OF HORSES AND MEN (2013)

1 komentar
Seekor hewan dengan pemiliknya, bisa jadi punya ikatan yang kuat bahkan tidak jarang sang hewan merepresentasikan sosok majikannya. Film asal Islandia yang menjadi debut penyutradaraan dari Benedikt Erlingsson ini akan membawa penontonnya melihat kehidupan orang-orang di sebuah pedesaan di Islandia dengan kuda-kuda mereka. Saya tidak perlu tahu sinopsis film ini atau fakta bahwa Of Horses and Men merupakan perwakilan Islandia di ajang Oscar 2014 untuk tertarik menontonnya. Cukup dengan melihat poster filmnya itu dan saya pun antusias. Sebuah poster yang cukup gila, tapi ternyata belum segila apa yang dihadirkan oleh keseluruhan filmnya. Berlatar di sebuah desa, film ini berisikan beberapa kisah tentang beberapa warga desa dimana masing-masing kisah dibuka dengan adegan mata yang menatap sesuatu (bisa mata kuda, bisa juga mata manusia). Karena mayoritas warga desa tersebut hobi atau beternak kuda, maka jadilah setiap cerita selalu melibatkan kuda di dalamnya. Tentu saja seperti yang sudah saya bilang masing-masing cerita punya kegilaan di dalamnya. Sebuah kegilaan yang hadir di tengah kesan realisme, alur agak lambat, kesan dingin pedesaan Islandia, dan pada momen tidak terduga. 

Dengan pengemasan dan atmosfer seperti itu, tidak ada yang mengira Of Horses and Men akan dihiasi banyak komedi gelap yang brutal, dan pada akhirnya semakin menguatkan kesan shocking pada penonton. Beberapa kegilaan yang dihadirkan Benedikt Erlingsson pada filmnya ini antara lain kuda yang berhubungan seks (seperti pada poster film), banyak kekejaman, kekerasan, kematian, sampai salah satu yang paling gila adalah yang menampilkan badai salju dan membuat sang pemilik kuda harus mencari cara untuk berlindung dari udara dingin. Film ini pun jadi semakin terasa aneh berkat kesintingan tersebut, tapi pada akhirnya memang rasa kaget dan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut saya saat menonton adalah bukti betapa menghiburnya kegilaan komedi hitam film ini. Tapi yang menarik bukan hanya komedi hitamnya saja, tapi juga observasi terhadap masing-masing karakter. Masing-masing dari mereka ada yang terasa menggelikan, menyedihkan, ternoda harga dirinya, kehilangan kepercayaan diri, terbakar cemburu, dan pada akhirnya semua itu banyak berujung pada kekejaman yang mereka lakukan. 

1 komentar :

Comment Page:

THE MAZE RUNNER (2014)

Tidak ada komentar
Ditengah begitu melimpahnya adaptasi film dari novel young adult (YA) cukup aneh juga mendapati fakta bahwa hanya franchise The Hunger Games yang benar-benar sukses dari sisi finansial dan kualitas. Banyak diantara adaptasi tersebut yang pada akhirnya gagal menjadi franchise karena film pertamanya yang flop atau dicaci kritikus. Maka saat novel The Maze Runner karya James Dashner yang kini telah mencapai 5 buku (tiga seri awal dan dua prekuel) coba diadaptasi oleh sutradara Wes Ball saya tidak terlalu antusias, tanpa tahu bahwa seri novel itu punya konsep cerita menarik dan tone yang jauh lebih gelap dari mayoritas novel YA lainnya. Film ini bercerita tentang Thomas (Dylan O'Brien), seorang remaja yang tanpa tahu apa-apa terbangun di sebuah tempat misterius bernama "The Glade". Disana ia "disambut" oleh remaja lain yang semuanya laki-laki. Dengan bantuan Alby (Aml Ameen) sang pemimpin, Thomas perlahan mulai mempelajari tempat seperti apa "The Glade" itu. Tempat itu adalah sebuah padang rumput dan hutan yang dikelilingi oleh tembok tinggi. Disana mereka semua harus bertahan hidup dengan barang-barang seadanya, dimana tiap sebulan sekali akan ada anak baru yang datang bersamaan dengan suplai makanan. Tiap anak baru selalu datang dengan ingatan yang hilang dan baru bisa mengingat nama  mereka beberapa hari kemudian.

"The Glade" hanya memiliki satu pintu yang itupun tidak terdapat jalan keluar, karena di seberang pintu dan tembok hanya ada sebuah labirin yang hanya terbuka di pagi hari dan tertutup di malam hari. Setiap hari labirin tersebut selalu berubah-ubah sehingga nyaris mustahil untuk bisa menemukan jalan keluar dari sana. Untuk itulah dibuat sekelompok orang yang disebut "Runner". Mereka adalah anak-anak terkuat dan pelari tercepat diantara kelompok tersebut dan tiap hari bertugas keluar-masuk labirin guna memetakan jalan keluar dari sana. Bahaya dalam labirin itu tidak hanya dari bentuknya yang selalu berubah tapi juga dari sosok monster misterius yang disebut "Griever". Monster itu berkeliaran pada malam hari, sehingga akan sangat berbahaya jika ada orang yang gagal keluar dari labirin dan harus menghabiskan malam disana. Konon tidak ada orang yang berhasil bertahan hidup setelah bertemu dengan "Griever". Pada sebuah kesempatan, Thomas nekat untuk memasuki labirin tersebut dan tanpa ia sadari hal itu akan membawa bahaya besar bagi semua orang tapi disisi lain juga memberikan petunjuka tentang jalan keluar dari sana.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

WILLOW CREEK (2014)

Tidak ada komentar
Found footage horror tidak akan pernah mati, setidaknya dalam waktu dekat ini. Meski sudah kehilangan kesan realistis seperti yang berhasil dibangun The Blair Witch Project atau jika ditarik lebih ke belakang Cannibal Holocaust tetap saja sub-genre horor satu ini masih sanggup menghadirkan kengerian yang menyenangkan. Disaat franchise Paranormal Activity semakin kehilangan daya tariknya lewat hantu-hantu yang membosankan, bermunculan berbagai macam mockumentary lain yang mengusung konsep jauh lebih unik, sebagai contoh dari Norwegia ada Trollhunter. Dengan keberhasilan film tersebut tidak mengejutkan jika setelah itu akan bermunculan mockumentary lain yang mengangkat monster mitologi sebagai fokusnya. Kali ini giliran sutradara Bobcat Goldthwait yang selama ini dikenal lewat film-film komedi hitam (God Bless America, World's Greatest Dad) yang melakukan hal itu dengan membuat film tentang perburuan Bigfoot. Willow Creek terinspirasi dari footage terkenal buatan Roger Patterson dan Robert Gimlin pada tahun 1967 yang menampilkan sosok Bigfoot sedang berjalan di tengah hutan. Sampai sekarang footage itu masih menuai perdebatan, apakah nyata atau sekedar hoax?

Sepasang kekasih bernama Jim (Bryce Johnson) dan Kelly (Alexie Gilmore) melakukan perjalanan ke sebuah hutan di California yang dikenal sebagai tempat Patterson dan Gimlin merekam sosok Bigfoot. Perjalanan itu dilakukan sebagai hadiah ulang tahun Kelly untuk Jim yang memang menggilai teori-teori Bigfoot. Keduanya pun melakukan perjalanan dengan bermodalkan sebuah kamera, berharap bisa menemukan bukti atas keberadaan Bigfoot. Mereka pun mulai melakukan pengambilan gambar sambil sesekali melakukan wawancara terhadap penduduk sekitar yang tahu atau diduga pernah melihat langsung sosok monster itu. Meski sempat ada dua orang pria yang dengan sikap tidak mengenakkan coba menghentikan perjalanan Jim dan Kelly, mereka berdua akhirnya tetap meneruskan perjalanan. Akhirnya mereka memasuki hutan yang masih amat liar tanpa tahu teror telah menanti mereka di bagian terdalam hutan. Dengan sinopsis sependek ini dan durasi yang hanya mencapai 79 menit sudah bisa diraba akan seperti apa Willow Creek berjalan. Tentu saja tidak akan ada cerita kompleks dan seperti mockumentary horror lain, pada paruh awal kita masih disuguhi momen-momen non-horor sebelum akhirnya berjalan kencang menjelang akhir.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

A MOST WANTED MAN (2014)

Tidak ada komentar
Bahkan hingga saat ini masih terjadi kontroversi serta ambiguitas dalam peperangan terhadap terorisme khususnya yang mengatas namakan diri mereka sebagai mujahidin (jihad). Dampak dari hal itu menjadi amat panjang. Banyak yang beranggapan hal tersebut sebagai bentuk usaha untuk menjatuhkan umat Islam, dan memang cukup banyak terjadi kasus orang Islam di negeri Barat dianggap sebagai teroris meski mereka sama sekali tidak terlibat. Bagi para pelaku terorisme sendiri, jika anda mengikuti pemberitaan mengenai hal itu pasti tahu kalau banyak dari mereka memang beranggapan tindak terorisme itu sebagai bentuk jihad. Masih banyak lagi kontroversi yang mengiringi kasus tersebut, dan membuat sebuah film atau karya apapun yang memasukkan terorisme yang melibatkan kaum muslim punya beban yang lebih. Mereka harus bisa menyajikan film itu tanpa membuat satu pihak merasa dilecehkan (tentu saja saya yakin tetap akan ada beberapa ekstrimis berpikiran sempit yang tetap mencap "sesat" film itu). Tema itulah yang diangkat Anton Corbijn dalam A Most Wanted Man, sebuah adaptasi dari novel berjudul sama karangan John le Carre. 

Gunter Bachmann (Phillip Seymour Hoffman) adalah seorang agen rahasia Jerman yang bertugas memimpin operasi dalam pencegahan tindak terorisme di Hamburg. Tim yang dipimpin Gunter bekerja secara diam-diam dengan cara memasukkan intel ke dalam berbagai tempat, salah satunya adalah komunitas muslim disana. Salah satu target utama operasi tersebut adalah Dr Abdullah (Homayoun Ershadi), seorang dermawan kaya dalam komunitas tersebut yang disinyalir memberikan banyak suntikan dana pada Al Qaeda. Disaat penyelidikan tengah dilakukan, muncul Issa Karpov (Grigoriy Dobrygin) seorang imigran gelap dari Chechnya yang konon sempat berada di penjara Rusia akibat tinda terorisme dan ingin memulai hidup baru di Hamburg. Untuk itulah dia meminta bantuan pada seorang pengacara muda, Annabel Richter (Rachel McAdams) guna mendapatkan suaka dan menghubungkannya dengan seorang pemilik bank bernama Tommy Brue (Willem Dafoe) yang menurut Issa bakal membantunya. Gunter dan timnya pun berusaha mendapatkan Issa guna memancing Dr. Abdullah. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BEARS (2014)

Tidak ada komentar
Esensi utama dari sebuah dokumenter alam adalah bagaimana film itu mampu menangkap kehidupan di alam liar secara nyata, sehingga keindahan dunia luar yang selama ini sulit dijamah oleh orang-orang mampu terpapar dengan jelas. Bagi saya sebuah dokumenter tentang alam harus mempunyai tingkat realisme yang jauh lebih tinggi dibandingkan dokumenter jenis lainnya. Maksud dari tingkat realisme yang lebih tinggi adalah meminimalisir adegan reka ulang apalagi dramatisasi, berbagai hal yang mungkin bisa meningkatkan tensi tapi jelas melucuti rasa natural dari dokumenter itu sendiri. Tapi nampaknya bagi orang-orang Disneynature pemikiran itu tidak berlaku, dan Bears membuktikan hal tersebut. Film ketujuh dari Disneynature ini akan berkisah tentang perjalanan induk Beruang bernama Sky yang baru saja melahirkan dua anak bernama Scout dan Amber lalu membawa keduanya dalam perjalanan penuh bahaya menuju lepas pantai guna mencari ikan salmon untuk persediaan makanan musim panas, persiapan sebelum kembali hibernasi pada musim dingin. Perjalanan itu membawa mereka bertiga bertemu dengan banyak rintangan, mulai dari salju longsor, seekor serigala buas bernama Tikaani, beruang-beruang lain yang mengincar Scout dan Amber, sampai sulitnya mengikuti ikan-ikan salmon yang terus bermigrasi.

Bears jelas mempunyai keunggulan utama dokumenter alam, yaitu sinematografi indah yang mampu menangkap kehidupan keluarga beruang itu dalam berbagai sudut pandang sampai ke tingkat paling detail sekalipun. Tidak hanya indah, gambar-gambar yang hadir dalam film ini memang sanggup membawa penonton kedalam hidup Sky dan kedua anaknya dengan begitu intim. Kita tidak hanya diajak mengamati dari kejauhan tapi seolah benar-benar turut masuk kedalam dunia mereka. Hal itu menjadi kekuatan utama bagi film ini dalam menyibak kehidupan dan perjalanan para beruang grizzly, khususnya kedua anak yang baru berusia satu tahun, dimana tahun pertama dianggap sebagai tahun yang paling sulit. Tidak banyak bayi beruang yang bisa bertahan hidup dalam tahun pertama, dan film ini berhasil menjelaskan alasan dari kesulitan tersebut. Tapi keunggulan itu jadi terasa percuma gara-gara narasinya. Narasi yang dituturkan oleh aktor John C. Reilly dikemas sedemikian rupa sehingga menjadikan Bears layaknya film live action petualangan keluarga yang dramatis dan lucu khas Disney. Narasi dalam film ini membuatnya kehilangan kejujuran dan membuat saya bertanya masihkah film ini layak disebut dokumenter?

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE BABADOOK (2014)

3 komentar
Bagi anak-anak, sebuah bedtime stories seperti apapun ceritanya akan terasa benar-benar nyata. Mereka akan merasa berbagai fantasi yang ada di dalamnya sebagai sebuah kenyataan dalam hidup. Hal yang sama juga terjadi berkaitan dengan kisah-kisah legenda horror sebelum tidur seperti boogeyman yang bersembunyi dalam kamar atau monster-monster lainnya. Sedangkan bagi orang dewasa adalah hal yang kadangkala menyebalkan saat harus meyakinkan pada anak-anak bahwa monster itu tidak nyata supaya mereka tidak selalu merasa ketakutan. Tapi bagaimana jika kisah seram itu memang benar adanya? Konsep itulah yang coba diangkat oleh Jennifer Kent dalam film yang pada awalnya berasal dari film pendek berjudul MONSTER buatannya tahun 2005. Menarik meski sebenarnya bukanlah suatu konsep yang benar-benar baru. Tapi perbedaan The Babadook dengan horor populer garapan Hollywood adalah keputusan Jennifer Kent untuk tidak mengandalkan jump scare dalam meningkatkan tensi dan menghadirkan keseraman. Filmnya dibuka dengan sebuah opening slow motion menarik, menampilkan adegan mimpi yang dialami oleh Amelia (Essie Davis). Amelia kini merupakan orang tua tunggal setelah sang suami, Oskar (Benjamin Winspear) meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan saat mengantar Amelia menuju rumah sakit untuk melahirkan. 

Kecelakaan itu merenggut nyawa Oskar, tapi Amelia selamat begitu pula kandungannya. Putera Amelia bernama Samuel (Noah Wiseman) merupakan seorang anak yang jika dilihat sekilas tidak jauh beda dengan anak-anak kebanyakan. Tapi Samuel punya tingkah laku yang bakal dengan mudah dicap "aneh" dan "menyebalkan" oleh orang-orang di sekitarnya. Dia begitu percaya dengan cerita-cerita monster dan sering menakut-nakuti anak lain, suka membuat senjata yang katanya akan digunakan untuk mengalahkan sang monster, bahkan emosinya sering meledak-ledak. Hal itu jugalah yang membuat kesulitan Amelie semakin besar. Disatu sisi, tentu saja kehidupan sudah merupakan suatu hal yang berat sebagai orang tua tunggal, ditambah lagi trauma atas meninggalnya Oskar masih ia rasakan sampai sekarang. Kelakuan Samuel pun semakin menambah beban dan tekanan yang dirasakan Amelia. Sampai suatu hari Samuel menemukan sebuah buku cerita misterius berjudul Mister Babadook. Tidak seperti buku anak-anak lainnya, buku itu penuh dengan gambar dan narasi menyeramkan tentang Mister Babadook, sosok monster yang mencari mangsa dan tidak akan bisa diusir. Dari situlah awal teror yang dialami Amelia berawal.
Seperti yang saya sebutkan diatas, perbedaan The Babadook dengan horor milik Hollywood kebanyakan adalah tidak bergantungnya film ini terhadap jump scare. Dibuat kaget memang merupakan salah satu keasyikan dalam menonton film horor, tapi banyak yang lupa atau sengaja melupakan bahwa kengerian bukan hanya bersumber dari rasa kaget. Bahkan rasa takut yang sesungguhnya sama sekali berbeda dari sekedar kaget. Rasa takut bersumber dari ketidak nyamanan dan perasaan was-was. Hal itulah yang coba dibangun oleh Jennifer Kent disini dengan lebih berfokus pada bagaimana membangun atmosfer creepy dan menyebarkan berbagai misteri menarik supaya antisipasi penonton berhasil ditingkatkan. Hal ini membuat filmnya berjalan dengan baik. Jika film horor yang mengandalkan jump scare biasanya akan kehilangan daya tarik saat tidak sedang mengageti penontonnya, tidak demikian dengan film ini. Misteri baik tentang sosok Mister Babadook maupun karakter-karakter yang ada membuat alurnya berjalan baik tanpa pernah kehilangan daya tarik. Sosok Mister Babadook sendiri memang tidak terlalu sering muncul, selain karena fokusnya yang lebih pada membangun atmosfer juga nampaknya karena kesadaran Jennifer bahwa sang monster akan terlihat menggelikan jika terlalu sering dan dimunculkan secara jelas.
Berkaitan dengan misteri, memang ada beberapa yang tidak terjawab khususnya tentang siapa sebenarnya sosok Mister Babadook itu. Tapi hal itu sangat bisa dimaklumi karena pendekatan yang cukup realistis pada film ini. Secara logika, bukankah seseorang yang tengah mendapat teror akan lebih dulu berfokus pada menyelamatkan dirinya daripada mencoba mencari tahu tentang sosok monster itu? Selain itu, tidak dieksporasinya sosok Babadook juga merupakan bentuk pemusatan fokus supaya tidak melebar dari eksplorasi karakter Amelia dan Samuel. The Babadook memang banyak berfokus pada eksplorasi karakternya. Coba lucuti segala aspek horor dan monster di dalamnya, maka jadilah film ini sebagai sebuah drama psikogis kelam tentang disfungsi keluarga yang dipicu oleh trauma (Amelia yang perlahan kehilangan kewarasan karena kematian sang suami dan tekanan yang hadir karena sang anak?). Karakternya sendiri tidak hanya berhasil dieksplorasi tapi juga terasa unik. Biasanya, film seperti ini akan membuat saya sebal pada orang-orang skeptikal dimana mereka pada dasarnya tidak disengaja untuk jadi menyebalkan. Tapi film ini tidak. 

Samuel pada awalnya bisa terasa menyebalkan dengan sifatnya, tapi simpati muncul karena rasa sayang terhadap sang ibu dan fakta bahwa omongannya tentang sosok Babadook memang benar adanya. Amelia bisa saja menjadi sosok yang terlalu putih, tapi efek trauma yang ia alami membuatnya tidak seperti itu. Akhirnya kedua karakter utama film ini terasa abu-abu dan jauh lebih menarik. Kemudian bicara soal aspek teknis, saya amat menyukai efek-efek suara disturbing termasuk suara kemunculan Babadook yang begitu menyeramkan dan menyayat telinga. Hal itu semakin memperkuat kesan creepy yang coba dibangun oleh film ini. Pada akhirnya, The Babadook mungkin tidak sampai terasa luar biasa seperti yang saya baca di berbagai macam review, tapi jelas film ini merupakan sajian yang langka dan menarik karena lebih banyak berfokus pada drama psikologis, karakter, misteri dan atmosfer daripada sekedar jump scare murahan yang melelahkan itu.

3 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW (EPISODE 7)

Tidak ada komentar
Lewat Test of Strength akhirnya Freak Show berani menyajikan sesuatu yang "berani" dan lebih bersifat konklusif daripada sekedar memberikan tease demi tease seperti beberapa episode terakhir. Permasalahan dalam beberapa episode terakhir adalah kurangnya pergerakan dalam plot dan kehadiran berbagai momen yang memperlihatkan bahwa seolah serial ini begitu takut untuk membunuh salah satu karakternya (baca: memberikan kelokan ekstrim) dengan begitu banyak momen imajinasi yang akhirnya tidak terwujud. Episode ketujuh ini bakal memperlihatkan beberapa hal, seperti kembalinya Bett dan Dot ke Freak Show, hubungan antara Jimmy dan Dell, sampai usaha Stanley untuk membunuh salah satu freak yang masih belum juga membuahkan hasil (yap, kali ini Dandy tidak mendapat banyak porsi penceritaan). Cukup menyegarkan disaat akhirnya Bette dan Dot kembali menjadi sentral cerita semenjak episode keenam, meski sebenarnya keduanya bukan karakter yang amat menarik, tapi setidaknya sedikit beranjak dari kegilaan Dandy atau ambisi besar Elsa cukup menyegarkan.

Sayangnya kisah kembalinya Bette dan Dot ke freak show terasa terburu-buru, setelah episode sebelumnya memberikan tease akan konfrontasi menarik antara Jimmy dan Dandy, kita ditinggalkan dengan kekecewaan saat tidak terjadi apapun, dan dengan mudahnya Bette dan Dot kembali, meski itu didasari oleh intensi terselubung keduanya. Saya cukup menyukai eksplorasi hubungan Jimmy dan Dell yang pada akhirnya "bersatu" sebagai ayah dan anak. Sebuah momen mengejutkan yang cukup manis itu juga memberikan angin segar bahwa keduanya tidak akan terus talik ulur dan saling membenci seperti sebelumnya. Konflik pasti tetap akan muncul tapi setidaknya karena tidak ada lagi rahasia tentang identitas masing-masing, ada harapan perselisihan antara keduanya bisa jadi lebih kompleks. Kedua aspek itu adalah hal positif, tapi yang paling menyenangkan dari episode ini adalah keberania Freak Show untuk kembali menyuntikkan momen gila. Aspek shocking merupakan salah satu yang membuat saya menyukai serial ini, dan hal itu sempat menghilang dalam beberapa episode terakhir.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

FURY (2014)

2 komentar
Perang selalu menyajikan horor, dimana begitu banyak kematian sia-sia, kegilaan, dan jauh lebih banyak kehilangan daripada pencapaian. Hal itu sudah cukup sering diangkat kedalam sebuah film dan selalu menarik dimana sebuah film yang menampilkan suatu peperangan kini tidak hanya menampilkan baku tembak dan ledakan tapi kental pula dengan drama psikologis karakter-karakternya. Dengan tujuan untuk memperlihatkan betapa mengerikannya medan perang, film-film itu berlomba menggambarkan bagaimana horor yang dialami oleh para tentara yang terjebak di tengah "pembantaian wajar" tersebut, dan Fury milik David Ayer (End of Watch & Street Kings) ini merupakan salah satunya. Dengan diisi oleh banyak nama besar seperti Brad Pitt, Shia LaBeouf, Logan Lerman, Michael Pena sampai Jon Bernthal, Fury adalah kisah yang ber-setting pada masa Perang Dunia II. Judul filmnya diambil dari nama sebuah tank berisikan lima orang prajurit yang dipimpin oleh Don "Wardaddy" Collier (Brad Pitt). Para prajurit dalam tank tersebut telah lama bersama di medan perang, tepatnya sejak ditugaskan di Afrika, dimana alasan yang membuat mereka tetap bertahan adalah sosok Wardaddy yang meski tampak gila tapi begitu melindungi anak buahnya.

Kali ini mereka ditugaskan untuk melawan para Nazi dirumahnya sendiri, Jerman. Tapi dalam suatu pertempuran, assistant driver dari tank tersebut tewas terbunuh, dan ternyata penggantinya adalah seorang pemuda tidak berpengalaman bernama Normaln Ellison (Logan Lerman). Norman sendiri sesungguhnya hanya seorang juru ketik dan kini tiba-tiba ia harus berada di garis depan peperangan, membunuh para Nazi dengan brutal, sesuatu yang begitu sulit ia lakukan. Dari sinilah Norman banyak mendapat cobaan, mulai dari keharusan untuk membunuh siapapun anggota Nazi bersenjata meski mereka hanya seorang anak kecil, paksaan keras dari Wardaddy untuk bisa membuatnya lebih kejam, sampai puncaknya adalah sebuah misi berat saat "Fury" harus sendirian melawan ratusan pasukan SS guna mempertahankan sebuah persimpangan jalan, yang merupakan titik vital bagi tentara Amerika. Membaca sinopsis diatas, kita sudah bisa mengetahui bahwa cerita dalam naskah tulisan David Ayer ini sudah bisa ditebak berjalan kearah mana. Kita akan dengan mudah bisa menebak bahwa Fury bakal banyak bertutur tentang transformasi Norman dari seorang prajurit lemah menjadi seorang pejang medan perang yang lebih berani, dan tentu akan seperti apa konklusinya, siapa yang selamat dan siapa yang tidak sudah bisa ditebak, bahkan sampai urutan kematian karakter sekalipun.

2 komentar :

Comment Page:

CHINESE PUZZLE (2013)

Tidak ada komentar
Life is so complicated, isn't it? Bukankah kita memang sering merasa atau mempertanyakan kenapa hidup kita begitu rumit, begitu sulit dihadapi dan sangat tidak mudah dimengerti? Didasari pemikiran tersebut kadangkala seseorang merasa kalah dan akhirnya menyerah menghadapi berbagai konflik dalam hidupnya. Tapi apakah hidup memang serumit itu? Pertanyaan itulah yang dieksplorasi oleh Cedric Klapisch dalam Chinese Puzzle. Film ini sejatinya adalah sekuel dari L'Auberge Espanole dan Russian Dolls dimana ketiga film ini merupakan rangkaian trilogi yang disebut Spanish Apartment Trilogy. Saya sendiri tidak mengetahui bahwa film ini adalah rangkaian bersambung dari sebuah trilogi dan baru mengetahuinya setelah selesai menonton. Dengan narasi yang saling bersambung antara ketiga film itu bukankah sulit untuk bisa mencerna Chinese Puzzle jika belum menonton kedua prekuelnya? Nyatanya tidak. Cedric Klapisch seolah menyadari bahwa akan ada penonton yang tidak tahu bahwa ini merupaan sekuel (tidak ada embel-embel angka di belakang judul layaknya sekuel film Hollywood) hingga mengemasnya supaya tetap bisa berdiri sendiri.

Xavier (Romain Duris) adalah pria berusia 40 tahun yang tengah menghadapi fase berat dalam hidupnya. Prosesnya menulis novel tengah terhambat dan terus diburu oleh sang editor, tapi permasalahan terbesar adalah saat ia bercerai dengan Wendy (Kelly Reilly) yang telah ia nikahi selama 10 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Setelah perceraian itu, Wendy yang ternyata jatuh cinta dengan seorang pria Amerika memutuskan untuk membawa kedua anak mereka pindah ke New York. Xavier yang tidak ingin jauh dari anak-anaknya seperti yang pernah ia alami dengan sang ayah saat kecil akhirnya memutuskan untuk ikut pindah dari Paris ke New York. Disana ia sempat tinggal bersama dengan sahabatnya lesbiannya, Isabelle (Cecile de France) yang kini telah tinggal bersama kekasihnya, Ju (Sandrine Holt). Bahkan Xavier sempat membantu Isabelle mewujudkan mimpinya memiliki anak dengan menyumbangkan spermanya. Di New York Xavier harus menghadapi berbagai konflik, seperti gegar budaya, konflik dengan Wendy berkait dengan anak mereka, urusan dengan pihak imigrasi, sampai kembalinya sang mantan pacar, Martine (Audrey Tautou).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW (EPISODE 6)

Tidak ada komentar
Setelah episode Pink Cupcakes yang mengecewakan dan dipenuhi "penipuan", tentu saja saya berharap Bullseye akan jadi sebuah kebangkitan dari serial ini, tapi sayangnya harapan itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Beberapa kisah yang menjadi fokus episode ini adalah Bette dan Dot yang kini berada dalam "sekapan" Dandy, Elsa yang semakin menghadapi tekanan setelah para freaks mulai mencurgainya atas menghilangnya si kembar, usaha pembunuhan Stanley dan Maggie kepada Jimmy yang kemudian justru beralih pada Ma Petite, dan yang terakhir ada Paul. Ya, akhirnya kita mendapat cerita yang lebih dalam tentang Paul setelah sedikit flashback masa lalu beberapa episode sebelumnya. Paul mendapat kisah yang cukup mengejutkan disini karena ternyata selama beberapa waktu dia dan Elsa telah menjalin hubungan. Kita tahu bahwa hubungan itu hanya sekedar seks tapi ternyata semua itu telah berjalan beberapa waktu. Disaat yang sama Paul ternyata juga berhubungan dengan Penny (gadis yang di episode pertama ramai-ramai diperkosa). Bedanya, Paul dan Penny sama-sama saling mencintai.

Paul merupakan salah satu karakter paling menarik dalam serial ini, dan menyenangkan melihatnya mendapat fokus yang lebih. Bagi saya dia adalah sosok yang paling mendekati definisi "manusia dalam fisik monster". Dibalik sosoknya sebagai "The Seal Man" dan dipenuhi tattoo menyeramkan, ia hanyalah pria biasa yang mengharap romansa. Bukan storyline yang baru memang, tapi cukup berhasil menjadikan Paul sebagai karakter sentral yang menarik. Tapi diluar cerita Paul tidak ada sesuatu yang berarti dalam episode ini. Hubungan Dot dan Bette dengan Dandy tidak lebih dari sekedar pelengkap dan trigger untuk kegilaan Dandy belaka. Bahkan sebelum episode ini kita sudah tahu bahwa Dandy akan merasakan sakit hati lagi karena hubungan tersebut. Elsa masih berkutat pada krisis seperti biasa, hanya saja di episode ini Jessica Lange mendapat kesempatan lebih untuk memperlihatkan akting emosionalnya. Adegan ulang tahun itu berhasil ia lakukan dengan baik, dan adegan spinning wheel yang memperlihatkan betapa kejam dan busuknya hati Elsa pun berhasil dilakoninya dengan amat baik. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

INTERSTELLAR (2014)

6 komentar
Melihat angkasa raya yang luas itu tentu saja banyak pertanyaan yang hadir dalam benak kita. Apakah ada makhluk lain diatas sana? Apa ada tempat selain Bumi yang bisa ditinggali oleh manusia? Mungkinkah teori tentang wormhole benar adanya? Serta masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain tentang misteri luar angkasa yang mungkin tidak akan pernah bisa ditemukan jawabannya. Dalam film sendiri, salah satu film terbaik yang menampilkan eksplorasi luar angkasa adalah 2001: A Space Odyssey milik Stanley Kubrick yang dirilis 46 tahun lalu dan sampai sekarang masih dianggap sebagai yang nomor satu baik dari segi cerita maupun aspek teknisnya. Tahun lalu pun kita mendapatkan Gravity-nya Alfonso Cuaron yang menghadirkan sisi visual luar biasa dan akurasi sains yang juga lumayan akurat. Jadi wajar saja jika salah satu sutradara terbesar saat ini, Christopher Nolan mengangkat sebuah eksplorasi luar angkasa dalam filmnya antisipasi berada di tingkat paling tinggi. Bagaimana tidak, karena dibalik berbagai kritikan tentang filmnya (yang bagi saya tidak lebih dari sekedar upaya meniadakan sosok sempurna di dunia film) Nolan tetaplah seorang jenius yang sanggup melakukan hal langka, yakni menggabungkan kualitas tinggi dan aspek hiburan.

Interstellar mengambil waktu pada masa depan dimana kondisi Bumi tengah kritis. Sumber daya alam menipis, banyak hasil panen gagal dan menyebabkan rakyat kelaparan. Saat itu hanya jagung yang menjadi harapan utama manusia untuk bisa menyambung hidup, tapi hal itu juga diprediksi tidak akan lama. Berbagai sebab termasuk sering munculnya badai debu semakin membuat Bumi menjadi tempat yang tidak lagi subur. Hal itu pula yang menyebabkan berbagai aspek sains termasuk perjalanan luar angkasa tidak lagi dianggap penting. Semua harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Karena itulah, Cooper (Matthew McConaughey) yang merupakan mantan pilot uji coba NASA kini beralih profesi menjadi petani jagung. Pada suatu hari puteri Cooper yang baru berusia 10 tahun, Murphy (Mackenzie Foy) mengatakan ada hantu di kamarnya yang sering menjatuhkan barang-barang. Setelah diselidiki, hantu itu ternyata adalah "makhluk asing" yang coba berkomunikasi dengan Cooper untuk menunjukkan letak suatu lokasi. Lokasi itu sendiri ternyata adalah markas rahasia NASA yang saat ini tengah melakukan uji coba untuk memindahkan umat manusia ke planet baru yang layak huni. 

6 komentar :

Comment Page:

THE LITTLE HOUSE (2014)

2 komentar
Suatu rumah dapat merepresentasikan hidup kita. Orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut sama dengan mereka yang mengisi kehidupan kita. Sama seperti rumah pula, dalam hidup kita seringkali ada orang yang datang untuk singgah, dan ada pula yang pergi. Ada saatnya suatu rumah tampak begitu kokoh dan indah, disaat hal yang sama terasa dikala hidup kita memasuki masa-masa terbaiknya. Tapi ada juga waktu dimana rumah itu nampak lapuk, dan disaat itulah hidup kita memasuki masa-masa rapuh. Hal-hal itu terpancar dari film terbaru Yoji Yamada ini yang sempat berkompetisi pada Berlin International Film Festival tahun ini. Pada ajang itu pula aktris Haru Kuroki berhasil meraih penghargaan Silver Bear untuk aktris terbaik. The Little House sendiri merupakan adaptasi dari novel berjudul Chiisai Ouchi (The Little House) karya Kyoko Nakajima. Film ini ber-setting pada tahun 1930 saat Jepang tengah berada dalam sebuah perang melawan Cina dan akan segera menghadapi Perang Dunia II. Seperti judulnya, The Little House akan memfokuskan ceritanya pada kehidupan seorang pelayan di sebuah keluarga yang tinggal di suatu rumah kecil yang indah dengan atap berwarna merah.

Ceritanya dinarasikan oleh seorang wanita tua bernama Taki (Chieko Baisho) melalui autobiografi yang sempat ia tulis sebelum akhirnya meninggal dunia. Disitu Taki bercerita tentang masa mudanya saat bekerja sebagai seorang pelayan di rumah sebuah keluarga berada (Taki muda diperankan oleh Haru Kuroki). Taki sendiri adalah seorang gadis kampung yang dengan bermodalkan impian besarnya datang ke Tokyo. Keluarga tempat Taki bekerja adalah sebuah keluarga kecil yang hidup bahagia. Hirai (Takataro Kataoka) sang kepala keluarga adalah seorang direktur di sebuah perusahaan mainan yang cukup sukses. Sedangkan sang istri adalah seorang wanita muda yang sangat cantik bernama Tokiko (Takako Matsu). Dengan seorang anak laki-laki yang masih kecil, keluarga sederhana itu tampak hidup bahagia dalam kehangatan, begitu pula dengan Taki yang senang hati menjadi pelayan disana. Suatu hari masuklah seorang pemuda bernama Shouji Itakura (Hidetaka Yoshioka) dalam kehidupan mereka. Itakura adalah seorang arsitek muda yang merupakan anak buah Hirai. Kehadiran Itakura itulah yang perlahan memercikkan api dalam rumah tersebut.

2 komentar :

Comment Page:

NIGHT MOVES (2013)

Tidak ada komentar
Kenapa Alfred Hitchcock sering memilih menempatkan sosok tidak bersalah dalam situasi yang salah? Menurut saya itu dilakukan supaya penonton bisa lebih bersimpati pada karakternya. Pada intinya sang karakter akan berada dalam situasi yang membuatnya terpojok dan situasi tersebut tida pernah ia duga sebelunya. Tapi tentu saja tidak hanya itu yang dilakukan Hitchcock. Dia juga membuat supaya karakter yang terjebak itu punya kepribadian yang menarik dan menjadi mudah disukai oleh penonton. Kenapa pula Hitchcock begitu doyan merubah tone film secara mendadak di paruh kedua? Hal itu dilakukan supaya efek kejut yang coba dihadirkan mampu lebih efektif dalam mencengkeram penonton (biasanya perubahan tone yang dilakukan adalah dari komedi romantis/drama-komedi menjadi thriller). Kedua hal itu sesungguhnya disadari oleh sutradara Kelly Reichardt dan berusaha ia aplikasikan dalam film terbarunya ini. Tapi rupanya hasil akhir yang didapat tidaklah maksimal karena kedua aspek itu gagal dimaksimalkan dan ketidak cocokkan slow burning thriller macam Night Moves dengan metode tersebut.

Josh (Jesse Eisenberg) dan Dena (Dakota Fanning) adalah dua orang yang tengah dirundung kecemasan tentang kerusakan lingkungan. Hal itulah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk bergabung dengan seorang mantan marinir bernama Harmon (Peter Sarsgaard). Hammon sendiri dengan berbekal pengalamanya di kemiliteran berniat merakit bom yang akan digunakan untuk meledakkan sebuah bendungan. Rencana peledakkan itu didasari pemikiran bahwa pembangungan bendungan itu telah merusak dimana salah satu dampaknya adalah banyaknya ikan salmon yang mati. Atas dasar pemikiran itu jugalah Josh dan Dena ikut bergabung dengan Harmon. Mereka bertiga berencana meledakkan bendungan itu di malam hari dengan menggunakan sebuah perahu. Rencana itu akhirnya dieksekusi, bendungan pun berhasil meledak, semua nampak sesuai dengan rencana. Tapi keesokan harinya mereka bertiga mendapat kabar mengejutkan yang sama sekali tidak mereka perkirakan sebelumnya. Sebuah kabar yang membuat masing-masing dari mereka mulai diselimuti kekhawatiran dan rasa takut luar biasa.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ONE ON ONE (2014)

2 komentar
Saat pertama kali mendengar bahwa Kim Ki-duk tengah membuat film yang bertemakan “penyiksaan”, saya bersorak. Kim selama ini tidak pernah secara khusus membuat suatu film yang menyoroti hal tersebut, tapi film-filmnya sudah banyak berisikan kekerasan brutal yang menyakitkan. Jadi saya pun berekspektasi cukup tinggi akan kegilaan luar dalam yang akan ia tampilkan dalam film terbarunya ini. Saya langsung membayangkan sisi gelap manusia macam apalagi yang akan dieksploitasi olehnya hingga berujung pada penyiksaan. Keindahan dalam gelap semenarik apa yang akan ia paparkan? Tapi kemudian trailer-nya muncul dan membuat ekspektasi saya mengendur. Tidak ada rasa mistis dan keindahan kelam pada trailer One on One. Yang dijanjikan oleh trailer itu justru film Kim Ki-duk yang talky alias penuh dialog. Film Kim yang dipenuhi dialog tidak pernah memuaskan saya, sebagai contoh adalah Time dan Wild Animals yang masuk dalam jajaran film terlemah sang sutradara. Tapi toh saya jarang dikecewakan oleh karyanya, jadi One on One tetap menjadi salah satu film paling saya tunggu tahun ini.

Pada 9 Mei, seorang gadis remaja dibunuh secara brutal oleh tujuh orang pria. Mereka bertujuh sebenarnya hanyalah suruhan dari pihak penguasa, dan setelah pembunuhan itu, mereka bertujuh mendapat bayaran tinggi dan bisa memiliki kehidupan yang lebih dari cukup. Tapi kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara. Satu per satu dari ketujuh pria itu mulai ditangkap oleh sebuah kelompok misterius yang menamakan diri mereka sebagai “Shadow”. Shadow terdiri dari tujuh orang dan dipimpin oleh seorang pria brutal tanpa nama (Ma Dong-seok). Satu per satu dari ketujuh pelaku pembunuhan itu mulai ditangkap, untuk kemudian disiksa sampai mereka mau mengakui perbuatan sadis yang mereka lakukan pada tanggal 9 Mei. Satu per satu dari ketujuh pelaku mulai ditangkap dengan target utama adalah penguasa yang ada di belakang aksi pembunuha tersebut. Tujuan dari Shadow sendiri adalah untuk menghancurkan sistem pemerintahan serta para penguasa yang korup dan bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil.

2 komentar :

Comment Page:

IRREVERSIBLE (2002)

4 komentar
Mungkin film garapan sutradara Gaspar Noe ini lebih dikenal karena adegan pemerkosaan brutal yang melibatkan Monica Bellucci daripada alurnya secara keseluruhan. Karena adegan pemerkosaan tersebut, Irreversible sering masuk dalam jajaran film paling disturbing. Tapi seperti apa sesungguhnya cerita dari film yang juga dibintangi oleh Vincent Cassel (saat film ini dibuat masih berstatus suami Monica Bellucci) ini? Kisahnya sederhana dan sudah banyak ditemui dalam film-film bertemakan balas dendam lainnya. Jadi film ini bercerita tentang Marcus (Vincent Cassel) dan temannya Pierre (Albert Dupontel) yang tengah mencari seorang pria di sebuah gay bar bernama "The Rectum". Mereka berdua tidak tahu seperti apa rupa pria yang mereka cari. Mereka hanya tahu pria itu bernama Le Tenia. Setelah melakukan pencarian di seluruh bar, Marcus akhirnya bertemu dengan seorang pria yang ia yakini adalah Le Tenia. Keduanya terlibat perkelahian brutal dimana Marcus berhasil dijatuhkan, dipatahkan tangannya, bahkan hendak diperkosan sebelum Pierre datang membantunya. Pierre pun menghabisi pria itu dengan alat pemadam api sampai wajah sang pria hancur.

Irreversible kemudian terus bergerak mundur mengajak kita untuk mencari tahu bagaimana proses Marcus dan Pierre untuk mencari "The Rectum", dan yang paling penting apa yang membuat mereka berdua (khususnya Marcus) begitu ingin mencari tempat itu dan kenapa Marcus tampak begitu menyimpan dendam pada Le Tenia. Alurnya yang bergerak mundur merupakan salah satu keunikan film ini, dimana keunikan lain ada pada editingnya yang membuat seolah-olah setiap adegan diambil dalam one shot. Trik pergerakan kamera yang dipakai untuk menciptakan efekt tersebut pada awalnya akan terasa memusingkan. Dengan kamera yang berputar-putar dan pencahayaan yang amat minim akan sulit untuk mencerna apa yang tengah terjadi pada awalnya. Bahkan bagi beberapa orang pergerakan kamera itu akan membuat pusing bahkan mual. Tapi setelah akhirnya terbiasa, hal itu justru menjadi salah satu daya tarik film ini. Kameranya yang bergerak liar itu mampu menambah ketegangan dan rasa horor dalam film ini. Bagi penonton, kita dibuat seperti sesosok hantu yang melayang-layang di tengah kegelapan malam, menyaksikan horor demi horor yang disajikan Gaspar Noe.

4 komentar :

Comment Page:

BOYHOOD (2014)

9 komentar
Jika ada yang menyebut kata "ajaib" mungkin yang paling sering muncul di pikiran banyak orang adalah hal-hal yang berkaitan dengan fantasi, dongeng, mukjizat, dan hal lainnya yang gampangnya disebut "diluar nalar". Tapi sebelum berpikir sejauh itu, pernah kita merasa bahwa keajaiban terdekat dan terbesar justru berupa hidup yang kita jalani saat ini? Pernahkah sebelum kita membicarakan tentang elf, unicorn dan hal-hal berbau fantasi lainnya merenungkan sesungguhnya banyak hal luar biasa dalam perjalanan hidup kita yang sering terlupakan karena begitu dekat dan terasa sederhana? Lewat Boyhood Richard Linklater akan mengajak penontonnya melihat begitu luar biasanya sebuah perjalanan kehidupan. Lebih luar biasanya lagi adalah fakta bahwa film ini melakukan proses pengambilan gambar selama sekitar 12 tahun. Selama 12 tahun tersebut, tiap tahunnya dilakukan proses shooting selama beberapa minggu (total 39 hari). Tentu saja proses super panjang ini dilakukan tidak hanya sebagai gimmick semata, tapi lebih supaya penonton bisa ikuet merasakan perkembangan, pertumbuhan, hingga perubahan yang terjadi dalam kehidupan karakter utamanya.

Perjalanan Boyhood dimulai dari tahun 2002 saat Mason (Ellar Coltrane) masih berusia 6 tahun dan tinggal bersama sang ibu, Olivia (Patricia Arquette) dan kakak perempuannya, Samantha (Lorelei Linklater). Olivia adalah orang tua tunggal setelah perceraiannya dengan Mason Sr. (Ethan Hawke). Tapi walaupun telah tinggal terpisah, Mason dan Samantha masih cukup sering bertemu dengan ayahnya yang beberapa kali datang ke rumah untuk menghabiskan hari bersama kedua anaknya itu. Dari sinilah semuanya bergerak. Kita akan melihat berbagai momen dalam tiap tahun kehidupan Mason, mulai dari mempunyai ayah tiri yang pemabuk dan kasar, menjalani hobinya yang berkembang dari video games hingga fotografi, hingga saat remaja dia akhirnya mengalami kisah cinta, sampai akhirnya semua ditutup saat Mason memulai hari pertamanya di dunia perkuliahan. Pemilihan timeline-nya yang berakhir di masa Mason berkuliah tentu saja berkaitan dengan salah satu esensi film ini, yaitu eksplorasi terhadap hubungan anak dan orang tua, dimana masa berkuliah (khususnya di Amerika) adalah masa disaat sang anak akhirnya pergi meninggalkan orang tuanya dirumah untuk memulai hidup sendiri yang lebih mandiri.
Boyhood membuka "tirainya" dengan lagu Yellow milik Coldplay (which is one of my favorite band), dan setelah itu saya bagaikan dihipnotis untuk terus mengamati fase demi fase kehidupan Mason hingga akhirnya kalimat "we're always in the moment" menutup film ini, dan BAM! Saya hanya bisa berujar, "what a beauty". Film ini memang indah. Bukan indah merujuk pada sinematografi atau pada dialognya, tapi lebih kepada esensi film secara keseluruhan. Seperti yang sudah saya sebutkan, intensi Linklater dalam film ini memang menunjukkan keindahan sesuatu hal yang disebut "hidup", dan Boyhood menangkap esensi sebuah kehidupan atau lebih tepatnya perjalanan kehidupan dengan sempurna. Kenapa sempurna? Karena film ini menggambarkan mayoritas (kalau bukan semua) fase-fase "primer" yang dialami oleh hampir semua orang. Boyhood bagaikan sebuah timelapse dalam hidup dimana kita akan diperlihatkan suatu momen kehidupan Mason dalam tiap tahunnya. Pada setiap tahun yang berbeda itulah kita akan mendapati terjadinya perubahan, entah itu dari hal kecil seperti gaya rambut Mason yang berubah, sampai hal besar seperti perceraian. Dari situ saya pun dibuat menaydari betapa luar biasanya perjalanan hidup, bagaimana tanpa kita sadari seringkali diri kita atau hidup kita sudah berubah begitu jauh.

Memang pada dasarnya cerita dalam film ini sangat sederhana, yaitu tentang coming-of-age dan hubungan anak dengan orang tuanya. Yang membuatnya menjadi spesial tentu saja proses penggarapannya yang panjang itu. Proses shooting 12 tahun membuat Boyhood terasa jauh lebih intim bagi saya. Dalam durasi yang mencapai 165 menit saya merasa dibuat benar-benar dekat dengan sosok Mason karena diajak mengamati berbagai momen dalam hidupnya. Linklater sukses membawa saya masuk dalam hidup Mason, membuat saya peduli padanya, membuat saya terikat padanya. Fakta lain lagi yang membuat saya semakin terikat dengan kehidupan Mason adalah karena Linklater sukses memasukkan berbagai peristiwa penting dan pop culture yang membentang dalam waktu 12 tahun tersebut. Sebagai contoh ada peristiwa invasi militer Amerika ke Irak, ada Dragon Ball, ada Britney Spears, ada demam Harry Potter, dan masih banyak lagi. Berbagai kejadian atau pop culture itu juga merupakan aspek-aspek yang hadir dalam kehidupan saya, dan itulah yang membuat film ini terasa semakin dekat, makin intim, makin realistis. 
Boyhood tentu saja masih mirip dengan Before Trilogy milik Rihard Linklater. Tidak banyak konflik penuh dramatisasi yang hadir (ada beberapa momen emosional tapi tidak terasa overly dramatic). Semuanya mengalir dengan perlahan tanpa pernah terasa membosankan, dan secara tidak sadar saya sudah dibawa terhanyut dalam ceritanya, hingga 165 menit terasa begitu cepat. Seperti biasa, dialog juga menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam film garapan Richard Linklater. Dialog-dialog penuh makna, penuh filosofi yang tidak pernah terasa berat karena dikemas layaknya obrolan sehari-hari dan merupakan hasil dari penulisan bersama yang dilakukan oleh Linklater bersama para pemainnya. Metode penulisan itu jugalah yang menyebabkan setiap film Linklater penuh dengan dialog yang begitu kuat dan realistis, karena para pemainnya benar-benar mendalami tiap kata yang mereka ucapkan. Dialog juga menjadi salah satu sarana yang dipakai Linklater untuk menyiratkan esensi dari cerita filmnya, membuat tiap kalimat yang muncul menjadi lebih bermakna.

Film ini merupakan contoh sempurna dari pendapat bahwa film merupakan media untuk menampilkan cerminan kehidupan. Layaknya kehidupan yang sesungguhnya tidak memiliki batasan, Linklater pun menunjukkan hal yang sama tentang film pada karyanya ini. Sebuah film bisa mengeksplorasi apapun dan menampilkan apapun jika sang pembuatnya mau untuk berusaha lebih keras dari biasanya. Satu lagi pertanyaan, kenapa dalam hidup, terkadang kita tidak menyadari waktu telah berlalu dan terjadi banyak hal atau perubahan selama itu? Film ini memberikan jawabannya, "because we're always live in the moment". Kita mungkin mengenang masa lalu, kita juga merencanakan masa depan, tapi tetap saja kita hidup pada saat ini. Karena itulah cara terbaik untuk menangkap momen-momen kehidupan adalah dengan menangkapnya secara real time hingga akhirnya semua hal yang terangkum jadi terasa lebih nyata. Sungguh pengalaman indah melihat perjalanan hidup Mason, tanpa sadar melihatnya tumbuh dari seorang bocah 6 tahun yang membicarakan tentang batu-batuan sampa menjadi remaja 18 tahun yang sudah mengenal cinta dan bicara tentang kehidupan. Boyhood menunjukkan bahwa perjalanan hidup memang sebegitu indah dan menariknya.

9 komentar :

Comment Page:

JOHN WICK (2014)

Tidak ada komentar
Ada suatu masa dimana Keanu Reeves merupakan salah satu aktor paling bankable di Hollywood dengan banyak filmnya yang meraup keuntungan besar. Tidak hanya sukses secara komersil, banyak pula film Reeves yang mendapat respon positif dari para kritikus. Sebut saja Speed sampai trilogi The Matrix yang menguatkan namanya di jajaran aktor papan atas. Tapi memasuki akhir era 2000-an perlahan karirnya mulai meredup. Hampir tidak ada film-film Keanue Reeves yang meraih keuntungan, bahkan film besar terakhirnya 47 Ronin gagal total dan konon merupakan salah satu film yang mendapatkan rugi terbesar sepanjang sejarah. Disaat seolah karirnya tidak bisa bangkit, muncul John Wick garapan duo sutradara debutan Chad Stahelski dan David Leich ini. Diluar dugaan John Wick sukses mendapat banyak pujian kritikus dan tidak buruk-buruk amat performanya di Box Office (mengumpulkan $38 juta dalam dua mingu pertamanya). Pada film yang juga dibintangi oleh Willem Dafoe, Adrianne Palicki dan Michael Nyqvist ini, Keanu Reeves berperan sebagai John Wick, seorang pria yang tengah berduka setelah kematian sang istri.

Ternyta sebelum meninggal, sang istri telah menyiapkan "teman pengganti" berupa seekor anjing yang diberi nama Daisy. John pun mulai mencoba menjalani kehidupan barunya dengan ditemani oleh Daisy. Tapi usaha John untuk mencari ketenangan lagi terganggu oleh pertemuannya dengan Iosef Tarasov (Alfie Allen), anak dari Viggo Tarasov (Michael Nyqvist) seorang pemimpin sindikat kriminal besar di New York. Pada suatu malam Iosef dan anak buahnya menerobos masuk rumah John untuk mencuri mobilnya. Bahkan pada malam itu mereka membunuh Daisy di depan mata John yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dipicu oleh amarah yang luar biasa, John pun berencana balas dendam kepada Iosef. Saat itulah akhirnya terungkap bahwa dia bukanlah orang biasa. John Wick adalah seorang pembunuh nomor satu yang disebut "The Boogeyman" karena terkenal bisa menjalankan tugas sesulit apapun. Bahkan beberapa tahun lalu John pernah menjadi orang kepercayaan dari Viggo. John pun siap melakukan balas dendam meskipun harus menantang seluruh anggota sindikat terbesar di New York.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - FREAK SHOW (EPISODE 5)

Tidak ada komentar
Episode yang berjudul Pink Cupcakes ini sepertinya bakal jadi sebuah episode yang gila melihat adegan pembukanya. Bagaimana tidak? Paul (Seal Man) diperlihatkan telah diawetkan dalam kotak kaca, yang menandakan ia telah menjadi korban dari Stanley dan Maggie. Tapi bagaimana ia dibunuh? Apakah AHS seberani ini dengan kembali membunuh salah seorang karakternya setelah di episode sebelunya Twisty telah "dibawa" Edward Mordrake? Nyatanya semua itu hanya visualisasi dari pembicaraan antara Stanley dan Maggie, alias khayalan. Sebuah decoy yang tidak kalah menyebalkan daripada false alarm dalam sebuah scare jump, tapi karena dieksekusi dengan baik dan menimbulkan kesan creepy saya masih bisa memaafkan. Tapi di pertengahan muncul lagi adegan yang mirip. Kali ini giliran si kembar Bette dan Dot yang kepalanya telah dipotong dan diawetkan oleh Stanley untuk dipajang di museum. Lagi-lagi adegannya menghadirkan kesan disturbing. Saya berpikir tidak mungkin AHS melakukan tipuan yang sama dua kali dalam satu episode. Apakah Bette dan Dot benar-benar tewas? 

Flashback memperlihatkan bahwa semua itu benar terjadi. Tentu saja ini gila, karena Bette dan Dot bagi saya adalah salah satu (atau dua?) karakter yang terlindungi dari kematian sebelum finale selain Elsa. Sebuah twist yang gila dan berani. Saya menyukainya! Tapi tidak lama kemudian kembali terungkap semua itu hanya khayalan Stanley. Dua kali penipuan?! Ini merupakan salah satu langkah terbodoh yang dilakukan AHS dalam musim ini. Untung saja kedua tipuan itu dieksekusi dengan amat baik, sehingga tidak merusak episode ini secara lebih jauh. Selain itu, episode ini juga dibuka dengan begitu terburu-buru. Beberapa konflik awal dilemparkan begitu saja tanpa timing yang tepat sehingga terasa mengganggu. Episode ini juga makin memperlihatkan bahwa beberapa karakter utamanya mulai kehilangan pesona. Bette dan Dot yang akhir-akhir ini memang mulai jarang mendapat porsi penceritaan terasa stagnan. Jimmy masih terus menerus berkelakar bahwa Meep adalah pahlawan. Saya tahu dia merasa bersalah, tapi menyebut Meep sebagai pahlawan secara terus menerus makin lama makin terasa annoying. Loveline yang (belum) terjalin antara ia dan Maggia juga sudah terbaca.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CALVARY (2014)

Tidak ada komentar
Film tentang seorang pendeta yang "tidak sempurna" sudah banyak dibuat. Bagaimana sosok yang seharusnya menjadi pembimbing bagi para umat beragama justru melakukan dosa besar sudah berkali-kali dibuat entah dengan kemasan drama depresif atau komedi gelap. Tapi kali ini sutradara John Michael McDonagh menghadirkan sudut pandang yang berbeda tentang kehidupan berat seorang pendeta. Kembali berkolaborasi dengan aktor Brendan Gleeson (pertama kali berkolaborasi daam The Guard), McDonagh coba menghadirkan kisah tentang "good priest". Brendan Gleeson berperan sebagai Father James, seorang pendeta Katolik di sebuah pedesaan Irlandia. Dia adalah seorang pendeta baik yang punya kepedulian besar pada jemaatnya. Pada suatu hari ada seorang pria misterius yang melakukan pengakuan dosan pada James. Pada pengakuan dosa itu, sang pria mengaku sebagai korban pelecehan seksual saat ia kecil dan berniat membunuh seorang pendeta. Sang pria memutuskan untuk membunuh James karena menurutnya pembunuhan terhadap seorang pendeta baik jauh lebih merugikan bagi gereja daripada membunuh pendeta yang buruk.

James diberi waktu satu minggu sebelum "hari kematiannya" tiba. Selama seminggu itulah  James banyak berinteraksi dengan para warga yang mayoritas adalah jemaat gerajanya dimana masing-masing dari mereka mempunyai masalah pribadi. Ada seorang wanita yang mendapat kekerasan dari pacarnya, ada seorang ahli bedah atheis yang selalu melontarkan kata-kata menyindir tentang agama, ada seorang kaya raya yang selalu menawari donasi bagi gereja tapi selalu membanggakan hartanya, dan masih banyak lagi. Bahkan tidak hanya mereka, puteri tunggal James, Fiona (Kelly Reilly) juga tengah mengalami fase sulit dari hidupnya. Fiona pulang menemui James setelah gagal melakukan usaha bunuh diri. Hubungan James dan Fiona sendiri memang selama ini renggang, salah satunya karena kekecewaan Fiona yang menganggap sang ayah telah meninggalkan ia dan ibunya. Selama satu minggu itu jugalah James berusaha mendekatkan lagi dirinya dengan Fiona. Tapi semua yang ia lakukan tidak berjalan mudah saat masing-masing dari jemaatnya justru memperlihatkan sikap yang tidak mengenakkan pada James.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE DANCE OF REALITY (2013)

2 komentar
Alejandro Jodorowsky merilis film bukanlah sesuatu yang sering terjadi, dimana dalam 57 tahun karirnya total baru sembilan film yang ia buat. The Dance of Reality sendiri merupakan penanda kembalinya Jodorowsky setelah 23 tahun absen memuat film (film terakhirnya sebelum ini yang berjudul The Rainbow Thief dirilis tahun 1980). Jika anda sudah menonton dokumenter Jodorowsky's Dune (review) mungkin anda sudah bisa menduga bahwa salah satu alasan terbesar Jodrowosky absen lama dalam membuat film adalah kekecewaannya akan industri mainstream yang hanya mementingkan keuntungan materi semata. Sembari bersiap membuat Abel Cain sekuel dari El Topo yang merupakan film tersukses dan paling terkenal dari Jodorowsky, ia pun merilis The Dance of Reality, sebuah biografi kehidupan masa kecilnya. Tentu saja tidak ada yang lebih cocok untuk membuat biografi tentang Alejandro Jodorowosky selain sang sutradara itu sendiri, dan tentu saja biografi dari Jodorowsky tentang Jodorowsky tidak akan dikemas layaknya film-film biopic pada umumnya.

Alejandro muda (Jeremias Herskovits) menghabiskan masa kecilnya tinggal di Topocilla, Chile. Ayahnya, Jamie (Brontis Jodorowsky) adalah seorang komunis pemuja Stalin yang aktif dalam pergerakan gerilya untuk menghentikan pemerintahan Carlos Ibanez (Bastian Bodenhofer). Hubungan Alejandro dengan sang ayah pada awalnya tidak terlalu baik karena Jamie menganggap Alejandro tidak bersikap layaknya seorang pria. Hal itulah yang mendorong Alejandro untuk bisa menjadi lebih kuat supaya berhasil mengambil perhatian ayahnya. Disisi lain sang ibu, Sara (Pamela Flores) tidak pernah menganggap Alejandro sebagai anaknya, melainkan reinkarnasi dari ayah Sara. Pada fase masa kecilnya inilah Alejandro mulai belajar banyak hal khususnya agama dan hal-hal berbau spritual lainnya. Sedangkan sang ayah semakin tenggelam dalam usahanya untuk menggulingkan Ibanez, bahkan akhirnya merencakan sebuah pembunuhan terhadap sang diktator. 

2 komentar :

Comment Page:

PATEMA INVERTED (2013)

4 komentar
Pada tahun 2012 lalu muncul sebuah film dengan konsep imajinatif tentang keberadaan dua dunia yang saling terbalik berjudul Upside Down. Sayangnya film yang dibintangi Kirsten Dunst tersebut gagal memaksimalkan premis menarik yang ia miliki. Kali ini giliran sebuah anime garapan Yasuhiro Yoshiura muncul dengan konsep yang cukup mirip. Film yang mempuyai judul Jepang Sakasama no Patema ini berkisah tentang keberadaan dua dunia yang bertolak belakang. Satu dunia terletak dibawah tanah, sedangkan satu lagi ada diatas sama seperti dunia yang kita ketahui sekarang ini. Dunia bawah mempunyai seorang puteri bernama Patema. Tidak seperti puteri-puteri biasanya, Patema yang penuh rasa ingin tahu untuk menemui hal-hal baru itu selalu gemar menghabiskan hari-harinya mengeksplorasi sebuah tempat yang disebut "zona berbahaya" meski telah mendapat larangan dari orang-orang. 

Tapi karena rasa penasarannya, Patema tetap nekat pergi kesana. Bahaya yang selama ini ditakutkan pun akhirnya datang saat Patema diserang oleh sosok misterius yang selama ini disebut sebagai "manusia kelelawar". Meski selamat dari serangan tersebut, Patema justru terdampar di sebuah dunia yang amat baru baginya yaitu Aiga atau dunia atas. Karena efek perbedaan gravitasi disana, Patema merasa dirinya berada dalam posisi terbalik (tergantung seperti kelelawar) dalam dunia tersebut. Untungnya disana ia bertemu dengan Eiji, seorang pemuda yang bersedia dengan senang hati menolong Patema untuk bisa kembali ke dunia asalnya. Tapi usaha tersebut tidak berjalan dengan mulus karena permusuhan yang selama ini sudah terjadi antara kedua dunia. Pihak dunia atas yang memang telah lama berusaha menangkap orang-orang dari dunia bawah kini mengincar Patema. Tidak hanya berusaha lari, bersama Eiji pun Patema berusaha mengeksplorasi berbagai hal-hal serta tempat baru yang belum pernah ia temui selama ini.

4 komentar :

Comment Page:

TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES (2014)

Tidak ada komentar
Akhirnya reboot yang penuh dengan berita miring ini dirilis. Sepanjang masa produksinya, Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT) yang disutradarai oleh Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Battle: Los Angeles) dan diproduseri Michael Bay ini memang terasa kontroversial. Melakukan reboot terhadap franchise yang memiliki banyak penggemar seperti TMNT memang tidaklah mudah. Sedikit saja perubahan atau hal yang dirasa fans tidak sesuai, protes akan banyak berdatangan. Konon kabarnya akan ada banyak perubahan ekstrim dalam film ini, seperti asal muasal para kura-kura ninja yang bukannya mutan tapi alien, dan lain-lain. Gosip yang dipicu oleh bocornya draft awal dari naskah film ini memang pada akhirnya dibantah oleh Michael Bay, tapi tetap saja hal itu tidak menghentikan kecemasan banyak orang bahwa Bay dan Platinum Dunes akan menghancurkan satu lagi franchise lewat reboot yang mereka lakukan (ada enam film reboot/remake berkualitas buruk yang sejauh ini sudah mereka produksi). Sudah bisa diprediksi, reboot ini hanya akan mengandalkan deretan CGI lewat bujet besarnya ($125 juta) dan kehadiran Megan Fox sebagai seorang reporter (???)

April O'Neil (Megan Fox) adalah reporter stasiun televisi Channel 6 yang terletak di New York. Meski selama ini hanya meliput berita-berita ringan bersama juru kamera Vern Fenwick (Will Arnett), April tetap berambisi menjadi seorang reporter yang "serius". Hal itulah yang mendorongnya untuk secara diam-diam mencari berita tentang aksi sebuah organisasi kejahatan yang menyebut diri mereka sebagai "Foot Clan" dan telah melakukan berbagai tindak kriminal di New York. "Foot Clan" sendiri dipimpin oleh seorang ahli ninjutsu bernama Shredder (Tohoru Masamune) dan berambisi menguasai New York. Pada suatu malam secara tidak sengaja April memergoki "Foot Clan" tengah beraksi di sebuah dermaga. Tapi ditengah-tengah aksi tersebut, muncul beberapa sosok misterius yang sanggup mengalahkan sepasukan kriminal itu. Tanpa April ketahui, sosok misterius itu adalah kura-kura yang telah bermutasi sebagai hasil eksperimen yang dulu pernah dilakukan ayahnya bersama seorang pengusaha bernama Eric Sacks (William Fitchner) yang sempat dikira telah mati dalam sebuah kebakaran. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HERCULES (2014)

Tidak ada komentar
Perlukah satu lagi film tentang Hercules setelah diawal tahun ini ada The Legend of Hercules yang gagal total baik secara kualitas dan finansial itu? Mungkin tidak, tapi dengan kehadiran sosok Dwayne Johnson yang menjadikan proyek ini sebagai salah satu passion terbesarnya jelas film garapan Brett Ratner ini jauh lebih layak dinantikan daripada Hercules yang menampilkan Kellan Lutz. Mungkin sebagian dari anda sudah tahu atau mungkin mengikuti rangkaian latihan "gila" dan diet super ketat yang dilakukan oleh Dwayne Johnson selama kurang lebih delapan bulan untuk mempersiapkan perannya dalam film ini. Sebuah totalitas yang tidak perlu diragukan lagi dan makin memperbesar daya tarik terhadap filmnya. Jadi meskipun sosok Brett Ratner yang dulu hampir membunuh franchise X-Men lewat The Last Stand terasa kurang meyakinkan, kehadiran Johnson sedikit mengikis kekhawatiran tersebut. Filmnya dibuka dengan adegan Hercules yang tengah menyelesaikan kedua belas misi berbahaya yang diberikan Hera dimana ia harus mengalahkan begitu banyak monster-monster berbahaya. Sebuah pembukaan yang memberikan tease akan sajian aksi epic berbalut fantasi dan mitologi Yunani. Tapi kemudian muncul twist.

Film ini "melucuti" segala keajaiban mitologi Yunani kental milik kisah Hercules yang dipenuhi dewa-dewi dan makhluk ajaib dan menjadikannya jauh lebih realistis, lebih manusiawi. Hercules disini diceritakan adalah seorang prajurit bayaran yang mempunyai beberapa orang pengikut. Tapi berkat kisah-kisah fantastis yang diceritakan oleh sang keponakan, Iolaus (Reece Ritchie) lawan-lawan Hercules pun sudah ciut nyalinya sebelum berperang. Suatu hari Hercules mendapat permintaan untuk membantu Lord Cotys (John Hurt) untuk membantu prajuritnya yang hanya terdiri dari para petani untuk bisa memenangkan peperangan melawan pasukan yang dipimpin Rheseus (Tobias Santelmann). Rheseus dan para pasukannya sendiri konon telah banyak melakukan pembantaian terhadap rakyat jelata. Hercules pun akhirnya bersedia membantu prajurit Thrace dengan bayaran yang amat besar. Tapi disaat bersamaa Hercules yang perkasa itu ternyata menyimpan kelemahan dan kesedihan dalam hatinya akibat tragedi yang ia alami di masa lalu.

Tidak ada komentar :

Comment Page: