THE FOG (1980)

1 komentar
Jika Halloween adalah bagaimana John Carpenter membawa sebuah urban legend kedalam dunia nyata, maka The Fog adalah urban legend itu sendiri. Dibuka dengan adegan seorang pria tua (John Houseman) menceritakan kisah seram di depan api unggun tentang kabut misterius yang menenggelamkan sebuah kapal, film ini mengajak penonton menyaksikan teror saat cerita tersebut menjadi kenyataan. Carpenter tidak banyak berbasa-basi disini. Tidak seperti Halloween yang menghabiskan paruh pertamanya untuk pembangunan teror secara perlahan, The Fog langsung tancap gas setelah adegan pembuka tadi selesai. Tengah malam yang biasanya tenang di kota kecil bernama Antonio Bay mendadak dipenuhi kejadian misterius. Kita tahu semua barang yang bergerak dan pecah dengan sendirinya adalah perbuatan para hantu, meski kita akan bertanya-tanya untuk apa hantu mencabut pompa bensin atau menyalakan alarm mobil. Jangan harap Carpenter maupun Debra Hill selaku penulis naskah bakal menjawab itu.

Jika bicara soal cerita, The Fog memang bukan merupakan horror yang cerdas. Kita akhirnya tahu bahwa semua teror itu hadir karena masa lalu kelam yang dimiliki Antonio Bay. Karena itu para hantu berusia 100 tahun tersebut harus membunuh enam orang untuk melampiaskan dendam mereka. Keenam nyawa harus diambil dalam rentang waktu satu jam, antara pukul 12 sampai 1 malam, karena pada jam itulah keenam konspirator yang juga pendiri Antonio Bay berkumpul untuk merencanakan sebuah tindakan kejam. Jadi bisa ditebak para hantu berniat menghabisi enam orang keturunan konspirator tersebut bukan? Disitulah naskah Carpenter dan Hill tampak kebingungan. Di satu momen khususnya yang melibatkan karakter Father Malone (Hal Holbrook) sepertinya memang itu tujuannya. Tapi di momen lain para hantu tampak menyerang siapapun secara acak. Tapi pada adegan pembuka mereka hanya mejatuhkan barang di sebuah supermarket tanpa membunuh seorang pria yang ada disana. 
Pada akhirnya itu adalah lubang yang diciptakan memang hanya untuk memberi kesempatan pada filmnya menebar teror selama mungkin, termasuk adegan saat sebuah papan kayu tiba-tiba terbakar atau mayat yang mendadak hidup kembali hanya untuk menyampaikan pesan menggelikan. Tapi disaat sebuah film horror mampu menghadirkan kengerian, tidak peduli seburuk apapun kualitas naskah maupun aspek lainnya maka itu adalah horror yang baik. Carpenter membuat film horror yang tidak murahan disini. Kengerian dihadirkan lewat pembangunan atmosfer, bukan scare jump penuh efek suara memekakkan. Scare jump muncul hanya pada saat-saat tertentu yang memang membutuhkan kehadirannya, dan tanpa dentuman musik yang berlebihan. Hasilnya pun efektif. Teror sudah dibangun dari awal dan tak pernah berhenti. Tapi itu bukan berarti filmnya terburu-buru. Karena berpusat pada membangun suasana, The Fog sendiri terasa seperti kabut yang menyeruak perlahan tapi secara pasti menyelimuti seisi kota. 

Ketegangan merambati penonton, bukan menggedor mereka tiba-tiba. Alhasil kita tidak akan merasa lelah dan filmnya pun tidak pernah kehabisan bahan bakar. Film ini tidak berusaha mengejutkan penonton, namun bermain-main dengan antisipasi kita. Penonton diajak melihat langsung (khususnya pada klimaks) bagaimana kabut secara perlahan menyelimuti seisi Antonio Bay. Kita tahu jika pada akhirnya kabut telah menutupi seluruh kota, maka bahaya bakal mencapai puncaknya. Rasanya pun mencekam, karena meski tidak diajak berada langsung disana, penonton bagai melihat langsung dari balik kaca. Kecemasan semakin memuncak saat kita sadar bahwa kita hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apapun. Perasaan tidak berdaya melihat para karakter yang juga tidak berdaya itu menjadikan klimaksnya begitu efektif. Seperti di mayoritas filmnya, Carpenter juga menjadi komposer musik film ini. Hasilnya pun luar biasa. Film-film klasiknya termasuk Halloween dan The Fog kerap menghadirkan sebuah scoring klasik yang sempurna mewakili suasana filmnya. Cobalah mendengarkan scoring film ini sambil menutup mata, maka suasana mencekam karena perasaan bakal hadirnya hal misterius yang mengancam sontak bakal kita rasakan. 
Walaupun bernaskah buruk, The Fog punya kelebihan yang jarang dimiliki horror kebanyakan, yaitu karakter yang bagus dan mudah menarik simpati. Karena fokusnya bukan hanya teror terhadap salah satu tokoh melainkan seisi kota, maka film ini membagi fokusnya pada beberapa karakter. Kesemuanya mendapat porsi yang cukup berimbang. Interaksi yang hadir diantara mereka pun bukan sekedar pengisi durasi yang membosankan, melainkan dinamika hidup antara sosok-sosok "nyata". Nick Castle (Tom Atkins) dan Elizabeth (Jamie Lee Curtis) adalah pasangan yang tidak sampai mengganggu tone film ini dengan kisah cinta mereka, meski patut disayangkan karakter Elizabeth tidak mewadahi Jamie Lee Curtis untuk tampil habis-habisan layaknya di Halloween. Kathy Williams (Janet Leigh) dan Sandy (Nancy Loomis) adalah dua karakter bertolak belakang yang memberikan dinamika menarik. Kathy adalah bos yang cerewet tapi tidak annoying sedangkan Sandy adalah asisten yang ketus dan mampu membuat ucapan "Yes mam" seperti "screw you". 

Tapi yang paling mencuri perhatian adalah Stevie Wayne (Adrienne Barbeau) sang penyiar radio. Bermodalkan suara Adrienne Barbeau, karakter Stevie jadi begitu esensial bagi film ini. Diawal kita mengenalnya sebagai tipikal penyiar radio wanita dengan suara menggoda. Tapi seiring film berjalan, perannya berkembang menjadi bumbu ketegangan. Ibarat pertandingan sepak bola, Stevie adalah komentator yang menarasikan tiap kejadian dan membuat pertandingan bertambah seru. Stevie pun semakin mendapat simpati dari saya saat dia mengambil peran heroik dengan bertahan di mercusuar guna memberikan informasi tentang pergerakan kabut meski hal itu membahayakan keselamatannya. Klimaksnya yang terbagi dalam dua lokasi pun mendapat keuntungan dari hal tersebut. Adegan di Gereja memang punya skala lebih besar, tapi meski hanya sendirian dan berada di satu lokasi, kejar-kejaran antara Stevie dengan para hantu (atau zombie?) terasa sama bahkan lebih menegangkan. 


1 komentar :

Comment Page:
gogo mengatakan...

Baru nonton yang versi Tom welling..
Not too bad..