimalis, lucu tapi begitu indah. Saya sungguh menyukai gerak dan ekspresi kedua pemainnya khususnya Dominique Pinon pada adegan ini. Lucu. Ya, meski sekilas terlihat sadis dan dsiturbing serta mempunyai tema tentang zaman penuh depresi namun film ini punya sajian komedi yang cukup kental khususnya komedi hitam. Dan diluar dugaan itu berhasil. Saya berhasil dibuat tertawa beberapa kali oleh kelucuan dari film ini yang sebenarnya sedikit aneh...in a good way.

Delicatessen membawa kita pada sebuah depression era disaat nilai-nilai kemanusiaan seolah tidak lagi berlaku dan yang dipikirkan oleh tiap-tiap orang hanyalah berusaha supaya perut mereka tetap kenyang. Hal itu terlihat dari fakta bahwa hampir semua penghuni apartemen tersebut menegtahui bahwa daging yang dijual Clapet adalah daging manusia, tapi mereka toh tidak masalah yang penting bisa makan daging. Bahkan tidak jarang mereka membantu Clapet mengumpulkan daging tersebut. Secara tersirat Delicatessen juga memaparkan tentang sebuah efek domino. Ya, beberapa adegannya yang unik memang memperlihatkan efek domino mulai dari montage yang sudah saya ceritakan sebelumnya sampai beberapa momen yang memperlihatkan usaha Aurore melakukan bunuh diri. Banyak adegan seperti itu karena bagi saya film ini memang coba memperlihatkan bagaimana efek domino terjadi pada dunia saat itu. Sebagai contoh jatuhnya perekonomian berefek pada terjadinya kelaparan, kepalaran berefek pada depresi masyarakat yang ada akhirnya berefek pada kanibalisme yang terjadi. Selain itu masih ada berbagai efek domino lain yang tersirat dalam kisah film ini termasuk pada montage yang pertama muncul yang seolah menggambarkan bagaimana Clapet si penjagal sanggup mengontrol mereka semua yang hidup di apartemen tersebut. Tapi meski begitu Delicatessen sesungguhnya adalah film yang berfokus pada interaksi karakter sebagai daya tarik ceritanya. Kita diajak melihat bagaimana interaksi antar penghuni apartemen serta hubungan yang terjalin satu sama lain yang mayoritas bisa disebut aneh. Ya, ini memang film yang aneh bahkan distrubing namun begitu imajinatif dan mudah memukau penonton dengan segala keunikannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HER (2013)

2 komentar
Spike Jonze akan selalu dikenal lewat film-filmnya yang absurd macam Being John Malkovich dan Adaptation dimana kedua film tersebut merupakan kolaborasinya dengan penulis naskah Charlie Kaufman yang memang terkenal dengan naskah surealnya dan sering berkolaborasi dengan Spike Jonze maupun Michael Gondry. Usaha pertama Spike Jonze dalam membuat film tanpa naskah dari Kaufman lewat Where the Wild Things Are bagi saya tidak berhasil dengan baik. Meski berhasil memvisualisasikan buku cerita bergambar tersebut dengan baik tapi yang akan selalu saya ingat adalah karakter Max yang super menyebalkan dan terus membuat kegaduhan. Empat tahun setelah usaha pertamanya itu Spike Jonze kembali dengan Her yang naskahnya ia tulis sendiri. Ini adalah proyek original pertama dari Jonze dimana naskahnya banyak terpengaruh dari pengalamannya menggunakan software Cleverbot dan tentunya diskusi dengan Charlie Kaufman yang turut mempengaruhi kisah unik dalam filmnya. Dan nampaknya usaha Spike Jonze kali ini berhasil karena filmnya sendiri diganjar dua nominasi Oscar termasuk Best Picture dan Best Original Screenplay dimana untuk kategori naskah dia berpeluang besar menang meski harus bersaing dengan American Hustle. Joaquin Phoenix sebagai aktor utama akan dikelilingi oleh empat aktris cantik yang menjadi lawan mainnya yaitu Amy Adams, Olivia Wilde, Rooney Mara dan Scarlett Johansson meski untuk ScarJo hanya suaranya saja yang muncul dalam film ini.

Her punya setting di sebuah masa depan saat teknologi sudah berkembang cukup pesat dan mempermudah banyak kegiatan manusia. Pada saat itu orang-orang tinggal memberikan perintah lewat suara dan komputer akan mengerjakan perintah tersebut. Ceritanya bertutur tentang Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) yang bekerja sebagai pembuat surat cinta dimana ia sangat ahli merangkai kata-kata indah nan romantis sekaligus jago memahami perasaan serta keinginan kliennya. Namun ironisnya kehidupan cinta Theodore ternyata tidak berjalan mulus dimana saat ini ia tengah menjalani proses cerai dengan Catherine (Rooney Mara), wanita yang sedari kecil tumbuh bersamanya. Hal ini tentu saja sangat berat bagi Theodore, apalagi ia adalah seorang yang tertutup. Theodore pun menjalani hari-harinya dengan kurang bersemangat. Bahkan dia tidak menghiraukan undangan untuk menghabiskan waktu dengan teman lamanya, Amy (Amy Adams). Semuanya perlahan mulai berubah disaat Theodore membeli sebuah Operating System (OS) yang menjanjikan kecerdasan tingkat tinggi yang sanggup merespon, mendengarkan dan bahkan bisa berinteraksi layaknya manusia. OS yang bernama Samantha (Scarlett Johansson) tersebut diluar dugaan mampu membuat Theodore nyaman. Keduanya pun menjadi sering menghabiskan waktu mereka hanya untuk ngobrol berdua dan pada akhirnya Theodore mulai jatuh cinta dengan Samantha, dengan sistem operasi komputernya.

2 komentar :

Comment Page:

STRANGER BY THE LAKE (2013)

2 komentar
Jika Blue is the Warmest Color yang berkisah tentang pasangan lesbian berhasil memenangkan Palme d'Or, maka Stranger by the Lake yang berceritan tentang sepasang gay berjaya di Un Certain Regard setelah Alain Guiraudie menjadi Best Director. Kedua film ini memang terasa punya kemiripan dari segi tema namun sesungguhnya berbeda. Keduanya sama-sama mengangkat hubungan sesama jenis yang dibumbui berbagai adegan seks yang vulgar, namun Blue is the Warmest Color merupakan sebuah drama coming-of-age panjang penuh letupan emosi berdurasi hampir tiga jam sedangkan Stranger by the Lake adalah drama sunyi dengan bumbu thriller pembunuhan yang berdurasi hanya 92 menit. Stranger by the Lake juga berhasil memenangkan Queer Palm di ajang Cannes tahun lalu, yakni sebuah penghargaan bagi film-film yang mengangkat tema LGBT (Lesbian-Gay-Bisexual-Transexual). Berlokasi di danau Sainte-Croix yang terletak di Prancis pada suatu musim panas, awalnya film ini akan membawa kita berkeliling pantai bersama Franck (Pierre de Ladonchamps) seorang gay yang rutin datang ke danau tersebut entah sekedar untuk berenang, berjemur atau mencari pria lain untuk diajak berhubungan seks. Di tempat tersebut memang merupakan hal yang wajar saat dua orang pria yang tidak saling kenal menghabiskan hari bersama dengan berhubungan seks. Bahkan mayoritas pria disana telanjang bulat.

Disana juga Franck berkenalan dengan Henri (Patric d'Assumcao) seorang pria straight yang baru saja berpisah dengan istrinya. Keduanya pun mulai sering ngobrol meski hanya sebentar. Namun sesungguhnya perhatian Franck tertuju pada seorang pria bernama Michel (Christophe Paou) yang begitu ia sukai dan telah lama dia perhatikan. Namun ternyata Michel sudah mempunyai pasangan lain, hal yang membuat Franck sangat kecewa. Namun di suatu senja ia tidak sengaja melihat pemandangan mengerikan saat Michel menenggelamkan pacarnya di tengah danau. Ironisnya semenjak kejadian itu Franck dan Michel malah menjadi dekat dan rutin bersama di danau tersebut. Stranger by the Lake akan mengajak kita mengamati hari demi hari yang berlalu secara perlahan dimana setiap hari baru diawali dengan adegan Franck memarkir mobilnya di dekat mobil-mobil pengunjung danau lainnya. Bagi banyak orang film ini akan terasa repetitif karena yang hadir selalu hampir sama, diawali dengan Franck memarkir mobil, berbicara dengan Henri, bertemu dengan Michel, berhubungan seks, ngobrol sebentar sampai gelap lalu kembali lagi, begitu seterusnya. Sebuah hal yang repetitif saja mungkin sudah membuat filmnya susah dinikmati, apalagi ditambah dengan temponya yang lambat, suasana yang sunyi dan sepi, sampai adegan gay seks yang vulgar. Saat saya bilang vulgar disini artinya benar-benar nyata dimana hampir setiap momen disajikan secara vulgar entah itu handjob, blowjob sampai ejakulasi yang memperlihatkan sperma berceceran.

2 komentar :

Comment Page:

DOGTOOTH (2009)

7 komentar
Film karya Yorgos Lanthimos ini adalah film yang menjadi perwakilan Yunani dalam ajang Oscar tahun 2010 dan berhasil menjadi nominasi walaupun pada akhirnya kalah oleh In A Better World yang bagi saya sama sekali tidak spesial. Selain mendapat nominasi Oscar, Dogtooth juga berhasil meraih kemenangan di kateogir Un Certain Regard pada Cannes Film Festival tahun 2009. Meski punya judul yang berarti "gigi taring" film ini sama sekali tidak menceritakan tentang vampir ataupun monster buas, melainkan sebuah drama keluarga disfungsional yang disajikan dengan balutan komedi hitam gila dan disturbing. Mungkin sampai saat ini Dogtooth adalah film yang paling gila dalam menyajikan kisah disfungsi sebuah keluarga yang pernah saya tonton dengan komedi hitam yang juga sangat sinting. Premisnya memperlihatkan ketakutan yang dialami oleh sepasang orang tua terhadap pengaruh buruk dunia luar kepada ketiga anak mereka. Alih-alih memberikan pendidikan dan pembekalan bagi ketiganya, dua orang tua dalam film ini malah mengurung ketiga anak mereka di dalam rumah. Ketiga anak yang sudah menginjak usia remaja tersebut sama sekali tidak boleh melangkahkan kaki keluar rumah dengan alasan dunia luar adalah dunia berbahaya dimana nyawa mereka bisa terancam jika berani keluar dari rumah sebelum waktunya. Kapan waktunya tiba saat mereka boleh keluar rumah? Disaat gigi taring mereka sudah tanggal. WTF!

Tidak hanya itu, ayah dan ibu ini juga sangat membatasi kosa kata yang diajarkan, dimana tiap beberap waktu mereka akan memberikan kata-kata baru disertai artinya. Yang lebih gila, banyak kata yang diberikan dengan makna yang berbeda. Sebagai contoh "laut" diberi pengertian sebagai "kursi", dan "zombie" adalah bunga kecil berwarna kuning. Pelacur? Pelacur adalah lampu besar yang menyala terang. WTF! (lagi) Ketiga anak tersebut tidak boleh keluar rumah dan tidak diperkenalkan pada orang asing kecuali Christina, seorang wanita yang bekerja sebagai penjaga keamanan di pabrik tempat sang ayah bekerja. Christina rutin datang kerumah beberapa hari sekali untuk memuaskan hasrat seksual si putera tunggal dimana keduanya rutin berhubungan seks. Cara mendidik tersebut membuat ketiganya punya kepribadian yang kekanak-kanakan bahkan terasa seperti robot kadang -kadang. Tapi masalahnya mereka bertiga tetaplah manusia dan berada di masa remaja yang tentunya penuh rasa ingin tahu dan semakin mereka dikekang maka rasa keingin tahuan mereka akan semakin besar. Sulit untuk menuliskan sinopsis film ini. Bahkan dengan segala keganjilan dan kegilaan yang sudah saya tulis diatas masih belum mewakili keseluruhan kegilaan yang dipunyai film ini. Dengan durasi 97 menit, Dogtooth punya begitu banyak hal gila yang sulit untuk diceritakan. Bahkan saya yang merasa sudah banyak menonton film-film gila sekalipun dibuat bersumpah serapah menonton film ini.

Kita diajak melihat bagaimana dampak yang terjadi pada ketiga anak dalam keluarga ini. Seperti yang sudah saya singgung, ketiganya memang punya sifat yang agak kekanak-kanakan karena kedua orang tuanya seolah menitik beratkan permainan-permainan serta hiburan dalam "pembelajaran" yang mereka berikan. Seolah-olah ketiganya dijaga supaya tidak beranjak memasuki masa dewasa. Pada akhirnya saya merasa kengerian yang begitu besar saat melihat mereka bertiga. Mereka semua memang lebih sering memasang senyum, senyuman kebahagiaan yang polos dengan mata yang berbinar-binar. Tapi dari situlah kenapa mereka terasa mengerikan. Dari senyum dan tatapan matanya sangat terasa ada yang tidak beres pada ketiga anak ini. Mereka tersenyum dan tertawa pada hal yang bagi saya tidak membuat tersenyum. Akhirnya mereka malah terasa bagaikan robot daripada manusia. Belum lagi cara bicaranya yang kaku, bahkan terasa baku. Saya memang tidak mengerti bahasa Yunani, tapi dari mendengar cara mereka bicara saja akan terasa kekakuan yang amat sangat. Dogtooth memang adalah kisah tentang paranoid, bagaimana orang tua berusaha mengatur anaknya menjadi apa yang mereka mau tapi dengan menyembunyikan segala hal yang ada diluar sana. Tapi sebenarnya film ini bisa dimaknakan lebih dari itu.
Ya, bagi saya Dogtooth bukan sekedar interaksi antara orang tua dengan ketiga anaknya. Ini lebih kepada gambaran penguasa yang diktator dan mengurung rakyatnya, berusaha membentuk mereka menjadi apa yang dia mau, bahkan menghentikan aliran informasi dari dunia luar. Sang diktator takut rakyatnya menjadi memberontak jika diberi kebebasan, sehingga ia lebih memilih mengurung mereka, bahkan membohongi mereka dengan menjejalkan kebohongan demi kebohongan. Mungkin ceritanya sedikit mengingatkan pada bagaimana pemerintahan diktator Korea Utara memperlakukan rakyatnya. Ya, mirip seperti itu dimana rakyat negara tersebut sering menerima informasi bohong yang sesungguhnya menggelikan tapi mereka percaya dan menganggap sang pemimpin adalah yang paling benar. Karena apa? Karena mereka tidak tahu menahu mengenai hal lain diluar sang pemimpin dan negaranya. Bahkan mereka percaya bahwa Korea Utara adalah penemu burger dan punya astronot yang berhasil mendarat di matahari. Tapi pada akhirnya jika terus menerus menyimpan fakta pada akhirnya bukan hanya kepatuhan yang muncul tapi kebohongan dari mereka yang dikekang juga bisa terjadi. Akibat rasa ingin tahu yang besar, mereka bisa nekat untuk mencari tahu sendiri dan berbohong bahkan bukan tidak mungkin terjadi pemberontakan nantinya. 

Dogtooth sebenarnya mempunyai begitu banyak selipan komedi hitam yang mayoritas mentertawakan berbagai kebohongan yang diberikan pada ketiga anak tersebut yang pada akhirnya berujung pada behavior yang amat sangat aneh. Berbagai komedi hitam itu sukses membuat saya tertawa, tapi tawa yang disebabkan karena rasa shock yang luar biasa. Tawa yang selalu diiringi sumpah serapah sepanjang saya menonton film ini. Entah berapa kali kata "fuck" atau "anjing" terlontar dari mulut saya setiap kali ada kegilaan dan keganjilan yang dihadirkan oleh Yorgos Lanthimos dalam filmnya ini. Tapi itu belum seberapa sampai ada momen klimaks yang sebenarnya sudah bisa ditebak tapi tetap saja pengemasannya yang sinting dan disturbing berhasil membuat saya terpana. Bicara soal disturbing memang dalam film ini terdapat beberapa degan yang cukup sadis dan berdarah-darah. Bahkan beberapa adegan juga punya unsur seksual yang lumayan vulgar. Tapi rasa jijik dan kata-kata kotor yang muncul adalah bentuk kekaguman saya yang begitu tinggi pada film ini. Interaksi-interaksi yang terjadi antar karakternya pun terasa begitu menarik meskipun twisted sebagai akibat dari pengerian-pengertian aneh yang diberikan oleh orang tua pada ketiga anak mereka tersebut. 

Pada akhirnya Dogtooth memang menjadi sebuah film yang begitu gila bahkan sulit ditonton akibat kontennya yang cukup disturbing. Tapi alurnya selalu membuat saya menagih lebih dan lebih dan terus berharap akan kegilaan baru yang muncul dalam tiap menit berikutnya. Alurnya sendiri berjalan dengan tempo yang tidak terlalu cepat, bahkan filmnya terasa sunyi karena penggunaan musik yang begitu minimalis. Bahkan entah saya yang terlewat atau tidak tapi sepenangkapan saya tidak ada scoring dalam film ini kecuali piano dan gitar yang dimainkan oleh tokoh dalam filmnya. Filmnya memang gila, tapi penelusuran yang dilakukan oleh ceritanya terhadap pengekangan kedua orang tua terhadap anaknya serta dampak yang terjadi pada kepribadian masing-masing anak disajikan dengan begitu luar biasa, twisted dan sesungguhnya cukup masuk diakal. Dogtooth jauh lebih bagus daripada saingan-saingannya diajang Oscar seperti In A Better World maupun Biutiful. Komedi hitam yang benar-benar gila, sinting!

7 komentar :

Comment Page:

ARISAN! (2003)

1 komentar
Salah satu hal yang paling sering menjadi alasan saya untuk menonton kembali film-film yang sudah saya tonton dulu adalah guna melihat kembali apakah film tersebut masih bagus ditonton setelah lewat bertahun-tahun. Kemudian jika film itu adalah film lokal yang mengangkat sebuah isu tertentu, menarik juga untuk melihat apakah ceritanya masih relevan pada zaman sekarang. Hal itulah yang membuat saya kali ini menonton Arisan! yang selama ini hanya saya tonton di televisi. Film ini spesial karena banyak hal. Pertama jelas karena tema gay dalam naskah karya Joko Anwar ini sangat jarang muncul dalam perfilman Indonesia. Kedua adalah karena Arisan! masuk dalam jajaran film-film yang dianggap berperan besar dalam membangkitkan gairah perfilman tanah air bersama Ada Apa dengan Cinta dan Petualangan Sherina. Pada akhirnya berkat ketiga film ini jugalah Festival Film Indonesia kembali diadakan setelah vakum selama 12 tahun. Dalam FFI 2004 itulah Arisan! berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Film Terbaik mengalahkan  AADC dan Pasir Berbisik. Tidak hanya itu, ketiga pemainnya yakni Tora Sudiro, Surya Saputra dan Rachel Maryam juga masing-masing berhasil meraih piala kala itu. Film ini berhasil menjadi film terbaik diantara rangkaian film-film berkualitas yang kini sudah layak disebut legendaris tersebut. Jadi apakah Arisan! masih bagus dan yang paling penting masih relevan jika ditonton lebih dari satu dekade kemudian?

Filmnya bercerita tentang persahabatan antara Sakti (Tora Sudiro) dan Meimei (Cut Mini Theo) yang juga bekerja bersama di sebuah perusahaan interior design. Keduanya sendiri sama-sama punya permasalahan pribadi yang selalu menghantui pikiran mereka. Sakti adalah seorang gay yang merasa terganggu dengan orientasi seksualnya itu dan mencoba "sembuh" dengan rutin mendatangi seorang psikiater (Jajang C. Noer). Sakti sendiri menyembunyikan fakta itu dari Meimei dan ibunya sendiri karena takut akan mengecewakan mereka. Sakti juga ingin "sembuh" karena sebagai orang Batak ia merasa wajib melanjutkan garis keturunannya. Sedankan Meimei harus menghadapi kenyataan bahwa pernikahannya dengan Ical (Nico Siahaan) sudah tidak lagi hangat karena ketidak mampuan Meimei memberikan keturunan. Suatu hari Meimei memutuskan untuk ikut dalam sebuah arisan yang diikuti oleh seorang lagi sahabatnya, Andien (Aida Nurmala). Dari orang-orang yang tergabung dalam arisan itulah kita akan melihat kisah tentang mereka yang menganut pola hidup hedonisme dan memuja kemewahan. Kemudian masuklah Nino (Surya Saputra) dalam kehidupan keduanya. Nino sendiri adalah seorang gay yang awalnya hanya merupakan klien dari Sakti tapi beranjut menjalin romansa dengannya. Dari sinilah segala konfliknya semakin berkaitan dan bertambah rumit. Belum lagi berbagai sindiran dan sentilan akan isu sosial yang ditebarkan dalam filmnya lewat berbagai cara.

1 komentar :

Comment Page:

DALLAS BUYERS CLUB (2013)

2 komentar
Ada masa dimana seorang Matthew McConaughey hanya identik dengan ketampanan wajahnya serta kebiasaannya yang konon selalu tampil topless memperlihatkan tubuh kekarnya dalam film-film miliknya. Banyak yang sadar bahwa ia punya bakat tapi saya rasa tidak akan ada yang mengira bahwa ia akan dengan begitu cepat melesat menjadi jajaran aktor papan atas yang bahkan tahun ini menjadi kandidat kuat pemenang Oscar. The Lincoln Lawyer memang mengubah peruntungan McConaughey. Dalam Dallas Buyers Club sendiri kisah tentang pengorbanan sang aktor yang harus mengurangi beratnya sebanyak 23 kg demi mendalami peran sebagai seorang pengidap AIDS sudah jadi bahan perbincangan serta daya tarik tersendiri. Tapi tidak hanya McConaughey seorang yang melakukan transformasi fisik secara ekstrim disini, karena ada juga Jared Leto yang harus mengurangi 14 kg berat badannya. Bagi Jared Leto sendiri ini adalah comeback-nya dalam dunia akting setelah vakum selama empat tahun. Ini juga bukan pertama kalinya ia melakukan transformasi ekstrim karena dalam Chapter 27 ia pernah menambah berat badannya sebanyak 30 kg untuk peran sebagai Mark Chapman, pembunuh John Lennon. Film yang disutradarai oleh Jean-Mark Vallee ini mengambil cerita dari kisah hidup Ron Woodroof (Matthew McConaughey), seorang koboi rodeo yang suatu hari divonis terjangkit virus HIV.

Bagi Ron, fakta tersebut tidak hanya tragis namun juga ironis karena selama ini ia sangatlah anti terhadap mereka yang terjangkit HIV AIDS dan ia juga adalah seorang homophobic. Ron pada akhirnya harus menerima kenyataan saat dirinya divonis hanya punya sisa waktu hidup 30 hari. Ron yang pada awalnya menolak vonis tersebut mulai mencari tahu lebih banyak tentang virus HIV dan obat-obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan atau setidaknya memperpanjang masa hidupnya. Disisi lain pihak FDA (pengawas obat & makanan) telah memberikan persetujuan pada para dokter untuk melakukan eksperimen placebo terhadap sebuah obat bernama AZT yang disinyalir bisa menyembuhkan AIDS. Merasa tidak terbantu dengan segala bantuan medis dari rumah sakit, Ron pun pada akhirnya nekat melakukan hal-hal ilegal seperti mengkonsumsi obat yang belum disetujui dan dinyatakan aman oleh FDA. Pada akhirnya bersama seorang transeksual yang juag penderita AIDS bernama Rayon (Jared Leto), Ron membuat sebuah organisasi yang menjual obat-obatan yang belum disetujui oleh FDA namun dianggap lebih ampuh untuk menyembuhkan penderita AIDS, organisasi tersebut bernama "Dallas Buyers Club". Disisi lain Ron juga bertemu dengan Eve (Jennifer Garner), seorang dokter yang perlahan mulai menaruh simpati padanya.

2 komentar :

Comment Page:

SHORT TERM 12 (2013)

2 komentar
Short Term 12 adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah film pendek berjudul sama buatan Destin Daniel Cretton. Film pendek itu sendiri berhasil mendapatkan Jury Prize for U.S. Short Filmmaking di Sundance Film Festival 2009. Empat tahun berselang Daniel Cretton merilis film panjangnya yang kembali ia sutradarai dan tulis sendiri naskahnya. Dengan bujet tidak sampai $1 juta film ini berhasil meraih respon sangat positif termasuk memenangkan beberapa penghargaan di SXSW Film Festival. Film ini sendiri ber-setting di sebuah rumah penampungan bagi para remaja yang dianggap bermasalah. Ya, para remaja yang dirawat di tempat bernama Short Term 12 memang punya masalah dalam hidup mereka entah itu akibat trauma, perlakuan buruk dari keluarga, sampai mereka yang mengalami gangguan psikologis. Tempat itu juga mempunyai orang-orang yang bertugas sebagai penjaga sekaligus teman bagi anak-anak yang tinggal disana. Tugas para penjaga itu adalah mulai dari merawat anak-anak sampai "mengejar" mereka yang berusaha kabur dan membujuknya untuk kembali lagi. Grace (Brie Larson) dan kekasihnya, Mason (John Gallagher, Jr.) adalah orang yang sudah bertahun-tahun bekerja disana dan itu membuat mereka berdua sudah paham betul seluk beluk dan cara menangani para remaja yang dianggap bermasalah tersebut.

Berbagai permasalahan harus dihadapi oleh Grace dan Mason, termasuk saat Marcus (Keith Stanfield) yang sudah berusia 18 tahun akan segera meninggalkan tempat itu tapi Marcus sendiri masih merasa berat dan belum siap pergi untuk kembali ke dunia luar. Masalah lain juga datang dari Jayden (Kaitlyn Dever) seorang gadis yang baru saja masuk kesana. Jayden sesungguhnya adalah gadis yang pandai namun berbagai permasalahan membuatnya menjadi remaja yang bermasalah dan dianggap menyusahkan. Namun Grace sendiri bukannya tidak memiliki permasalahan. Saat itu ia harus menerima fakta bahwa dirinya tengah hamil dan berniat menggugurkan kandungan tersebut meski belum memberitahukannya kepada Marcus. Tidak hanya itu Grace sampai sekarang juga masih belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam. Sekilas memang Short Term 12 telihat sebagai sebuah film yang akan terasa begitu kelam bahkan depresif dengan segala kisah tentang orang-orang bermasalah di dalamnya. Namun apa yang disajikan oleh Destin Daniel Cretton bukanlah "eksploitasi" mengenai berbagai masalah yang dimiliki karakternya, tapi tentang bagaimana orang-orang bermasalah ini saling membantu satu sama lain untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan itu membuat Short Term 12 menjadi film yang penuh harapan dibandingkan film yang gelap dan depresif.

2 komentar :

Comment Page:

KILLERS (2014)

3 komentar
Cukup lama juga semenjak Mo Brothers membuat saya terkagum-kagum lewat kegilaan dan kebrutalan yang mereka tampilkan dalam Rumah Dara empat tahun lalu. Lewat film tersebut, mereka membuktikan bahwa Indonesia juga bisa membuat film bergenre slasher yang tidak hanya bagus tapi juga cukup inovatif dan brutal. Jauh lebih brutal dan gila dari mayoritas slasher yang dibuat oleh Hollywood. Selama jeda empat tahun ini juga salah satu dari Mo Brothers yakni Timo Tjahjanto sudah dua kali membuat karya gila lewat film pendek yang tergabung dalam The ABC's of Death dan V/H/S 2. Bersama The Raid 2: Berandal, Killers juga menjadi official selection dalam Sundance Film Festival 2014 dan bersama film karya Gareth Evans itu juga menjadi dua film Indonesia yang paling saya tunggu tahun ini. Dibuat dengan kerjasama antara Indonesi dan Jepang, Killers tidak hanya diisi oleh aktor-aktor lokal seperti Oka Antara, Luna Maya, Ray Sahetapy dan Epy Kusnandar tapi juga menampilkan para pemain dari Jepang seperti Kazuki Kitamura (Kill Bill: Volume 1), Rin Takanashi (Like Someone in Love, my favorite movie from last year) sampai Denden (Ju-On, Like Someone in Love). Apakah ekspektasi tinggi yang saya pasang akan bisa terpenuhi oleh film ini?

Kisahnya berlokasi di dua tempat yakni Tokyo dan Jakarta dimana Killers akan secara bergantian mengajak kita mengikuti dua kisah tersebut. Di Tokyo ada Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang eksekutif muda tampan yang bisa dengan mudah memikat wanita. Namun dibalik semua itu ia menyimpan rahasia gelap yang mengerikan. Nomura gemar membunuh orang-orang termasuk para wanita. Tidak hanya itu, proses pembunuhan yang ia lakukan juga direkam untuk kemudian dia upload ke internet. Dari situlah kegiatan membunuhnya itu diketahui oleh Bayu (Oka Antara), seorang jurnalis muda ambisius yang selama ini sanagt terobsesi untuk membongkar kebusukan seorang politikus bernama Dharma (Ray Sahetapy) yang selalu berhasil lolos dari jerat hukum. Suatu hari karena sebuah peristiwa tak terduga, Bayu "tepaksa" melakukan pembunuhan pertamanya. Pada saat itulah Bayu teringat akan aksi Nomura dan memutuskan merekam hal tersebut dan dia unggah ke internet. Tidak butuh waktu lama bagi Nomura untuk menemukan Bayu dan semenjak saat itu keduanya mulai saling berkomunikasi baik itu lewat chat maupun saling "pamer" video pembunuhan yang mereka lakukan.

3 komentar :

Comment Page:

COMIC 8 (2014)

Tidak ada komentar
Semenjak pertama kali melihat trailer film garapan Anggy Umbara ini saya langsung tertarik. Dengan konsep cerita yang mengusung perampokan bank, jajaran pemainnya yang terdiri dari para comic (stand-up komedian), sampai materi trailer yang begitu lucu berhasi membuat saya memasukkan Comic 8 dalam daftar film Indonesia wajib tonton tahun ini. Lucu. Satu kata itulah yang saya rasakan setelah menonton trailer film ini. Selain para comic, film inipun diisi oleh begitu banyak nama besar sebut saja Nirina Zubir, Nikita Mirzani, Pandji, Candil, Agus Kuncoro, Coboy Junior, Indro Warkop dan masih banyak lagi. Saat saya menyebut masih banyak lagi faktanya memang masih sangat banyak daftar nama-nama terkenal yang mengisi jajaran cast dari Comic 8. Dengan konsep cerita mengenai perampokan bank yang masih sangat jarang diangkat oleh perfilman lokal, saya pun mempunyai ekspektasi tinggi terhadap film ini. Saya berharap mendapat suguhan yang unik dan tentunya lucu. Ini film komedi jadi mau bagaimana ceritanya, akting pemainnya, saya tetap menaruh harapan pada kelucuan materi komedinya. Dan dengan diisi oleh para comic harapan saya pun semakin meninggi terhadap film ini.

Seperti yang sudah saya katakan, film ini berkisah tentang perampokan sebuah bank, tepatnya Bank INI (yup, itu naa bank-nya). Ada tiga orang perampok amatiran, Babe (Babe Cabiita), Bintang (Bintang Timur) dan Fico (Fico Fachriza) yang dengan modal rencana serta kemampuan seadanya ingin memperbaiki hidup mereka dengan merampok bank. Namun sebelum rencana itu dieksekusi, tiga orang perampok yang "lebih profesional" sudah terlebih dahulu melancarkan aksi mereka. Ketiga perampok itu adalah Ernest (Ernest Prakasa), Kemal (Kemal Palevi) dan Arie (Arie Kriting) yang datang dengan bersenjatakan senapan serta rencana yang lebih matang. Tentu saja kekacauan terjadi saat dua kelompok perampok tersebut berusaha merampok bank yang sama. Kekacauan semakin bertambah parah dengan kemunculan Mongol (Mongol Stres) dan Mudy (Mudy Taylor) yang dengan segala penampilan serta kepribadian mereka yang aneh juga berusaha merampok bank tersebut. Dari sinilah semua konfik dimulai disaat mereka masing-masing coba melancarkan aksi mereka dan akhirnya justru saling membantu untuk kabur dari kepungan polisi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CHILDREN OF MEN (2006)

11 komentar
Inilah film yang dibuat Afonso Cuaron tujuh tahun sebelum Gravity yang luar biasa dan dua tahun setelah Prisoners of Azkaban yang jadi film terbaik dalam seri Harry Potter. Diadaptasi dari novel The Children of Men karya P.D. James, film ini sering dianggap sebagai salah satu sci-fi terbaik atau setidaknya film bertemakan distopia terbaik yang pernah ada. Kisahnya sendiri ber-setting pada tahun 2027 disaat dunia sedang berada dalam jurang kehancuran dan penuh dengan kerusuhan. Penyebab utama dari hal itu adalah terjadinya kemandulan yang tiba-tiba saja dialami seluruh umat manusia semenjak tahun 2009. Saat itu ibu-ibu hami mengalami keguguran dan semua wanita tidak lagi bisa hamil tanpa sebab yang diketahui secara pasti. Hal itu perlahan menggiring umat manusia pada kepunahan. Kekacauan dan kerusuhan terjadi dimana-mana khususnya yang melibatkan pihak pemerintah dan teroris. Dalam kondisi itu tinggal pemerintahan Inggris yang berfungsi dan hal tersebut menyebabkan begitu banyak imigran gelap yang coba menyusup masuk kesana dengan harapan mendapat hidup yang lebih baik. Namun kini pemerintah Inggris mulai tegas terhadap para imigran gelap. Mereka ditangkap, disiksa bahkan dibunuh.

Perilaku kejam itulah yang memicu banjir demonstrasi dan pemberontakan dimana-mana, salah satunya dilakukan oleh kelompok bernama "Fish" pimpinan Julian (Julianne Moore) yang dianggap sebagai teroris. Suatu hari Julian dan anggotanya "meminta" bantuan pada mantan suaminya, Theo (Clive Owen) untuk mencarikan akses masuk kepada seorang wanita bernama Kee (Clare-Hope Ashitey). Theo sendiri dulunya adalah seorang aktivis yang vokal melawan pemerintahan tapi karena sebuah tragedi dia memilih berhenti dan hidup sebagai pria kantoran biasa yang hidup damai. Theo pun pada akhirnya memilih membantu Julian dan mengantar Kee untuk melewati perbatasan. Namun misi yang nampaknya sederhana tersebut berubah jadi jauh lebih berbahaya. Apalagi ternyata ada rahasia besar dalam misi itu, rahasia yang bisa berdampak begitu besar bagi keseluruhan dunia dan umat manusia. Bagi orang yang sudah menonton film ini dan mungkin juga Gravity pasti sepakat bahwa Alfonso Cuaron layak disebut sebagai sosok yang revolusioner dalam dunia film. Sama seperti Gravity, Children of Men punya dasar premis yang sekilas sederhana yakni tentang sebuah misi untuk mengantar seseorang melewati perbatasn di tengah kondisi dunia yang kacau. Tapi Alfonso Cuaron punya visi yang begitu luar biasa hingga menjadikan segala aspek yang ada termasuk dunia distopianya tidak hanya menjadi tempelan belaka.

11 komentar :

Comment Page:

THE FOUNTAIN (2006)

Tidak ada komentar
Ini adalah film pertama Darren Aronofsky setelah enam tahun dimana sebelumnya terakhir Aronofsky merilis film adalah di tahun 2000 lewat Requiem for a Dream. Jarak yang lama ini disebabkan karena sempat tertundanya proyek The Fountain ini. Pada awalnya Brad Pitt dan Cate Banchett adalah dua orang yang akan bermain disini, namun mundurnya Brad Pitt dan pengurangan bujet yang dilakukan pihak studio membuat proyek ini sempat terbengkalai bahkan dihentikan. Namun setelah Aronofsky menulis ulang naskahnya dan merevisi kebutuhan bujet, The Fountain pun akhirnya bisa terealisasi dengan Hugh Jackman dan Rachel Weisz sebagai pemeran utama. Satu hal lagi yang membuat proses film ini tidak cepat adalah karena dalam proses penulisan ceritanya bersama Ari Handel, Aronofsky butuh melakuan begitu banyak riset mulai tentang suku maya, perjalanan luar angkasa sampai sejarah dan kisah yang tertulis dalam Alkitab. Pada akhirnya The Fountain memang menjadi film paling ambisius dari seorang Darren Aronofsky meski bukan jadi filmnya yang terbaik. Fim ini punya tiga kisah berbeda yang terpisah rentang waktu hingga ratusan tahun namun tetap memiliki benang merah yang menghubungkan ketiga kisah tersebut.

Kisah pertama terjadi di abad ke-16 disaat Tomas Verde (Hugh Jackman) seorang conquistador (penakluk) mendapat misi dari Ratu Isabella (Rachel Weisz) untuk mencari pohon kehidupan (tree of life) yang selama ini hanya dianggap sebagai dongeng di Alkitab. Pohon tersebut dipercaya bisa membawa keabadian bagi siapa saja yang meminum getahnya. Menurut Ratu Isabella, penemuan pohon tersebut bisa mengakhiri konflik perebutan kekuasaan yang sedang terjadi dimana pihak Pendeta sedang berusaha melakukan kudeta. Maka berangkatlah Tomas mencari pohon tersebut yang kabarnya terletak di piramida yang hilang milik suku maya. Kisah kedua terjadi pada tahun 2005 tentang Tom Creo (Hugh Jackman) seorang doktor yang tengah melakukan penelitian untuk menemukan obat untuk tumor otak yang diderita oleh istrinya, Izzi (Rachel Weisz). Tom menggunakan sampel dari pohon kehidupan yang baru saja ditemukan di Amerika Tengah untuk membuat obat tersebut. Disisi lain Izzi yang sekarat sesungguhnya ingin agar Tom lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya di hari-hari terakhir hidupnya. Sedangkan kisah ketiga ber-setting tahun 2500 tentang Tommy (Hugh Jackman), seorang space traveler yang melakukan perjalanan ke luar angkasa di dalam sebuah gelembung yang mengangkut dirinya dan sebuah pohon kehidupan. Tujuan mereka adalah nebula, sebuah bintang kematian yang dipercaya sebagai sumber kehidupan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE GOOD, THE BAD, THE WEIRD (2008)

3 komentar
Sekilas judulnya memang mengingatkan pada film Sergio Leone yang berjudul The Good, the Bad and the Ugly dan pada kenyataannya film garapan Kim Jee-woon ini memang terinspirasi dari film tersebut. Jika Italia punya spaghetti western kemudian di Jepang ada sukiyaki western, maka Kim Jee-woon menyebtu The Good, the Bad, the Weird sebagai kimchi western. (mungkin suatu hari nanti Indonesia bakal punya rendang western atau ketoprak western, siapa tahu?) Tentu saja apa yang dilakukan Kim Jee-woon disini termasuk hal yang nyeleneh dimana ia mencoba menggabungkan dua hal yang bertolak belakang, yakni berbagai pernak-pernik western kedalam sebuah film Korea. Tapi disinilah daya tarik utama dari film ini, daya tarik utama dari apa yang ia sebut sebagai kimchi western. Untuk memerankan ketiga karakter utamanya, Jee-woon mengajak tiga orang aktor yang juga mumpuni. Sebagai "The Good" ada Jung Woo-sung (A Moment to Remember, Musa), lalu ada Lee Byung-hun (I Saw the Devil, G.I. Joe, A Bittersweet Life) sebagai "The Bad", dan terakhir ada Song Kang-ho (Memories of Murder, The Host) sebagai "The Weird". Dua nama yang disebut belakangan sama-sama pernah bermain di tiga film Jee-woon termasuk film ini.

Seperti yang biasa kita temui di film-film koboi, The Good, the Bad, the Weird ber-setting di sebuah padang tandus, tepatnya di Manchuria tahun 1930 disaat Korea masih berada dibawah kekuasaan Jepang. Park Chang-yi/The Bad yang merupakan seorang bandit kelas kakap yang terkenal dengan kesadisannya mendapat pekerjaan untuk merebut sebuah peta milik pihak Jepang yang dibawa dengan kereta api. Rencananya untuk menghentikan kereta tersebut berjalan mulus tapi sebelum ia sempat mengambil peta tersebut, Yon Tae-goo/The Weird seorang bandit kelas teri sudah mendahuluinya. Tae-goo sendiri sebenarnya hanya ingin merampok beberapa uang dari penumpang kereta tapi tanpa sengaja ia justru menemukan peta tersebut. Disisi lain muncul juga Park Do-won/The Good, seorang bounty hunter yang memang datang untuk menangkap Park Chang-yi yang telah lama ia buru. Peta yang diduga adalah sebuah peta harta karun itu pun akhirnya diperebutkan banyak pihak saat tentara Jepang ingin mengambil kembali peta mereka dan para bandit dari Manchuria ingin menjual peta itu ke pasar gelap. Yang terjadi setelahnya adalah saling kejar dan baku tembak yang menimbulkan banyak kekacauan dan tentunya ledakan disana-sini.

3 komentar :

Comment Page: