DANNY COLLINS (2015)

Tidak ada komentar
"The following is kind of based on a true story a little bit." Kalimat itu membuka Danny Collins, dan secara tidak langsung memberi tahu penonton bahwa film ini tidak akan terlalu "serius" dan (hanya) sedikit menukil dari kejadian nyata. Tapi jangan salah, debut penyutradaraan Dan Fogelman (penulis naskah Cars, Cars 2, Tangled, dll) ini memang mendasari ceritanya dari sebuah kisah nyata tentang musisi folk dari Inggris bernama Steve Tilston. Pada tahun 1971, Steve yang baru memulai debutnya terlibat wawancara dengan majalah ZigZag. Kala itu ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa ketenaran dan kekayaan bakal mempengaruhi kegiatannya menulis lagu. Selang 34 tahun kemudian, seorang kolektor menghubungi Steve, menyatakan bahwa ia memiliki surat dari John Lennon yang ditulis untuk Steve pada tahun 1971 berkaitan dengan wawancara yang ia jalani. Kisah tersebut menjadi dasar film ini, tentunya dengan banyak perubahan.

Sang karakter utama diubah menjadi Danny Collins (Al Pacino), seorang rockstar yang mencapai titik jenuh dan lelah akan kehidupan liarnya selama 40 tahun berkarir. Dalam suatu konser ia berhasil memukau penonton, membuat mereka bernyanyi dan menari mengikuti lantunan lagu upbeat andalannya yang berjudul "Hey, Baby Doll". Konser yang penuh semangat dan kebahagiaan, namun apa yang terlihat di backstage setelah itu justru sebaliknya. Sang bintang duduk ditemani segelas minuman, memperlihatkan wajah yang seolah merasa lelah akan semua itu. Tidak pernah kehabisan minuman dan kokain, bepergian dengan mercedes mewah dan pesawat pribadi, sampai memiliki kekasih yang berusia jauh lebih muda nyatanya tidak membuat Danny bahagia. Hingga sewaktu pesta ulang tahunnya, sang manajer sekaligus sahabatnya, Frank (Christopher Plummer) memberikan sebuah kado berisi surat dari John Lennon untuk Danny. Surat dari sang idola yang telah lama tersimpan itu membuat Danny melakukan perjalanan untuk merubah hidupnya.

Semua orang akan mengalami rasa terkejut yang sama dengan Danny jika dihadapkan pada kondisi serupa. Mendapat surat personal dari seseorang yang menginspirasi mereka, dan baru menerima surat tersebut puluhan tahun kemudian disaat sang idola telah meninggal dunia. That's kind of "WOW" on so many levels. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Bisa saja hanya euforia sesaat yang beberapa hari kemudian sudah mereda, atau seperti Danny yang menjadikan surat tersebut sebagai turning point kehidupannya. Memiliki karakter utama seorang massive rockstar menjadi dasar menarik. Menarik untuk menilik bagaimana seorang bintang bereaksi akan kondisi tersebut. Tapi Dan Fogelman nyatanya membawa definisi "hidup baru" dalam film ini kearah yang begitu klise. Danny diceritakan pergi ke New Jersey untuk menemui puteranya, Tom (Bobby Cannavale) yang belum pernah ia jumpai. Disana ia menginap di sebuah hotel, berusaha membuat lagu baru (terakhir dilakukan 30 tahun lalu), kemudian bertemu dengan manager hotel, Mary (Annette Bening) yang memikat hatinya. This is basically just another cliche redemption movie.
Tapi apakah itu berarti Danny Collins adalah film yang buruk? Nyatanya jauh dari itu. Mungkin perjalanan karakternya klise, tapi bukan tidak perlu. Mari kita lihat seperti apa kehidupan Danny sebelum menerima surat dari Lennon. Daripada membuat karyanya sendiri, Danny hanya menyanyikan lagu buatan orang lain, merilis album "Greatest Hits" hingga volume ketiga, dan mendapat uang dari rangkaian tur. Seorang musisi yang selama 30 tahun tidak pernah menuangkan segala haratnya dalam membuat lagu pastinya jauh dari kata "puas" dan "nyaman". Kehidupan percintaannya pun tak bisa disebut lancar setelah tiga kali gagal dalam pernikahannya. Meski ia tampak bahagia berpacaran dengan Sophie (Katarina Cas), perbedaan umur yang jauh jelas menjadi ganjalan. Ketiadaan keluarga semakin membuat Danny merasa sendirian. Satu-satunya orang yang bisa menjadi teman berbagi hanyalah Frank. Karena itu adalah sangat masuk akal bagi saya, saat di New Jersey ia melakukan pencarian terhadap ketiga hal tersebut (keluarga, cinta dan karya). 
Film semacam ini harus berhasil membuat penonton bersimpati pada karakternya, karena sepanjang durasi kita akan dibawa mengikuti perjalanan sang karakter memperbaiki kehidupan dan menebus segala kesalahan yang ia lakukan. Danny jelas sosok yang simpatik. Tentu saja ia menjalani kehidupan liar, tapi penonton akan mudah memaafkan itu mengingat star syndrome adalah hal "biasa" bagi rockstar. Di samping itu kita melihat sosok Danny sebagai orang yang menyenangkan. Dia menyapa karyawan hotel dengan senyum lebar plus kalimat-kalimat menyenangkan, tidak pula berlagak layaknya bintang yang ingin dilayani. Kehadirannya mampu menghadirkan kesenangan dan tawa bagi orang di sekitarnya, termasuk penonton. Al Pacino jelas memberikan salah satu performa terbaiknya dalam beberapa tahun terakhir yang dipenuhi filmography buruk. Tiap senyuman dan gestur-gestur besar yang ia tunjukkan membangun atmosfer positif dengan begitu kuat. Lalu saat tengah breakdown, kita pun bisa mengasihani karakternya. Al Pacino dalam film ini bukan lagi Al Pacino tua yang aneh cenderung creepy. Mengingatkan pada sisi charming Downey Jr., tapi lebih memiliki hati.

Cerita yang klise membuat rangkaian konflik hingga konklusi amat mudah ditebak. Tapi itu tidak masalah, karena selain akting Al Pacino, Dan Fogelman juga piawai dalam mengkombinasikan drama hangat tanpa perlu dramatisasi berlebihan dengan percikan komedi yang meski tidak banyak tapi juga berperan mencairkan suasana. Permasalahan justru hadir saat Fogelman seringkali terburu-buru menggerakkan filmnya. Memang baik tidak berlama-lama tinggal di momen yang penonton pun tahu akan dibawa kemana, tapi terburu-buru berpindah juga bukan hal baik. Transisi konfliknya terlalu kasar. Sebagai contoh adalah bagaimana konflik Danny dan keluarganya dibawakan. Belum lama Tom memperkenalkan sang ayah pada puterinya, Hope (Giselle Eiseberg) sebagai "penjual musik", selang beberapa menit mereka sudah seperti satu keluarga bahagia. Tapi terburu-buru masih bisa saya maafkan. Alasan saya tidak memberikan nilai lebih pada film ini adalah konflik klimaks yang benar-benar dipaksakan. 

Saya tidak akan memberikan spoiler, tapi momen tersebut mengacaukan segala perjalanan yang dilakoni Danny. Sedari awal saya dibuat percaya bahwa diluar kebusukannya Danny adalah pria baik. Tapi klimaks itu justru menjadikan Danny sebagai total jerk. Semua itu hanya cara yang sangat malas dari naskah Dan Fogelman untuk memberikan jalan bagi konfliknya kembali muncul ke permukaan. Satu hal berkaitan dengan klimaksnya, "memangnya sebuah gig performance hanya menampilkan satu lagu?" dan "memangnya fans keberatan jika diantara lagu-lagu favorit mereka sang musisi menyempilkan satu lagu baru yang nuansanya berbeda dari ciri yang selama ini sudah ia usung?" Terlalu dipaksakan, malas dan bodoh. Sayang sekali. Film tidak harus menjadi high concept atau groundbreaking untuk menjadi bagus. Memaksimalkan kesederhanaan hangat dan menyenangkan terbukti jadi nilai lebih Danny Collins, yang juga menampilkan satu lagi akting mengesankan dari Al Pacino. Sayang, klimaksnya justru menjadi titik lemah.

Tidak ada komentar :

Comment Page: