TERMINATOR GENISYS (2015)

Tidak ada komentar
Setiap film pastinya (diharapkan) memiliki ciri sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Pembeda itu akan semakin vital pengaruhnya jika membicarakan sebuah franchise. Apapun bentuknya, entah cerita, karakter, tema, atau mungkin sekedar gimmick, ciri khas menjadi begitu penting dalam membangun franchise. Tidak perlu yang sifatnya besar. Satu hal kecil asalkan itu kuat pun sudah cukup. Sebagai contoh kita bisa membedakan antara Die Hard dengan Rambo yang sama-sama mengusung one man army sebagai penggerak cerita karena perbedaan sosok John McClane dengan Rambo. Keberadaan ciri tersebut memberikan jalur yang harus diikuti saat membuat sekuel, karena mengesampingkan hal itu sama saja menghilangkan jati diri. Perubahan boleh dibuat asal membawa kearah lebih baik dan tidak mengkhianati esensi dasar. Penonton bisa menerima saat Fast Five berubah dari racing movie kearah heist, karena tetap menampilkan kebut-kebutan mobil sebagai fokus utama. 
Terminator Genisys adalah usaha membangkitkan suatu franchise yang sesungguhnya tidak memiliki banyak hal tersisa untuk dieksplorasi. Salvation yang dirilis enam tahun lalu sebenarnya sudah memberikan arah baru dengan berfokus pada perjuangan John Connor di masa depan, tapi karena respon negatif, maka merupakan hal riskan untuk melanjutkan kisahnya. Pada akhirnya untuk me-refresh cerita dan memberi kesempatan bagi Arnold Schwarzenegger kembali sebagai Terminator, dilakukanlah upaya yang saat ini tengah menjadi tren di Hollywood: soft-reboot. Metode ini sebenarnya efektif untuk memberi awalan baru tanpa harus sepenuhnya melupakan/menuturkan lagi semua yang selama ini sudah dibangun. X-Men: Days of Future Past dan Jurassic World adalah dua contoh yang berhasil. Genisys mengambil langkah mirip dengan film yang disebut pertama, yakni memanfaatkan aspek perjalanan waktu dan alternate timeline. Filmnya dibuka dengan "recap" mengenai hal yang sudah kita tahu, mulai dari Judgement Day, hingga perlawanan manusia terhadap mesin yang dipimpin John Connor (Jason Clarke).

Manusia telah berada dalam tahap akhir pertempuran dimana tinggal selangkah lagi Skynet berhasil mereka kalahkan. Skynet yang tidak tinggal diam mengirim sejumlah Terminator untuk membunuh ibu John, Sarah Connor (Emilia Clarke) di tahun 1984. Tidak tinggal diam, John mengirim tangan kanannya, Kyle Reese (Jai Courtney) untuk melindungi sang ibu. Tentu saja kita sudah mengetahui apa yang akan terjadi, karena semua itu adalah plot bagi film pertama yang rilis 31 tahun lalu. Kyle akan melindungi Sarah, keduanya saling jatuh cinta, kemudian lahirlah anak mereka, John Connor. Penonton berada dalam posisi yang tidak jauh berbeda dengan Kyle saat berekspektasi bakal melihat Sarah versi remaja yang masih polos dan lemah. Tapi sesampainya di masa lalu kita mendapati Sarah sudah mengetahu segala hal tentang Skynet, kedatangan Kyle, John sebagai pemimpin perlawanan, intinya segala hal yang seharusnya belum ia ketahui. Bahkan ia sudah 10 tahun hidup bersama T-800 (Arnold Schwarzenegger) yang membantu Sarah mempersiapkan takdirnya kelak.
Penjelasan mudahnya adalah, Kyle Reese tiba di alternate timeline yang berbeda dari masa lalu yang ia tahu. Masa lalu berubah, nasib karakter berubah, begitu juga masa depan. Bagaimana itu bisa terjadi? Film ini memberikan jawaban yang sesungguhnya tidak menjelaskan apapun alias "ngeles". Naskah yang ditulis Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier asal memasukkan versi alternatif sebagai langkah mudah untuk merubah cerita seenaknya tanpa mempedulikan bagaimana semua itu bisa terjadi. Tentu saja saya tidak mengharapkan sesuatu yang masuk akal disini, tapi layaknya X-Men: Days of Future Past, setidaknya tidakkah mereka bisa berusaha lebih keras memberikan pemaparan? Penggunaan alternate timeline hanyalah alasan permisif yang sulit diterima untuk bisa berbuat sesuka hati dalam menyusun cerita tanpa peduli akan semua yang sudah dibangun oleh Terminator selama ini. Contohnya, jika ada yang bertanya "kenapa T-1000 (Lee Byung-hun) bisa ada di tahun 1984 padahal seharusnya ia baru muncul setelah John lahir?", saya yakin orang-orang dibalik film ini akan menjawab dengan enteng "karena masa lalu sudah berubah."

Jelas menjadi sebuah kesalahan disaat film ini bermain-main dengan tema perjalanan waktu dan alternate timeline secara asal-asalan seperti ini. Tapi "dosa" yang lebih besar adalah Genisys melupakan esensi dari Terminator franchise. Esensi yang mana? Hampir semuanya. Sedari awal tema perjalanan waktu sudah diusung, namun satu hal penting adalah fakta bahwa seperti apapun usaha yang dilakukan, masa depan tidak akan bisa dirubah. Fakta tersebut turut diperkuat oleh twist ending pada film ketiganya, Rise of the Machine. Tapi film ini mengambil langkah yang berlawanan. Lagi-lagi hal itu dilakukan dengan memanfaatkan versi alternatif dari masa lalunya. Langkah tersebut jelas memperlihatkan bagaimana para pembuat filmnya tidak menghormati intelegensi penonton. Seolah dengan menyuguhkan versi masa lalu dan masa depan yang berbeda mereka terlihat tidak mengutak-atik konsep di atas. 
Kesalahan berikutnya adalah saat Genysis melucuti aura "horor" yang selama ini lekat dengan Terminator, entah horor yang dihasilkan oleh kejar-kejaran dengan robot mengerikan, atau horor dari penggambaran kondisi masa depan yang depresif, penuh kehancuran dan tanpa harapan. Saya tidak mengharapkan kengerian seperti yang dimunculkan James Cameron dalam film pertama. Cukup hadirkan suasana kelam akibat Skynet saja sudah cukup. Namun Genysis berusaha sekuat mungkin untuk disukai oleh penonton secara lebih luas. Caranya dengan membuat tone film lebih ringan lewat sentuhan komedi tidak lucu yang mayoritas berasal dari interaksi kaku antara T-800, Sarah dan Kyle. Sesekali melihat kekakuan Arnold dalam berdialog itu masih menghibur, tapi tidak jika terlalu sering. Emilia Clarke dan Jai Courtney pun kurang piawai saat harus menangani momen komedik di tengah-tengah adegan serius. Semakin menjauh dari atmosfer itu saat ending-nya menawarkan konklusi bahagia yang membuka opsi bagi sekuel secara dipaksakan. Kenapa dipaksakan? Karena daripada menyisakan cerita lebih untuk dieksplorasi, film ini hanya memakai kalimat "perjuangan belum usai", seolah menandakan hasrat akan sekuel (baca: uang lebih banyak) tapi bingung akan dibawa kemana lagi ceritanya.

Hilang pula aura perjuangan berbalut drama emosional yang selalu menghiasi franchise ini. Bahkan Salvation yang selama ini dianggap paling lemah pun masih memiliki semangat perjuangan dalam ceritanya. Disini saya tidak pernah merasa diajak untuk memahami apalagi merasakan apa yang diperjuangkan oleh karakternya. Kyle Reese diutus untuk melindungi Sarah Connor, tapi setelah masa lalu berubah kemudian apa? Filmnya kebingungan memaksimalkan ceritanya karena kerumitan alternate timeline yang mereka pun kebingungan merangkainya. Hubungan antara T-800 dengan Sarah dimaksudkan selayaknya ayah dan anak, tapi tidak pernah ada ikatan emosional kuat. Begitu pula disaat Sarah mengetahui John yang seharusnya ia persiapkan sebagai harapan terakhir umat manusia berubah menjadi harapan terakhir pihak mesin. Karakternya tidak ada yang berhasil mencuri perhatian. Sarah dan Kyle lebih terasa menyebalkan lewat pertengkaran penuh kengototan mereka daripada memberikan hubungan kuat. John lebih parah, disaat karakternya di-twist secara "ngawur" tanpa transformasi yang memuaskan. Sedangkan Arnold sebagai T-800 sudah melakukan hal terbaik yang menjadi bakatnya, yaitu berakting sedatar mungkin (it's a praise, by the way).

Genisys melupakan segala faktor penting yang menjadi dasar film-film Terminator, namun sesungguhnya sebagai sajian aksi blockbuster film ini cukup menghibur. Alan Taylor terbukti punya kapasitas untuk menggarap rentetan aksi yang eksplosif. Baku hantam berhasil tersaji brutal, memanfaatkan karakter Terminator yang tidak bisa merasakan sakit dan tanpa batasan fisik. Sehingga mau sekeras dan segila apapun Taylor mengemas filmnya, penonton tetap bisa menikmati. Ledakan demi ledakan pun hadir menggelegar, sebagai bukti pemanfaatan bujet $170 juta dengan cukup efektif. Paling tidak Alan Taylor tahu bagaimana mengemas adegan aksi penuh ledakan yang tidak membuat penontonnya merasa pusing dan kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Penggunaan CGI pun cukup efektif meski sesungguhnya semua efek yang hadir dalam film ini khususnya T-1000 yang bisa berubah menjadi benda cair hanya akan membuat kita semakin terpukau pada kehebatan James Cameron yang puluhan tahun lalu sudah bisa menyajikan hal serupa.

Verdict: The action sequences are very entertaining, but as a part of "Terminator Franchise", this movie pretty much ruined everyhting from the substance, plot continuity and characters, just for the sake of more money. The characters are often talk about blow something up, and apparently that's the only thing that "Genisys" is good at.

Tidak ada komentar :

Comment Page: