TIM'S VERMEER (2013)

Tidak ada komentar
"Johanes Vermeer merupakan salah satu pelukis terbaik sepanjang masa" Begitu ucap banyak ahli dan penikmati lukisan. Saya sendiri bukan orang yang memahami atau menyukai lukisan, tapi bagi mata orang awam pun karya-karya Vermeer memang luar biasa. Lihat contoh-contoh lukisannya, seperti The Geographer, The Music Lesson atau yang paling terkenal Girl with a Pearl Earring. Dari situ dengan segera kita akan menyadari betapa tinggnya tingkat kedetailannya. Yang lebih luar biasa lagi, disaat kebanyakan lukisan bagus dari abad 17 tetap terasa 2 dimensi, lukisan Vermeer bagaikan hidup, bagaikan sebuah gambar foto berkat kehadiran aspek cahaya. Mungkinkah hanya dengan berbekal imajinasi atau pengamatan sederhana dia bisa menciptakan efek warna yang sebegitu nyata? Seorang ahli mata menyatakan tidak mungkin retina manusia bisa menangkap gambaran cahaya senyata itu. Kemudian muncul berbagai macam teori tentang cara melukis yang dipakai Vermeer. Salah satu yang paling banyak dianut adalah teori bahwa Vermeer melukis dengan bantuan kamera obscura. Hal itulah yang mendorong Tim Jenison untuk meluangkan waktunya selama kurang lebih lima tahun untuk meneliti dan melakukan eksperimen tentang Vermeer dengan tujuan mereka ulang proses dan karyanya.

Dia adalah penemu yang telah banyak membuat berbagai jenis barang mulai dari yang amat berguna sampai yang paling aneh. Dia juga seorang ahli desain grafis komputer sekaligus perusahaan besar NewTek yang memproduksi software LightWave 3D. Tim adalah seorang jenius, tapi jelas ia bukan merupakan pelukis ataupun seniman jenis apapun. Salah satu pola pikir "populer" (yang saya sendiri tidak setuju) adalah bahwa seni dan teknologi merupakan hal yang bertolak belakang dan tak bisa disatukan. Hal ini berdasar pada pernyataan seni itu menggunakan rasa, sedangkan teknologi menggunakan otak dan logika. Karena itulah saat muncul berbagai teori yang menyatakan bahwa Vermeer memakai teknologi untuk membuat lukisan, banyak pakar sampai budayawan yang melancarkan protes. Bagi mereka itu adalah penodaan terhadap seni dan peninggalan budaya. Di dunia film sendiri pendapat macam ini sempat hadir dan mencapai puncak perdebatan saat Tron menggebrak dengan teknologi CGI-nya pada 1982. Bagi juri Oscar saat itu, apa yang dilakukan Tron adalah kecurangan, dan membuat mereka enggan memasukkan film tersebut ke daftar nominasi Best Visual Effect. Sekarang? Coba sebutkan daftar nominator di kategori tersebut yang tidak memakai CGI sedikitpun.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE HOBBIT: THE BATTLE OF THE FIVE ARMIES (2014)

Tidak ada komentar
Let's face it, trilogi The Hobbit tidak akan bisa mencapai level yang sama dengan The Lord of the Rings. Bukan semata-mata karena kemampuan Peter Jackson yang telah menurun, tapi lebih karena konsep dari novel yang menjadi sumbernya tidaklah cocok dikemas sebagai tontonan epic macam TLOTR. Lihatlah An Unexpected Journey yang begitu dipanjang-panjangkan dan seringkali membosankan, atau The Desolation of Smaug yang meski mengalami peningkatan cukup jauh tetap terasa kurang menggigit. Hal ini sesungguhnya sudah menjadi kekhawatiran banyak orang sebelum film pertamanya dirilis karena memang pada dasarnya The Hobbit "hanya" cerita petualangan fantasi yang ringan dan lebih ditujukkan untuk pembaca anak-anak. Tapi dasar Peter Jackson keras kepala, ia akhirnya justru merubah judul film ketiganya dari There and Back Again menjadi The Battle of the Five Armies. Mudah ditebak arahnya, selain supaya lebih menjual, Peter Jackson akan mengemas penutup trilogi ini layaknya The Return of the King. Penuh adegan aksi dan peperangan epic. Tujuannya jelas, tapi seperti sudah saya duga trilogi ini tidak akan bisa mencapai taraf epic.

Langsung melanjutkan apa yang ditinggalkan film keduanya, The Battle of the Five Armies langsung dibuka dengan penyerangan Smaug terhadap Laketown. Tapi meski berhasil melakukan penghancuran besar dan lautan api dimana-mana, tidak butuh waktu lama bagi Smaug untuk berhasil dibunuh oleh Bard the Bowman (Luke Evans) dengan memakai black arrow. Disisi lain dengan kematian Smaug, para dwarf yang dipimpin Thorin (Richard Armitage) pun otomatis berhasil merebut kembali Erebor. Tapi kondisi justru memburuk saat Thorin yang bijak itu terkena "kutukan" harta Smaug yang menyebabkan dia kini terobsesi pada semua harta karun disana khususnya Arkenstone tanpa tahu bahwa batu itu telah disimpan oleh Bilbo (Martin Freeman). Thorin pun memerintahkan para dwarf untuk membangun benteng di Lonely Mountain. Tapi ternyata semua pihak sama-sama berusaha menuju kesana, baik itu pasukan Elf, warga Laketown, sampai pasukan Orc. Dengan tujuan masing-masing mereka berkumpul di Lonely Mountain dan seperti yang kita tahu akan terjadi peperangan antara lima pasukan tentara berjumlah besar. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

GONE GIRL (2014)

22 komentar
Saat anda bisa merangkum sebuah kisah rumit menjadi suatu film yang mudah dipahami tanpa perlu terasa murahan dan "menyuapi" penonton, maka anda adalah sutradara hebat. Saat anda bisa merubah persepsi penonton tentang karakter dalam film hanya lewat satu adegan dan melakukan itu berkali-kali tanpa terasa dipaksakan atau terburu-buru jelas anda sutradara yang hebat. Saat anda mampu membuat film berdurasi 149 menit tanpa ada sekalipun momen membosankan dan mampu menjaga stabilitas tensinya maka anda sutradara yang hebat. Saat anda mampu merangkai twist berlapis dan banyak momen "WOW" tanpa sekalipun terasa saling bertumpukan, jelas anda sutradara yang hebat. Tapi jika anda berhasil melakukan semua hal diatas ditambah kelebihan-kelebihan lain yang belum saya tuliskan, well then...you are David Fincher! Gone Girl yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karangan Gillian Flynn (yang juga menjadi penulis naskah film ini) adalah pembuktian bahwa David Fincher sesungguhnya tidak perlu lagi membuktikan apapun khususnya dalam hal menangani thriller-kriminal kompleks. Dia pernah melakukannya lewat Zodiac (plot complexity at its best) hingga remake The Girl With the Dragon Tattoo, dan lewat Gone Girl Fincher melakukannya lagi.

Pada suatu pagi yang juga merupakan hari jadi pernikahannya yang kelima, Nick Dunne (Ben Affleck) mendapati sang istri, Amy (Rosamund Pike) telah menghilang. Awalnya ia menduga itu hanya bagian dari treasure hunt yang selalu dilakukan Amy setiap ulang tahun pernikahan mereka, tapi dari kondisi di rumah, muncul kecurigaan bahwa sang istri telah diculik atau bahkan dibunuh. Penyelidikan pun mulai dilakukan, berbagai macam rahasia dan kejutan pun mulai ditemukan. Sejauh ini saja sinopsis yang bisa saya tuliskan. Lebih jauh lagi akan merusak kesenangan pembaca yang belum dan berniat menonton filmnya. Filmnya dibuka dengan kalimat yang dinarasikan Ben Affleck ini: 

"When I think of my wife, I always think of the back of her head. I picture cracking her lovely skull, unspooling her brain, trying to get answers. The primal questions of a marriage: What are you thinking? How are you feeling? What have we done to each other? What will we do?

Sadar atau tidak, kalimat pembuka itu sudah mulai mempermainkan persepsi penonton. Sekilas mendengar narasi itu, yang terpikir adalah Nick merupakan suami yang berpotensi menjadi psikopat karena kebingungan atas pernikahan yang dalam kondisi kritis. Tapi melihat ekspresi Rosamund Pike, kalimat "what are you thinking?" menjadi penggambaran sempurna akan ekspresinya. Saya tidak bisa tidak berpikir bahwa wanita ini menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang misterius. Jadi siapa yang gila? Nick atau Amy? Percayalah, sepanjang film pertanyaan itu pula yang selalu berputar di benak saya. Simpati pada kedua karakter itu akan terus berpindah sepanjang film, hingga sampai pada tahapan keduanya sama-sama menjadi sosok abu-abu. Pada awalnya Gone Girl terlihat "hanya" sebagai sebuah thriller tentang seorang suami yang mencari istrinya tapi mendapat tanggapan negatif dari masyarakat akibat campur tangan media. Tapi hanya dalam satu adegan, semuanya berubah. Twist pertama hadir memberikan kejutan, merubah persepsi, dan tinggal menunggu waktu sampai kejutan demi kejutan lain muncul.
Kejutan, pertanyaan dan ketegangan adalah apa-apa saja yang membuat film ini tetap menarik meski berjalan hampir dua setengah jam. Gone Girl erat kaitannya dengan sosok psikopat, dan film ini pun berjalan seperti psikopat. Gila, tidak segan melakukan hal ekstrim, dan tidak terduga. Setiap build-up moment menimbulkan pertanyaan, setiap jawaban menimbulkan penasaran akan hal macam apa yang akan terjadi berikutnya. Seperti biasa, film David Fincher selalu dipenuh kesan dingin dalam tiap gambarnya. Alur tidak pernah berjalan cepat, tapi juga sama sekali tidak terasa lambat. Dari sinilah ketegangan dibangun secara perlahan. Bayangkan di tengah malam anda sedang sendiri, dan dari kejauhan terdengar suara aneh. Semakin lama, secara perlahan suara itu terus mendekat, dan mendekat. Pastinya ada ketegangan yang hadir secara bertahap sampai kemudian mencapai klimaks. Tapi disisi lain ada rasa penasaran dan pertanyaan "apa itu?". Seperti itulah kira-kira bagaimana Fincher mengemas film ini. Ditambah scoring penuh bunyi synth mencekam garapanTrent Reznor dan Atticus Ross yang akhir-akhir ini menjadi langganan Fincher, makin lengkap atmosfer kelam dan ketegangan yang ada.

Tapi Gone Girl tidak hanya tentang misteri dan ketegangan, ada juga satir yang kuat hadir disini. Disamping berbagai perenungan tentang pernikahan, yang paling terasa adalah kehadiran media. Dalam sebuah kesempatan Gillian Flynn menyatakan bahwa kehadiran media pada ending film adalah untuk menggambarkan bagaimana mereka merupakan sosok ketiga yang memegang peranan besar di cerita setelah Amy dan Nick. Disini kita akan melihat bagaimana kuatnya peran sebuah media dalam peliputan suatu cerita. Media bisa mempengaruhi persepsi orang secara masif, bisa memutar balikkan persepsi tersebut dalam sekejap, bahkan tidak hanya penonton tapi "pelaku" cerita juga bisa terpengaruh oleh media. Seperti yang diucapkan Tanner Bolt (Tyler Perry) bahwa inti dari kasus ini sudah bukan lagi membuktikan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak, tapi siapa yang bisa mengambil hati masyarakat. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menggunakan eksploitasi media dalam hal ini televisi. Gone Girl merupakan gambaran bahwa memang benar seringkali media tidak berperasaan, tapi jika dimanfaatkan dengan tepat, media bisa jadi "teman" terbaik kita untuk menyelesaikan masalah.
Tidak bisa dipungkiri, sekilas jajaran cast-nya agak meragukan. Ben Affleck jelas aktor yang tidak buruk, tapi saya masih merasa dia tidak konsisten. Kadang aktingnya Oscar-worthy, kadang buruk. Apalagi sekarang untuk urusan thriller gila, saya tidak bisa untuk tidak memikirkan Jake Gyllenhaal. Rosamund Pike pun sama saja. Sosoknya yang kental dengan aura sweetheart dan lucu apakah cocok memerankan Amy dengan dualismenya? Mungkin sebagai Amy yang dicintai masyarakat ia cocok, tapi sebagai Amy yang misterius? Apalagi ditambah nama seperti Tyler Perry, keraguan tidak bisa dihindarkan. Hingga filmnya selesai, saya sadar bahwa saya telah lancang meragukan keputusan Fincher. Affleck dengan segala kerapuhan dan ketidak berdayaannya sampai Tyler Perry sebagai pengacara handal, semuanya sempurna. Tapi tidak ada yang bisa melebihi Rosamund Pike. 

Saya punya kepercayaan bahwa saat seseorang berakting, dan tanpa melakukan banyak hal diluar (ekspresi, dialog, emosi besar) dia bisa membuat penonton merasakan kompleksitas yang hadir, maka itu adalah akting luar biasa yang dimunculkan benar-benar dari dalam diri sang pemeran. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, hanya lewat tatapan matanya, tanpa dialog maupun ekspresi besar, saya bisa dibuat ikut mempertanyakan banyak hal. Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia inginkan? Apa yang dia rasakan? Itu adalah hal yang rumit untuk diperankan. Disisi lain lewat perbuatannya dengan mudah saya tahu betapa jeniusnya sosok Amy. Jelas jika Amy benar-benar ada di dekat saya, rasa ngeri akan langsung terasa tanpa perlu ia melakukan apapun. Amy adalah versi wanita dari Jake Gyllenhaal dalam Nightcrawler. Tapi disisi lain ia punya pesona kuat yang bakal membuat seseorang dengan mudah bertekuk lutut. That's what a scary person is. Gone Girl akan membuatmu terpaku, membuatmu membisu, menghantammu dan mempermainkan persepsimu. It's amazing.

22 komentar :

Comment Page:

PENDEKAR TONGKAT EMAS (2014)

Tidak ada komentar
Suatu hari seorang teman berkeluh kesah pada saya. Menurutnya perfilman Indonesia tidak punya satu ciri khas yang kuat. Dia kemudian memberi contoh jika kita menyebut Prancis maka yang terbayang adalah drama realis sederhana yang mengalir pelan tapi menyentuh sisi humanis dengan begitu kuat. Di ranah Asia Tenggara, jika kata Thailand disebut maka terbayang sajian horror bertemakan hantu yang menyeramkan atau komedi romantis yang manis. Tapi menurutnya jika menyebut Indonesia, tidak ada satu tipikal film yang terbayang karena selama ini yang menjadi tren adalah hasil pola pikir latah industri dimana jika ada satu jenis film yang laris maka berbondong-bondong bakal hadir film serupa. Saya setuju dengan statement tentang industri yang latah, tapi saya kurang setuju jika dikatakan film Indonesia harus punya satu atau dua tipikal genre yang khas. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan ke-Bhinneka-annya, bagi saya jika menyebut nama Indonesia, maka yang harusnya muncul dalam benak penonton adalah keberagaman jenis film. Karena itu salah satu masalah bukannya tidak memiliki jati diri tapi lebih kepada variasi genre. Salah satu yang kurang adalah film aksi bagus khususnya yang mengangkat tema silat. 

Di era sekarang mungkin hanya Merantau yang benar-benar melakukan itu, dan dua film The Raid yang koreografinya memakai gerakan silat. Maka adalah sebuah kabar menggembirakan saat Miles Films memproduksi Pendekar Tongkat Emas (The Golden Cane Warrior) dengan Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku & Sang Penari) sebagai sutradara. Disamping itu, jajaran ensemble cast-nya juga begitu menggoda, seolah mengumpulkan aktor-aktor terbaik negeri ini dalam satu film. Seperti judulnya, film ini berkisah tentang sosok pendekar bersenjatakan tongkat emas yang konon dapat memberikan kekuatan tak tertandingi. Saat ini tongkat itu menjadi milik Cempaka (Christine Hakim) yang mempunyai empat orang murid, Biru (Reza Rahadian), Dara (Eva Celia), Gerhana (Tara Basro) dan  Angin (Aria Kusumah). Cempaka yang telah sakit-sakitan akhirnya memutuskan memberikan tongkat itu pada Dara, sesuatu yang tidak bisa diterima oleh Biru sang murid terkuat. Biru dan Gerhana pun merencanakan pengkhianatan dan berhasil merebut tongkat tersebut. Disisi lain Dara bertemu dengan pemuda misterius bernama Elang (Nicholas Saputra) yang nampaknya juga punya keterkaitan dengan ilmu tongkat emas.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE SACRAMENT (2013)

1 komentar
Tidak semua orang bahkan mereka yang mengaku pecinta horror bisa menikmati karya Ti West. Bukan karena dia punya tingkat keabsurdan tinggi pada karyanya, tapi lebih kepada pengemasannya yang hampir selalu bertempo lambat dan berpegang teguh pada aspek realistis. Horror milik Ti West layaknya genre arthouse pada drama. Mengalir pelan, berfokus banyak pada karakter, sebelum akhirnya menggebrak saat klimaks. Lihat saja The Innkeepers atau segmen yang ia buat dalam The ABCs of Death. Mereka yang suka bakal menyebutnya The next big thing, tapi bagi yang tidak mungkin bakal merasa film-film Ti West hanyalah tontonan lambat yang membosankan. Saya sendiri cenderung berada di tengah-tengah, meski kedua contoh karyanya yang tersebut diatas meninggalkan kekecewaan bagi saya. Jika kemudian dia membuat film yang ceritanya sangat terinspirasi dari pembantaian massal Jonestown itu sama sekali tidak mengejutkan. Sekedar informasi singkat, kisah yang saya maksud adalah sebuah pembantaian yang terjadi pada sebuah kelompok cult di Jonestown, Guyana pada 18 November 1978. Saat itu sekitar 913 orang melakukan bunuh diri massal (konon ada juga yang dibunuh/dipaksa bunuh diri).

The Sacrament adalah usaha Ti West untuk mengangkat pembantaian di Jonestown tanpa mereferensikan secara langsung bahwa filmnya ini berbasis dari kejadian tersebut. Hampir semua aspek yang ada mengambil dari persitiwa itu, tapi nampaknya demi kebebasan bereksplorasi, Ti West memilih untuk tidak menyatakan bahwa film ini adalah sebuah adaptasi dari Jonestown Massacre. Cerita film ini sendiri adalah tentang dua orang wartawan Vice, Sam (AJ Bowen) dan Jake (Joe Swanberg) yang hendak meliput perjalanan Patrick (Kentucker Audley) untuk bertemu dengan saudarinya, Caroline (Amy Seimetz). Caroline sendiri dulunya adalah seorang pecandu narkoba, tapi semenjak tinggal di sebuah komunitas misterius, Caroline berhasil sembuh dari adiksinya. Lama tidak bertemu, Caroline pun mengundang Patrick untuk berkunjung ke tempat ia tinggal yang disebut Eden Parish. Sam dan Jake tertarik melakukan peliputan karena beberapa keanehan dalam undangan Caroline, semisal bahwa mereka tidak diberitahu letak pasti dari Eden Parish. Sesampainya disana, meski terdapat beberapa keanehan (penjaga yang memakai senapan mesin) mereka justru melihat semua orang hidup rukun dan bahagia. Tidak ada apapun yang mencurigakan sampai mereka bertemu dengan sang pemimpin dengan nama panggilan Father (Gene Jones) yang dipuja layaknya messiah.

1 komentar :

Comment Page:

THE JUDGE (2014)

1 komentar
Sebuah courtroom drama memang selalu menarik, karena pada kenyataannya sebuah persidangan seringkali memberikan berbagai pertanyaan, misteri, kejadian emosional, sampai kejutan demi kejutan tak terduga. Karena itulah jika digarap dengan maksimal, sebuah film persidangan akan mampu menjadi tontonan super lengkap dengan aspek-aspek diatas. Disutradarai oleh David Dobkin yang lebih dikenal sebagai sutradara film komedi, The Judge tidak hanya menarik karena aspek courtroom-nya tapi juga karena keberadaan nama-nama besar seperti Robert Downey Jr., Robert Duvall, Billy Bob Thornton, sampai Vera Farmiga. Dengan jajaran aktor "kelas berat" semacam itu saya setidaknya bisa berekspektasi akan hadirnya sajian akting memukau dalam film ini. Robert Downey Jr. masih akan memerankan tipikal karakter yang tidak jauh berbeda dengan yang telah banyak ia perankan, yakni seorang pengacara kaya, charming, pandai bicara, cerdas dan tentunya jago menaklukkan hati perempuan. Begitulah Henry Palmer, pengacara handal dari Chicago yang lebih sering membela mereka yang bersalah, karena menurutnya orang-orang seperti itu punya uang jauh lebih banyak untuk menyewa jasanya.

Saat mendengar kabar bahwa sang ibu meninggal dunia, Henry pun kembali pulang ke kampung halamannya, sebuah kota kecil di Indiana yang tidak ia kunjungi selama bertahun-tahun. Disanalah ia kembali bertemu dengan sang ayah, Joseph (Robert Duvall) yang telah menjadi hakim selama 42 tahun. Hubungan Henry dan Joseph memang tidak pernah akur dimana sikap keras sang ayah menjadi salah satu alasan kenapa Henry merasa enggan untuk sering berkunjung ke rumah. Selain itu perbedaan idealisme pun turut menjadi jurang pemisah keduanya. Disaat Henry tidak segan untuk membela pihak tidak bersalah asalkan mendapat bayaran tinggi, Joseph adalah hakim senior dengan integritas tinggi. Kemudian terjadilah peristiwa mengejutkan pada hari dimakamkannya ibu Henry. Joseph dituduh secara sengaja menabrakkan mobilnya kepada seorang pria yang menyebabkan kematian. Meski mengaku tidak mengingat kejadian itu, berbagai bukti yang ada makin menyudutkan sang hakim. Saat itulah mau tidak mau Henry maju untuk menjadi pengacara bagi sang ayah. Disaat bersamaan ia pun berusaha memperbaiki hubungan dengan ayahnya.

1 komentar :

Comment Page:

STAND BY ME DORAEMON (2014)

3 komentar
Tidak ada yang tidak kenal Doraemon dan saya yakin mayoritas dari kita yang menjalani masa kanak-kanak/remaja awal di era 90-an pasti punya kedekatan dengan sosok robot kucing dari masa depan ini. Saya sendiri hampir tidak pernah melewarkan penayangannya tiap minggu pagi, membeli beberapa komiknya, sampai deretan VCD film-film Doraemon. Keajaiban alat-alat Doraemon adalah kepingan memori tak terlupakan masa lalu saya. Kemudian hadirlah film ini yang sebelum perilisannya berhembus berbagai rumor yang membuat Stand by Me Doraemon menjadi film yang tidak boleh dilewarkan para penggemarnya. Ada yang menyebut ini adalah film terakhir Doraemon dan bakal menampilkan perpisahannya dengan Nobita. Well, rumor pertama jelas keliru karena tahun depan bakal rilis film lain dengan judul Nobita's Space Heroes. Sedangkan yang kedua silahkan temukan sendiri dalam film ini, yang jelas cerita film ini bakal berbasis dari tujuh volume awal komiknya.

Karena berasal dari tujuh komik pertamanya, disini kita akan diperlihatkan lagi momen pertemuan awal antara Nobita dan Doraemon. Setelah itu yang tersaji adalah rangkuman dari kehidupan sehari-hari mereka yang tentu sudah familiar bagi kita. Nobita terlambat sekolah, Nobita di-bully Giant dan Suneo, Nobita mendapat nilai nol, Nobita yang berusaha mengejar Shizuka, dan tentunya Nobita yang mendapat banyak bantuan dari kantong ajaib Doraemon. Jika dibandingkan film layar lebar lainnya yang kental dengan nuansa petualangan fantasi, Stand by Me Doraemon jelas lebih membumi dan sederhana. Nuansanya lebih dekat kearah komik dan kartunnya yang membuat film ini benar-benar terasa sebagai sebuah bentuk penghormatan bagi Fujiko F. Fujio serta kado nostalgia bagi para penggemar. Hal itu terlihat pula dari banyaknya momen-momen ikonik yang sudah familiar bagi para penggemar kembali dihadirkan sepotong demi sepotong. Daripada suatu hal baru, film ini lebih pantas disebut sebagai surat cinta dari sutradara Takashi Yamazaki baik untuk penggemar maupun sang pengarang.

3 komentar :

Comment Page:

THE INTERVIEW (2014)

1 komentar
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sosok diktator yang paling sering menjadi korban bullying di dunia maya adalah Kim Jong-un. Meski Presiden Korea Utara ini dianggap berbahaya karena konon memiliki rudal nuklir dalam jumlah besar, tetap saja dia menjadi bahan olok-olok entah itu karena tampilan fisiknya (gaya rambut konyol dan tubuh gemuk) atau keputusan-keputusannya yang dianggap menggelikan. Kim Jong-un mungkin salah satu diktator paling dibenci saat ini, tapi disaat bersamaan dia juga menjadi diktator paling tak berwibawa gara-gara olok-olok dunia maya tersebut. Karena itu dengan menjual premis "usaha pembunuhan terhadap Kim Jong-un" sudah cukup untuk membuat The Interview yang disutradarai duet Seth Rogen dan Evan Goldberg ini menjadi film yang dinanti. Rasa penasaran saya semakin bertambah karena kontroversi yang mengiringi perilisannya. Sony yang pada awalnya berniat merilis film ini pada 25 Desember terpaksa membatalkannya karena kelompok misterius bernama Guardians of Peace yang meng-hack system database Sony mengancam melakukan aksi terorisme pada bioskop yang memutar film ini.

Untung pada akhirnya Sony tetap merilis film ini meski hanya melalui VOD dan perilisan terbatas pada 25 Desember lalu. The Interview sendiri berfokus pada dua karakter, Dave Skylark (James Franco) yang memandu acara talk show selebritis dan produsernya, Aaron Rapoport (Seth Rogen). Acara tersebut selalu mendapat rating tinggi dan telah menembus 1000 episode. Tapi kesuksesan itu nyatanya tidak sebegitu menyenangkan bagi Aaron yang tidak puas hanya menyajikan berita santai dan kehidupan selebritis. Dia ingin menyajikan sebuah berita serius supaya dirinya bisa dianggap sebagai sosok jurnalis yang serius pula. Bak gayung bersambut, Aaron dan Dave mengetahui kabar bahwa Kim Jong-un merupakan fans berat acara mereka. Dari situlah muncul ide untuk melakukan wawancara dengan diktator Korea Utara tersebut. Disaat permintaan wawancara telah disetujui dan keduanya tengah bersiap, datanglah Agen Lacey (Lizzy Caplan) dari CIA yang memberi tugas pada keduanya untuk melakukan pembunuhan rahasia pada Kim Jong-un.

1 komentar :

Comment Page:

HAPPY CHRISTMAS (2014)

Tidak ada komentar
Walau mengusung judul Happy Christmas, film mumblecore terbaru Joe Swanberg ini sekilas tidak akan terlihat sebagai film yang menjadikan natal sebagai fokus utamanya. Tapi pada resolusi konflik yang hadir, sejatinya fim ini justru mengusung semangat dan esensi natal yang mencakup keluarga, cinta kasih dan saling memaafkan. Seperti mumblecore pada umumnya, film ini pun bakal menghadirkan banyak dialog yang kesemuanya merupakan hasil improvisasi dari tiap-tiap aktor. Ceritanya sendiri berfokus pada sebuah keluarga kecil bahagia milik Jeff (Joe Swanberg). Jeff yang bekerja sebagai seorang filmmaker tinggal bersama sang istri, Kelly (Melanie Lynskey) yang sebelum memiliki anak adalah seorang novelis dan putera mereka yang masih balita, Jude (diperankan anak Joe Swanberg sendiri). Kehidupan mereka begitu bahagia dan penuh kedamaian, sampai suatu hari adik Jeff, Jenny (Anna Kendrick) datang untuk tinggal sementara disana setelah putus dengan pacarnya. Sikap Jenny yang masih "liar" jelas menimbulkan permasalahan bagi Jeff dan Kelly yang terbiasa hidup penuh ketenangan dan keteraturan.

Joe Swanberg dianggap sebagai salah satu sutradara terbaik pada genre ini karena kepiawaiannya untuk merangkai keliaran improvisasi itu menjadi satu kesatuan drama yang penuh kesederhanaan tapi juga begitu kuat. Disini, kesederhanaannya masih begitu kuat dan konfliknya cukup menarik. Hanya saja, sekilas keliaran Swanberg kali ini terasa cukup berantakan. Kesan berantakan dan kacau jadi begitu terasa akibat dialognya yang sering terdengar tumpang tindih. Tapi sesungguhnya tidak ada yang salah dari cara Swanberg mengemas dialognya. Pertama, karena amat sangat lumrah di kehidupan sehari-hari terjadi sebuah obrolan panjang kesana kemari yang begitu seru sampai-sampai terjadi barter kalimat yang begitu cepat antara satu dengan yang lain. Mereka akan saling memotong kalimat lawan bicara, bahkan terkesan "berlomba" untuk terdengar lebih keras berbicara. Kedua, karakterisasi Jenny memang mendukung tipikal interaksi semacam itu. Jenny adalah tipikal gadis yang doyan bicara. Saat dia excited dia akan berbicara, bahkan saat terjadi awkward moment dia akan berusaha menutupi itu dengan kata-kata (yang tentunya tidak akan berhasil).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

RUROUNI KENSHIN: KYOTO INFERNO (2014)

Tidak ada komentar
Kyoto Arc jelas merupakan bagian terbaik dari seluruh kisah Rurouni Kenshin. Kisah ini menyajikan begitu banyak karakter memorable, jalan cerita yang menarik, serta tentunya berbagai pertarungan epic. Tentu saja arc terakhir adalah yang paling emosional dan menyempurnakan kisah Kenshin Himira, tapi biar bagaimanapun, Kyoto adalah klimaksnya. Maka bukan suatu keputusan mengejutkan saat adaptasi live action-nya bakal menggunakan kisah ini sebagai puncak. Film pertamanya sendiri cukup memuaskan. Meski ada beberapa karakterisasi yang terasa berbeda dan agak mengganggu (seperti Sanosuke), film itu tetaplah adaptasi yang setia dengan sumbernya. Tapi mengadaptasi kisah Kyoto bukanlah hal yang mudah, malah bisa dibilang sangat sulit. Banyaknya karakter dan skalanya yang besar merupakan halangan utama, jadi merupakan langkah yang masuk akal untuk memecah ceritanya kedalam dua film, dan Kyoto Inferno ini adalah bagian pertama.

Makoto Shishio (Tatsuya Fujiwara) merupakan "penerus" Kenshin (Takeru Sato) sebagai seorang pembantai setelah ia menanggalkan gelar Battousai. Tapi berbeda dengan Kenshin yang membunuh demi perdamaian dan orang lemah, Shishio melakukan itu demi kepuasan pribadi dan kejayaan, sesuatu yang mendorong pihak pemerintah memutuskan membunuh lalu membakar mayatnya. Tapi diluar dugaan Shishio masih hidup dan bertransformasi menjadi "monster" haus darah yang kini berniat menggulingkan pemerintahan Meiji. Untuk itulah ia mulai menghimpun pasukan termasuk membuat Juppongatanya yang terdiri dari 10 pendekar pedang terbaik yang tidak segan membunuh siapa saja yang mengalangi mereka. Kenshin yang awalnya menolak permintaan pemerintah untuk membunuh Shishio akhirnya mulai tergerak setelah melihat kekejamannya. Bersama pihak kepolisian yang dipimpin Saito (Yosuke Eguchi), Kenshin pun menuju Kyoto yang akan dijadikan lautan api oleh Shishio.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ABCs OF DEATH 2 (2014)

2 komentar
The ABCs of Death (review) yang rilis dua tahun lalu merupakan sebuah ambisi besar yang amat disayangkan tidak dibarengi hasil akhir memuaskan. Sebuah antologi apalagi yang tiap segmennya digarap oleh sutradara berbeda pada dasarnya sudah punya tingkat kesulitan sendiri, karena hampir bisa dipastikan muncul ketimpangan baik dari kualitas maupun atmosfer. Ambil contoh franchise V/H/S yang "hanya" berisi 4-5 segmen, jadi sangat wajar jika ABCs of Death yang berisi 26 segmen dari 26 sutradara berbeda jauh lebih naik turun lagi kualitasnya. Film pertamanya mungkin tidak sebaik harapan saya, tapi tetap saja ada beberapa segmen gila dimana salah satunya adalah L is for Libido garapan Timo Tjahjanto. Saya tidak lagi berharap banyak dalam menonton sekuelnya ini, hanya sebuah hiburan penuh kematian yang tiap menitnya bisa berakhir mengecewakan maupun memuaskan tanpa bisa saya duga. A is for Amateur adalah pembuka yang menghibur, menggelikan, sekaligus punya kejutan menarik. Segmen yang sukses membuka film ini dengan lebih baik dari pendahulunya. B is for Badger sayang terasa datar. Ada gore memang, tapi tidak spesial. 

Untung tensi berhasil ditingkatkan oleh C is for Capital Punishment yang berkat editing baiknya mampu terasa menegangkan plus gore sebagai bonus. D is for Deloused melanjutkan tren T is for Toilet sebagai segmen claymation yang gila namun jauh lebih absurd. E is for Equilibrium layak menjadi salah satu segmen terburuk. Terlalu banyak komedi tanpa ada sentuhan horror/thriller yang menarik plus kematian yang sambil lalu. Lebih mirip parodi Cast Away. Segmen berikutnya yakni F is for Falling pun mengecewakan sekaligus datar, jauh lebih datar dari "aset" aktirs di dalamnya. Untung keempat segmen berikutnya sanggup menaikkan kembali tensi film. G is for Grandad diisi keabsurdan sinting yang menghibur. H is for Head Games adalah animasi sureal yang menarik karena menyuguhkan sisi lain dari kematian lewat adegan ciuman paling "bombastis" tahun ini. I is for Invincible adalah segmen dari Filipina yang sukses menggabungkan horror dengan komedi secara berimbang. Sayang ditutup dengan begitu datar. J is for Jesus mungkin punya konsep yang terlalu "ngawur" tapi gabungan asepk torture porn degan horror religius-nya cukup menarik. K is for Knell adalah ketidak jelasan yang berujung pada tontonan membosankan. 

2 komentar :

Comment Page:

THE BOXTROLLS (2014)

Tidak ada komentar
Jika Pixar (setidaknya sebelum kehadiran Cars 2) mampu membuktikan bahwa animasi bukan hanya tontonan anak-anak tapi juga bisa dinikmati oleh orang dewasa lewat ceritanya yang emosional, lain halnya cara yang dilakukan Laika. Studio yang baru didirikan tahun 2005 dan berfokus pada animasi stop-motion ini memberikan daya tariknya lewat cerita dan visual yang cenderung mengarah pada horror dan gothic. Salah satu ciri khas kental yang muncul pada cerita film-film Laika adalah keberadaan suatu hal yang tersembunyi dalam gelap. Lihat saja Coraline dan ParaNorman dimana keduanya sama-sama punya aspek itu. Dalam film terbarunya yang merupakan adaptasi dari novel Here Be Monsters! karangan Alan Snow ini hal serupa kembali hadir. Berlatarkan tahun 1805, alkisah terdapat sebuah kota fiktif bernama Cheesebridge yang tengah dilanda ketakutan akibat kemunculan monster mengerikan bernama Boxtrolls. Monster-moster itu diyakini adalah sosok yang kejam dan tidak segan-segan menculik bayi untuk kemudian dimakan hidup-hidup. 

Karena ketakutan para Boxtrolls akan mencuri persediaan keju di kota tersebut, walikota Lord Portley-Rind memerintahkan Archibald Snatcher untuk menghabisi Boxtrolls tanpa tersisa sedikitpun. Snatcher sendiri bersedia melakukan itu asalkan walikota bersedia memberikan topi putih miliknya yang merupakan lambang bagi para pejabat kota yang mempunyai akses mencicipi segala keju terenak di kota tersebut. Jadilah setiap malam Snatcher dan anak buahnya memulai perburuan terhadap para Boxtrolls sambi menyebarkan berita tentang betapa mengerikannya monster itu kepada seluruh warga kota. Tapi ada rahasia yang tidak diketahui oleh warga, yakni fakta bahwa Boxtrolls sejatinya bukan sosok monster yang jahat. Tampilan mereka memang mengerikan, tapi mereka sama sekali tidak pernah melukai siapapun. Justru sebaliknya, mereka rutin mengunjungi dunia atas tiap malam untuk mengumpulkan barang bekas yang  bisa diperbaiki. Uniknya diantara para Boxtrolls yang memakai kotak kardus sebagai pakaian itu tinggal juga seorang bayi manusia yang diberi nama Eggs (karena memakai kotak kardus bekas tempat telur).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW (EPISODE 10)

Tidak ada komentar
Akhirnya momen yang dinantikan tiba, sebuah episode yang semakin memperjelas koneksi antar tiap musim American Horror Story. Dalam Orphans yang juga merupakan episode terakhir AHS tahun ini sebelum rehat selama tiga minggu, kita akan melihat kembalinya Sister Mary Eunice, karakter dari musim kedua AHS, Asylum. Tapi fokus utama dari episode ini bukanlah kembalinya Mary Eunice, tapi pada Pepper. Kita akan mempelajari lebih banyak tentang latar belakangnya, dan bagaimana dia bisa berakhir di Briarcliff, sesuatu yang di musim kedua hanya dituturkan secara sekilas. Cerita langsung dibuka dengan kematian satu lagi freaks, yaitu Salty yang tidak lain adalah suami Pepper. Tidak seperti Ma Petite ataupun Ethel, Salty meninggal secara natural karena pada dasarnya kebanyakan Pinhead tidak bisa bertahan hidup lebih dari usia 40 tahun. Tentu saja hal itu mengakibatkan kesedihan luar biasa pada Pepper yang membuat Elsa begitu mengkhawatirkannya. Ya, disinilah kita benar-benar diperlihatkan sisi lain Elsa yang selama ini sudah disiratkan tapi baru benar-benar nampak nyata disini.

Elsa yang kental disini bukanlah Elsa yang ambisius dan kejam, tapi Elsa yang penyayang dan benar-benar tulus mencintai "monster" miliknya. Hal itulah yang membuat Elsa memutuskan membawa Pepper pulang kerumah kakaknya, supaya ia tidak lagi terpendam dalam kesedihan (jika anda tahu alasan Pepper masuk ke Briarcliff yang sempat ia tuturkan di Asylum, anda akan tahu kearah mana ceritanya bakal berjalan). Disisi lain ada kisah tentang Maggie yang (secara menggelikan) mengambil jalan yang sama dengan Jimmy untuk melampiaskan kesedihan, yaitu mabuk-mabukan. Disinilah bentuk kurang kreatifnya para penulis AHS terasa, yakni saat seorang karakternya terpendam dalam kesedihan mereka akan mabuk-mabukan sendirian di malam hari. Tentu saja itu sangat rasional, tapi semakin terasa repetitif dan membosankan setelah diulang berkali-kali. Tapi untungnya Maggie punya momen yang tidak hanya "itu" saja, karena disinilah ia untuk pertama kali menceritakan rahasianya dengan Stanley kepada Desiree. Stanley sendiri mulai menjalankan aksinya untuk mendekati Jimmy yang masih mendekam di penjara.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TO KILL A MAN (2014)

Tidak ada komentar
Bagaimana jadinya jika seseorang yang punya tugas sebagai pelindung justru adalah seorang penakut yang tidak punya nyali untuk berkonfrontasi? Itulah yang terjadi pada Jorge (Daniel Candia). Dia adalah seorang pria penakut yang bahkan tidak berani untuk sekedar melawan saat pada suatu malam mendapat gangguan dan dipalak oleh Kalule (Daniel Antivilo), seorang preman lokal beserta teman-temannya. Jorge hanya diam saja dan pasrah dipermalukan seperti itu. Justru sang anak, Jorgito (Ariel Mateluna) yang akhirnya nekat mendatangi kediaman Kalule untuk membela sang ayah. Malang bagi Jorgito, dia justru terluka setelah ditembak oleh Kalule. Karena perbuatannya itu, Kalule harus mendekam di dalam penjara meski hanya dalam waktu tidak sampai dua tahun. Tapi begitu keluar dari penjara, Kalule justru semakin intens dalam menebarkan teror pada Jorge dan keluarganya. Masing-masing dari mereka mendapat teror bahkan pelecehan. Yang bisa dilakukan Jorge hanyalah kembali melapor pada polisi, sesuatu yang sayangnya tidak membuahkan hasil memuaskan. 

Jorge sendiri tidak berani untuk berbuat lebih, dimana dia lebih banyak merasa takut dan lari dari permasalahan. Hal itu jugalah yang membuat sang istri, Marta (Alejandra Yanez) merasa jengah pada sang suami. Sebenarnya sisi pengecut dari Jorge tidak hanya ia tunjukkan dalam permasalahan keluarganya ini saja, karena disaat ia bertugas untuk melindungi sebuah hutan, Jorge pun sempat dengan mudah dibuat ketakutan oleh seorang gelandangan yang menolak diusir karena menyalakan api disana. Tentu dari judulnya kita bisa tahu akan bergerak kemana film ini. To Kill A Man melanjutkan tren drama-thriller arthouse tahun ini, yaitu sebuah tontonan dengan tempo lambat yang bercerita tentang seorang karakter utama pria pengecut dan tidak bisa diandalkan yang mau tidak mau harus memberanikan dirinya melakukan hal ekstrim demi orang-orang tercinta. Tema itu sering dieksplorasi karena begitu efektif untuk sebuah studi karakter dan mengeksplorasi sisi gelap yang dimiliki semua orang. Sehingga muncul pertanyaan "sejauh mana seseorang bisa bertindak saat dalam kondisi terjepit demi keluarga mereka?"

Tidak ada komentar :

Comment Page:

V/H/S: VIRAL (2014)

Tidak ada komentar
Seri V/H/S sebenarnya tidak pernah benar-benar menjadi tontonan horror yang bagus. Layaknya film-film antologi pada umumnya, selalu ada segmen yang bagus tapi pasti ada juga yang buruk. Sepanjang eksistensi dua filmnya, tentu saja segmen terbaik adalah Safe Haven garapan duo Gareth Evans dan Timo Tjahjanto dalam V/H/S/2. Satu-satunya alasan kenapa saya tetap setia menonton franchise buatan Bloody Disguisting ini adalah karena berbagai ide-ide unik yang berani dimunculkan dalam tiap segmennya. Memang merupakan hal yang cukup sulit untuk bisa melebihi film sebelunya, khususnya karena keberadaan segmen Gareth Evans dan Timo Tjahjanto. Hal itu nampaknya juga disadari oleh para pembuatnya, terbukti dengan terjadinya sedikit perubahan konsep dalam V/H/S: Viral. Jika dalam dua film pertama segmen penghubung selalu menampilkan sekumpulan orang yang menonton rekaman vhs mengerikan yang berujung pada kejadian mengerikan pula, maka dalam Viral konsep itu sedikit dirombak.

Segmen penghubungnya yang berjudul Vicious Circles menampilkan kejar-kejaran antara polisi dengan mobil penjual es krim. Anehnya selalu terjadi hal mengerikan yang selalu berujung kematian dalam setiap tempat yang dilewati oleh mobil es krim tersebut. Sayangnya meski memberikan pendekatan yang berbeda, segmen penghubung masih jadi aspek terlemah dalam film ini, sama seperti dua film sebelummnya. Bahkan yang lebih parah, sebagai sebuah penghubung, Vicious Circles kurang baik dalam menyatukan ketiga segmen yang lain sebagai satu kesatuan koheren. Seperti biasa segmen penyatu ini selalu berhasi menghadirkan pertanyaan demi pertanyaan tanpa pernah sukses menyajikan jawaban yang memuaskan. Konklusi yang dihadirkan dala Viral amat dipaksakan, bahkan jauh melebihi film-film sebelumnya. Ambisi untuk jadi berbeda dan lebih besar dengan mengangkat tema goes viral tanpa adanya naskah yang kompeten membuatnya terasa amat konyol dan membingungkan. Membingungkan bukan karena plot yang dasarnya rumit, tapi karena pengemasan yang kacau. Lagi-lagi "penyakit" film horor bertema gaib yang menjadikan hal mistis sebagai escapism untuk tidak menghadirkan penjelasan rasional.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TANGERINES (2013)

Tidak ada komentar
Apakah perbedaan kewarganegaraan bisa menjadi alasan untuk saling bermusuhan? Apakah perbedaan agama membuat manusia sah-sah saja untuk saling bermusuhan bahkan membunuh? Tentu saja harga nyawa seseorang jauh lebih mahal daripada itu, tapi sayangnya begitulah wajah dunia sekarang ini. Terjadi permusuhan dan peperangan dimana-mana yang ironisnya dilandasi oleh perbedaan kepercayaan dan asal negara/suku. Bahkan dua orang bisa saling memusuhi hanya karena perbedaan itu tanpa mempedulikan kepribadiaan masing-masing. Keprihatinan akan isu tersebut yang pada akhirnya melandasi sutradara sekaligus penulis naskah Zaza Urushadze membuat film ini, yang sekaligus merupakan wakil Estonia dalam ajang Oscar tahun 2015 nanti. Tangerines atau yang mempunyai judul asli Mandariniid ini mengambil setting pada saat meletusnya perang di pemukiman warga Estonia di Abkhazia, Georgia tahun 1992-1993. Karena perang itulah banyak orang Estonia yang memilih pulang ke negara mereka. Tapi tidak dengan Ivo (Lembit Ulfsak) dan Margus (Elmo Nuganen) yang memilih tinggal untuk mengurus perkebunan jeruk mandarin milik Margus.

Disaat mereka tengah berharap mendapat perlindungan dari sejumlah tentara untuk menjaga supaya perkebunan jeruk itu tidak hancur oleh perang, Ivo dan Margus justru mendapati sebuah baku tembak antara dua pasukan kecil di dekat rumah mereka. Dalam baku tembak yang terjadi antara pasukan Chechen dan Georgia tersebut, hanya dua orang yang berhasil selamat. Mereka adalah Ahmed (Giorgi Nakashidze) dari pasukan Chechen dan Niko (Michael Meskhi) dari pasukan Georgia. Jadilah Ivo merawat dua orang yang saling bermusuhan itu di dalam rumahnya. Karena mereka sama-sama mengancam untuk membunuh satu sama lain, maka Ivo memberlakukan perjanjian yang melarang terjadinya pembunuhan di dalam rumahnya. Pada akhirnya Ivo harus merawat mereka sembari menjaga supaya keduanya tidak saling bunuh. Kisahnya memang sederhana, tidak baru dan punya pesan yang juga sudah sering diangkat kedalam film. Tapi dengan durasinya yang hanya 86 menit, Tangerines punya kekuatan lebih berkat suasana yang lebih intim, karakter yang tidak banyak tapi kuat dan terkesplorasi, serta konflik sederhana yang sudah cukup untuk mewakili pesan-pesan tersebut.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HOUSEBOUND (2014)

Tidak ada komentar
Disaat tahun ini Hollywood kering film horror berkualitas, siapa sangka dua negara yang saling bertetangga yaitu Australia dan Selandia Baru mengisi kekeringan itu dengan mengirimkan "perwakilan" berupa film horror bagus dengan konsep yang unik. Australia dengan The Babadook (review) mungkin lebih banyak mencuri perhatian dengan buzz begitu gencar, tapi bukan berarti Housebound yang merupakan film Selandia Baru buatan sutradara debutan Gerartd Johnstone ini kalah memikat. Sebelum menonton saya tidak tahu bercerita tentang apa pastinya film ini kecuali tentang rumah hantu (dilihat dari judulnya) dan mengkombinasikan tema haunted house tersebut dengan sentuhan komedi. Memang film ini unik, karena adegan pembukanya pun tidak seperti kebanyakan film-film rumah hantu lain yang selalu dibuka dengan perkenalan terhadap rumahnya. Film dibuka dengan adegan usaha perampokan ATM (yang konyol) oleh Kylie (Morgana O'Reilly) dan seorang temannya yang berujung kegagalan. Atas perbuatannya itu Kylie diharuskan menjadi tahanan rumah selama delapan bulan.

Bagi Kylie, rumah tempat ia harus menghabiskan hukumannya itu bukanlah rumah, karena disana ia harus kembali tinggal bersama sang ibu, Miriam (Rima Te Wiata) dan ayah tirinya, Graeme (Ross Harper) yang tidak dia sukai. Bagi Kylie, ibunya adalah seseorang menyebalkan dan cerewet. Tidak hanya itu, Kylie yakin bahwa sang ibu menderita dementia karena selalu mengatakan bahwa rumah tempat mereka tinggal adalah rumah berhantu yang sering mengeluarkan suara-suara aneh dan banyak barang yang tiba-tiba menghilang. Tentu saja Kylie tidak percaya dengan kisah-kisah supranatural dari sang ibu sampai pada suatu malam mengalami berbagai kejadian misterius secara langsung, mulai dari suara-suara misterius sampai boneka beruang yang bisa berbicara sendiri. Kondisi jadi semakin mengerikan bagi Kylie saat ia pada akhirnya berhasil mengungkap sebuah rahasia kelam yang pernah terjadi dalam rumah itu beberapa tahun sebelum ia dan keluarganya tinggal disana. Dari situlah Housebound mulai melemparkan kejutan demi kejutan tak terduga dalam plotnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AS ABOVE SO BELOW (2014)

5 komentar
Dengan berbekal dua ide dasar yaitu philosopher's stone dan makam bawah tanah raksasa The Catacombs, John Erick Dowdle membuat sebuah film yang punya tampak luar menarik mulai dari judul, poster sampai premis cerita. As Above So Below bercerita tentang Scarlett (Perditta Weeks) yang berambisi meneruskan penelitian mendiang ayahnya tentang philosopher's stone, sebuah batu yang dipercaya sanggup merubah senyawa dasar menjadi emas dan memberikan kehidupan abadi pada seseorang. Ambisi besarnya itu membuat Scarlett menjadi wanita yang nekat dimana ia sampai berkeliling dunia mulai dari Turki, Iran hingga akhirnya Prancis untuk mencari batu tersebut. Setelah pencarian panjang akhirnya Scarlett meyakini bahwa batu itu disimpan oleh sang pencipta, Nicolas Flamel dibawah tanah kota Paris yang hanya bisa ditembus lewat The Catacombs, sebuah kuburan masal bawah tanah berusia ratusan tahun yang kini dikenal sebagai salah satu tempat wisata paling mengerikan di seluruh dunia. Tapi kali ini Scarlett tidak melakukan penelusuran sendiri. 

Dia bersama Benji (Edwin Hodge), kameraman yang tengah membuat dokumenter tentang penelitian itu, George (Ben Feldman) yang pernah menjalin hubungan dengan Scarlett tapi ia tinggalkan di Turki, serta Papillon (Francois Civil) dan teman-temannya yang menjadi pemandu karena pengalaman mereka menelusuri The Catacombs. Totlal ada enam orang ikut dalam perjalanan tersebut dan mereka semua tidak tahu berbagai rahasia mengerikan yang sudah menanti ribuan kaki di bawah tanah. Dengan premis yang tergolong unik diantara film-film horror bergaya mockumentary lainnya jelas sudah memberikan satu nilai plus pada film ini. Setidaknya duo penulis naskah John Erick Dowdle dan Drew Dowdle membuktikan bahwa masih ada jalan untuk mengembangkan mockumentary menjadi sebuah tontonan yang lebih variatif. Bahkan dalam penggarapannya, John Erick Dowdle sudah berani mendobrak sebuah aturan tak tertulis dalam membuat mocku-horror, yakni pembuka yang berjalan lambat dan mengalir pelan sebelum kengerian yang terkumpul di klimaks. As Above So Below langsung dibuka dengan adegan bertensi cukup tinggi dan menegangkan, membuat saya tidak perlu merasa bosan dulu menantikan terornya dimulai.

5 komentar :

Comment Page:

THE TALE OF THE PRINCESS KAGUYA (2013)

Tidak ada komentar
Isao Takahata yang film terakhirnya, My Neighbors the Yamada dirilis 15 tahun yang lalu kali ini mengadaptasi sebuah cerita rakyat Jepang dari abad ke-10 yang berjudul The Tale of the Bamboo Cutter. Kandungan kisah dari cerita rakyat itu sendiri tidak jauh berbeda dari kebanyakan cerita rakyat milik Indonesia, yakni tentang seorang puteri kahyangan yang secara ajaib muncul di Bumi lalu dirawat oleh sepasang suami istri tua miskin yang tidak mempunyai anak. Dalam The Tale of the Princess Kaguya, kita akan dipertemukan dengan seorang pria tua yang bekerja sebagai tukang potong bambu di sebuah pedesaan kecil dekat hutan. Pria tua itu tinggal hanya berdua dengan sang istri. Sampai suatu hari saat sedang memotong bambu ia melihat cahaya terang dari sebuah pohon bambu muda. Dari dalamnya muncul sesosok puteri berukuran kecil. Merasa bahwa itu merupakan anugerah dari langit, sang pemotong bambu pun membawa puteri kecil itu kerumah. Bersama sang istri, mereka berdua memutuskan untuk merawat sang puteri seperti anak mereka sendiri. 

Tapi ada keanehan pada sang puteri yang dipanggil Takenoko (Little Bamboo) tersebut. Setelah bertransformasi menjadi seorang bayi, ia mulai tumbuh dengan amat cepat. Hanya butuh waktu beberapa hari sampai Takenoko akhirnya tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik. Seperti layaknya anak-anak kecil lain, Takenoko pun menghabiskan keseharian dengan bermain bersama teman-temannya, termasuk Sutemaru yang keluarganya adalah pembuat mangkuk dari kayu. Takenoko perlahan tumbuh menjadi gadis yang semakin cantik dan persahabatannya dengan Sutemaru semakin kuat. Tapi kebahagiaan sederhana itu tidak bertahan lama setelah suatu hari sang pemotong bambu menemukan emas dan begitu banyak kimono indah dari sebuah bambu. Penemuan itu dianggapnya sebagai pertanda dari langit bahwa ia harus membesarkan Takenoko layaknya seorang puteri yang tinggal di rumah besar, bukannya di desa seperti sekarang. Dari situlah awal kisah bagaimana Takenoko dikenal sebagai Princess Kaguya dimulai.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE LOOK OF SILENCE / SENYAP (2014)

15 komentar
Apa tujuan Joshua Oppenheimer membuat The Look of Silence a.k.a Senyap yang kembali menelusuri kisah di balik pembantaian "anggota PKI"? Bukankah ia sudah mengeksplorasi begitu banyak hal lewat The Act of Killing? (review) Perlukah film itu dibuat sekuelnya? Berbagai pertanyaan yang berputar di benak saya itu seketika menghilang setelah selesai menonton filmnya. Kedua film Oppenheimer itu ternyata merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. The Act of Killing ibarat pembuka yang memaparkan kenyataan-kenyataan mencengangkan pada penonton sambil disaat bersamaan mengajak berkenalan pada sosok Anwar Congo sang penjagal. Kita diajak masuk ke dalam isi pikiran Anwar Congo, dan mulai diajak memahami bahkan bisa jadi turut bersimpati padanya. Sedangkan The Look of Silence mengambil sudut pandang yang bertolak belakang dengan keluarga korban pembantaian sebagai fokus utamanya. Sosok utama dalam film ini adalah Adi, pria berusia 44 tahun yang kakaknya, Ramli merupakan salah satu korban pembantaian tahun 1965 karena dituduh sebagai anggota PKI. 

Kisah tentang Ramli sendiri merupakan salah satu yang paling "fenomenal" karena kesadisan yang ia alami sebelum akhirnya dibunuh. Pada malam pembantaian Ramli sudah sempat dilukai, ditusuk, bahkan konon isi dalam perutnya sudah terburai. Tapi sebelum sempat dibunuh ia kabur dan pulang ke rumah sebelum akhirnya "dijemput" oleh para pembunuhnya dengan alasan akan dibawa ke rumah sakit. Tapi pada kenyataannya Ramli dibawa ke truk, dipotong alat kelaminnya, lalu dibunuh. Bagi sang ibu, sangat berat menjalani hari-harinya tinggal berdampingan dengan pembunuh anaknya. Lebih menyakitkan lagi, para pembunuh itu kini mendapat pangkat dan kedudukan tinggi sebagai bentuk penghargaan atas "jasa" mereka dulu, dan seperti yang sudah kita tahu lewat The Act of Killing kebanyakan dari mereka tidak menyesal, bahkan bangga karena merasa telah berjuang demi Indonesia. Adi pun memutuskan untuk mendatangi satu per satu dari mereka untuk kemudian mengajukan berbagai pertanyaan terkait perbuatan mereka di masa lalu. Yes, Joshua Oppenheimer did it again!

Satu hal yang membuat dokumenter karya Oppenheimer terasa lebih kuat daripada kebanyakan dokumenter lainnya adalah bagaimana ia mampu membawa narasinya masuk dengan begitu dalam dan memaparkan fakta lewat cara yang amat berani. Jagal memang gila dengan menampilkan seorang pembunuh tersenyum lebar memperagakan pembunuhan yang ia lakukan, tapi Senyap membawa kegilaan itu ke tingkat yang lebih jauh lagi, lebih personal dan lebih tidak terpikirkan. Pernahkah anda berpikir akan melihat seorang pembunuh duduk berhadapan dengan keluarga korban lalu membicarakan tentang kasus pembunuhan itu? Setiap perbincangan yang terjadi antara Adi dan pembunuh kakaknya hadir dalam intensitas luar biasa. Keberadaan kamera dan proses pembuatan film itu sendiri membuat hampir tidak mungkin bagi kedua belah pihak untuk meluapkan semua emosinya apalagi sampai bermain fisik. Tentu saja ada letupan-letupan emosi tapi mayoritas yang muncul di layar adalah momen diam, tapi dalam kediaman itu saya bisa merasakan adanya gejolak dalam perasaan mereka. Karena sejarah yang tertulis dan terucap sangat bisa direkayasa, maka Oppeheimer berusaha menangkap segala kesunyian dan kebisuan ini. Karena pada saat senyap inilah kebenaran hakiki yang bersumber dari perasaan terpendam manusia bisa kita observasi dan rasakan.
Lewat banyaknya momen diam itu, penonton bisa diajak secara cermat merasakan dan melihat perlahan perasaan macam apa yang tersembunyi dalam diri orang-orang di film ini. Bicara soal perasaan, The Look of Silence sukses mengaduk-aduk perasaan saya. Saya diajak tertawa melihat beberapa interaksi antara Adi dengan kedua orang tuanya, entah dengan sang ibu yang bicara ceplas-ceplos, atau dengan sang ayah yang sudah begitu tua dan lemah tapi masih doyan bernyanyi. Saya pun dibuat sedih saat melihat air mata mulai mengalir dari ibu Adi, atau melihat ekspresi penuh kesedihan dari Adi sendiri. Saya dibuat terkejut saat mengetahui kebrutalan apa saja yang diterima korban pembantaian dulu. Ya, bahkan setelah menonton The Act of Killing pun penuturan para pembunuh yang bangga akan perbuatan kejam mereka masih membuat saya terperangah, bersumpah serapah. Ada pula rasa marah yang teramat sangat mendengar bagaimana mereka sama sekali tidak menyesal bahkan bersyukur telah meminum darah korban. Rasa marah ini merupakan hasil pendekatan Oppenheimer yang kali ini melihat dari kaca mata korban, bukannya mengeksplorasi secara mendalam sang pembunuh seperti Jagal dimana lewat film pertama itu masih ada simpati yang muncul melihat Anwar Congo.

Secara teknis, pengemasan Oppenheimer masih menyuguhkan keindahan dibalik tragedi, bedanya kali ini keindahan itu penuh dengan kesunyian. Tanpa musik tentu saja, dan ada begitu banyak adegan bisu yang tidak menampilkan apapun kecuali gambar diam selama beberapa detik. Film ini juga lebih banyak memperlihatkan ekspresi seseorang daripada objek yang sedang ia lihat, atau menjadi fokus pembicaraan Sebagai contoh saat Adi sedang menonton rekaman seorang pelaku pembantaian yang meragakan aksi pembunuhannya, Oppenheimer lebih sering memilih memperlihatkan ekspresi Adi daripada rekaman tersebut. Tujuannya jelas, yaitu untuk menelusuri lebih dalam perasaan Adi, dan mentransfer emosi itu kepada penonton. Sekali lagi Joshua Oppenheimer memaparkan fakta mencengangkan dari masa lalu bangsa ini dan manusia itu sendiri. Sekilas terlintas di benak saya apakah alasan utama para pembunuh itu melakukan aksinya memang demi membasmi komunisme dan berjuang untuk bangsa? Ataukah demi uang? Atau demi melampiaskan sifat natural manusia yaitu kekerasan yang telah lama mereka pendam? Satu yang pasti, saya menaruh hormat sebesar-besarnya pada soso Adi, seorang manusia berjiwa besar yang membuat saya tersentuh. Lewat dua filmnya Joshua Oppenheimer bukan bermaksud membuka luka lama seperti yang dituturkan para pembunuh itu, melainkan memaparkan fakta. Karena kebenaran adalah hak setiap warga negara Indonesia.

15 komentar :

Comment Page:

HORNS (2013)

Tidak ada komentar
Dibintangi oleh Daniel Radcliffe yang masih berusaha keras untuk melepaskan imej Harry Potter selama tiga tahun terakhir (yang ia lakukan dengan cukup baik) serta disutradarai oleh Alexandre Aja yang lebih dikenal sebagai seorang sutradara film horror membuat Horns semakin punya daya tarik disamping premis yang memang sudah unik. Diangkat dari novel berjudul sama karangan Joe Hill, film ini menceritakan tentang seorang pria bernama Ig Perrish (Daniel Radcliffe) yang sedang menjadi tersangka atas pembunuhan terhadap Merrin (Juno Temple) yang tidak lain adalah kekasih Ig sendiri. Meski keduanya sudah saling mencintai sejak kecil, hampir semua orang percaya bahwa Ig adalah pembunuhnya, sesuatu yang terus disangkal oleh Ig. Walau sudah mendapat bantuan dari seorang pengacara yang juga teman masa kecilnya, Lee (Max Minghella), posisi Ig tetap saja tersudut, apalagi setelah kehadiran seorang saksi baru yang berkata melihat Ig menyeret Merrin ke dalam mobilnya pada malam terjadinya pembunuhan. Meski begitu Ig tetap menyanggah semua tuduhan.

Di tengah kebingungan yang ia alami, Ig justru mendapati sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya saat suatu pagi ia terbangun dan dua buah tanduk telah tumbuh di kepalanya. Tapi tidak hanya itu saja keanehan yang terjadi, karena sejak tumbuhnya tanduk tersebut, Ig kini bisa mengendalikan perilaku seseorang, bahkan membuat mereka mengatakan rahasia-rahasia yang selama ini telah dipendam. Meski awalnya merasa terganggu dan berniat menyingkirkan tanduk tersebut, pada akhirnya Ig justru memanfaatkan kemampuan barunya itu untuk mencari siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kematian Merrin. Jadi kurang lebih Horns berkisah tentang seorang pria yang tiba-tiba mempunyai tanduk, dimana tanduk itu memberikannya kekuatan untuk mengendalikan perilaku dan pikiran orang lain. Tidak butuh pemikiran lebih untuk mengetahui bahwa tanduk dan kekuatannya itu adalah representasi sosok setan. Apalagi dengan kehadiran sebuah "trisula", ular dan kulit terbakar Ig yang berwarna merah, menjelaskan bahwa Horns adalah kisah tentang setan, tentang fallen angel yang bukan digambarkan sebagai sosok jahat, melainkan anti-hero yang bertindak atas dasar dendam dan cinta.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - FREAK SHOW (EPISODE 9)

2 komentar
Tupperware Party Massacre adalah episode yang memantapkan jati diri AHS khususnya pada musim keempat ini. Saat saya menyebut "memantapkan" itu bermakna positif dan negatif. Positif karena membuat penonton sudah bisa mengatur ekspektasi mereka, tapi negatif karena kita tahu bahwa musim ini tidak akan menawarkan sesuatu yang outstanding khususnya pada aspek cerita. Dalam setiap ulasan mengenai satu episode AHS saya sering menyatakan kekurangan serial ini dalam cerita adalah pengemasan yang terburu-buru, cepat datang dan cepat berakhir, juga kesan acak yang hadir demi menciptakan sebuah twist. Awalnya saya berharap kreator serial ini berusaha memperbaiki kekurangan itu, tapi episode kesembilan ini membuktikan bahwa Ryan Murphy dan kawan-kawan sama sekali tidak tertarik melakukan itu, dan justru semakin gila dalam melempar begitu banyak aspek cerita secara mendadak demi memberikan rasa shocking pada penonton. Freak Show tampak sudah mentok untuk mengembangkan karakter dan alih-alih memilih jalan gampang nan gila dengan membuat masing-masing karakter mengalami kejadian atau perubahan kepribadian yang ekstrim.

Jimmy masih terpukul atas kematian sang ibu dan terus mabuk-mabukan. Bahkan dia meninggalkan Maggie dan "berpaling" pada Ima sebagai bentuk pelampiasan atas kerinduannya pada sang ibu. Kita akan kembali melihat kisah Bette dan Dot yang ditemui oleh Elsa dan Stanley, menawari mereka untuk melakukan operasi pemisahan, meski pada akhirnya Dot menyadari bahwa ia tidak bisa berpisah dari kembarannya dan memutuskan kabur dari operasi untuk menyatakan cintanya pada Jimmy. Selain Bette dan Dot, fokus utama episode ini adalah Dandy yang sudah secara "sempurna" bertransformasi dari seorang anak manja yang begitu kacau melakukan pembunuhan menjadi seorang psikopat berdarah dingin yang tenang juga cerdas dalam menjalankan aksi brutalnya, dan merasa bahwa dirinya adalah Tuhan yang tak terkalahkan. Dari sinilah konfrontasi antara Dandy dan Jimmy mulai terbangun setelah Dandy bersumpah akan menghancurkan hidup Jimmy. Menyenangkan melihat Dandy berhasil membuktikan bahwa ia adalah pengganti yang sepadan bagi Twisty, meski lagi-lagi transformasinya dalam beberapa episode terakhir agak terlalu cepat.

2 komentar :

Comment Page:

THE SKELETON TWINS (2014)

Tidak ada komentar
Bisakah sebuah film berisikan karakter suicidal dikemas dengan penuh suntikan komedi sambil tetap mempertahankan kedalaman emosi, karakter dan ceritanya? Film terbaru Craig Johnson yang dibintangi oleh dua alumnus Saturday Night Lives (SNL), Bill Hader dan Kristen Wiig ini membuktikan hal tersebut mungkin dilakukan. Dengan naskah yang ia tulis bersama Mark Heyman, Craig Johnson akan membawa kita pada sebuah cerita yang berisikan dua karater dengan tendensi bunuh diri dan besar di lingkungan yang familiar dengan bunuh diri. Tokoh pertama adalah Milo (Bill Hader), seorang gay yang pada suatu pagi saat dalam kondisi mabuk memutuskan untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadinya. Disaat yang hampir bersamaan, kakak perempuan Milo, Maggie (Kristen Wiig) juga tengah bersiap untuk bunuh diri. Bedanya, Maggie hendak meminum pil dalam jumlah yang amat banyak. Tapi niat tersebut ia urungkan saat menerima telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sang adik sedang dirawat disana karena percobaan bunuh diri. Sepasang kakak beradik yang telah 10 tahun tidak pernah saling berbicara itu pun akhirnya kembali bertemu.

Maggie pun menawari Milo untuk tinggal sementara bersamanya di New York, setidaknya sampai pikirannya jauh lebih tenang. Disana Milo juga tinggal bersama suami Maggie yang selalu penuh semangat dan talkative, Lance (Luke Wilson). Kakak beradik itu pun mencoba kembali untuk mengulang memori indah masa lalu saat keduanya amat dekat dan saling menjaga satu sama lain, sebelum akhirnya ayah mereka tewas bunuh diri setelah melompat dari atas jembatan. Tapi usaha memperbaiki hubungan diantara mereka tidaklah berjalan mulus karena berbagai masalah pribadi yang harus keduanya hadapi. Maggie punya tendensi untuk berselingkuh dengan para pengajar dalam setiap kursus yang ia ambil, dan hal itu kembali terulang saat ia mengambil kursus menyelam dan tertarik pada Billy (Boyd Holbrook) sang instruktur. Sedangkan bagi Milo, ada di New York merupakan kesempatan baginya untuk bertemu lagi dengan Rich (Ty Burrell), mantan kekasih sekaligus gurunya semasa sekolah. Millo dan Rich sendiri pertama kali berhubungan saat Milo masih berusia 15 tahun dan Rich masih berstatus sebagai gurunya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - FREAK SHOW (EPISODE 8)

Tidak ada komentar
Episode kedelapan ini sudah cukup lama saya tunggu karena satu alasan, judulnya. Dengan tajuk "Bloodbath" wajar saja jika bayangan kegilaan dan banjir darah. Setelah berbagai episode yang berfokus pada drama (yang kurang maksimal) dan kengerian tanggung yang menyebabkan Freak Show amat berpotensi menjadi musim terburuk American Horror Story, maka gore dan bergalon-galon darah tumpah bisa menjadi sebuah cara termudah untuk meningkatkan kembali daya tarik serial ini. Khusus untuk episode ini saya tidak berharap pada pengembangan karakter atau twist gila pada ceritanya. Cukup berikan sebuah episode penuh darah dan kegilaan menyenangkan yang bodoh saya pun akan terpuaskan. Pada akhirnya hal itulah yang ditawarkan oleh episode ini. Ada (literally) adegan "bloodbath", dan ada beberapa kematian yang cukup mengejutkan. Kisahnya dimulai melanjutkan episode sebelumnya, tepatnya setelah Ma Petite dibunuh oleh Dell. Kita tahu siapa pembunuh Ma Petite, tapi tidak begitu dengan para freaks termasuk Ethel yang justru menuduh Elsa sebagai pelaku pembunuhan. (WARNING: A LOT OF SPOILERS)

Ethel pun mengancam akan membunuh Elsa demi mengakhiri semua "pertunjukkan drama" yang ia mainkan, untuk kemudian berencana bunuh diri. Tapi disinilah kita melihat dua keahlian utama Elsa, yaitu bersandiwara dan melempar pisau. Ethel yang tertipu pada akhirnya tewas dengan pisau menancap di matanya. Dengan bantuan Stanley, Elsa pun merekayasa kematian Ethel dengan membuatnya seolah bunuh diri dengan cara menabrakkan mobilnya ke pohon sambil mengikat kepalanya dengan rantai yang diikat ke sebuah pohon, memenggal kepalanya. Tapi kegilaan belum selesai, karena dengan ide Desiree, Penny yang telah berubah menjadi wanita kadal beredia melakukan balas dendam pada sang ayah. Sedangkan Jimmy masih tenggelam di kesedihan atas kematian sang ibu. Setelah tidak mendapat banyak porsi pada episode sebelumnya, Dandy kembali dieksplorasi kali ini. Gloria yang khawatir pada sang putera mulai menemui psikolog yang berniat memberikan terapi pada Dandy. Disisi lain, Reggina puteri dari Gloria sang pembantu yang dibunuh Dandy datang kerumah dan menyadari ada yang aneh dengan menghilangnya sang ibu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

IVORY TOWER (2014)

1 komentar
Kemarin saya baru saja menonton sebuah dokumenter berjudul Layu Sebelum Berkembang (review) yang melontarkan kritik terhadap sistem pendidikan Indonesia melalui observasi terhadap keseharian dua anak SD di Yogyakarta, sedangkan Ivory Tower garapan Andrew Rossi ini adalah bentuk kritikan terhadap pelaksanaan perkuliahan di Amerika Serikat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan universitas besar di Indonesia banyak berkiblat pada universitas Amerika seperti Harvard. Mereka berlomba-lomba meningkatkan fasilitas dan kurikulum dengan tujuan menjadi universitas kelas internasional. Tapi pertanyaannya benarkah kampus-kampus internasional macam Harvard, Princenton atau Stanford memang pantas untuk 100% ditiru? Benarkah nama-nama besar tersebut berhasil mencetak lulusan yang bagus dan berguna? Benarkah fasilitas mewah berharga mahal yang ditawarkan memang esensial dan berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan? Nyatanya semua itu tidak sepenuhnya benar, apalagi pada masa seperti sekarang dimana biaya perkuliahan jauh lebih tinggi daripada layanan publik lain di Amerika Serikat.

Dengan tujuan masuk ke Universitas besar, banyak orang tidak segan untuk menggelontorkan uang dalam jumlah besar. Bahkan tidak sedikit dari mahasiswa yang menggunakan jasa student loan untuk meminjam uang guna membayar biaya kuliah. Masalahnya dengan pembangunan berbagai fasilitas mahal yang ironisnya banyak yang tidak esensial seperti kolam renang, wall climbing, gedung mewah, stadion american football dan masih banyak lagi, biaya yang harus dikeluarkan semakin mahal khususnya di kampus-kampus besar. Pada akhirnya banyak mahasiswa yang setelah lulus langsung berstatus penyandang hutang dengan rata-rata hutang diatas $100 ribu. Pada awalnya mereka berpikir akan bisa melunasi itu setelah bekerja, tapi pada kenyataannya banyak lulusan universitas besar yang hanya mendapat pekerjaan kecil seperti waitress, tukang bersih toilet, bahkan banyak juga yang berakhir sebagai pengangguran. Disatu sisi kampus-kampus seperti tidak peduli pada anggapan bahwa pendidikan kampus (higher education) merupakan hak setiap orang. Bahkan kampus yang telah ratusan tahun mengratiskan biayanya seperti Cooper University sudah mulai menarik uang kuliah. Berbagai jalan keluar seperti perkuliahan online mulai dicoba, tapi masih juga belum membuahkan hasil memuaskan.
Film ini adalah pukulan telak bagi mereka yang mengagungkan sistem pendidikan Amerika dan mati-matian berusaha meniru mereka. "Disaat sistem kapitalisme semakin kuat, maka rakyat menjadi korbannya". Kalimat itu memang amat mewakili apa yang disuguhkan oleh Ivory Tower. Andrew Rossi melemparkan semua permasalahan yang menghantui higher education di Amerika Serikat, lengkap dengan sebab-akibat dan usaha untuk mengatasinya. Kehebatan film ini adalah tidak adanya unsur keberpihakan pada salah satu pihak atau salah satu metode. Baik kampus maupun metode yang diperlihatkan disini tidak ada yang benar-benar baik. Selalu ada celah dibalik semua kelebihan yang hadir, setidaknya bagi sebagian besar hal. Bahkan disaat sebuah metode sukses mencerdaskan mahasiswa, permasalahan kembali hadir saat para sarjana tidak punya kemampuan untuk menyelesaikan hal-hal keseharian. Film ini berhasil memposisikan saya, membuat saya merasa seperti salah satu korban. Caranya adalah dengan mengaduk-aduk emosi saya, membuat saya kesal dan marah kepada sistem kapitalisme bobrok yang diterapkan banyak universitas. Pemerasan secara tidak langsung terhadap mahasiswa dan orang tua mereka sukses membuat saya dipenuhi amarah. Kemudian satu per satu muncul solusi yang membuat saya dipenuhi harapan dan senyuman, sampai akhirnya diperlihatkan solusi tersebut tidak sepenuhnya efektif dan memaksa saya berpikir lebih jauh.
Saya dibuat berpikir apakah aspek "A" memang sepenuhnya buruk, dan apakah aspek "B" dan berikutnya memang lebih baik? Disitulah Ivory Tower mengajak penontonnya mendengar penuturan dari mereka yang menjalani tiap-tiap metode pendidikan. Faktanya, pada setiap metode selalu ada yang menyebutkan bahwa pilihan mereka adalah sesuatu yang baik, positif dan memang berguna. Pada akhirnya memang film ini berkonklusi bahwa setiap metode akan dikembalikan lagi pada masing-masing mahasiswa. Manakah yang memang cocok bagi mereka? Mana yang sesuai dengan kepribadian dan tujuan hidup yang mereka inginkan. Mungkin satu hal yang terlewat oleh film ini adalah menggali lebih jauh apakah memang segala keburukan itu sepenuhnya merupakan salah sistem? Bukankah hal-hal seperti nilai buruk, drop-out, pengangguran, atau mahasiswa yang lebih doyan pesta daripada belajar juga bukan mutahil merupakan kesalahan dari masing-masing individu? Tapi toh kekurangan itu tidak menjadikan degradasi kualitas bagi dokumenter ini, karena nampaknya Andrew Rossi memang lebih bertujuan untuk mengkritik sistem daripada mahasiswa itu sendiri. Lagipula sistem pendidikan yang disorot memang banyak kebusukannya dan sistem yang buruk serta para kapitalis jauh lebih berbahaya jika dibiarkan dari mahasiswa yang malas. 

Kelebihan utama film ini jelas datanya yang begitu lengkap. Saya dibuat sanggup memahami segala fakta yang disajikan, membandingkannya satu sama lain tanpa perlu tersesat dan kebingungan hingga akhirnya membuat saya bisa menikmati proses berpikir, merenungkan sesungguhnya bentuk pendidikan mana yang paling baik. Tapi Ivory Tower tidak hanya berisikan data tanpa jiwa, karena Andrew Rossi juga berhasil menyuntikkan banyak momen emosional. Seperti yang telah saya sebutkan ada amarah hadir melihat kebusukan yang terjadi, ada juga rasa haru melihat bagaimana para mahasiswa memperjuangkan hak mereka yang direnggut. Universitas seharusnya menyediakan sarana bagi setiap orang yang ingin menuntut ilmu, karena menutut ilmu adalah hak setiap manusia dan sama bebasnya dengan menghirup udara atau meminum air. Tapi selayaknya air dan udara yang mulai diperjual belikan secara mahal pula pendidikan kini telah menjadi barang mahal yang dipertujukan bagi konsumen, bukan lagi sarana menuntut ilmu, apalagi disaat fokus utama universitas bukan lagi mencerdaskan mahasiswa tapi bersaing dengan universitas lain untuk menjadi yang terbaik dalam berbagai ranking. Tontonlah film ini dan mungkin anda tidak akan lagi bangga melihat universitas tempat anda berkuliah menduduki ranking atas dalam sebuah daftar dan punya fasilitas modern. 

1 komentar :

Comment Page: