THE NIGHTMARE (2015)

Tidak ada komentar
Dulu saya cukup sering mengalami apa yang orang Jawa (saya tidak tahu sebutan di daerah lain) bilang "ketindihan", atau dari bahasa lebih scientific disebut sleep paralysis. Salah satu yang paling mengerikan terjadi kurang lebih tiga tahun lalu. Seluruh tubuh tidak bisa digerakkan (gejala standar), kemudian badan merinding membuat pikiran saya mengasosiasikan bahwa ada kehadiran makhlus halus di dalam kamar, hingga tiba-tiba saya seperti berada di tengah hutan. Kondisi tubuh masih tidak bisa digerakkan, tidak bisa pula berteriak. Mulailah terdengar suara aneh yang menyuruh untuk melihat kearah semak-semak tepat di depan saya. Semakin lama pandangan terfokus kesana, semakin saya merasa ada suatu hal mengerikan di baliknya. Lalu mendadak sepasang mata berwarana merah menyala tampak dari balik semak-semak diiringi suara teriakan menyayat layaknya scoring film Insidious. Saya pun terbangun. Mungkin hampir tiap orang pernah mengalami itu meski detail yang dirasakan atau dilihat berbeda. Lewat The Nightmare, Rodney Ascher merangkum cerita dari delapan narasumber yang sering mengalami sleep paraylisis kemudian ia visualisasikan.

Reka ulang yang dilakukan Ascher menjadikan dokumenter ini kental dengan aura horor. Bahkan pada akhirnya The Nightmare jauh lebih berhasil sebagai horor murni daripada dokumenter yang berfungsi melakukan penggalian terhadap sebuah isu. Sama seperti karya Ascher sebelumnya yaitu Room 237, tidak ada satupun pakar dari bidang bersangkutan yang memberikan keterangan. Segala informasi yang membentuk narasi, murni berasal dari cerita delapan orang narasumbernya. Hal tersebut menjadikan filmnya kurang memiliki pegangan dalam eksplorasi. Meski berjumlah cukup banyak, orang-orang ini berasal dari pihak yang sama, yakni mereka dengan sleep paralysis. Pada akhirnya meski pengalaman masing-masing berbeda, sudut pandang yang dimunculkan kurang lebih sama. Tidak peduli walaupun ada yang memakai perspektif agama dan ada pula yang sains, semuanya memberikan penuturan serupa: their sleep paralysis are beyond explanation. Lalu apa? 
Tidak banyak hal baru yang bisa penonton ambil lewat film ini. Keseluruhan 90 menit film ini tidak ada bedanya dengan obrolan yang terjadi saat tengah duduk bersama teman-teman kita membicarakan pengalaman mistis. Menyenangkan, mengerikan dan membuat kita ingin mendengar lebih. Tapi semua itu hanya cerita yang subjektif tanpa ada penyeimbang dari sumber lain. Kita tidak tahu apakah narasumber ini menyatakan 100% kebenaran. Bisa saja mereka memberi bumbu, bisa saja semuanya kebohongan, atau bisa saja adalah kebohongan yang tidak mereka sadari. Sebagai contoh, salah satu narasumber menceritakan pengalamannya didatangi dua makhluk mirip alien saat usianya masih 1,5 tahun. Seseorang bisa saja mengingat sebuah memori yang kurang tepat atau bahkan sama sekali berbeda untuk kemudian secara tidak sadar mereka percayai sebagai sebuah kebenaran. Apalagi pengalaman itu diceritakan terjadi puluhan tahun lalu saat masih balita. Miskonsepsi memori amat mungkin terjadi. 
Apakah The Nightmare masih bisa disebut penggalian lebih dalam akan sleep paralysis? Bagi saya tidak. Daripada menggali lebih dalam, film ini coba menggali di lebih banyak lubang tanpa kedalaman yang berarti. Tujuan Rodney Ascher memang hanya menghimpun sebanyak mungkin cerita, tanpa menciptakan polemik maupun pencerahan terhadap objek utamanya. Seperti Room 237, kita sebagai penonton hanya diajak mendengarkan cerita subjektif yang tidak bisa lagi diganggu gugat. Mereka tenggelam dalam cerita mereka, begitu percaya akan apa yang mereka yakini, tak ubahnya seorang tokoh agama radikal. Saya sama sekali tidak menyatakan segala omongan mereka itu bohong. Karena salah satu cerita narasumber hampir sama persis seperti yang saya deskripsikan di atas. Saya termasuk yang percaya bahwa sleep paralysis secara medis memang ada, tapi "ketindihan" secara mistis juga ada. Dua buah fenomena yang serupa tapi tak sama. Masalahnya, Rodney Ascher tidak memberikan sudut pandang lain untuk memperkuat statement yang diusung filmnya. Bagai sebuah karya tulis yang mengambil referensi dari ocehan pengguna media sosial.

The Nightmare adalah dokumenter lemah, tapi justru merupakan horor yang cukup efektif. Sebagai kisah nyata yang didokumentasikan tanpa dasar teori kuat, film ini bagaikan fiktif. Tapi dipandang sebagai fiktif, pengemasannya sebagai dokumenter justru membuat film ini terasa nyata. Ironis memang, tapi The Nightmare justru berhasi memunculkan apa yang seringkali gagal dilakukan mockumentary horror dewasa ini, yaitu menciptakan kengerian yang seolah-olah sungguh terjadi. Pengemasan Ascher bagai membawa kita kedalam mimpi buruk. Atmosfer eerie, rasa seperti melayang di kehampaan, kemunculan bayangan hitam misterius yang perlahan mendekat, suara-suara chaotic nan disturbing, lengkap dengan lighting remang didominasi neon merah-biru, setidaknya film ini sukses mewujudkan situasi sleep paralysis dengan meyakinkan. Terasa menakutkan, apalagi jika pengalaman anda termasuk yang divisualisasikan oleh film ini. Bagi saya sendiri, kemunculan bayangan hitam berwarna merah sukses membuat bulu kuduk berdiri, rasa tidak nyaman hadir, dan seketika saya menengok sekeliling ruangan berharap tidak ada sosok mengerikan berdiri disana.

Tidak ada komentar :

Comment Page: