OOPS!! ADA VAMPIR (2016)

5 komentar
Penciptaan karya berbentuk tribute membutuhkan pemahaman menyeluruh akan materi yang bakal diberi penghormatan. Bahkan sudah jadi aturan tak resmi bahwa sang pencipta karya haruslah menggemari objek itu. Tanpa pemahaman dan rasa cinta akan materinya, jangankan penghormatan, karya itu bisa-bisa justru mencoreng nama. Oops!! Ada Vampir karya sutradara Arie Azis ini jadi contoh ketika tribute dibuat hanya bermodalkan pengetahuan dangkal sehingga aplikasi terhadap ciri objek yang coba dihormati berakhir di tataran permukaan. Alih-alih memberi tahu penonton kenapa film jiangshi (Vampir Cina) amat menarik hingga sempat berada di puncak popularitas pada tahun 80-an sampai pertengahan 90-an, film ini justru merendahkan genre tersebut.

Oops!! Ada Vampir disajikan lewat alur maju-mundur tanpa substansi maupun alasan estetika kuat kecuali sekedar demi gaya belaka. Intinya, seorang pemuda bernama Rendy (Rizky Alatas) menerima pekerjaan membawa jenazah pria tua (Henky Solaiman), ayah dari Aming (Iszur Muchtar). Rendy melakukan itu demi mencuri hati Aming, karena diam-diam ia tengah berpacaran dengan puteri Aming, Meylan (Cassandra Lee). Tapi sebuah kecelakaan membuat jenazah itu terlempar dari peti, disinari cahaya bulan purnama, dilompati kucing hitam dan akhirnya menjelma menjadi sesosok vampir ganas. Kini semua bergantung pada Suhu Acong (Billy Kheizer) sang pengusir vampir beserta asistennya, Mongol (Mongol Stres), untuk membasmi vampir tersebut.
Kenapa saya bisa menyebut aplikasi ciri jiangshi di sini dangkal, karena Arie Azis hanya asal memasukkan tanpa berusaha mengemasnya secara menarik. Kertas mantera kuning? check. Menahan nafas? check. Adegan aksi pendeta melawan vampir berhiaskan api dan cahaya? check. Karakter bodoh sebagai comic relief? check. Hampir semua disertakan namun sekedar ditumpahkan begitu saja tanpa diolah lebih lanjut. Ibarat masakan, bahan bakunya sudah lengkap tapi asal dimasukkan ke dalam penggorengan tanpa tahu tata urutan, timing dan sebagainya. Sayang sekali, padahal dengan modal unsur jiangshiOops!! Ada Vampir bisa berakhir sebagai tontonan unik sekaligus menyegarkan.

Unik, sebab filmnya punya kebebasan menciptakan dunia fantasi semau mereka. Keberadaan vampir di Indonesia lengkap beserta para pengusirnya? Sah-sah saja, bahkan sebuah poin plus dari segi kreatifitas. Dari sini, tata artistik semisal setting, kostum, musik bahkan karakter sekalipun dapat terasa menarik jika penerapan aspek Tionghoa berjalan baik. Sayangnya, daripada keunikan estetika, Arie Azis justru menciptakan dunia komikal konyol seperti saat Meylan yang mengenakan baju ala cheongsam justru curhat memakai Bahasa Inggris. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan kala Suhu Acong berubah menjadi manusia saiya super di klimaks, lengkap dengan kemunculan siluet Son Goku (ini serius). Apa hubungan Goku dan Vampir? Bukankah Dragon Ball berasal dari Jepang? Bukan berarti selipan kultural lain haram, namun totalitas eksplorasi bakal menambah kekuatan setting, karakter, juga cerita. Ada kebingungan budaya di film ini.
Film jiangshi semestinya seram sekaligus lucu di saat bersamaan. Saya ingat pernah melihat adegan suatu film memperlihatkan dua karakternya bernafas melalui tiap ujung bambu demi bersembunyi dari kejaran vampir. Saya tertawa melihat tingkah keduanya, tapi juga merinding tatkala sang vampir perlahan mendekat. Begitulah semestinya jiangshi. Karakter boleh bodoh, tapi tetap likeable. Bandingkan dengan tokoh-tokoh film ini yang kebodohannya sungguh annoying, khususnya Rendy. Usaha menyiratkan kisah transformasi protagonis dari pecundang menjadi pahlawan gagal total, karena sampai akhir Rendy tak berbuat apapun, hanya bisa marah, menangis, lalu merengek, juga patut disalahkan atas segala kejadian buruk.

Selain kelucuan, kengerian pun gagal tercipta akibat kurang piawainya Arie Azis membangun intensitas. Adegan seram itu bukan asal memasukkan musik eerie. Framing, tempo pergerakan kamera, juga objek di layar amatlah berpengaruh. Pada film ini, kamera hanya asal menangkap momentum tanpa peduli apakah nampak seram atau tidak. Henky Solaiman sesungguhnya tampil lumayan sebagai vampir, masalahnya pada mayoritas bagian -terlebih mendekati akhir- wajah sang aktor hanya disematkan memakai CGI buruk akibat penggunaan pemeran pengganti saat adegan aksi. Bagaimana saya bisa ketakutan saat wajah vampir tidak statis dan berubah-ubah ukuran? Hancurlah potensi Oops!! Ada Vampir, film vampir yang bahkan kurang banyak menghadirkan teror vampir dan kerap berpindah fokus pada romansa Rendy, si protagonis pecundang.


Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

5 komentar :

Comment Page:

THE SOUND OF MUSIC (1965)

13 komentar
(Tulisan ini mengandung SPOILER)
Masihkah perlu review untuk The Sound of Music dibuat ketika hampir semua orang pernah menontonnya dan secara consensus ditasbihkan sebagai salah satu film -tidak hanya musikal- terbaik sepanjang masa? Sebelumnya saya tidak merasa itu perlu, hingga pengalaman menonton untuk ketiga kali merubah keputusan tersebut. Tentu kita semua sepakat bahwa nomor-nomor seperti My Favorite Things, Do-Re-Mi atau The Sound of Music adalah klasik penuh sihir dan mampu membuat siapapun ikut bernyanyi. Memikat pula jajaran cast khususnya Julie Andrews berkat performa energetic-nya. Tapi lebih dari itu, di masa sekarang, film garapan sutradara Robert Wise ini tak hanya sebuah sajian bagus, namun juga penting. 

Kisahnya sederhana, bahkan termasuk cheesy pula predictable. Maria (Julie Andrews) adalah wanita muda dengan impian menjadi biarawati, namun beberapa suster menganggapnya terlalu ceroboh dan kurang menjaga sopan santun. Maria kemudian ditugaskan menjadi pengasuh bagi ketujuh anak Captain von Trapp (Christopher Plummer), mantan anggota angkatan laut Austria yang sepeninggal istrinya jadi bersikap keras pada anak-anaknya, memperlakukan mereka layaknya pasukan militer. Alur sederhana itu turut dipaparkan dalam naskah yang tidak seberapa kuat, di mana perubahan sikap karakter acapkali hadir amat cepat bak tanpa gradasi. Tebukti naskah garapan Ernest Lehman tak termasuk di antara 10 nominasi Oscar milik film ini.
Mungkin akan banyak penonton masa kini menganggap The Sound of Music terlalu naif. Bagaimana tidak? Canda tawa karakternya hadir hanya karena menyanyikan lagu tentang notasi sambil berlarian di padang rumput. Atau kalau mau bicara lebih luas, banyak permasalahan -termasuk perubahan sikap karakter- diselesaikan oleh nyanyian. Pemikiran "hidup tidak sesederhana itu" wajar saja mengisi pikiran beberapa penonton. Justru dari situ pendapat saya mengenai betapa pentingnya film ini pada masa sekarang bermula. Kita sudah terlampau rumit memandang hidup sehingga kebahagiaan pun tak lagi bisa datang lewat hal-hal simple. Kita sudah merasa cerdas, mengutamakan otak demi menyimpulkan baik/buruk suatu film, tapi melupakan rasa dan memandang rendah paparan klise.

Saya dibuat meneteskan air mata saat pertama kali menyaksikan adegan Maria dan ketujuh anak Captain von Trapp bertamasya sambil menyanyikan Do-Re-Mi bersama-sama. Bukan karena adegan itu menyedihkan, tapi sebaliknya, saya tersentuh melihat wajah sumringah aktornya melantunkan lirik-lirik acak yang sejatinya nonsensical. Pemandangan tersebut seketika membawa kebahagiaan. Adegan lain meninggalkan kesan serupa, sebut saja kala Maria mengagumi indahnya pegunungan, bernyanyi mengenai hal-hal favoritnya, atau ungkapan cinta monyet Liesl (Charmian Carr) di bawah guyuran hujan malam hari. Melihat semua itu saya terkesima. Sungguh bahagia tidak sukar didapat asal kita bisa memandang positif kehidupan, menikmatinya, lalu tertawa ditemani orang-orang terkasih.
Terdapat dua aspek penting lain dalam cerita untuk disimak atas kaitannya dengan kondisi dunia sekarang ini. Pertama peran Mother Abbess (Peggy Wood) membantu Maria menemukan kemantapan hatinya. Tiada pernyataan bahwa pilihan mengabdi pada Tuhan sebagai biarawati merupakan keharusan. Satu-satunya pesan adalah "cinta". Dalam suatu adegan, Mother Abbess berkata bahwa cinta antara pria dan wanita juga suci. Rasa cinta kepada Tuhan bukan berarti membuat seseorang bisa membutakan dirinya terhadap cinta akan sesama. Bandingkan dengan kondisi saat ini di mana agama justru kerap menyebarkan pertikaian alih-alih cinta dan perdamaian. 

Aspek kedua berupa hadirnya cengkeraman Nazi di paruh akhir. Kehadiran Nazi merupakan perlambang bagaimana perang menghancurkan kebahagiaan bahkan merusak percintaan yang tadinya tampak begitu manis. Akhirnya kedua aspek itu bersinggungan tatkala di klimaks, para biarawati membantu keluarga von Trapp melarikan diri dari kejaran Nazi. Bahkan dua di antara mereka rela berbuat "dosa" demi menghalangi gerak para tentara. Hal itu menunjukkan bagaimana semestinya para pemeluk agama mengulurkan tangan membantu korban peperangan, bukannya menyulut perang sendiri. 

Memang film ini jauh dari kata sempurna. Seperti yang telah saya ungkapkan, naskahnya kerap terburu-buru di ranah pengembangan karakter. Tapi sudah waktunya kita memandang The Sound of Music lewat perspektif lain. It's a great musical film, namun lebih dari itu juga memiliki esensi penting bagi kehidupan kita dewasa ini. Kali ini saya tidak menyinggung sisi teknis filmnya, karena The Sound of Music tak memerlukan lagi pembahasan perihal itu. Pada era di mana kompleksitas diagungkan dan kebahagiaan serasa begitu mahal, menjadi wajib hukumnya menyimak film ini. Jika anda tak tergoda ikut bernyanyi atau setidaknya menyunggingkan senyum menyaksikan tawa bahagia tokoh-tokohnya, mungkin sudah waktunya mengkhawatirkan kesejahteraan hati anda. If there's a movie that could restores the humanity and spreads the love, 'The Sound of Music' is definitely it. 

13 komentar :

Comment Page:

DILARANG MASUK..! (2016)

22 komentar
Akhirnya saya berkesempatan menulis review untuk film arahan sutradara legendaris Indonesia: Nayato Fio Nuala a.k.a Koya Pagayo a.k.a Ian Jacobs a.k.a Pinkan Utari! Selama 13 tahun berkarir, beliau (saya harus sopan pada legenda hidup) telah menghasilkan total 78 film! Kalau dibuat rerata, tiap tahun beliau ini punya enam film, bahkan di 2012 dan 2014 sempat menyentuh sembilan film! Dilarang Masuk..! sendiri merupakan film pertama beliau tahun ini dan sudah memberikan statement lantang bahwa beliau masik belum berubah, konsisten menjaga kualitas filmnya. Saya sempat khawatir disaat perfilman Indonesia perlahan bergerak ke arah lebih baik beliau juga ikut berubah. Untungnya tidak. 

Kalimat pembuka berisi informasi bahwa film ini diangkat dari kisah nyata jadi bukti beliau masih sama. Awalnya sulit mengolah bagian mana dari Dilarang Masuk..! yang didasari kisah nyata. Coba tengok sepintas alurnya: Enam pelajar SMA nekat memasuki lantai atas gedung sekolah mereka untuk mencari seorang siswi yang menghilang, padahal lantai itu sudah ditutup. Kenapa mencari di sana? Karena menurut kesaksian salah seorang dari mereka, sang siswi terakhir terlihat di lantai atas. Keenam remaja ini dengan penuh keberanian melakukan pencarian di malam hari. Kenapa malam hari? Karena kalau menunggu siang hari terlalu lama. Kenapa tidak lapor ke orang tua siswi itu supaya pencarian dilakukan oleh polisi saja? Begitu banyak pertanyaan.
Saya sudah negative thinking kalau Baginda Nayato membohongi penonton dengan embel-embel "kisah nyata", karena sekilas naskah karya Fatimah Fahim dipenuhi kebodohan laku karakter, plot juga dialog. Sampai saya sadar, maksud "kisah nyata" di sini tidaklah merujuk pada satu kejadian spesifik, melainkan eksplorasi terhadap isu sosial masa kini, yaitu seringnya remaja melakukan kebodohan sembrono. Hal ini menjawab berbagai pertanyaan pengganggu pikiran saya. Karena tiap ada kebodohan hadir, semua menjurus ke satu kesimpulan berbunyi "begitulah remaja". Seperti ketika mereka dipergoki seorang guru, daripada jujur berkata mencari teman dan berharap sang guru memberikan bantuan, mereka justru beralasan sedang uji nyali. Bodoh kan? Karena begitulah remaja. 

Seolah belum cukup, film ini masih sempat menyelipkan penggalian untuk labilnya remaja dalam menentukan identitas mereka, khususnya terkait budaya. Ada karakter yang entah kenapa selalu bicara memakai bahasa Thailand. Ada pula yang digambarkan sebagai pecinta Korea tapi di kamarnya terpampang poster The Beattles, bukan SNSD. Bukankah generasi muda zaman sekarang seperti ini? Labil menyikapi jati diri dan budaya mereka. Mengejutkan memang, bagaimana kemampuan Dilarang Masuk..! mengeksplorasi banyak isu sembari tetap meluangkan waktu guna menakut-nakuti penonton.
Bahkan unsur horor dan komedi pun masih digunakan sebagai sarana menyampaikan kritik terhadap remaja. Seperti biasa, Baginda gemar sekali memunculkan penampakan tiap beberapa menit sekali lengkap dengan dentuman musik yang akan membuat konse Metallica terdengar bak bisikan lembut penuh kasih sayang seorang pria pada kekasihnya. Kali ini teknik tersebut jadi esensial karena mewakili kehidupan remaja. Saat tengah berkumpul, mereka cenderung heboh dan berisik, sama seperti penampakan hantu film ini. Komedinya pun serupa. Terkesan bodoh, tak lucu, norak, dan out of place. Saya tidak tertawa, karena bagi saya leluconnya annoying. Tapi ingat-ingat lagi, bukankah waktu SMA dulu kita semua selalu berlaku norak dan annoying demi membuat suasana jadi lebih menyenangkan? Itulah remaja kawan-kawanku.

Akhirnya ketika film ini ditutup oleh twist ending yang entah datang dari mana, saya tidak lagi berpikiran buruk bahwa itu merupakan kekurangan naskahnya. Jangan sekalipun meragukan kapasitas Baginda Nayato dalam mengemas filmnya. Jika anda belum pernah merasakan sensasi menyaksikan film beliau di bioskop, cobalah Dilarang Masuk..! Pada awalnya mungkin bakal terasa sakit kepala dan keluar sedikit cairan dari telinga. Tapi itu hanya efek sesaat tatkala hipnotis Baginda mulai merasuki pikiran anda. Setelah itu anda akan terbuai, melayang dan mampu memandang semua hal termasuk filmnya secara positif. Saat menulis review ini pun hipnotis Baginda masih bersemayam di otak dan hati saya. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

22 komentar :

Comment Page:

BATMAN V SUPERMAN: DAWN OF JUSTICE (2016)

40 komentar
Kehebohan massal terjadi tiga tahun lalu tatkala Zack Snyder mengumumkan bahwa lanjutan dari Man of Steel akan mempertemukan Superman dan Batman. This isn't just an ordinary blockbuster superhero movie. It's an event, or maybe even history. Bahkan menilik popularitas keduanya, Batman v Superman: Dawn of Justice masih jauh lebih besar dibanding The Avengers sekalipun. Namun seiring waktu berjalan, antusiasme perlahan berubah menjadi kekhawatiran karena banyak faktor, sebutlah pergantian jadwal rilis, keraguan akan kapasitas Zack Snyder, sampai pilihan strategi promosinya. Sebagai batu pijakan untuk DC Extended Universe sekaligus jembatan menuju Justice League, beban berat diemban oleh film ini.

Melanjutkan peristiwa pada Man of Steel, dikisahkan Bruce Wayne (Ben Affleck) merasakan adanya bahaya atas kehadiran Superman (Henry Cavill) dengan kekuatan tanpa batasnya. Terlebih lagi banyak karyawan Bruce tewas saat Superman bertarung melawan Zod. Berawal dari situ, ia memulai penyelidikan terhadap si manusia baja. Superman sendiri tengah menghadapi dilema tatkala banyak pihak mengecam aksinya yang telah banyak memakan korban jiwa warga sipil. Keduanya pun akhirnya saling mencari guna saling menghentikan. Mereka tidak sadar bahwa di balik perseteruan itu, Lex Luthor (Jesse Eisenberg) menyimpan sebuah rencana mematikan.

Terdapat banyak pemicu keresahan bagi film ini, di mana salah satunya cerita yang penuh sesak. Tidak hanya gladiator match antara dua titular heroes, Batman v Superman: Dawn of Justice juga berisi evil plan milik Lex Luthor serta membangun jembatan untuk DC Extended Universe ke depan khususnya Justice League (dirilis dalam dua part, 2017 dan 2019). Artinya akan bertebaran banyak karakter dan sub-plot. Sayangnya naskah garapan David S. Goyer (di-rewrite oleh Chris Terrio) gagal merangkai berbagai aspek itu secara rapih. Lebih dari 90 menit awal film menderita karena lompatan alur acak bak tanpa koherensi satu sama lain. Naskahnya seperti kumpulan to-do list, dengan Goyer dan Terrio hanya memastikan semua dimasukkan tanpa usaha menjadikannya satu kesatuan utuh.
Paruh pertama memang jadi kelemahan terbesar. Menengok treatment-nya (babak awal didominasi drama minim action) kentara adanya usaha memiliki kedalaman cerita plus karakter, bukan sekedar paparan aksi tanpa esensi. Berpijak pada niatan tersebut, kekuatan naskah merupakan keharusan, bukan lagi kebutuhan sekunder layaknya mayoritas blockbuster yang (hanya) mementingkan spectacle. Ada ambisi mengemas Dawn of Justice berisi gesekan ideologi dua tokoh utama alih-alih sekedar baku hantam, itulah mengapa porsi perkelahian fisik Batman dan Superman tak seberapa. Kekacauan naskah menghalangi tersampaikannya niatan itu. Lompatan alur random melucuti intensitas, sehingga ceritanya lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan. 

Eksplorasi karakter turut terkena dampaknya. Luthor misalkan. Sosoknya menyiratkan kompleksitas, punya motivasi lebih dari sekedar menciptakan kekacauan. Tapi apa tepatnya? Ambisi sebagai ilmuwan? Menganggap Superman ancaman? Atau apa? Hal ini urung dijelaskan. Untuk Clark/Superman masih nyata kesulitan membuatnya lebih relatable di zaman sekarang sambil tetap mempertahankan sisi "simbol harapan". He's not a leader. He's not the most likeable. He's just the strongest one. Alhasil sulit bagi siapapun bisa bersimpati apalagi berpihak padanya.

Sedangkan Bruce, sisi paranoidnya tidak digali cukup dalam. Apalagi hanya selang beberapa menit setelah luapan amarah akibat dendam selama dua tahun, Bruce tiba-tiba menganggap Superman sebagai teman, lalu berjanji tidak mengecewakannya. So rushed, it's so laughableSome aspects in this movie are indeed laughable with a lot of unintentionally funny moments from character's behavior (what's Lois Lane doing in the climax?) or the dialogues. Remember the line "tell me, do you bleed? You will" from the teaser? It sounds bad-ass right? Well, I laughed when Batman said that in the actual movie. 
Cukup membicarakan keburukan naskah, karena Zack Snyder membuktikan ia masih capable dalam menghantarkan adegan aksi menghibur terutama saat klimaks. Walau kesan over-the-top akibat CGI dominan kurang selaras dengan pembangunan tone serius pada babak sebelumnya, kita patut bersyukur Zack mengemas klimaksnya secara "cartoonish". Setidaknya setelah hampir dua jam melelahkan, penonton akhirnya diajak bersenang-senang lewat cara yang total menyenangkan. Zack sudah belajar atas kesalahannya di Man of Steel. Adegan aksi film ini bergerak cepat, (surprisingly) brutal dan bombastis, tapi mudah diikuti tanpa harus membuat penonton sakit kepala. Belum lagi scoring karya Hans Zimmer sukses memacu adrenaline. Hanya saja durasinya terlampau singkat dan nihil ketegangan pula dinamika antara Trinity (Superman-Batman-Wonder Woman). Fun, but not intense or epic enough.

Bicara soal klimaks, bukan Batman atau Superman pencuri perhatian terbesar melainkan Wonder Woman. Bahkan sedari kemunculan awalnya di medan pertempuran -diiringi scoring "Is She With You?"- saya dan beberapa penonton lain seketika bersorak. Meskipun tampil tak seberapa lama, ketangguhan Amazon Princess ditampilkan secara maksimal ketika ia mampu meladeni kebuasan Doomsday. Adegan tatkala ia terjatuh lalu tersenyum seolah berujar "this is fun" jadi favorit saya. Here's the biggest superheroine at her best! Gal Gadot jelas meruntuhkan tanggapan miring kala ia pertama di-cast dulu. Dia tampak tangguh, bahkan ketika tidak memakai kostum Wonder Woman sekalipun.
Scene stealer lain adalah Jeremy Irons sebagai Alfred Pennyworth. Alfred di sini bukan sekedar pelayan setia Bruce Wayne, ia adalah partner sekaligus ahli teknologi yang turut membantu aksi Batman. Irons membuat Alfred tampak dependable, partner sempurna bagi Batman. Ben Affleck sendiri punya pesona sempurna sebagai Bruce Wayne, meski patut disayangkan dangkalnya naskah menghalangi Affleck memamerkan kapasitas aktingnya lebih jauh. Tapi performa paling divisive berasal dari Jesse Eisenberg. People will either love him or hate him. Bagi saya aktingnya tidak buruk, hanya nihil substansi hasil kekeliruan naskah atau sutradara. Seolah Snyder and co. hanya ingin supaya Luthor seaneh mungkin supaya berbeda dari tipikal villain kebanyakan tanpa ada alasan berupa latar belakang karakter.

Mungkin beberapa dari anda akan menganggap saya terlalu serius menyikapi film superhero macam ini. Tapi tunggu dulu. Melihat bagaimana Dawn of Justice dikemas, jelas para pembuatnya ingin membuat sajian berisi kompleksitas pada tataran cerita. Di situ filmnya gagal. Klimaksnya memang sedikit mengobati, tapi setelah separuh jalan lebih dari total 152 menit diisi kekacauan, hiburan sesingkat itu tidak cukup sebagai penebusan. As one of the biggest movie event of all time, 'Batman v Superman: Dawn of Justice' is such a disappointment. Untung berkat cliffhanger pada ending serta menariknya tease bagi karakter-karakter Justice League lain, atensi saya cukup terenggut untuk menantikan kelanjutan DC Extended Universe. Mari berharap Suicide Squad dan film solo Wonder Woman berakhir memuaskan sebelum Justice League Part One rilis tahun depan.


Ticket Powered by: ID Film Critics

40 komentar :

Comment Page:

I SMILE BACK (2015)

4 komentar
Selalu akan muncul pertentangan dalam diri seseorang tentang "what I should do" dan "what I wanna do". Keharusan tercipta karena adanya tuntutan status atau norma. Seorang siswa harus belajar, orang tua wajib menjadi teladan bagi anak-anaknya, dan lain sebagainya. Walau tahu harus berbuat apa, tekanan hasrat pribadi serta ego menghalangi kita untuk menjalankannya. Gesekan batin seperti itu normal terjadi, namun akan lebih kompleks tatkala dialami oleh penderita mental illness khususnya depresi sekaligus anxiety berlebih. Situasi itu terjadi pada Laney Brooks (Sarah Silverman), karakter utama I Smile Back yang merupakan bentuk adaptasi novel berjudul sama karya Amy Koppelman (juga menulis naskah filmnya bersama Paige Dylan).

Sepintas, kehidupan Laney bersama sang suami, Bruce Brooks (Josh Charles) dan dua anak mereka tampak harmonis. Tinggal di pinggiran kota seharusnya menjauhkan keluarga ini dari kepadatan metropolitan, memberi banyak waktu membangun keintiman. Tapi nyatanya bukan itu yang Laney rasakan. Dia seorang alkoholik, tenggelam dalam adiksi drugs, juga acapkali mencemaskan hal-hal kecil. Poin terakhir kerap menciptakan perdebatan dengan Bruce. Laney turut terlibat perselingkuhan dengan Donny (Thomas Sadoski), suami teman Laney sendiri. Di satu sisi, Laney menyadari semua tindakan tersebut keliru mengingat statusnya sebagai istri sekaligus ibu dua orang anak. Namun ia pun kesulitan menjauhkan diri dari segala hal tersebut, menciptakan konflik batin yang menjerumuskannya ke lubang depresi.
I Smile Back menggunakan progresi alur sebagai sarana penggalian karakter. Ceritanya disusun oleh fragmen-fragmen selaku penggambaran pergulatan Laney teruntuk kondisinya, bukan narasi lurus berisi satu konflik besar. Alhasil kita bakal sering mendapati Laney berubah sikap. Sekali waktu ia nampak telah berubah, sebelum beberapa saat kemudian kembali menunjukkan kecemasan atau mengkonsumsi kokain lagi. Pemaparan itu bertujuan supaya penonton memahami inkonsistensi sang karakter sebagai bentuk pergumulan batinnya. Namun secara bersamaan, perpindahan alur cepatnya juga berujung membuat kisahnya tak tergali. Belum sempat saya terikat oleh satu momen, Adam Salky sudah memaksa berpindah ke momen berikutnya.
Sebenarnya Salky sangat kompeten dalam menyuguhkan adegan dramatis. Beberapa kali saya dibuat tertohok, merasa miris menyaksikan destructive behavior Laney seperti mencoba bunuh diri, seks dengan pria asing, masturbasi memakai boneka, hingga pertengkaran antara ia dan Bruce pada klimaks. Those scenes are powerful and well-crafted. Tapi akibat perpindahan alur terlampau cepat menjadikan karakter Laney terasa underdeveloped. Sulit memahami dari mana asal muasal gangguan mentalnya. Memang disebutkan hal itu bersumber dari masa lalu, atau tepatnya daddy issues saat ia kecil. Tapi bagaimana bisa sampai pada tingkatan seperti sekarang tak ada eksplorasi sebagai penjabaran menyeluruh. Durasi 85 menit sejatinya cukup andai tak terlalu banyak sisi dipaparkan khususnya menjelang akhir ketika semestinya tiap konflik sudah mulai mengerucut.

Tidak bisa disangkal, hal terbaik dalam I Smile Back adalah akting Sarah Silverman lewat keberhasilannya menjadikan Laney tampak benar-benar kacau. Penampilan Silverman merupakan bentuk totalitas melakoni adegan (terlebih saat fucked up situation) juga total embodiment, di mana baik secara physically maupun mentally, Silverman meresapi karakter peranannya dengan menyeluruh. Pada perhelatan Oscar lalu, semestinya Silverman, bukan Jennifer Lawrence yang mencatatkan namanya di jajaran nominee aktris terbaik. Kekacauan laku Silverman (in a positive way) selaras pula memperkuat nuansa depresif dan destruktif filmnya, walau sayangnya sering tercipta inkonsistensi tone akibat selipan dialog yang daripada memperkuat sisi sarkastik Laney justru merusak atmosfer film. Because I love how this movie constantly broke my heart with Laney's behavior.

4 komentar :

Comment Page:

MOONWALKERS (2015)

6 komentar
Debut Penyutradaraan Antoine Bardou-Jacquet ini dibuat berdasarkan teori kospirasi mengenai kepalsuan pendaratan Apollo 11 di bulan. Perdebatan mengenainya memang tak pernah berujung, di mana salah satu teori paling populer menyatakan peran Stanley Kubrick membuat video pendaratan palsu. Bagi anda yang asing akan teori ini, banyak pihak percaya bahwa NASA meminta sang sutradara membuat video palsu tersebut seusai melihat visi Kubrick pada 2001: A Space Odyssey. Tentu merupakan ide menarik untuk mengembangkan premis suatu film berdasarkan teori itu. Sayang, baik sutradara Antoine Bardou-Jacquet maupun Dean Craig selaku penulis naskah hanya tertarik menciptakan sajian trippy alih-alih mengeksplorasi kisahnya.

Seorang veteran perang Vietnam sekaligus agen CIA bernama Kidman (Ron Perlman) mendapat tugas dari atasannya supaya menyiapkan plan b terkait misi pengiriman Apollo 11. Rencana itu dibuat sebagai persiapan andai Apollo 11 gagal berfungsi. Kidman diutus mencari Stanley Kubrick di London untuk meminta keterlibatan sang sutradara membuat footage palsu. Tapi karena foto Kubrick miliknya rusak, Kidman justru ditipu oleh Jonny (Rupert Grint) yang mengaku bisa menghubungkannya dengan Kubrick. Jonny sendiri sejatinya hanyalah manager band yang gagal mengorbitkan artisnya dan malah terlilit hutang besar pada mafia lokal.
Berdasarkan premisnya, saya langsung terbayang pemaparan menarik akan proses penciptaan footage tersebut. Biasanya, film berisikan proses kreatif pembuatan film dapat terasa magical, tak peduli dipaparkan sebagai drama maupun komedi. Kenapa? Karena moviemaking adalah kegiatan penuh "sihir" berupa penciptaan karya seni bermodalkan imaji. Namun teori konspirasi itu berujung tempelan belaka guna memberi jalan bagi Antoine Bardou-Jacquet menumpuk kegilaan demi kegilaan. Praktis second act dan klimaks tak menyumbang apapun dalam eksplorasi cerita, melainkan sekedar parade aksi kekerasan dan momen psychedelic sebagai akibat konsumsi acid, ganja atau opium.
Bukan berarti semua itu tidak menyenangkan. Visualisasi saat Kidman tenggelam dalam dunia imajinasi seusai mengkonsumsi acid jelas memanjakan mata. Beberapa momen baku tembak penuh darah serta kepala pecah -tentu gunting sensor kerap mengambil alih- juga sama menghiburnya, begitu pula tingkah aneh para tokoh yang mayoritas berada di bawah pengaruh obat-obatan. It's pretty fun and unique, tapi Moonwalkers semestinya tidak sekedar "fun". Ini bukan cuma stoner comedy, ada cerita bahkan karakter kuat hanya berakhir sebagai tempelan belaka, termasuk sisi traumatis Kidman yang bernasib sama seperti premisnya, tak lebih dari pembuka jalan guna memunculkan trippy moment berupa halusinasi. Patut disayangkan mengingat baik Perlman maupun Grint telah berakting cukup bagus meski Kidman dan Jonny adalah tipikal tokoh yang tak asing lagi bagi mereka. 

Sebagai komedi, Moonwalkers juga kurang efektif memancing tawa. Apa yang dihadirkan memang gila, tapi timing kemunculannya amat predictable. Lebih dari sekali saya menemukan formula standar tatkala salah satu karakter menyatakan sikap "A" lalu sekejap kemudian adegan berpindah, menunjukkan tingkah berlawanan. Contohnya saat Kidman berkata bahwa sebagai agen CIA terlatih, ganja tak berpengaruh sedikitpun padanya. Sedetik kemudian, bisa ditebak bagaimana adegan berikutnya. Segila apapun suatu humor, jika timing-nya mudah dideteksi, efek kelucuan tidaklah maksimal. Di bawah pengaruh acid, Kidman terbuai oleh halusinasi, melupakan kewajiban pentingnya. Itu pula yang menimpa Moonwalkers. Terlalu berfokus menyuguhkan weird psychedelic imagery namun lalai akan premis potensialnya.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

6 komentar :

Comment Page:

WA'ALAIKUMSALAM PARIS (2016)

3 komentar
Sudahkah tidak ada harapan bagi film religi tanah air? Bermodalkan nama Ifa Isfansyah dan twist pada genre tersebut, harapan sempat muncul untuk Pesantren Impian sebelum akhirnya berujung kekecewaan mendalam. Talak 3 cukup menghibur tapi lebih dekat sebagai satir sosial daripada sepenuhnya sajian religi. Lalu muncul trailer menjanjikan dari Wa'alaikumsalam Paris berkat tone komedik serta chemistry menjanjikan Velove Vexia da Nino Fernandez. Ditambah lagi keberadaan Benni Setiawan yang tahun lalu menghasilkan Toba Dreams (one of the best Indonesian movie last year) sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Berhasilkah film ini mengembalikan kepercayaan saya terhadap genre religi?

Itje (Velove Vexia), gadis desa asal Bojong baru saja menikah dengan pria asal Prancis bernama Clement (Nino Fernandez). Bagi Itje, menikahi Clement dapat mewujudkan impiannya menjalani hidup secara lebih baik di Paris. Kedua orang tuanya pun selalu membangga-banggakan "keberhasilan" puteri sulung mereka menikahi bule kaya raya dan tinggal di luar negeri. Namun setibanya di Prancis, angan-angan Itje untuk memandangi keindahan Paris lalu belanja barang-barang mewah seketika pupus tatkala mendapati bahwa Clement hanya seorang petani anggur di desa terpencil. Pernikahan mereka diuji tatkala Itje terus mengutarakan kekecewaannya sedangkan Clement -sebagai mualaf-  berusaha keras menjadi suami baik sesuai ajaran Islam.
Selain menggurui, salah satu penyakit film religi Indonesia adalah karakter yang terlampau sempurna. Memang begitu idealnya manusia menurut agama, tapi sebagai karakter film, bentuk demikian membuat karakternya menjadi asing, tidak relatable dengan penonton. Ujungnya, pesan berupa "be a better person" sulit diterima. Wa'alaikumsalam Paris menggunakann jalan lebih universal guna menuturkan pesannya, dan tiada ada hal lebih universal selain cinta. Bisa dibilang Clement adalah "suami idaman". Bukan sekedar tampan, ia juga baik serta amat penyabar. Terlalu sempurna? Mungkin. Tapi ada satu pembeda antara Clement dengan tipikal karakter di atas, yakni motivasi.

Clement ingin menjadi lebih baik karena cintanya akan Itje. Walau pada akhirnya Tuhan jadi alasan utama, itu merupakan hasil dari proses, tapi awalnya semua didasari oleh rasa cinta. Berkat itu, saya dan mungkin penonton lain yang pernah merasa ingin berubah ke arah lebih baik demi sosok tercinta bisa merasakan keterikatan juga memahami motivasi Clement. Hal ini harus dicontoh oleh film religi lain, bahwa untuk menyebarkan kebaikan tidak melulu harus kaku atau straight to the point. Menggunakan sarana yang lebih mudah diterima orang banyak seperti romansa berbalut kejenakaan justru memperlancar penyampaian pesan. Sampai konklusi, pesan film ini sederhana saja: jadilah suami/istri yang baik. Definisi "baik" pun berhenti sampai tataran saling mencintai dan menerima, bukan menjalankan sunah, pemakaian hijab, dan sebagainya.
Membicarakan cinta tentu tak lepas dari jalinan chemistry Velove Vexia dan Nino Fernandez. Keduanya saling melengkapi, menyempurnakan kombinasi menarik antara dua sosok bertolak belakang. Ada kekuatan dalam tiap interaksi, entah saat momen dramatik sehinga terasa menyentuh atau komedi pemancing gelak tawa. Padahal sejatinya naskah karya Benni Setiawan kurang cermat menggali hubungan Itje dan Clement, materi humor pun tidak seberapa menggigit. Namun kedua pemain sanggup memaksimalkan tiap kesempatan, memunculkan romantika manis sekaligus hangat guna memikat hati saya. Secara individu keduanya sama memuaskannya. Nino tidak berlebihan memainkan sosok pria penyabar, bahkan sanggup menyuntikka takaran sesuai saat momen drama. Sedangkan Velove membuat Itje tetap likeable, senantiasa menggelitik meski menghabiskan mayoritas waktu merengek berteriak "Kang Emen!"

Kelemahan memang terletak pada naskah dan perjalanan alur. Begitu minim pendalaman juga seringkali terburu-buru. Lihat saja adegan pembuka sewaktu tanpa perkenalan apapun sudah bergerak cepat menuju pernikahan Clement dan Itje. Padahal penonton belum tahu siapa mereka atau mengapa keduanya memutuskan menikah. Jika bukan karena dua cast utama, paparan romansa berpotensi hambar karena hal tersebut. Beberapa poin cerita pun terasa dipaksaka hadir supaya alur bisa bergerak menuju titik berikutnya -paling kentara di ending yang out-of-nowhere. Selain alur, saya juga terganggu saat gambar film ini sering "pecah" khususnya di adegan outdoor. Ketika film lain dengan setting luar negeri berlomba menghadirkan keindahan visual, kekurangan satu ini tentu amat disayangkan. Memang masih banyak kekurangan dimiliki, namun berkaca pada mengenaskannya kualitas perfilman religi Indonesia, Wa'alaikumsalam Paris bak hujan sehari pasca kemarau berkepanjangan.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

3 komentar :

Comment Page:

THE MERMAID (2016)

14 komentar
Terlepas dari kualitasnya, film karya Stephen Chow ini telah menjadi sebuah fenomena. Keberhasilannya meraup pendapatan $542 juta sejauh ini menempatkan The Mermaid sebagai film terlaris sepanjang masa di Cina sekaligus film terlaris nomor dua tahun ini di belakang Deadpool. Di luar fakta bahwa negeri tirai bambu kini merupakan pasar terbesar bagi industri film mengalahkan Hollywood, tentu ada faktor lain yang memicu kesuksesan tersebut. Faktor itu adalah pemahaman Stephen Chow terhadap formula blockbuster. Chow mengerti apa saja kebutuhan suatu crowd pleaser serta bagaimana memaksimalkannya.

The Mermaid berkisah tentang Liu Xuan (Deng Chao), seorang pebisnis sukses -sekaligus playboy- yang baru membeli Teluk Hijau, sebuah suaka alam bagi hewan laut khususnya lumba-lumba. Demi melancarkan niatnya mereklamasi tempat itu, Liu Xuan memasang sonar untuk mengusir lumba-lumba, tanpa mengetahui hal itu turut mengganggu habitat para duyung. Banyak duyung terkena radiasi, terluka parah bahkan tewas akibat pengaruh sonar tersebut. Demi menyelamatkan diri, mereka pun berencana membunuh Liu Xuan dengan memanfaatkan sisi hidung belangnya. Diutuslah Shan (Lin Yun) guna menggoda Liu Xuan dan memancingnya ke dalam perangkap. Tapi pada akhirnya Shan justru benar-benar jatuh cinta pada Liu Xuan, begitu pula sebaliknya.
Jadi apa saja kebutuhan crowd pleaser yang dimiliki The Mermaid? Semua! Setiap orang senang dibuat tertawa, dan sebagaimana karya Stephen Chow lain -kecuali CJ7- film ini mampu menghadirkan tawa. Sesungguhnya terdapat miss di beberapa lelucon khususnya pada bagian awal, karena sulit untuk bisa seketika "terhubung" dengan komedi absurd khas Chow ketika sedari pembuka kuantitas kehadirannya langsung tinggi, tidak peduli anda familiar atau tidak dengan gayanya. Namun seiring berjalannya durasi sekaligus suksesnya pembangunan mood, "daya bunuh" joke-nya jadi luar biasa. Timing tak terduga ditambah totalitas kebodohan serta kreatifitas Chow menghasilkan momen komedik yang mampu membuat saya tertawa tanpa henti hingga meneteskan air mata dan sakit perut, terlebih pada satu adegan ber-setting kantor polisi.
Satu lagi hal favorit penonton adalah kisah cinta. Romansa Liu Xuan dan Shan sesungguhnya tak mendominasi durasi, namun Chow berhasil memanfaatkan keterbatasan itu lewat penggunaan satu-dua baris kalimat romantis yang berkat akting kuat para aktornya sanggup mencengkeram perasaan saya. Sebagai contoh tatkala Liui Xuan mengungkapkan bagaimana berharganya Shan. Deng Chao menghantarkan tiap kata penuh kesungguhan hati, hingga saya bisa meyakini bahwa karakternya memang merasakan itu. Kalimat-kalimatnya memang klise, begitu pula momen klimaks dramatisnya, tapi hal-hal standar atau bisa dibilang cheesy justru lebih efektif menggaet hati penonton apabila digarap secara maksimal. Chow dan deretan cast-nya berhasil memaksimalkan itu.

Kelebihan terbesar Stephen Chow bukan sekedar pada penghantaran komedi, tapi bagaimana ia mengkombinasikan absurditas lelucon dengan sensitifitas drama. Kali ini pun sama, terlihat dari kuatnya romansa dua tokoh utama meski secara keseluruhan hanya sekali mereka diperlihatkan "berkencan" lewat sebuah montage penuh canda tawa. The Mermaid sejatinya juga mengangkat isu penting terkait reklamasi dan pelestarian satwa laut. Satu footage tentang pembantaian lumba-lumba dan adegan perburuan duyung saat klimaks cukup menghadirkan horor di benak saya, walau sayangnya penelusuran isu utamanya kurang mendalam, karena secara keseluruhan, alurnya pun dikemas kurang rapih, penuh lompatan kesana kemari, meminimalisir peluang mengeksplorasi pokok bahasan tersebut. Tapi sebagai sajian blockbuster, The Mermaid mampu memberi kepuasan besar. Stephen Chow is a comedy genius!


SPHERE X FORMAT REVIEW
Setelah beberapa kali mencari, akhirnya saya menemukan seat paling cocok bagi saya (baca: orang berbadan tinggi). Jika anda memiliki tinggi badan minimal 175 cm, pilihlah G atau H, karena di situlah format lay back chair dapat terasa "khasiatnya". Pemilihan seat memang vital saat menonton di SphereX, karena meleset sedikit saja (terlalu maju/mundur) akan mengurangi lingkup pandang. Namun jika seat-nya tepat lingkup pandang pun lebih menyeluruh dan format layar besar terasa lebih maksimal. Bagaimana jika tinggi badan anda di bawah 175 cm? Posisi D hingga F adalah pilihan tepat.

Alasan saya menyukai format layar besar macam SphereX adalah gambar serasa lebih dekat tanpa degradasi kualitas detail tekstur. Sayangnya, saya tidak tahu apakah konversi aspect ratio-nya tidak sesuai atau karena faktor lain, beberapa adegan terlihat stretch. Selain itu, gambar di pojok atau tepatnya pada posisi layar SphereX yang mengkerucut beberapa kali tampak bergelombang saat kamera bergerak. 

Untuk sound, saya tidak tahu bagaimana pastinya pembagian jumlah speaker di auditorium SphereX. Tapi sepertinya mayoritas terletak di depan (belakang layar), sehingga semakin ke depan posisi duduk anda, suara akan terdengar lebih keras. Apalagi auditorium di Hartono Mall Jogja masih memakai teknologi Dolby 7.1, bukan Dolby Atmos seperti Empire XXI misalnya. Sama seperti film-film lain, aspek suara The Mermaid tidak punya kelebihan berarti. Jadi sebelum dilakukan upgrade, jangan harap teknologi SphereX di situ akan memberi movie experience sehebat yang dijanjikan. 

Apakah The Mermaid layak ditonton dalam format SphereX? Well, not really. Ketika aspek visual dan tata suara sama-sama tidak maksimal maka lebih baik simpan uang anda untuk format lain saja. (2.5/5)

Ticket Powered by: ID Film Critics

14 komentar :

Comment Page:

BAD EDUCATION (2004)

1 komentar
Hitchcockian never gets old. Ada alasan kenapa gaya pengemasan seorang Alfred Hitchcock dibuatkan nama tersendiri. Formula khas milik sang sutradara memang mampu memberi kekuatan lebih khususnya dalam hal pembangunan tensi -that's why he's the "master of suspense". Maka tidak heran jika sampai sekarang Hitchcockian kerap jadi pilihan bertutur tidak terkecuali untuk pemilik nama sebesar Pedro Almodovar. Pasca kesuksesan All About My Mother dan Talk to Her, Almodovar memutuskan kembali ke gaya bertutur serta tema lebih kelam melalui Bad Education. Lewat film ini pula, Almodovar menyelipkan unsur Hitchcockian di antara kompleksitas alur yang cukup membuatnya menjadi salah satu karya paling ambisius dari Almodovar.

Mengambil setting tahun 1980 di Madrid, dikisahkan seorang sutradara film muda bernama Enrique Goded (Fele Martinez) tengah mengalami kebuntuan ide untuk proyek terbarunya, hingga ia mendapat kunjungan dari Ignacio Rodriguez (Gael Garcia Bernal), kawan lama sekaligus cinta pertama Enrique semasa sekolah dulu. Ignacio yang kini merupakan seorang aktor coba menawarkan naskah buatannya kepada Enrique. Naskah berjudul The Visit itu menggabungkan unsur fiksi mengenai transseksual bernama Zahara dan kisah masa lalu Enrique dan Ignacio. Memori masa lalu sontak kembali mengisi perasaan Enrique, membuatnya bersedia untuk memproduksi naskah tersebut tanpa mengetahui keberadaan suatu rahasia kelam.
Alasan mengapa Bad Education terasa ambisius adalah usaha Almodovar memasukkan berbagai "rasa" cerita sebagai satu rangkaian alur kompleks. Awalnya penonton disuguhi drama LGBT tentang cinta pertama berhiaskan paparan isu sosial mengenai pelecehan seksual kepada anak oleh para pendeta. Mencapai paruh kedua, alur mulai dirasuki jiwa Hitchcockian tatkala menyoroti misteri kematian salah seorang tokoh. Membagi film ke dalam dua rasa berbeda sesungguhnya biasa dilakukan Hitchcock, semisal komedi romantis menjadi creature horror di The Bird. Almodovar sejatinya tidak se-ekstrim itu, karena paruh pertama dan kedua masih punya tone selaras. 

Kompleksitas terletak pada kuantitas cerita milik naskahnya beserta lompatan alur. Bad Education membicarakan hubungan Enrique dan Ignacio baik di masa lalu ataupun masa kini, usaha Zahara memeras Father Manolo (Daniel Gimenez Cacho), misteri pembunuhan, sampai kehidupan Ignacio pasca tumbuh dewasa. Secara total, filmnya dua kali melompat ke flashback, bahkan sempat masuk menuju kisah Zahara yang tak lain merupakan alur dalam naskah The Visit (metafiction). Hadirnya beberapa flashback serta sentuhan metafiksi mencipta kerumitan, tapi berkat kepiawaian bertutur Almodovar justru memberi lebih banyak warna menarik sepanjang perjalanan alurnya alih-alih terasa membingungkan. 
Namun biar bagaimanapun, Bad Education tetap saja terlampau penuh. Ambisi Almodovar memberi banyak layer pada alur menutupi kekuatan dramanya. Meski berhasil mengaduk-aduk emosi lewat paparan pelecehan seksual para pendeta, tidak dengan eksplorasi hubungan Enrique dan Ignacio yang berjalan datar, tenggelam oleh gimmick penceritaan Almodovar. Tentunya hal ini patut disayangkan melihat committed performance dari Gael Garcia Bernal lewat perannya sebagai seorang aktor yang melakoni akting ganda -as a real life person and a movie character

Sebagai sajian misteri, Bad Education mempunyai satu twist efektif pemberi kejutan, namun sayangnya hadir terlampau cepat. Karena begitu twist tersebut diungkap, praktis tak banyak pertanyaan tersisa. Fokus kemudian berpindah pada usaha menjawab berbagai detail fakta yang sudah tercium jawabannya semenjak twist terungkap. Di sinilah kegagalan terbesar Almodovar dalam membuat suatu Hitchcockian, yakni menjaga intensitas serta minat penonton hingga scene penutup. But overall, Bad Education is an interesting metafiction with neo-noir aspects and such a unique takes on controversial themes such as sexual abuse by Catholic priests or LGBT, even though it's not as emotional and intense as it's supposed to. 

1 komentar :

Comment Page:

IBLIS (2016)

4 komentar
Sudah sering saya katakan bahwa modal niat saja tidak cukup dalam membuat film. Satu film jelek tidak serta merta naik derajat kualitasnya karena niat mulia pembuatnya. Iblis karya sutradara Rano Dimas ini jelas diniatkan untuk menjadi horor murni tanpa embel-embel seks atau komedi konyol tak lucu. Bukan itu saja, karena naskah buatan Almar AS pun coba memberi eksplorasi psikologis pada karakternya. Tujuan itu tentunya baik dan apabila sukses bukan kemustahilan jika Iblis dapat menjadi The Babadook-nya Indonesia. Kehadiran Rudi Soedjarwo pun sedikit memberi harapan, karena setidaknya ia tak akan membiarkan film yang ia produseri berakhir sebagai sampah tingkat amatiran. 

Opening credit-nya cukup menjanjikan. Kentara sekali pengalaman Rano Dimas menjadi penata gambar dan astrada di Stay with Me membuatnya mampu menerapkan visual elegan khas Rudi Soedjarwo. Kisahnya sendiri dimulai tatkala Denis (Christian Loho) berkunjung ke rumah seorang paranormal bernama Suryo (Betet Kunamsinam) guna meminta pertolongan atas teror misterius yang telah beberapa lama menghampiri. Denis mengaku kerap mendapat gangguan dari sesosok makhluk hitam pekat bercakar panjang (lebih mirip akar) yang kemudian diidentifikasi oleh Suryo sebagai Iblis. Ditengarai Iblis tersebut muncul sebagai manifestasi kegelapan hati Denis, khususnya setelah ia membongkar perselingkuhan istrinya (Stevie Dominque). 
Usaha naskahnya memberi sentuhan psychological disorder pada tokoh Denis gagal total karena sepanjang durasi 82 menit, begitu minim waktu diluangkan untuk melakukan pendalaman karakter. Berkaca pada The Babadook misalkan, apabila kita hilangkan unsur hantu-hantuan, film tersebut berubah menjadi thriller psikologis tentang hilangnya kewarasan seorang ibu. Tapi coba terapkan itu pada Iblis maka, well...jadilah sajian kosong. Kekokohan naskah sejatinya bukan suatu kewajiban dalam film horor, namun ketika terdapat usaha menyelipkan unsur gangguan mental pada tokohnya, naskah jadi perlu diperhatikan. Sayang, naskah Iblis kurang dalam mengeksplorasi. Cerita bisa lebih kuat andai sosok Iblis lebih diposisikan sebagai sosok simbolik yang keberadaannya ambigu daripada sepenuhnya nyata. 
Soal naskah, jangankan kualitas, karena kuantitas plot juga amat minim ketika Rano Dimas lebih doyan menyusun filmnya lewat kumpulan jump scare. Berkebalikan dengan formula standar film, di sini cerita justru hanya tampil sebagai sempilan, sisanya berisi penampakan hantu tanpa henti lewat cara repetitif sekaligus tidak kreatif: seorang tokoh tengah melakukan hal random, cue music hadir, muncul tangan berbentuk akar secara perlahan, kemudian ditutup hentakan scoring sembari karakternya berteriak ketakutan. Begitu terus secara berulang-ulang. Memang ada sekitar dua atau tiga momen mengerikan, tapi menengok seberapa banyak usaha menakut-nakuti dilakukan, jumlah itu jelas tidak signifikan. Salahkan desain cakar Iblis yang alih-alih menyeramkan justru mirip tentakel (if you know what I mean). 

Di samping kekurangan mayor, terdapat pula serpihan-serpihan yang mengusik pikiran saya. Pertama, kenapa rumah Denis terlihat sangat kosong seolah tak berpenghuni? Apa uangnya terkuras habis saat membeli rumah besar itu sampai tak bersisa untuk mengisi perabotan? Kedua, teror yang ia dan sang istri alami jelas sudah kelewat batas, tapi kenapa tiada wacana untuk pergi atau ungkapan rasa tidak betah? Ketiga, film ini membedakan "hantu" dan "iblis", tapi apa sesungguhnya perbedaan di antara mereka selain pure evil dan arwah gentayangan? Keempat, kenapa Denis dan istrinya seolah berada di dunia berbeda? Saya paham intensi memaparkan retaknya hubungan mereka, tapi bukan berarti harus disajikan seliteral itu. Ibarat akting, seorang aktor tidak harus berteriak-teriak supaya terlihat marah. Begitulah Iblis. Banyak hal janggal serta potensi terbuang tapi minim keseraman.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

4 komentar :

Comment Page:

LAST SHIFT (2014)

Tidak ada komentar
Jump scare dan kebodohan laku karakter merupakan contoh dua hal yang telah begitu identik dengan suguhan horror. Begitu lekatnya, penonton telah sampai taraf memaklumi, menganggap wajar apabila musik menghentak atau seorang tokoh justru berlari mendekati sumber bahaya. "Namanya juga horror", begitu bentuk pemaklumannya. Sehingga menjadi terasa segar tatkala Last Shift karya Anthony DiBlasi coba meminimalisir keduanya. Sekilas tak ada hal istimewa dari premis tentang teror yang dialami seorang polisi tatkala menjalani tugas jaga malam di kantornya. Konsep satu lokasi bukan lagi dobrakan, apalagi kantor polisi tidak terdengar seperti tempat dengan potensi kengerian maksimal. 

Jessica Loren (Julianna Harkavy) tengah bersiap menjalani hari pertamanya sebagai seorang polisi, mengikuti jejak sang ayah yang dulu tewas saat bertugas. Sesungguhnya tugas pertama Jessica amat mudah, yakni menjaga kantor polisi lama yang akan segera ditutup sembari menunggu anggota HAZMAT datang guna mengumpulkan sisa barang bukti di sana. Namun tidak berapa lama kemudian kejadian-kejadian aneh segera dialami Jessica, seperti suara misterius, kemunculan gelandangan, hingga distress call dari seorang gadis yang mengaku hendak dibunuh oleh sekumpulan orang. 
Las Shift jelas belum selevel The Babadook dalam hal eksplorasi psikis karakter, tapi Jessica juga bukan seorang "gadis bodoh" dalam film horror kebanyakan. Setidaknya saya bisa memahami motivasinya tetap bertahan di kantor meski telah menjumpai sejumlah teror. Jessica ingin membuktikan bahwa dia adalah capable police officer yang tak gentar oleh rasa takut dan mewarisi kehebatan sang ayah. Hadirnya rentetan kengerian tidak asal diumbar demi menakuti penonton, melainkan turut membuka jalan bagi proses terlucutinya keberanian Jessica. Perlahan tapi pasti ia semakin rapuh, dikalahkan oleh rasa takut hingga akhirnya membawa penonton pada ending yang ambigu sekaligus "jahat". 
Metode Anthony DiBlasi untuk menakut-nakuti penonton juga tidak murahan. DiBlasi tidak asal mengeksploitasi penampakan hantu beriringkan scoring berisik secara berulang. Walau tetap ada jump scare, DiBlasi memaksimalkan kemasan visual lewat kehadiran gambar-gambar disturbing, seperti desain hantu yang cukup membuat penonton berteriak sambil menutup mata kala kamera menyoroti wajah mereka secara close-up atau kemasan ala efek glitch pada video. Alhasil produk akhirnya bukan saja kekagetan sambil lalu. Bagai pesan subliminal, berbagai image menyeramkan itu bakal terus tertanam di otak penonton bahkan ketika film telah usai sekalipun.

Sedangkan untuk tata suara, Anthony DiBlasi lebih memilih mengeksplorasi ambience daripada hentakan "musik pengiris gendang telinga". Kombinasi tata visual dengan suara itu menguatkan kesan disturbing pada film ini. Sama seperti Jessica, saya pun ikut dibuat tidak tahan, ingin menutup mata dan telinga akibat gempuran audiovisual tersebut. Walau beberapa menit awal terkesan monoton karena teror yang tergolong basi (lampu mendadak redup, pintu loker terbuka sendiri), penantian anda akan terbayar lunas saat DiBlasi mulai total mengeluarkan seluruh senjatanya. Filled with disturbing imageries, evilish story and enough character motivation, 'Last Shift' is one of the most satisfying supernatural horror movie in years.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

KUNG FU PANDA 3 (2016)

3 komentar
Setiap kali muncul sekuel, pertanyaan yang paling jamak hadir mungkin "apa memang perlu?" Dari sudut pandang bisnis, perlu atau tidak pastinya bergantung pada kemungkinan hadirnya keuntungan komersial. Namun dari segi cerita, suatu sekuel menjadi layak bahkan diperlukan kehadirannya tatkala bertujuan melengkapi kisah tokoh-tokohnya. Teruntuk ranah animasi, Toy Story merupakan contoh bagaimana kesempurnaan lingkaran cerita dipaparkan lewat rangkaian sekuel, sehingga penonton mengenal karakternya luar dalam, memahami lika-liku proses perjalanan hidup mereka secara utuh. Meski tidak se-superior rilisan Pixar tersebut, Kung Fu Panda mampu memunculkan perasaan serupa lewat film ketiganya ini.

Sebagaimana telah disiratkan di akhir film kedua, Kung Fu Panda 3 menyoroti pertemuan Po dengan ayah kandungnya, Li Shan. Po sendiri tengah dibebankan tanggung jawab baru oleh Master Shifu, yakni menggantikan tugasnya memberi latihan untuk Furious Five. Pengalaman pertamanya sebagai guru berjalan buruk dan membawa Po menuju pencarian jati dirinya. Di saat bersamaan, monster kejam bernama Kai bangkit kembali dari dunia arwah setelah mengalahkan Master Oogway dan mencuri chi milik sang master. Berdasarkan legenda, satu-satunya jalan mengalahkan Kai adalah menyempurnakan chi, ilmu yang konon dimiliki oleh para panda. Jadilah Po kembali bersama Li Shan ke kampung rahasia tempat panda tinggal guna mempelajari ilmu tersebut juga mencari jawaban mengenai jati dirinya.
Jika film pertama bertutur mengenai usaha Po menjadi dragon warrior dan film keduanya adalah proses memahami hakikatnya selaku the chosen one, maka kali ini adalah fase penyempurnaan. Bukan saja melengkapi keping puzzle tentang kehidupan Po lewat pertemuannya dengan sang ayah, makna "kesempurnaan" di sini tak ubahnya penggalian lewat kaca mata filosofi. Bak pemahaman Taoisme (yang juga berasal dari Cina), Po menempuh perjalanan mengenali dirinya sendiri, melepaskan segala konsep yang selama ini mengganggu pikirannya. Semakin jauh proses itu berjalan, semakin sempurna pula Po, membawa franchise ini menuju lingkaran kesempurnaan pada tataran development karakter dan cerita. Begitu film berakhir tak hanya Po, tetapi saya pun dibawa total lengkap memahami tiap sendi kisahnya.

Sayang, pemaparan alur untuk film ini sendiri jauh dari kesan sempurna. Sedari awal progresi alur sudah dikemas agak terburu-buru, seolah ingin menjaga pace supaya tidak melambat (baca: membosankan) namun berakibat tak memberi kesempatan penonton meresapi cerita lebih jauh. Momen demi momen berlalu amat cepat, bahkan final showdown saat Po bertarung melawan Kai berjalan terlampau pendek. Alhasil, sosok Kai yang notabene mampu mengalahkan Oogway jadi tidak nampak seberapa mengancam akibat begitu singkatnya klimaks berjalan. Padahal dengan durasi hanya 95 menit, penambahan (misal) lima menit untuk klimaks serta beberapa momen lain tak akan membuat film ini terlalu panjang. Untungnya duo Jennifer Yuh Nelson dan Alessandro Carloni selaku sutradara sanggup memaksimalkan kekuatan tiap sequence walau hanya diberi kuantitas minim. 
Pemaksimalan tiap sequence khususnya pada porsi drama berujung terciptanya kehangatan bahkan rasa haru, terlebih bagi penonton (termasuk saya) yang mudah terkoyak perasaannya oleh drama ayah-anak. Rangkaian adegan mulai saat Po mengutarakan kemarahannya akan sang ayah hingga akhirnya Li Shan bersama seluruh panda kembali untuk menjalani latihan kung fu sukses membuat air mata saya mengalir. Poin lebih patut disematkan pada keberhasilan memvisualisasikan tekstur wajah karakter, sehingga tidak hanya membuat para panda amat menggemaskan, ekspresi mereka pun terhampar nyata, termasuk tatapan mata penuh kasih sayang Li Shan pada puteranya. 

Visual memang kelebihan terbesar Kung Fu Panda 3. Sewaktu Pixar memukau lewat pendekatan photo realistic lewat The Good Dinosaur, melalui film ini Dreamworks menghadirkan eyegasm berkat paparan visual bak goresan kuas dalam lukisan atau nuansa "out of this world" penuh kelap-kelip warna dalam setting dunia arwah. Saya dibuat membelalakkan mata, tercengang akan bagaimana para animator mencurahkan kreatifitas mereka pada tingkatan tertinggi guna menciptakan tiap detail dunia menjadi keindahan luar biasa. Di antara animasi lain rilisan Hollywood, kualitas visual Kung Fu Panda 3 jelas berada di jajaran paling atas. Satu hal pasti, film ini telah melengkapi proses perjalanan Po, dan apabila rencana pembuatan sekuel hingga film keenam benar adanya, semoga kisahnya tidak sampai dipaksakan. 


Ticket Powered by: ID Film Critics

3 komentar :

Comment Page: